NovelToon NovelToon

PENGANTIN PENGGANTI KAKAKKU

1. Pernikahan awal petaka

Di rumah minimalis berlantai dua, seorang laki-laki paruh baya tengah memijat pelipisnya demi menghindari rasa pusing yang tiba-tiba mendera. Antonio Rivaldy, karena pengobatan almarhumah istrinya dulu, ia memiliki sejumlah hutang pada seorang CEO kaya perusahaan Kingdom. Namun, setelah istrinya pergi untuk selamanya kini Anton menyesal telah terjerat dengan seorang pria sombong seperti King Alfindra.

"Berikan putrimu untuk menjadi istriku, maka ku anggap semuanya lunas!" Alfindra menyeringai, menatap Anton.

"Memberikan putriku? Anda gila, Tuan. Putriku masih terlalu kecil untuk menjadi seorang istri."

"Bukankah Hana Arraya juga putrimu? aku tertarik dengannya, atur bagaimana caraku bisa menikahinya. Maka, bukan hanya hutang yang aku anggap lunas, tapi kamu juga bisa tinggal di mansion mewah pemberianku, bagaimana?" senyum seringai terbit di bibir Alfindra, dari awal ia memang terobsesi pada anak sulung Anton hingga berniat melakukan banyak cara agar pria paruh baya itu memiliki hutang budi padanya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, kini rencananya berjalan mudah bebas tanpa hambatan meski tak menyangka kalau istri Anton tak akan bertahan lama.

***

Brakkk!

Anton menggebrak meja saking kesalnya, menyerahkan Hana untuk orang sepicik Alfindra? heh, yang benar saja.

"Aku pulang," seru Hana melenggang masuk ke dalam rumah.

Tanpa melihat ke arah papanya yang duduk di sofa, Hana langsung melengos ke lantai atas.

Selang beberapa menit Almira masuk, dia tak seperti Hana. Saat tahu papanya tengah duduk pusing di ruang tamu, yang gadis itu lakukan malah mendekat.

"Papa kenapa?" tanya Almira khawatir.

"Panggil kakakmu kesini," perintah Anton dengan wajah datar. Almira mengangguk, gegas ia naik ke lantai atas dimana kamar Hana berada.

Kebetulan, letak kamar Almira dan Hana bersebelahan jadi tak sulit baginya untuk meminta sang kakak turun.

Almira masuk ke dalam kamar mengganti pakaiannya lantas memanggil Hana.

"Kak, Papa bilang kak Hana suruh turun sebentar!" Almira mengetuk-ngetuk pintu kamar kakak perempuannya. Hening, tak ada sahutan mungkin Hana sedang istirahat.

"Kak!" kembali Almira mengetuk pintu, kali ini terdengar lebih keras.

"Aduh, bisa nggak sih nggak usah berisik! Aku tuh nggak budek tau," gerutu Hana dari dalam. Keluar dan menatap sengak adiknya sambil berkacak pinggang.

"Makin lama aku tuh makin eneg sama kamu!" sambungnya lagi masih kesal.

Mendengar keributan di lantai atas tentu membuat Anton semakin berang.

"TURUN!"

Almira langsung turun sementara Hana mencebik kesal masih tak terima istirahatnya diganggu.

"Ada apa sih, Pa?" tanya Hana malas.

"Makanya kamu kalau orang tua lagi pusing, banyak pikiran itu ditanya! Bukan nyelonong ke kamar," ketus Anton.

"Besok lusa, kamu akan menikah!" sambungnya lagi.

"Apa? Aku?" tunjuk Hana pada dirinya sendiri.

"Ya kamu, gak lihat adik kamu modelannya seperti apa? Mana mau CEO Kingdom dengannya," tegas Anton mendelik sinis ke arah Almira.

Entah, melihat Almira selalu saja membuat emosinya naik ke ubun-ubun tanpa alasan jelas. Bagaimana bisa ia memiliki anak gadis yang penampilannya di bawah standar rata-rata, memakai kacamata, outfit tak keren dan wajah yang bulat. Hal itu tentu jauh dari kriteria seorang King Alfindra.

"Nggak! nggak mau, Almira aja tuh. Lagian kan papa tahu aku sudah punya kekasih," ptotes Hana.

Memang benar, putri sulungnya sudah memiliki kekasih. Namun, apa gunanya punya kekasih tapi tak bisa menolongnya dari kubangan hutang?

Sungguh Anton juga tipe manusia yang selalu memandang segalanya dari luar, fisik dan materi.

"Tuan Alfin mintanya kamu, jangan buat papa tambah pusing. Ini juga demi hutang pengobatan mama kalian dulu," serunya.

"Bagus ya, kenapa harus aku sih Pa! pokoknya enggak, terserah Papa mau bagaimana menghadapinya," kekeh Hana.

"Pa, tapi apa tidak bisa dibayar saja hutangnya? Aku akan bantu cicil dengan gajiku," usul Almira langsung mendapat pelototan tajam dari Anton dan Hana.

"Bayar, bayar pake apa hah? Kamu kira gaji kamu yang gak lebih dari UMR itu cukup buat bayar? mikir makanya."

Hana berfikir sejenak, lantas ia memiliki ide gila untuk papanya.

"Bilang aja semua papa yang atur, toh CEO biasanya tak akan melihat pengantinnya lebih dulu. Pakai Almira, dan lihat setelah ijab qobul selesai, apa pria tua itu akan protes. Toh Almira dipoles sedikit juga cantik," usul Hana.

"Papa tinggal iyain saja ke CEO Kingdom itu," bujuk Hana lagi.

"Tapi Kak, aku belum siap,--" Almira cukup terkejut dengan ide konyol kakaknya.

"Apa? mau bilang apa? nggak mau balas budi sama Papa yang udah besarin kita?" ejeknya.

Almira hanya bisa mengangguk pasrah, ia tak pernah menyangka jika Papanya dan Kak Hana akan tega membohongi orang. Bukankah lebih bagus hutang itu dimintai tenggang waktu dan dicicil?

***

Kebaya putih membalut tubuh Almira, menuntunnya keluar setelah acara ijab qobul selesai bersama Nilam, sahabatnya. Matanya sedikit sembab sisa menangis semalam karena keputusan sang papa yang tak bisa diganggu gugat. Entah kenapa, dada Almira merasakan sesak luar biasa meski wajah dan senyum sanggup menutupi semuanya.

Sementara Hana, gadis itu telah lebih dulu kabur sebelum hari pernikahan Almira dimulai, ia bersembunyi bersama kekasihnya keluar kota sampai aman. Paling tidak sampai King Alfindra tak menuntutnya karena telah kabur.

Alfindra membuka kotak beludru merah berisikan sepasang cincin. Diraihnya satu untuk kemudian disematkan di jari manis Almira, pun sebaliknya. Alfindra sudah menebak kalau tua bangka Anton itu tak akan menyerahkan putri sulungnya, maka yang bisa Alfin lakukan adalah mengikuti permainan.

Meski tatapan laki-laki itu tetap sama, datar tanpa eskpresi. Almira tetap meraih punggung tangan Alfin untuk ia cium.

"Selamat, aku titip putriku!" ujar Anton mendramatisir.

"Hm." hanya deheman singkat, Alfin sebenarnya kecewa karena wanita yang dinikahi bukan putri sulung Antonio. Namun, ia akan memikirkan caranya lagi nanti, bahkan mungkin Alfin akan membuat Hana sendiri yang akan mendatangi dan memohon padanya. Alfin hanya perlu sedikit keji dengan Almira, mungkin Hana akan muncul dan menyelamatkan sang adik.

Almira ingin menangis, dua hari ini ia mendapat tekanan dari Anton dan Hana. Andai mamanya masih ada, mungkin papanya tak akan berberat sebelah dan pilih kasih antara dirinya dengan kakak sulung. Almira sungguh takut menghadapai pria seperti Alfindra.

"Jaga diri baik-baik, jangan malu-maluin papa," seru Anton setengah berbisik saat Alfindra memutuskan langsung membawa Almira pulang ke mansionnya.

Almira hanya mengangguk, bibirnya masih terkunci sedari tadi enggan mengeluarkan kata sepatah pun.

Hingga asisten Alfin membawa mereka ke mansion milik Alfindra, gadis itu masih terdiam.

"Madel, pecat semua pelayan di mansion ini. karena mulai hari ini, kamu yang akan melayani semua kebutuhanku. Kamu yang bertugas membersihkan seluruh mansion ini," putus Alfindra menunjuk sinis pada Almira.

"Baik, Tuan!"

Madel mengangguk, ia menurut perintah Tuannya. Sedang Almira hanya bisa pasrah karena melawan orang sekuat Alfindra tak akan bisa.

"Ingat baik-baik, kamu sudahku beli jadi tunjukan kalau dirimu lebih dari berguna!" Alfindra mencengkram dagu Almira kasar, kemudian mendorongnya hingga ambruk di sofa.

"Tapi Mas, aku ini istrimu! tugasku,--"

"Wow, istri? Tugas? apa kamu mau mengingatkanku tentang tugas malam pertama?" Alfin menyeringai.

"Tidak! bukan seperti itu," cicit Almira, ia sampai meremas ujung baju saking takut menghadapi Alfindra. Pria itu benar-benar menakutkan ketika bicara.

"Lalu? kamu mau aku memperlakukanmu layaknya ratu, hahaha..." Tawa Alfindra menggelegar. Almira hanya bisa mengelus dada, merasa takut pada pria yang beberapa jam lalu menikahinya.

"Seharusnya kakakmu yang berada disini jadi istriku. Tua bangka Anton itu membuatku rugi menikahi gadis sepertimu padahal aku sudah memberinya mansion mewah," gerutu Alfindra seraya berdecih.

"Tapi tenang saja, jika kamu mau memohon maka aku akan menerimamu. Cepat memohon," perintahnya.

"Mohon." Almira menunduk gugup.

"Apa itu caramu memohon?" sinis Alfindra.

"Mas, aku mohon!" tangis Almira pecah saat itu juga. Seharusnya tak begini, pantas jika kakaknya sama sekali tak tertarik dengan King Alfindra. Pria itu sungguh mengerikan dari segi manapun.

JANGAN LUPA LIKE, KOMEN DAN SUBSCRIBE🥰🙏🏻

2. Layani, aku!

Madel pamit pulang setelah memastikan tugasnya di mansion Alfindra selesai.

Alfindra menaiki tangga tanpa berniat mengajak Almira. Gadis itu mengekor layaknya pelayan pada majikannya, padahal sudah jelas sikap Alfin menunjukan ketidak sukaan. Saat meraih handle pintu, sesaat Alfin menoleh mendapati Almira mendongkak menatapnya.

"Ngapain kamu ngikutin?" serunya datar.

"Aku juga mau istirahat, Mas!" cicitnya takut.

"Haha istirahat? mimpi kamu, lebih baik kamu di kamar bawah, disana ada dua kamar pelayan, terserah kamu pilih yang mana!" seru Alfindra tanpa hati.

"Tapi, Mas? aku ini istrimu." Almira kekeh ingin ikut Alfindra, laki-laki itu sontak menatapnya lebih tajam dan sinis, sejurus kemudian terbahak karena tingkat pede Almira di atas rata-rata.

"Istri? Hahaha... Mulai sekarang, kamu cukup layani aku sebagai pelayan di rumah ini."

Alfindra melengos masuk tanpa menoleh lagi,

Glek...

Almira menelan ludahnya susah, ia tak menyangka kehidupan peliknya dimulai setelah menjadi istri seorang Alfindra.

Dengan sangat terpaksa kembali turun, ia menuju lorong yang bersebelahan dengan dapur. Dua kamar yang lebih mirip kamar kos seharga dibawah lima ratus ribu, miris. Ada kasur busa tipis disana dengan bantal dan guling masing-masing satu buah. Meski terlihat bersih dan rapi tetap saja hal itu berhasil membuat lubuk hati seorang Almira sakit.

Didorong oleh papanya, menggantikan Hana menikah dengan Alfindra adalah sebuah kesalahan besar dalam hidup Almira. Sebagai sesama anak kandung tak sepantasnya Anton berpilih kasih dan memilih melindungi Hana dan mengorbankan dirinya masuk dalam jerat seorang pria sekejam Alfindra.

"Andai mama masih hidup," cicitnya pelan. Tak terasa bulir bening meleleh dari ujung mata. Salahkah ia mengharap paling tidak sedikit saja belas kasih Alfindra?

Tok tok tok, ketukan pintu terdengar memekakkan telinga. Almira mengernyit heran tapi langsung sadar kalau di mansion mewah itu hanya ada dirinya dan Alfin setelah tadi Madel memecat semua pelayan, sudah pasti laki-laki itu yang menggedor pintunya dan berteriak.

"Almira, keluar kamu!" teriak Alfin.

Almira membuka pintu langsung keluar, "iya Mas? Ada apa?"

"Masih tanya kamu ada apa, heh? Siapin makan!" perintahnya.

"Bisa masak kan? Aku mau kamu masak, awas saja kalau tidak enak," sinisnya kemudian berlalu.

Almira mengusap dadanya, menyabarkan diri sendiri agar lebih kuat.

"Bisa, Mas!" sahutnya pelan menatap punggung tegap Alfindra yang menjauh.

Alfindra mengetuk-ngetuk meja makan sambil memperhatikan Almira yang berkutat di dapur. Letak dapur yang bersebelahan dengan meja makan membuatnya leluasa melihat apa yang tengah dilakukan wanita itu. Bukan berempati pada nasib mengenaskan Almira, Alfin malah turut menyiksanya dengan hal-hal di luar nalar.

Almira menata makanan di meja, tak bisa Alfin pungkiri aroma lezat masakan istrinya menusuk-nusuk hidung melambai minta dimakan. Namun, Alfin adalah pria kejam dengan gengsi segunung. Ia menunggu Almira melayaninya.

"Mau lauk apa, Mas?" tanya Almira.

"Menurutmu?" Alfin menaikkan alisnya dengan bibir menyeringai seram.

Dengan gesit dan tanpa banyak tanya Almira melayani Alfin tanpa tanya lagi. Meletakkan di hadapan Alfin dengan takut-takut.

"Silahkan Mas!"

"Layani aku," perintah Alfin tanpa bantahan. Almira hanya mengernyit bingung, bukankah definisi melayani seperti ini? Mengambilkan makan?

"Maksudnya?"

"Masih tanya lagi, suapi aku!" membuat Almira menganga tak percaya, akan tetapi dengan segera ia meraih piring yang telah disiapkan tadi beserta sendoknya.

"Enak," batin Alfindra merasakan masakan istrinya itu. Namun, Alfin sekali lagi adalah orang yang memiliki gengsi tinggi. Ia tak akan mengakui satu hal yang akan membuat Almira besar kepala.

Tak banyak komentar, setelah makan malam. Alfin naik ke lantai atas, sementara Almira masih harus mencuci piring dan membereskan meja makan.

Alfin menghempas tubuh di ranjang king size miliknya. Terpampang banyak foto-foto Hana di kamar itu, bukti bahwa Alfin sangat terobsesi memiliki kakak dari istrinya.

"Awas aja Hana, aku akan bikin kamu datang dengan sendirinya dan memohon di kakiku," seru Alfin diiringi seringaian tipis.

"Apakah Almira menyusahkanmu? Tanya Antonio di sambungan telepon. Meski kasih sayangnya lebih condong ke Hana, ia tetap ingin tahu bagaimana nasib putrinya setelah masuk kediaman Alfindra.

"Menurutmu? Berhenti menggangguku pak tua! Urus saja anakmu yang hilang, jangan sampai aku menemukannya lebih dulu!"

Glekkk.

Anton terhenyak, segera ia mematikan telepon sepihak. Setelahnya gelak tawa Alfin memenuhi kamar.

"Hana sia lan!" makinya.

"Berani sekali menolakku, cih! Kamu pikir kamu siapa hah?" Alfin merasa tak terima, baru kali ini ada orang yang terang-terangan menolaknya bahkan sampai kabur.

Pagi harinya, Alfin turun dengan pakaian sudah rapi. Kemeja putih dengan jass hitam melekat di tubuhnya. Aura tampan dan kejam jelas terlihat di wajah pria berusia dua puluh delapan tahun itu.

Almira membuat susu dan sanwich untuk sarapan. Sesaat terpaku pada pria yang kini tengah menatapnya datar tanpa ekspresi di ujung tangga. Perasaan baru kemarin menikah, apa pria itu akan langsung pergi bekerja hari ini? Mendadak Almira sedih, penikahan impian yang harusnya jadi ikatan sehidup semati dalam bahagia kini sirna karena pada kenyataannya Almira sendiri ragu apakah ia bahagia menikah dengan Alfin?

"Hari ini aku ada urusan, kau bisa membersihkan rumah, belanja bulanan atau berkebun terserah! Tapi ingat, jangan pergi tanpa pengawal. Satu jam lagi mereka akan datang," ujar Alfindra membuat Almira hanya mengerjap di tempat.

"Paham kan?"

"Ah iya, Mas! Sarapan dulu, aku sudah membuat sarapan untukmu, tapi maaf hanya sanwich tuna dan susu."

Alfindra yang tadinya tak tertarik mendadak dengan gerakan impulsif mendekat dan duduk di meja makan.

"Suapi aku!" titahnya membuat Almira gegas mendekat. Alfin melirik ke arahnya sinis.

"Apa kau sudah mencuci tanganmu?"

"Ah iya, maaf." Almira kelabakan, ia beringsut ke dapur untuk mencuci tangan di wastafel dan mengeringkannya segera. Mendekat ke arah Alfin dan duduk di kursi sebelahnya.

Tangan Almira terulur meraih sanwich dan menyuapkannya ke mulut Alfindra. Detik berikutnya tak ada ekspresi protes yang laki-laki itu tunjukkan.

Almira bersorak dalam hati, sepertinya suami kejam itu sangat menyukai masakan yang ia buat dua kali ini.

"Susu!" pintanya membuat Almira terkesiap saat menyadari sanwich di tangan sudah tandas oleh Alfin.

Kembali Almira meraih susu dalam gelas, memeganginya disaat Alfin minum.

Namun, di luar duga karena tiba-tiba Alfin dengan gerakan cepat meraup bibir Almira dan memindahkan susu ke mulut gadis itu.

"Begini cara menyuapiku susu!" tegasnya tersenyum puas. Tentu saja senyum yang sangat mengerikan bagi Almira.

Kejadian itu tentu membuat Almira mematung di tempat. Alfin segera menyodorkan tangannya meminta Almira mencium punggung tangan layaknya suami istri yang saling mencintai.

"Aku berangkat!" tegasnya singkat diangguki Almira.

Sepeninggal Alfin, gadis itu mulai membereskan meja makan dan mencuci perabot kotor di dapur. Setelah selesai, Almira menyapu lantai bahkan mengepelnya sampai bersih. Aroma apel menguar membuat lantai mansion itu seketika wangi dan segar.

Ceklek,

Almira bermaksud membereskan kamar-kamar atas termasuk kamar utama yang ditempati Alfin.

Glekkk...

Entah kenapa, mata Almira memanas melihat foto-foto kakaknya terpampang disana. Bukan hanya satu bahkan mungkin hampir memenuhi seluruh dinding kamar Alfindra.

LIKE KOMEN GIFT DAN FAV😍🤗

3. Hukuman

Di kursi kebesarannya, Alfindra tengah menunggu Madel. Mempersiapkan meeting setengah jam lagi, Alfin masih punya sedikit waktu untuk bersantai sebelum meeting di ruang rapat.

Sesaat ia menatap layar pipih dengan penasaran, seharusnya Alfin bisa memantau apa yang tengah istrinya lakukan di mansion.

"Ck!" berdecak pelan, Alfin akhirnya membuka ponsel yang sudah terhubung dengan cctv mansionnya. Awalnya ia tersenyum puas melihat Almira membersihkan seluruh lantai bawah bahkan dengan cekatan mengepelnya.

"Benar-benar jackpot!" desisnya pelan tanpa sadar tersenyum. Namun, senyum itu tak bertahan lama saat melihat Almira naik ke lantai atas dan membuka kamar utama. Meski membawa alat bebersih, tetap saja gadis itu sudah berani diam-diam masuk ke ranah privasinya.

"Si al, aku lupa mengunci pintu kamar!" menggeram pelan lalu mengepal.

"Sepertinya aku harus menghukummu gadis kecil!"

Madel mengetuk pintu membuat kekesalan yang sudah di ubun-ubun seketika hilang karena ada hal yang lebih penting.

"Masuk," singkat Alfin membuat assistennya segera masuk ke dalam.

"Pagi Tuan, sebelum meeting saya akan melaporkan sesuatu. Nona Hana saat ini sedang berada di Seminyak- Bali bersama kekasihnya Tuan!"

"Oh, pantau terus keberadaannya. Pastikan kau memberitahuku jika gadis itu sudah tinggal bersama tua bangka Anton lagi. Aku akan membuat dia menyesali keputusannya," tegas Alfin datar.

"Siap Tuan. Oh ya, untuk dokumen yang akan digunakan rapat sudah saya siapkan."

"Kamu duluan saja, nanti aku menyusul."

Madel sekali lagi mengangguk lantas pamit.

"Sepertinya jika aku menyiksa Almira tak akan pernah memancing Hana kembali, apa aku harus memperlakukannya dengan baik?" pikir Alfin memikirkan segala siasat.

Beberapa menit kemudian Alfin kembali menyeringai dengan rencananya, "oke tapi aku tetap harus menghukummu Almira, karena sudah berani masuk ke kamarku!" gumamnya pelan.

Alfin keluar ruangan menuju ruang rapat dimana para staf kantor sudah menunggu.

"Pagi semuanya," sapa Alfin lalu duduk di kursi kebesaran, di sebelah kanannya ada Madel yang siap membuka jalannya rapat. Pertemuan para staf pagi ini adalah untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas kerja.

Setelah hampir dua jam, rapat usai dan mereka kembali ke ruangan masing-masing.

"Kau urus semuanya, aku akan pulang sebentar. Alfin melirik jam di pergelangan tangan. Masih pukul setengah sebelas, tapi ia sungguh tak tahan untuk pulang memarahi Almira. Gadis itu sudah seharusnya tahu batasan mana yang boleh disentuh atau tidak.

"Tuan mau kemana? Jam dua nanti ada pertemuan dengan wakil perusahaan Wilmark.

"Jika aku masih belum datang, kau bisa menggantikannya bukan?" Alfin menaikan alisnya. Selain kejam, ia juga bossy. Meski begitu, kinerjanya di Kingdom sangat bagus hingga perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan pangan itu berkembang pesat.

Madel mengangguk tak bersuara, apalagi CEO-nya itu langsung pergi.

***

"Almira!" teriaknya begitu turun dari mobil. Dua pengawal berjaga di depan pintu artinya gadis itu tak pergi sama sekali.

"Iya, Mas!" Almira masuk, ia habis dari berkebun di belakang mansion.

"Sut... Sut... Apa itu di tanganmu, ceroboh sekali. Biasakan cuci tangan setelah melakukan sesuatu," pekik Alfindra kala melihat Almira menyambutnya dengan tangan kotor.

"Wh, iya maaf Mas!"

Setelah mencuci bersih tangannya, gegas Almira mendekat pada Alfindra.

"Sini kamu," ajaknya ke lantai atas. Sesaat Almira mengernyit, sejurus kemudian tersenyum tipis meski tak terlihat.

"Jangan-jangan dia pulang hanya untuk bertemu denganku, kenapa aku jadi gugup gini," batin Almira berdebar. Ia segera mengikuti langkah Alfin ke lantai atas sebelum suami kejamnya itu naik pitam.

Brakk!

Almira menganga kala Alfin membuka pintu kamarnya dengan kasar.

Sesaat Alfin terdiam karena aroma apel menyeruak, membuatnya tiba-tiba merasa tenang.

"Ada apa, Mas! Maaf tadi aku lancang membersihkan kamarmu!"

Alfindra menoleh, menatap sinis Almira kemudian bersedekap dada.

"Siapa yang menyuruhmu!" bentaknya membuat Almira tersentak dan menunduk.

"Ampun, Mas!"

"Ck! Lupakan, karena kau membuatku marah, aku harus memberimu hukuman. Kau melihat foto-foto kakakmu disini, dan sudah lancang masuk ranah pribadiku," sinisnya. Alfin mengambil gunting yang tersimpan di laci nakas lalu mendekat ke arah Almira berdiri.

Merasa terintimidasi, Almira mundur selangkah apalagi melihat gunting yang ada di genggaman Alfin membuat hati Almira mendadak ciut.

"Mas mau apa?"

"Mau apa? Haha tentu saja menghukummu!"

Almira memejamkan matanya sambil menunduk, semakin dekat semakin dekat ia tak lagi menghindar dari Alfin. Almira pasrah apa yang akan laki-laki itu lakukan padanya. Bahkan jika harus ma ti hari ini di tangan suaminya, Almira pasrah.

Tubuh Almira menegang, kulit tangan kaki dan lehernya meremang kala Alfindra menarik rambutnya meski tak kuat.

Kressss...

Bahkan dengan mudahnya ia memotong rambut panjang Almira yang terikat menggantung. Bukan beberapa centi, melainkan lebih dari separuh rambut panjangnya yang asli.

"Aku tidak suka melihat rambut panjangmu," bisik Alfin di telinga membuat Almira sontak meraba tengkuknya kemudian membuka mata. Rambut panjangnya telah Alfin rampas padahal susah payah selama ini Almira merawatnya.

"Aku hanya suka rambut panjang Hana!" tegas Alfin membuat Almira tersentak sekaligus sakit bersamaan.

"Hukuman selesai." dengan santainya Alfin mengatakan itu. "Kamu boleh keluar sekarang dari kamarku, sekali lagi kamu masuk! Habis rambutmu!"

Almira menunduk, bulir bening membasahi pipinya. Segera ia turun dan berlalu dari kamar itu tanpa melihat Alfin. Terus menuruni tangga sambil terisak tanpa suara.

Setelah masuk kamarnya, Almira merosot di sudut, menundukkan wajah diantara kaki dan menangis frustasi. Siapa yang harus ia salahkan atas semua ini? Papanya atau kakaknya?

Mungkin kalau kakaknya yang menikah dengan pria kejam itu, nasib Almira akan berbeda. Ia bisa bekerja dengan tenang dan hidup bahagia layaknya teman seusia.

"Mira..." teriak Alfin. Namun, setelah kejadian tadi suasana mansion itu hening. Tak ada tanda-tanda Almira menyautinya.

"Kemana gadis itu!" serunya sambil mengintari dapur, ruang tengah, dan belakang mansion. Nihil, sudah pasti Almira saat ini berada di kamarnya.

"Almira keluar kamu!" teriaknya menggedor pintu.

Masih diam, bertahan dalam hening. Almira memilih menutup telinganya dengan telapak tangan dan menunduk dalam di sudut tembok kamarnya.

"Kau menantangku Almira! Kau mau aku menghukum dirimu lebih, buka pintunya atau aku akan menendang pintu kamar ini sampai jebol," ancam Alfin.

Almira mengusap air matanya kasar, lantas membuka pintu. Yang dia lakukan tetap menunduk tanpa berniat menatap ke arah suaminya. Hah suami? Apa pria kejam itu pantas Almira anggap suami?

"Kau menangis, heh?" tanya Alfindra mencengram dagu Almira hingga wajah sembab itu mendongkak memaksa Almira menatap ke arahnya.

"Lemah!"

Detik berikutnya, entah keberanian dari mana Almira menghempas tangan Alfin agar berhenti mencengkram dagunya.

"Dasar breng sek, apa kau pantas melakukan ini padaku karena Kak Hana? Katakan! Aku memang tak secantik kakakku dalam semua hal, tapi kamu gak perlu melakukan ini hanya karena kamu terobsesi padanya. Lantas, wanita lain tak pantas memiliki rambut panjang!" katanya sambil menahan isak.

Alfin terdiam menatapnya datar.

"Kau mau membangkang? Kau tahu hidupmu disini atas kendaliku, jadi menurutlah."

Almira tak menjawab, ia mundur segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

"Almira, kau--"

Kembali ke kantor dengan emosi, Alfindra akhirnya menjadikan Madel dan yang lain sasaran atas kemarahannya. Almira mulai membangkang dan sekarang? Gadis itu malah membuatnya pusing tujuh keliling karena kepikiran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!