Di penghujung usiaku yang ke 18 tahun, saat itu aku sedang menantikan pergantian hari untuk menyambut ulang tahunku yang ke 19 tahun. Namun, sebuah kabar yang tidak mengenakkan pun terdengar di telingaku pada saat ibu dan ayahku membahas tentang perjodohan ku dengan seorang laki-laki yang tidak aku cintai sama sekali. Tentunya aku tidak bisa menerima dengan keputusan orang tuaku itu, aku sangat sedih akan hal itu, dan karena itulah akupun memutuskan untuk minggat dari rumah, meninggalkan kedua orang tuaku agar perjodohan itu tidak berlangsung.
Inilah kisahku, selamat menyaksikan.
********************************
Aku yang kala itu sedang duduk di meja makan untuk menikmati makan malam bersama ibu dan ayahku pun tiba-tiba sangat marah dan kesal dengan sikap ayah dan ibuku yang tidak merestui hubungan ku dengan Ibas pacarku. Dan meja makan itupun menjadi saksi pada saat terjadinya dramatisasi pertengkaran ku bersama ibu dan ayahku.
"Pokoknya ibu sama ayah gak mau lagi liat kamu terus-terusan dengan laki-laki pengangguran itu!" Tegas ibuku melarangku untuk terus menjalin hubungan dengan pacarku.
"Ibu gak boleh gitu dong ngelarang hubungan aku dengan Ibas!" Jawabku membangkang, dan aku pun melanjutkan pembelaanku.
"Lagian kenapa sih Bu! ibu kok gak suka banget sama Ibas, pedahalkan Ibas anaknya baik" Pungkas ku membela Ibas.
"Gak... pokoknya ibu gak setuju kalau kamu sama dia, titik" Balas ibuku tetap bersikeras melarangku bersama Ibas.
"Lagian apa sih yang kamu cari dari Ibas? Dia itu pengangguran, miskin!" Lanjut ibuku memandang Ibas dari materi.
"Kamu ini... dibilangin gak pernah mau mendengar!" Sahut ayahku yang juga tidak merestui hubungan ku bersama Ibas.
Aku terdiam sejenak pada saat ibu dan ayahku yang tetap berkeras untuk melarang hubungan ku bersama Ibas. Namun, seketika amarahku pun memuncak ketika ibu dan ayahku membahas tentang perjodohan.
"Ibu dan ayah udah jodohin kamu dengan anaknya Tarmajid, jadi... mulai sekarang tinggalin Ibas" Pungkas ibuku, sehingga akupun menjawab dengan nada tinggi.
"Apa-apaan sih Bu! Ibu dan ayah gak boleh gitu dong, lagian aku itu gak cinta sama dia. Pokoknya gak! Ratih gak mau di jodoh-jodohin kayak gini!" Pungkasku menolak perjodohan itu.
"Kamu pikir ibu dan ayah ngelakuin ini buat siapa? Ini itu untuk kamu Ratih, demi kebaikan kamu!" Balas ibuku.
"Besok pak Tarmajid dan anaknya mau datang kesini, kamu harus perlihatkan sikap baik kepada mereka" Ungkap ayahku yang tetap tidak mau mendengarkan ku.
Sontak, akupun berdiri dan memberi tatapan sedih bercampur marah kepada ibu dan ayahku dan akupun berkata kepada mereka:
"Tega ya kalian!" Ungkapku yang kala itu menghempaskan sendok yang aku pegangngi dari tadi dengan kuat di atas meja.
"Ratih!" Bentak ayahku yang terlihat marah dengan kelakuan ku barusan.
Aku yang juga terpancing emosi karena sikap kedua orang tua ku itu seketika meninggalkan meja makan itu, dan tidak menghiraukan sama sekali pada saat kedua orang tua ku melarangku untuk meninggalkan meja makan tersebut, melainkan aku terus berjalan menuju kamar dan menguncikan kamar ku rapat-rapat.
"Ratih! mau kemana kamu Ratih, ayah belum selesai ngomong" Ujar ayah ku mencoba untuk menahan ku. Namun aku tetap tidak menghiraukan nya.
Malam yang semakin larut, dan sebentar lagi menunjukkan pukul 12 malam. Yang dimana pada saat itu aku harusnya sedang berbahagia karena hari itu adalah hari ulang tahun ku, namun karena perjodohan yang dibahas oleh orang tuaku pada saat di meja makan, seketika kebahagiaan yang seharusnya aku rasakan. Kini berubah menjadi kesedihan.
Aku terus memikirkan perjodohan itu, sampai-sampai aku tidak bisa tidur karena memikirkannya. Aku begitu marah, sedih dan jengkel. Namun, aku juga tak tahu harus bagaimana untuk menghindari perjodohan itu. Sehingga akupun hanya bisa menangis meratapi nasib ku.
"Tok! Tok! Tok!" Ketokan pintu terdengar jelas di telinga ku pada ke-esokan harinya. Sepertinya itu adalah ibuku yang sedang ingin membangunkan ku, namun tidak bisa masuk karena aku menguncikan pintu kamar ku.
"Ratih" Pungkasnya di balik pintu memanggil namaku.
"Ratih, bangun nak!" Ibumu terus memanggil ku di balik pintu kamarku.
Sehingga, akupun beranjak dari kasurku dan lalu membukakan pintu untuknya. Tapi, lagi dan lagi, ibuku kembali mengingatkan ku tentang perjodohan itu.
"Kamu siap-siap gih, bentar lagi pak Tarmajid datang dengan anaknya" Ungkapnya, sehingga membuatku pun tidak bersemangat.
"Iya Bu" Jawabku dengan terpaksa.
Seketika suara bell pun berbunyi dari depan, dan sepertinya itu adalah pak Tarmajid yang sudah datang bersama anaknya, dan dengan cepat ibuku pun membukakan pintu untuk mereka.
...(Perbincangan Ibuku dan pak Tarmajid)...
"Eh pak Tarmajid" Pungkas ibuku dan mempersilahkan mereka masuk.
"Silahkan masuk pak" Ujarnya dan ibuku sangat memperlakukan pak Tarmajid dan anaknya dengan baik bak seorang raja.
Dan tiba-tiba ayahku pun datang menghampiri pak Tarmajid dan anaknya dengan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan pak Tarmajid dan anaknya.
"Silahkan duduk pak" Ujar ayahku dengan sangat sopan, dan pak Tarmajid pun membalas dengan senyum.
"Ratih nya mana Bu?" Pungkas pak Tarmajid menanyaiku.
"Oh ada kok pak lagi siap-siap" Jawab ibumu dan lalu melanjutkan:
"Biasa... mau ketemu calon mertua sama suami yah harus dandan dulu" Ungkapnya berbisik manja kepada pak Tarmajid dan anaknya. Sehingga membuat anak pak Tarmajid pun cengingiran ketika ibuku berkata seperti itu.
"hiks hiks hiks... ibu bisa ajah" Ungkap anak pak Tarmajid malu-malu.
Aku yang sebetulnya tidak suka dengan kedatangan pak Tarmajid bersama anaknya itupun sengaja berlama-lama di dalam kamar. Sehingga, ayahku pun menyuruh ibu untuk memanggil ku menemui pak Tarmajid dan anaknya.
"Coba dilihat dulu mah, kok belum keluar-keluar juga ya?" Ujar ayahku menyuruh.
"Bentar ya pak, saya panggilan Ratih dulu" Pungkas ibuku, dan dengan cepat ibuku pun menghampiri ku di dalam kamar.
"Ratih" Panggil ibuku.
"Iya mah" Jawabku.
"Kok belum keluar juga sih? itu pak Tarmajid sama anaknya udah nungguin kamu loh dari tadi!" Ujarnya dan menyuruhku lebih cepat lagi.
"Iya mah, bentar ini Ratih nyusul" Balasku dengan sangat terpaksa.
Akupun keluar dari kamarku untuk menghampiri pak Tarmajid dan anaknya itu. Tetapi, aku yang kala itu sengaja menggunakan pakaian yang tidak sopan, dengan celana jeans robek serta atasan kaos oblong, dan ayahku yang melihatku mengenakan pakaian yang seperti itupun seketika memperlihatkan wajah tidak suka terhadapku.
"Halo om" Pungkasku menyapa tanpa menyalim tangannya serta akupun memperlihatkan kelakuan yang tidak sopan dihadapannya dengan menyimpan satu kaki ku di atas paha.
Seketika pak Tarmajid pun tercengang melihat kelakuan ku yang seperti itu. Sehingga, wajah kedua seperti sedang memperlihatkan wajah marah kepadaku.
Bersambung
Episode 2
Sikap tidak sopan yang aku perlihatkan kepada pak Tarmajid dan ankanya itu tentunya membuat ibu dan ayahku terlihat kesal dan menegurku pada saat pak Tarmajid sudah pergi dari rumahku.
“Apa-apan kamu Ratih!” Ucap ibuku memarahiku. Namun, akupun mencoba untuk membela diri.
“Kenapa bu?” Balasku pura-pura tidak tahu.
“Kamu itu gimana sih! Harusnya kamu itu perlihatkan kelakuan baik ke mereka, bukannya kelakuan gak sopan seperti itu” Pungkas ibuku terus memarahiku.
“Loh… gak sopan gimana sih bu? Sikap Ratih biasa-biasa ajah kok. Emangnya salah Ratih dimana bu?” Ujarku menjawab dengan nada menentang.
“Pokoknya ibu gak mau tahu… sekali lagi kamu perlihatkan sikap kayak gitu ke pak Tarmajid dan anaknya, awas kamu!!” Lanjut ibuku mengancam. Aku yang tidak terima dengan perkataan ibuku barusan pun kembali menentang sehingga membuat amarah ayahku meledak.
“Udah deh bu… gak usah paksa-paksa Ratih untuk menikah dengan anak pak Tarmajid. Pokoknya Ratih gak suka!” Pungkasku.
“Owh jadi kamu mau menentang keputusan ibu dan ayah?” Tanya ayahku melototi ku, dan akupun menjawab dengan tegas.
“Kalau iya kenapa yah?” Ungkapku.
“Kurang ajar… puakkk!!” Pungkas ayahku yang kemudian melayangkan tamparan ke wajahku.
“Ahh!” Rintihku menahan sakit akibat tamparan ayahku sembari memegang pipiku yang mulai memerah.
“Tega ayah! Ayah tega sama Ratih!!” Pungkasku tidak menyangka jika ayahku akan melakukan hal itu.
“Masih mau membangkang dengan orang tua hah!” Ucap ayahku memberi tatapan marah kepadaku, dan akupun membalas tatapan ayahku itu. Sehingga, ayahku pun semakin marah dan ingin melayangkan tamparan yang kedua kalinya kepadaku.
“Anak gak tahu diuntung!” Pungkasnya sambil menarik ulur tangannya ke belakang, dan sudah siap melepaskan tamparan lagi kepadaku.
“Udah yah, udah!” Ujar ibuku menahan ayahku ketika ingin melepaskan tamparan yang kedua kalinya.
Aku yang tidak menyangka jika ayahku tega menampar ku pun dengan sendirinya meneteskan air mata pada saat itu juga. Sehingga, akupun dengan cepat berlari menuju kamar dan menguncikan kamar ku saat itu juga.
Aku yang begitu kesal dan marah dengan kelakuan ayahku barusan pun terus menangis di dalam kamarku seorang diri. Aku terus menyalahkan sikap kedua orang tua ku, menyalahkan keadaan, menyalahkan nasib malang yang menimpahku. Sehingga membuatku terus terlarut dalam kesedihan. Aku sungguh tidak bisa menerima perjodohan itu, karena bagiku perjodohan sama saja mengekang hak asasi manusia. Karena aku juga mempunyai hak untuk menentukan dan memilih dengan siapa aku mau menikah, aku betul-betul tidak bisa menerima hal tersebut. Sehingga, pemikiran jahat pun mulai membisik di benakku, meminta aku untuk meninggalkan rumah, meninggalkan kedua orang tua ku.
“Tok! Tok! Tok! Ratih…” Pungkas ibuku dibalik pintu kamar ku.
“Ratih… kamu mau sampai kapan mengurung diri dalam kamar nak” Ibuku terus berusaha memintaku untuk untuk keluar dari kamar itu, namun tetap saja tidak ada balasan yang aku berikan.
“Tok! Tok! Tok! Ayo dong nak… kamu gak boleh kayak gitu. Tok! Tok! Tok!” Ibuku terus berulang kali mengetok pintu kamarku namun tetap saja dia tidak mendapat balasan dariku. Sehingga, ibuku yang semakin khawatir dengan keadaanku yang terus mengurung diri itupun dengan cepat memanggil ayahku untuk membantunya membujuk ku.
“Yah… ayah” Ujar ibuku memanggil ayahku.
“Kenapa sih bu?” Tanya ayahku.
“Coba dong yah… lihatin Ratih tuh gak mau keluar dari kamarnya” Ungkap ibuku penuh kekhawatiran terhadapku.
“Udahlah bu… biarin ajah, paling juga nanti keluar sendiri kalau mau makan” Pungkas ayahku masa bodoh.
“Tapi udah seharian loh dia ngunciin diri di kamar, ibu khawatir yah… takutnya dia kenapa-kenapa” Balas ibuku yang terus berusaha agar ayahku mau membantunya membujuk ku.
“Kayaknya dia marah deh karena ayah udah tega nampar dia. Coba ayah minta maaf dulu, siapa tau dia mau keluar setelah ayah minta maaf” Lanjut ibuku, dan seketika ayahku pun seperti berpikir panjang sepertinya merasa bersalah dengan kelakuannya tadi kepadaku.
Ayahku kemudian berjalan menuju pintu kamar ku bersama ibuku dan berusaha untuk membujuk ku agar mau keluar dari kamar.
“Tok! Tok! Tok!!” Ayahku pun mengetok pintuk kamar ku yang disusul dengan bujukan nya.
“Ratih…” Ucapnya memanggil-manggil nama ku dan terus berusaha agar aku mau mendengarkan nya.
“Keluar dong nak… jangan kayak gini dong, mau sampai kapan kamu mengurung diri di dalam kamar?” Pungkasnya terus berusaha membujuk ku. Namun, tetap saja aku tidak menanggapi bujukan nya itu. Sehingga, ayahku pun mengakui kesalahan nya dan meminta maaf padaku di balik pintu kamar ku itu.
“Iya ayah tahu ayah salah… ayah minta maaf nak karena sudah berlebihan” Ungkapnya penuh penyesalan karena sudah menamparku.
“Tok! Tok! Tok!” Pintu kamar ku pun terus diketok oleh ayahku berharap ada balasan dari ku.
“Ratih….” Pungkasnya. Namun, setelah beberapa kali berusaha mengetok pintu itu dan membujuk ku tapi aku tidak kunjung menyahuti dan membuka pintu untuknya, sehingga kekhawatiran ibuku pun semakin bertambah.
“Kok Ratih gak ngejawab sih yah?” Pungkasnya dengan wajah cemas.
“Apa jangan-jangan?” Lanjut ibuku berpirasat buruk tentang ku. Sehingga, ayahku pun memutuskan untuk menobrak pintu kamar ku untuk memastikan.
“Minggir bu…” Ujar ayahku meminta ibuku untuk menyingkir dari pintu itu.
“Debakkk… debakkk!” Pintu kamar ku pun didobrak oleh ayahku, dan setelah beberapa kali mecoba melakukan penobrakan pintu kamar ku. Akhirnya, iapun berhasil membuka paksa pintu kamar ku tersebut.
Sontak saja, pada saat pintu itu telah berhasil di dobrak oleh ayahku. Ibuku pun terkejut histeris ketika mendapati aku sudah tidak berada di dalam kamar itu, sehingga ibu dan ayahku pun semakin cemas dan kalangkabut untuk menghubungi ku melalui telepon. Tetapi, aku yang sudah tahu ibu dan ayahku akan melakukan hal itu, akupun sengaja untuk tidak mengaktifkan handpone ku.
“Ayah… dimana Ratih ayah?” Ibuku sangat terkejut ketika melihatku tidak berada di dalam kamar.
“Telpon bu!” Pungkas ayahku meminta ibuku untuk menelponku.
Ibuku yang sementara menghubungiku melalui telepon, ayahku pun melihat-lihat sekeliling kamar ku dan sontak. Iapun mendapati pintu jendela ku telah terbuka, sehingga iapun sangat yakin jika aku sudah minggat dari rumah.
“Handphone nya gak aktif yah!” Ujar ibuku yang terlihat semakin cemas.
“Ratih kabur dari rumah bu” Ungkap ayahku memastikan kepada ibuku.
“Gimana dong yah… Ratih kemana yah?” Ucap ibuku semakin cemas.
“Ayo bu… kita harus cari dia” Ujar ayahku bermaksud untuk mencariku sebelum aku betul-betul jauh meninggalkan mereka.
Aku yang kehabisan akal dan tak bisa berpikir jernih lagi memutuskan untuk pergi dari rumah, karena menurutku itu adalah solusi yang paling tepat untuk aku ambil. Meskipun aku tahu jika ibu dan ayahku akan mencemaskan ku, namun aku tidak ada pilihan lain selain meninggalkan mereka agar perjodohan itu tidak betul-betul terjadi.
Bersambung
EPISODE 3
Aku yang nekad untuk minggat dari rumah dan meninggalkan ibu dan ayahku kala itupun mendatangi rumah Ibas dan bermaksud untuk mencurahkan isi hatiku kepadanya. Saat itu, sekitar pukul 10 malam akupun nekad untuk mengetok rumahnya, yang mungkin saja pada saat itu Ibas sudah tidur. Namun, aku yang betul-betul tak tahu harus kemana pun nekad mendatanginya meskipun bukanlah hal yang wajar bagi seorang perempuan datang bertamu malam-malam ke rumah seorang laki-laki.
“Tok! Tok! Tok! Ibas…” Ucapku dibarengi dengan tanganku mengetok pintu rumahnya.
“Ibas…” Setelah mengetok pintu rumahnya dan beberapa kali memanggil namanya, tiba-tiba saja pintu rumah Ibas pun terbuka. Namun, bukanlah Ibas yang membukakan pintu untuk ku, melainkan ibunya. Sehingga, akupun merasa canggung pada saat melihat ibunya sudah berada dihadapanku.
“Loh Ratih…” Ucap ibu Ibas pada saat melihatku dan mungkin saja ibu Ibas pada saat itu merasa terganggu dengan kedatanganku dimalam hari.
“Hay tante” Ucap ku buru-buru mencium tangan ibu Ibas.
“Ada apa yah Ratih… kok datangnya malam-malam gini?” Tanyanya dan akupun sempat bengong sebentar karena bingung harus memberi alasan apa kepada ibunya Ibas. Namun, aku tetap memberanikan diri untuk menanyakan Ibas secara langsung.
“Maaf tante… apa Ibasnya ada?” Ucapnya bibir ku memberanikan diri.
“Waduh… maaf nak, Ibas udah gak ada” Jawab ibu Ibas dan membuatku pun tercengang.
“Kalau boleh tahu… Ibas kemana ya tan?” Tanya ku penasaran. Namun, seketika akupun terkejut karena tidak percaya ketika ibu Ibas memberitahukan ku yang ternyata Ibas sudah pergi ke Jakarta untuk mencari kerja.
“Baru ajah tadi siang Ibas berangkat ke Jakarta” Ucapnya, dan dari mimik wajahnya. Sepertinya ibu Ibas berkata jujur dan tidak sedang membohongiku. Sehingga rasanya akupun ingin menangis pada saat itu juga, namun aku tetap berusaha kuat dan tidak memperlihatkan kesedihanku dihadapan ibu Ibas.
“Oh gitu ya tante… ya udah deh tante, kalau gitu aku pamit dulu” Pungkasku penuh kekecewaan.
“Loh… kok buru-buru? Kamu gak mau masuk dulu ke dalam?” Ucap ibu Ibas menawariku untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun, aku yang sudah tidak bisa lebih lama lagi menahan kesedihan, sehingga akupun memutuskan untuk tidak menerima tawaran ibunya Ibas untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Gak usah tante. Ratih langsung balik ajah, soalnya udah tengah malam juga” Pungkasku.
“Oh ya udah deh kalau gitu, kamu hati-hati ya” Ujar ibunya Ibas dan dengan cepat akupun kembali mencium tangannya dan lalu pergi setelah itu.
Sungguh aku tidak menyangka jika Ibas tega meninggalkanku. Walaupun dulu Ibas memang pernah berkata jika dia ingin mencari kerja di Jakarta. Namun, aku pikir itu hanyalah lolucon nya saja untuk menakut-takuti ku, sehingga akupun tidak menanggapi hal itu dengan serius. Namun nyatanya dia betul-betul pergi meninggalkan ku tanpa berpamitan pada ku terlebih dulu.
Kegalauan, kesedihan, kekecewaan, putus asa. Kini semua itu aku rasakan, aku betul-betul tidak bisa menerima dengan kepergian Ibas. Sepertinya aku ingin teriak sekuat-kuatnya pada saat itu juga, aku sangat marah dan betul-betul marah. Rasanya masalah terus saja berdatangan menghampiriku, setelah masalah perjodohan kedua orang tuaku, kini masalah Ibas lagi yang pergi meninggalkanku.
Sehingga, aku yang pada saat itu hendak menyebrangi jalan, tiba-tiba saja segerombolan orang bermotor ugal-ugalan melaju ke-arah ku. Dan aku yang betul-betul larut dalam kesedihan pada saat itupun tidak menghiraukan gerombolan bermotor tersebut. Sehingga, salah satu dari mereka pun tidak sengaja menyenggolku dan membuatku tersungkur jatuh. Orang itu sempat berhenti dan memperhatikan ku sebentar, dan aku pikir dia mau menolongku. Tetapi tidak, melainkan dia menyalahkan ku karena menurutnya aku tidak berhati-hati pada saat hendak menyebrang jalan.
“Ahh..” Teriak ku pada saat disenggol oleh orang itu, dia memberhentikan motornya untuk melihatku dibalik kaca helm nya.
“Kamu punya mata gak sih?” Pungkasnya memarahiku. Akupun melongo dan terdiam sebentar karena tidak habis pikir dengan orang itu, jelas-jelas dia yang telah menyenggolku namun dia malah menyalahkanku.
“Kok kamu nyalahin aku?” Tanyaku mulai kesal.
“Ya jelas kamu yang salah dong, makanya… kalau punya mata itu di pake!” Ungkapnya terus menyalahkan ku, dan setelah mengataiku seperti itu, Dia pun menancap gas motornya tanpa membantuku terlebih dahulu.
“Loh… loh, mau kemana woy! Jangan kabur!!” Teriak ku berharap orang itu mau bertanggung jawab setelah menyenggolku barusan. Namun, orang itu tetap saja menancap gas motornya dan melaju meninggalkanku yang sudah tersungkur di atas aspal.
Kaki ku sangat sakit pada saat itu, sehingga akupun mengelus-elus kaki sakit ku dan berusaha untuk berdiri sembari mengomel-ngomel sendiri karena kelakuan orang tadi yang tidak mau bertanggung jawab setelah apa yang dia lakukan terhadap ku.
“Dasar kurang ajar! Awas ajah kamu… muda-mudahan kamu jatuh dan motormu rusak!” Geramku menyumpahi orang itu.
Akupun berusaha berjalan ke pingir aspal, namun karena kaki ku yang begitu sakit. Sehingga jalanku pun terbatah-bata. Aku beristirahat di pinggir aspal itu sembari memijat-mijat kaki sakit ku. Namun, tidak lama setelah itu, suara klakson mobil pun terdengar di telingaku, dan mobil itupun berhenti di depanku yang ternyata itu adalah ibu dan ayahku. Sehingga, mereka yang melihatku duduk di pinggir apsal itupun dengan cepat turun dari mobilnya dan menghampiriku.
“Ratih…” Pungkas ibu meneriaki ku.
“Ibu” Ucapku memasang wajah kasihan, sehingga ibu dan ayahku pun buru-buru berlari menghampiriku.
“Ya ampun Ratih… kaki kamu kenapa nak?” Tanya ibuku dengan raut wajah cemah ketika melihat kaki ku sudah mulai memerah akibat senggolan motor laki-laki yang tidak bertanggung jawab tadi.
“Bu… maafin Ratih bu” Ucapku buru-buru memeluk ibuku karena merasa bersalah padanya.
Akupun menangis dipelukan ibuku pada saat itu juga. Aku betul-betul merasa bersalah karena sudah nekad untuk meninggalkan rumah. Aku betul-betul menyesal dengan apa yang sudah aku lakukan kepada ibu dan ayahku.
“Udah gak apa-apa nak” Ucap ibuku mencoba untuk menenangkan ku, dan ayahku yang juga cemas dengan cepat membuka pintu mobilnya dan meminta ku untuk segera masuk ke dalam mobil.
“Ayo bu bawa Ratih masuk” Pungkas ayahku yang meminta ibu untuk membantu berjalan.
“Ayo nak kita pulang” Ucap ibuku sembari membantuku berdiri.
“Ini akibatnya kalau gak mau mendengar perkataan ayah dan ibu! Ucap ayahku yang kala itu sedang menyetir sembari memarahi ku. Aku yang tidak ada pembelaan pun hanya menundukkan kepala dan menerima omelan ayahku itu.
“Ayah gak abis pikir ya sama kamu… kok bisa-bisanya kamu ninggalin rumah? Emangnya kamu bisa apa hah! Bisa apa tanpa ibu dan ayah!!” Lanjutnya terus memarahiku. Namun, ibuku yang tidak tega melihatku, iapun menegur ayah agar tidak terus-terusan memarahi ku.
“Udah dong yah…” Ucap ibuku.
“Udah biarin bu gak usah di belain... biar dia itu sadar diri” Balas ayahku, sehingga ibuku pun seketika memarahi ayahku karena ucapannya barusan.
“Ayah ini gimana sih! Anak lagi sedih… bukannya di hibur, eh malah dimarahin!” Pungkas ibuku.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!