Pagi hari yang hampir memasuki musim gugur, dua wanita berparas cantik tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Mereka adalah Alana dan Hanna. Dua bersaudara yang hanya berjarak 5 tahun.
Hanna, yang merupakan kakak dari Alana sedang menyiapkan makanan untuk sarapan di meja makan, dia meletakkan dengan telaten beberapa makanan yang mampu dia siapkan, sedangkan Alana tengah berlarian tak karuan, masuk ke ruangan lain lalu keluar dan begitu seterusnya. Gadis itu nampak panik sambil terus membawa tas besar di punggungnya.
"Alana, kita sarapan dulu!" Ucap Hanna yang sudah duduk di kursi meja makan.
"Baiklah, Kak." Sahut Alana.
Setelah selesai dengan kegiatannya, kedua bersaudara itu pun menyantap sarapan dengan lahap. Hanya ada mereka di ruang makan. Mereka hidup tanpa kedua orang tua.
Dahulu, sebelum mereka tinggal di apartemen, Hanna dan Alana di titipkan oleh ayahnya di salah satu panti asuhan. Setelah dewasa, Hanna pergi bersama Alana untuk hidup mandiri. Hanna bekerja sebagai pegawai kantor yang penghasilannya cukup untuk menghidupi keduanya di tengah-tengah padatnya kota.
"Kau yakin akan pergi? Coba kau pikirkan lagi dengan matang," ujar Hanna pada Alana. Dia merasa ragu dengan keputusan sang adik.
"Kakak tenang saja, aku kan tidak sendirian ke hutan itu. Ada banyak teman sekolahku yang pergi." balas Alana dengan santai.
"Tapi--"
"Aku sudah terlambat. Kalau begitu aku berangkat ya, Kak." Alana memotong ucapan Hanna dan berjalan keluar rumah untuk berangkat menuju ke sekolah.
"Baiklah, hati-hati di jalan."
"Semoga kau baik-baik saja di sana." lirihnya.
Perasaan Hanna mulai tidak baik saat Alana sudah meninggalkan rumah untuk tour bersama teman-teman sekolahnya. Dia menghela napas dan berusaha untuk berpikir positif. Selesai makan, dia tak lupa membersihkan piring kotor dan bersiap untuk berangkat kerja.
Usianya yang sudah menginjak 22 tahun tak mengurungkan niatnya untuk bekerja keras demi menghidupi diri dan juga sang adik. Pekerjaan hari ini cukup padat, dia harus ke kantor untuk mengurus beberapa dokumen. Untungnya, perusahaan tempatnya bekerja tidak terlalu jauh dari rumahnya. Itu sedikit menguntungkan dari segi transportasi.
Sampai di halte Alana dengan cepat turun dari bus lalu berlari menuju sekolah. Sampai di sana, semua murid beserta guru sudah bersiap-siap untuk naik ke dalam bus pariwisata.
"Alana!" panggil seseorang sambil melambaikan tangan untuk memberi sinyal padanya.
Alana pun menghampiri orang itu dan dengan cepat masuk ke dalam bus bersamanya.
Guru yang tadinya berada di luar bus juga ikut masuk ke dalam bus. "Baiklah semuanya saya akan mengabsen kalian. Tolong jangan ada yang berisik." ujarnya.
"Baik!" sahut semua murid kompak. Guru itu pun mulai mengabsen.
Di perjalanan semua berjalan biasa dan terlihat normal, para murid juga nampak menikmati perjalanan tour. Bahkan ada beberapa yang bercanda gurau, tidur, bermain ponsel, dan mengobrol.
Saat ini Alana tengah mendengarkan lagu kesukaannya melalui headphone. Sedangkan teman satu bangkunya sedang tertidur lelap. Sesekali Alana melihat keluar jendela untuk menikmati pemandangan alam yang menakjubkan.
Setelah berjam-jam melakukan perjalanan, akhirnya mereka sampai di hutan untuk mendirikan tenda. Sebelum melakukan tour ke tempat yang sudah di jadwalkan, pihak sekolah memutuskan untuk berkemah selama satu hari. Tujuannya agar para siswa dapat mandiri dan mengenal alam sekitar.
"Wah, kalau dilihat secara langsung tempat ini jauh lebih bagus," seru Alana yang terkesima dengan pemandangan hutan.
"Kau benar," sahut Elice yang setuju dengan opini Alana, dia pun ikut terkesima.
"Elice," panggil seseorang. Sang empu menoleh ke belakang ketika namanya dipanggil seseorang.
"Kita akan mendirikan tenda di sebelah mana?" tanya gadis itu pada Elice yang masih terdiam.
"Ehm ... di sana saja," jawab Elice sambil menunjuk lapak kosong.
"Baiklah," ucap anak itu lalu pergi begitu saja.
"El, kita satu tenda dengan Helen?" bisik Alana pada Elice.
"Yaaa, begitulah ... bu Maria yang memasukkannya ke dalam kelompok kita," jawab Elice sambil terus memotret pemandangan dengan ponselnya.
"Kenapa?" tanya Alana lagi.
"Dia kan tidak dapat kelompok." Jawab Elice sambil menghela napas. Diikuti anggukan dari Alana.
"Apa kau melihat Yuri? Sejak tadi aku tidak melihat batang hidungnya." Tanya Alana kembali.
"Dia sedang mengambil air di sungai bersama anak-anak yang lain. Kalau kau tidak ada kerjaan, lebih baik bantu yang lain mencari kayu bakar. Aku harus ke dapur umum untuk membantu memasak," ucap Elice lalu pergi ke suatu tempat, meninggalkan Alana sendirian.
"Aku harus mencarinya sendirian?" Tanya Alana.
"Terserah, kau bisa mengajak Helen jika kau mau. Sudah ya," ujar Elice yang sudah menjauh dari pandangan Alana.
Alana pun menghampiri Helen yang sedang sibuk mendirikan tenda. Dengan perasaan sedikit takut dia berusaha menanyakannya.
"Helen, ehm ... apa kau sudah selesai mendirikan tenda?" Tanya Alana terlihat gugup.
Helen menoleh sejenak. "Sebentar lagi selesai, memang kenapa?" balasnya sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
"Aku ingin mengajakmu untuk mencari kayu bakar," tawarnya pada Helen, dia juga berusaha tak kikuk di hadapan salah satu temannya itu. Mengingat bahwa Helen adalah anak pendiam yang dingin dan cuek.
"Kau takut ke hutan sendirian?" Tanya Helen.
"T-tidak juga, aku hanya ingin ditemani saja. Jika kau tidak mau, aku akan pergi sen--"
"Aku sudah selesai, ayo." Helen memotong ucapan Alana.
"K-kemana?" Tanya Alana bingung dengan ajakan Helen yang mendadak.
"Mencari kayu bakar." Helen mengingatkan Alana.
"Ahh ... iya, kau benar. A-ayo kita cari kayu bakar." Jawab Alana sedikit gagap.
Mereka berdua pun masuk ke dalam hutan bersama dan mulai mencari beberapa ranting pohon yang berserakan di tanah.
Tak terasa mereka berjalan semakin jauh dari kawasan perkemahan, kedua tangan mereka juga penuh oleh ranting pohon.
"Sepertinya ini sudah cukup." Ujar Alana.
"Kita harus sampai ke perkemahan sebelum matahari terbenam." Helen menambahkan. Alana mengangguk singkat.
Sudah setengah jam mereka berjalan menyusuri hutan lebat tersebut. Udara semakin dingin dan matahari pun hampir hilang dari singgasananya, keadaan semakin mencekam saat sesuatu mulai bergerak dari balik semak-semak. Helen menanggapinya dengan biasa dan terus berjalan mencari jalan keluar. Sedangkan Alana mengikuti Helen dari belakang sambil terus mengumpat dalam hati karena merasa parno.
Saat matahari benar-benar sudah tidak berpijar lagi di langit jingga, mereka menghentikan langkahnya dan mendapati bahwa hutan sudah gelap gulita. Yang bisa mereka andalkan hanyalah cahaya bulan.
"Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan karena hari sudah semakin gelap, terpaksa kita harus menunggu sampai besok pagi." Tutur Helen.
"M-maksudmu ... kita berdua tersesat di hutan ini?" Tanya Alana mulai panik.
Helen mengangguk kecil. "Ya, kita tersesat." Jawabnya santai.
"Lalu, kita harus bagaimana?" Alana mulai panik.
"Kita tunggu sampai besok pagi."
"Besok pagi?!"
"Ya, besok pagi. Kalau kau merasa kelelahan kau bisa langsung tidur."
"A-apa? Tidur? Maksudmu tidur di sini?"
"Sepertinya kau sangat suka mengulang ucapan seseorang."
"Ahh, m-maaf aku sedang panik."
"Kebiasaan yang aneh." Gumam Helen.
Alana mendengar sedikit ucapan Helen walaupun sangat pelan. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman." Katanya.
"Lupakan saja, lebih baik kita segera tidur supaya besok tenaga kita cukup untuk mencari jalan keluar." Papar Helen.
"Apa kau bisa tidur dalam kondisi seperti ini?"
"Aku sudah terbiasa."
"Ahh, begitu ya ..." Alana menunduk setelah mendengar ucapan Helen barusan.
Apa dia benar-benar sudah terbiasa? Batinnya.
Helen yang dingin tak mau mengobrol banyak dengan Alana. Selain penat, dia sebenarnya juga tidak suka berbasa-basi.
...***...
"Astaga ... m-mengerikan ..." ucap Alana tiba-tiba saat malam sudah mulai menemani keheningan di hutan tersebut.
"Ada apa? Apa kau takut kegelapan hutan?" tanya Helen tiba-tiba. Dia pun mencari posisi duduk yang nyaman di dekat pohon besar.
"Tentu saja, memangnya kau tidak takut?" Tanya Alana yang ikut duduk di sebelah Helen.
Helen menoleh. "Tidak." ucapnya percaya diri. Alana menganga. Bagaimana bisa dia tidak takut?
"Aku tau setiap orang memiliki ketakutannya masing-masing. Kalau kau memang sangat takut gelap, kita bisa membuat api unggun dengan menggunakan ranting-ranting yang kita kumpulkan ini." Saran Helen sekaligus memberi saran.
"Kau benar!" seru Alana setuju dengan saran Helen.
"S-sebaiknya kita cepat membuatnya, karena di sini benar-benar sangat dingin." Lanjutnya.
Tangan Alana sudah terlihat kaku karena kedinginan. Bahkan untuk digerakkan saja agak sulit.
Helen pun membuat api unggun untuk menemani malam mereka di tengah hutan, dia mulai menyusun beberapa ranting yang sudah dikumpulkan dengan hati-hati. Sedangkan Alana masih saja mengusap kedua tangannya dan sesekali meringkuk karena kedinginan.
Setelah semua ranting sudah tersusun rapi, barulah Helen menyalakan api dari korek yang tersimpan di saku celananya. Helen sudah mempersiapkannya jika sewaktu-waktu ia membutuhkan korek tersebut.
"Aku tidak tau kalau kau selalu membawa korek api," ujar Alana sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku baju. Untungnya dia memakai sweater yang cukup tebal.
"Aku tidak sengaja menemukannya saat mendirikan tenda." Jawab Helen.
Api pun mulai berkobar di beberapa ranting yang sudah terbakar, dengan cepat Alana mendekatkan tangannya yang sudah kaku karena kedinginan. Suasana malam ini sangat tenang dan dingin, Helen yang memang jarang berbicara hanya terus memandangi api unggun. Sedangkan Alana masih terus menghangatkan tangannya di dekat api.
"Terima kasih." ucap Alana.
Helen menoleh. "Untuk apa?"
"Tentu saja aku harus berterima kasih, karena kau telah membuat api unggun ini." Jawab Alana jujur.
"Aku melakukannya karena kau sangat membutuhkannya," balas Helen sambil terus menatap api unggun.
"Kau memang sangat baik." Alana tersenyum ke arah Helen.
"Apa kau baru saja menganggapku baik?"
"Tentu saja, memangnya aku salah ucap?"
"Tidak, kupikir karena aku sangat cuek dan dingin pada siapa pun semua orang menjauhiku." Ungkap Helen.
"Maaf kalau aku lancang, kurasa kau tidak bermaksud bersikap seperti itu, kan?" ucap Alana.
"Ya, itu benar." Helen menunduk mendengar ucapan Alana.
"Sebenarnya kau orang yang baik, hanya sifatmu saja yang dingin. Tapi aku yakin kalau kau sebenarnya orang yang sangat perhatian." Sambung Alana.
Helen sedikit terkejut karena ini baru pertama kali dalam hidupnya dia merasa nyaman mengobrol dengan seseorang, biasanya dia hanya berbicara seperlunya dan terkadang berbicara pada dirinya sendiri saking kesepiannya.
"Bukti nyata kalau kau sangat perhatian adalah kau mau menyalakan api unggun untukku."
"Aku melakukannya karena aku juga membutuhkannya."
"Ahh, begitu rupanya."
"Kau sangat berbeda dengan yang lain." Ungkap Helen.
Alana terkejut dan menoleh. "Benarkah?" Alana bertanya memastikan bahwa yang ditangkap oleh indra pendengarannya tidak salah. Helen pun mengangguk singkat.
"Aku rasa yang lainnya juga baik, seperti Elice dan Yuri." kata Alana.
"Mereka berdua sangat berbeda denganmu."
"Memangnya apa perbedaan dari kami bertiga?"
"Kau orang yang perhatian dan peka terhadap perasaan orang lain. Sedangkan mereka tidak." ungkap Helen blak-blakan.
"Kurasa kau terlalu berlebihan. Mereka sebenarnya baik, hanya saja mereka memang tidak menyukai sifat orang yang kaku dan dingin." jelas Alana. Sepertinya aku kelewatan. Batinnya.
"Sudah kuduga."
"J-jangan salah paham. Mereka hanya belum mengerti sifat dan karaktermu. Sama sepertiku yang tidak berani mendekatimu karena kupikir kau akan tidak suka keberadaanku."
"Sifatku memang seperti ini dari lahir. Aku juga sulit mengendalikannya."
"J-jangan dipikirkan ... sebaiknya kita istirahat saja ya?" Alana berusaha menyudahkan pembicaraan yang sudah mulai tidak karuan.
"Kau mengalihkan topik."
"Eh? I-itu ...."
"Sudahlah, lupakan saja. Selamat malam."
"S-selamat malam, juga."
Sepertinya aku salah ucap, astaga terkadang mulut ini tidak bisa dikontrol. Gumam Thea dalam hati sambil menutup mulutnya rapat-rapat.
Malam ini mereka bermalam di tengah hutan dengan penerangan minim, suara-suara aneh pun mulai terdengar di telinga mereka. Helen terlihat biasa menanggapi suara-suara itu, namun tidak bagi Alana yang berpikir aneh-aneh ketika mendengar suara-suara misterius itu.
Suara itu terdengar dari balik semak-semak, ada juga suara burung hantu, dan beberapa suara hewan lainnya. Sungguh, Alana sangat membenci hal seperti ini. Dia sangat takut dengan datangnya hewan-hewan liar, ditambah imajinasinya cukup tinggi untuk memikirkan ada berapa banyak makhluk di dalam hutan ini. Itulah akibat terlalu banyak menonton film horor.
"Kau tidak tidur?" Tanya Helen yang ternyata belum terlelap. Alana mengangguk dan kembali tertunduk.
"Kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Helen lagi.
"Sebenarnya aku suka pemandangan hutan, tapi tidak di malam hari. Bagiku saat malam hutan menjadi tempat yang sangat menyeramkan," jawab Alana dengan suara sedikit gemetar, saking takutnya.
"Argh! Seharusnya aku mendengarkan ucapan kak Hanna untuk tidak ikut tour ini." Alana semakin frustasi.
"Alana, apa kau percaya bahwa hutan merupakan tempat tinggal para makhluk-makhluk mitos?" Tanya Helen tiba-tiba. Sontak saja pertanyaan yang mendadak tersebut membuat Alana mengernyit karena bingung dengan maksud ucapannya.
"Apa maksudmu?" tanggap Alana bingung.
"Kudengar hutan ini menyimpan banyak misteri, dan dihuni oleh salah satu makhluk mitos." Lanjut Helen.
"Makhluk mitos apa?" tanya Alana mulai penasaran.
Helen menoleh dengan tatapan serius. "Vampir."
Mata Alana membulat dan sedikit terkejut. "Ahh, itu tidak mungkin. Memangnya kau percaya kalau vampir itu ada? Itu kan hanya mitos," ucap Alana berusaha tenang menanggapi ucapan Helen yang sudah naik level.
"Aku tau kalau mitos itu tidak nyata. Tapi, bukankah manusia bisa menciptakan suatu hal yang tak mungkin nyata menjadi kenyataan?" balasnya yang membuat Alana tidak bisa berpikir lagi.
"Aku tidak mengerti." Alana masih bingung dengan maksud ucapan Helen.
"Sudah, lupakan saja semua ucapanku barusan, kembalilah tidur supaya besok pagi kita bisa melanjutkan perjalanan menuju perkemahan. Kau tidak perlu cemas dan takut akan makhluk mitos itu. Mereka tidak nyata, kan?" ucap Helen dengan santainya. Dia pun berbaring di tanah dan segera tidur.
Astaga, andai saja yang tersesat di sini bersamaku Elice dan Yuri. Aku harap aku bisa bertahan dengannya. Baiklah ... kau harus tenang Alana ... supaya keadaan ini cepat berlalu. Batin Alana.
Gelapnya malam kini ditandai dengan munculnya bulan purnama yang juga dipenuhi oleh bintang-bintang.
Semua murid yang sudah mendirikan tenda, membantu memasak di dapur umum, dan mengambil air di sungai tengah berkumpul dan memutari api unggun yang besar tepat di tengah-tengah perkemahan. Semua orang nampak sibuk menyantap makanan mereka dan ada juga yang asik mengobrol hanya untuk menghilangkan rasa bosan yang melanda.
Salah seorang guru tengah menghitung jumlah muridnya, tetapi setelah selesai menghitung dia mulai terheran-heran karena jumlahnya terus saja berkurang. Dia pun terus mengulanginya sampai akhirnya dia tersadar bahwa dua murid tidak ada di antara mereka.
...***...
"Anak-anak, saya akan mengabsen kalian. Tolong jangan ada yang berisik!" ujar Bu Maria, dia berpikir untuk langsung mengabsen agar semuanya jelas siapa saja yang tidak hadir di antara mereka.
"Baik Bu!"
"Kenapa tiba-tiba Bu Maria ingin mengabsen kita, ya?" tanya Yuri yang begitu terheran.
Salah satu temannya yang ada di samping mengangkat bahunya tak peduli. "Entahlah, mungkin untuk memastikan semuanya ada di sini," sahut Elice sambil terus mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
"Elice Weatherson,"
"Hadir!"
"Gyna Anastasya,"
"Hadir Bu!"
"Yurina Park,"
"Hadir!"
"Helena Western,"
....
"Helena Western?"
Masih tak ada jawaban dari sang pemilik nama.
"Apa ada yang melihat Helena?" tanya Bu Maria pada murid-muridnya, dia tidak melihat keberadaan salah satu muridnya tersebut.
Beberapa murid pun mulai menengok dan memperhatikan sekitar, tak ada tanda-tanda keberadaan Helen di antara mereka. Mereka pun hanya menggeleng pelan.
"Dia tidak ada, Bu!" seru salah satu murid.
"Tidak ada? Kalian yakin?" Bu Maria sedikit terkejut dan melirik ke sembarang arah untuk memastikannya.
"Dia pergi kemana ya ...?" sambungnya sambil menghela napas berat.
"Mungkin dia ada di dalam tenda." sahut murid lain.
"Ya sudah kalau begitu, untuk teman sekelompoknya tolong periksa apakah Helena ada di dalam tenda atau tidak." titah Bu Maria.
"Baik!" sahut Yuri.
"Hei, apa kau yakin tidak melihat Helen?" tanya Yuri pada Elice.
"Terakhir kali aku melihatnya dia sedang mendirikan tenda, nanti akan aku periksa." balas Elice.
"Alana Sereina,"
Bu Maria kembali mengabsen, kali ini ia memanggil nama Alana.
....
Dia juga tak mendapat jawaban dari orang yang memiliki nama tersebut.
"Alana?" Bu Maria pun memanggil nama Alana untuk yang kedua kalinya. Namun lagi-lagi tak ada jawaban dari pemilik nama. "Apa Alana juga tidak ada di sini?" tanyanya pada semua orang.
"Bu Maria, sepertinya tadi saya melihat Helen dan Alana masuk ke dalam hutan!" seru seorang murid.
"Apa?" Bu Maria mengerutkan dahinya, seakan kurang percaya dengan ucapan muridnya itu.
"Sepertinya mereka masuk lewat sana," sambungnya sambil menunjuk ke arah hutan gelap.
"Bukankah itu kawasan terlarang? Kudengar tidak boleh ada yang masuk ke sana." sahut murid lainnya.
Elice yang masih sibuk dengan makanannya tersedak dan membulatkan matanya. Dia langsung meletakkan makanannya sembarangan begitu saja lalu berlari menuju tenda kelompok mereka.
Saat sampai di tenda dia pun membukanya, tak ada siapa pun di dalam tenda selain barang-barang mereka yang berserakan.
Memang, dia dan Yuri belum sempat masuk ke dalam tenda karena sibuk dengan tugas masing-masing.
Elice pun mulai terlihat panik, dia bergegas kembali ke api unggun dengan tergesa-gesa. Dengan napas yang masih terengah-engah Elice menghampiri Bu Maria dan berusaha mengucapkan sesuatu.
"Mereka tidak ada di dalam tenda, Bu!" ucap Elice dengan raut wajah panik.
"Apa?!"
Astaga, kenapa kedua anak itu tidak izin padaku sebelum pergi meninggalkan perkemahan. Ahh ... merepotkan saja. Gumam Bu Maria dalam hati.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Bu?" tanya Pak Juna. Salah satu guru yang ikut bertugas mengawasi murid-murid.
"Seharusnya kita pergi mencari mereka, tapi ... ini sudah malam, akan lebih baik jika kita mencari kedua murid itu besok pagi. Untuk saat ini kita semua harus masuk ke dalam tenda masing-masing dan beristirahat." saran Bu Maria.
"Apa anda yakin jika Helen dan Alana baik-baik saja di dalam hutan? Saya agak khawatir dengan mereka berdua," ungkap Pak Juna yang begitu khawatir dengan kedua muridnya.
"Helena adalah murid yang pintar dan bisa diandalkan, saya yakin mereka akan baik-baik saja," ucap Bu Maria berusaha untuk tenang. Padahal dari raut wajahnya dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada kedua muridnya itu.
"Bagaimana dengan Alana?" tanya Pak Juna kembali.
"Alana bersama dengan orang yang tepat, Pak, mereka pasti bisa bertahan di dalam hutan untuk satu malam," jawab Bu Maria, dia terus sibuk menulis sesuatu di buku catatannya.
"Tapi, Bu--"
"Semuanya, masuk ke dalam tenda kalian masing-masing. Besok pagi kita akan mencari Helen dan Alana." Bu Maria memotong ucapan Juna dan menyuruh semua murid untuk memasuki tendanya.
"Tapi Bu, mereka--"
"Tolong ikuti arahan dari saya, Pak. Ini sudah malam." Potongnya.
"Kalian semua masuk ke dalam tenda dan beristirahat!"
"Baik Bu!" Semua murid pasrah dan mengikuti arahan.
Elice mulai merasa ketakutan dan panik. Kedua temannya berada di dalam kawasan hutan terlarang. Itu membuatnya merasa bersalah, kalau saja ia tahu api unggun akan dibuatkan oleh pengurus perkemahan dia tidak akan menyuruh Alana mencari ranting.
"Elice, ayo masuk ke dalam tenda," ajak Yuri sambil memegang bahu Elice.
"Tapi ...."
"Aku tau kau sangat khawatir, aku juga sama khawatirnya denganmu. Tapi kita tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu besok pagi," ujar Yuri berusaha menenangkan hati temannya itu.
"Iya, kau benar ..." Elice yang pasrah mengikuti ucapan Yuri dan masuk ke dalam tenda mereka.
Elice benar-benar sangat mengkhawatirkan Alana yang saat ini berada entah di mana. Apa yang harus dia katakan pada kakak Alana mengenai kejadian hari ini? Dia yakin kakak Alana akan menghubunginya untuk menanyakan kabar Alana. Dia sudah tak bisa berpikir jernih lagi.
Drrtt! Drrtt!!
Elice tengah melamun. Membiarkan ponselnya bergetar begitu saja dan hal itu memantik perhatian Yuri yang sedang bersiap-siap untuk tidur. Dirinya terganggu dengan getaran ponsel milik Elice yang semakin lama membuatnya emosi.
Walaupun di sekitaran hutan, sinyal ponsel masih berfungsi dengan baik. Hanya saja, terkadang sinyal bisa hilang begitu saja.
"Ponselmu bergetar. Kau tidak mau mengangkatnya?" tanya Yuri yang merasa terganggu dengan getaran ponsel milik Elice.
Elice yang masih melamun tak menghiraukan ucapan Yuri, seperti enggan untuk mengangkat panggilan dari ponselnya.
Yuri yang mulai geram pun mengambil ponsel Elice yang tergeletak di dekatnya. Ia meraih ponsel itu dan melihat nama yang tertera.
"Hanna menelpon. Kau tidak mau mengangkatnya?" tanya Yuri.
"Apa?! Hanna?"
Yang benar saja, dia tengah memikirkan bagaimana cara untuk memberikan kabar mengenai Alana pada kakaknya--Hanna, dan kini sudah di hubungi.
"Apa yang harus aku katakan pada kak Hanna?" Elice meminta saran pada Yuri.
"Katakan saja kalau Alana sudah tidur," saran Yuri yang justru menyuruh Elice untuk berbohong.
"Aku harus berbohong?" Elice mengernyit dengan saran yang diberikan Yuri.
"Berbohong demi kebaikan itu tidak apa-apa, sudah lakukan saja!" jawab Yuri.
"I-iya baiklah."
Dia pun mengangkat panggilan itu, dengan tangan sedikit bergetar dia pun berusaha mengeluarkan sepatah dua kata.
"Halo, ada apa meneleponku malam-malam, kak?" ucap Elice berusaha bersikap natural.
"Aku tidak bisa menghubungi nomor Alana, apakah dia baik-baik saja?"
"Eh, i-itu, dia--"
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu pada Alana?"
Yuri memberi isyarat kepada Elice agar cepat mengatakan bahwa Alana dalam keadaan baik-baik saja.
"Alana baik-baik saja, hanya saja dia sudah tertidur."
"Tapi, kenapa aku tidak bisa menghubungi nomor ponselnya?"
Sial. Kenapa harus menanyakan nomor ponsel Alana. Umpat Elice.
"M-mungkin baterainya habis," jawab Elice yang kembali membohongi Hanna.
"Ya sudah ... maaf sudah menganggu waktu istirahatmu. Sampaikan salamku pada Alana."
"Baik, akan aku sampaikan."
Panggilan berakhir. Elice dan Yuri menghela napas lega.
"Yang tadi itu hampir saja," ucap Yuri sambil mengelap keringat yang ada di dahinya.
"Apa dia akan curiga?" Elice kembali cemas.
"Ahh sudah, jangan dipikirkan. Lebih baik kita segera tidur." sergah Yuri.
Yuri pun mulai berbaring dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Sedangkan Elice masih mematung di tempatnya. Menatap ponsel dengan tatapan kosong.
Maafkan aku kak Hanna, aku terpaksa berbohong. Batin Elice.
Dia pun berbaring dan mulai memejamkan matanya
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!