“Gila ya lu semua! Bisa-bisanya milih gue sebagai ketua osis,” omelnya pada semua teman yang ada dikelas.
Biru tak percaya dengan apa yang teman-temannya lakukan, dia dinobatkan sebagai ketua osis disekolah. Padahal dirinya sangat terkenal akan kenakalannya.
“Lu pintar Biru makanya kita pilih lu sebagai ketua osis, lagipula selain itu lu juga salah satu orang yang ditakuti disekolah,” sahut temannya yang lain.
“Intinya gue nggak suka! Lu semua kan bisa pilih Arka atau si Nadia yang jadi ketos.”
Tak ada yang berbicara lagi, mereka semua diam mendengarkan omelan dari Biru. “Ughh, capek gue,” ujarnya menghela napas kasar. Setelah berbincang Biru pun pergi meninggalkan yang lain dikelas. Saat keluar sudah banyak para kaum wanita yang menunggunya.
“Risih gue lama-lama di lihatin terus kayak gini! Nggak pernah lihat orang ganteng emang selama ini?” pikirnya sembari terus berjalan di koridor.
Dilantai atas, seorang perempuan sedang sibuk dengan semua bukunya. Dia adalah Echa, tidak ada yang tahu jika gadis itu seorang penulis. Echa menyembunyikan identitasnya pada teman disekolah maupun keluarga dirumah.
Brughh, suara benda jatuh membuat Echa terkejut. Dia melihat ke arah belakang, ternyata itu ulah dari Biru. Awalnya Echa akan bersikap cuek namun lelaki yang sedang marah tersebut menatapnya dan langsung menghampiri dengan tatapan tajam. Echa menelan ludah, ngeri melihat mata Biru yang seperti akan menerkam.
“Ngapain lu?” tanya Biru. Echa menarik napas dengan panjang lalu izin pamit.
“Aneh! Wajahnya kek ketakutan, emang ada yang serem ya di sini?”
“Jelas aja ketakutan. Tatapan lu bikin ngeri,” ujar seseorang dari belakang. Andi, sahabat Biru. Dia merupakan cowok yang manis juga baik hati, banyak orang orang disekolah yang menyukai dirinya.
“Tatapan gue biasa aja, nggak usah lebay. Segitu aja takut.”
“Btw selamat ya Biru, lu sekarang jadi ketua osis. Gue heran deh kenapa yang lain pilih lu? Padahal kan mereka udah pada tahu siapa Biru, lelaki yang terkenal nakal.”
“Tahu ah gue pusing. Oh iya Andi, malam ini jadi kan balapan?”
“Jelas jadi dong.”
Perbincangan keduanya terhenti setelah mendengar suara dari mikrofon. Guru menyuruh semua murid untuk berkumpul di lapangan, hal itu membuat Biru menghela napas. “Ada apa lagi sih?”
“Nggak tahu mending kita turun,” jawab Andi.
Keduanya berjalan menuruni anak tangga. Tak sengaja melihat anak kelas sebelah sedang berkerumun. Diantara kerumunan itu terdapat Echa, gadis tersebut ternyata sedang di rundung oleh teman-temannya. Biru dan Andi yang tidak tahu hanya melewatinya saja dan menyuruh mereka semua berkumpul juga di lapangan.
“Pulang sekolah kita tunggu ditempat biasa, awas aja lu kalo nggak datang. Gue bakal sebar poto-poto lu yang terbuka,” ancamnya.
Echa mengangguk pelan kepalanya. Sebenarnya dia sudah muak akan ancaman yang diberikan kepadanya. Sudah beberapa kali Echa menjelaskan jika yang ada didalam poto itu bukanlah dirinya. Namun, teman-temannya itu tidak peduli mau itu benar Echa atau bukan. Karena memang orang yang ada di poto tersebut sangat mirip dengan wajahnya.
Setelah mengancam mereka berkumpul. Mendengar apa yang guru informasikan, Andi yang tak sengaja melihat mata Echa sembab langsung menyenggol lengan Biru. “Apa sih?” ujar Biru kesal.
“Coba lu lihat matanya si Echa, kek orang abis nangis, sembab. Kira-kira kenapa ya?”
“Kalo lu penasaran tanya sendiri sana, ngapain pake bilang ke gue.”
“Aelah, lu hari ini marah-marah mulu. Masih nggak terima jadi ketua osis? Lu kan bisa buat bilang ke Pak Baba apa susahnya sih.” Mata Biru langsung berbinar, dia sampai lupa jika pamannya itu kepala sekolah. Setelah pengumuman ini Biru berencana akan menemui sang paman.
“Temenin gue nanti ya,” ucap Biru kepada Andi.
Andi menyunggingkan bibirnya. Menatap malas kepada Biru, setelahnya dia pun meminta si ketua osis baru tersebut untuk bertanya apa masalah yang di alami Echa. Baru saja senang kini Biru dibuat menghela napas lagi. Dia benar-benar tak habis pikir dengan Andi yang selalu ingin tahu masalah orang lain. Mengurus masalah hidupnya saja dia tidak bisa, apalagi orang lain.
“Di usahakan,” ujarnya.
Pengumuman selesai, para murid kembali ke kelasnya masing-masing. Sebelum memasuki kelas, Biru dan Andi menarik tangan Echa. Setelah menjauh Andi pun langsung bertanya pada gadis cantik itu. “Lu kenapa? Ada masalah?”
“Bukan urusan kalian! Lagipula sejak kapan kalian berdua peduli terhadap masalah aku?”
“Benar sama apa yang dibilang dia Andi, ngapain juga kita peduli dengan masalah orang lain. Mending balik kelas yuk,” sambung Biru.
“Jujur aja Ca, kali aja kita berdua bisa bantu. Kalo ada masalah disekolah jangan sungkan buat bilang ke dia,” ucap Andi menunjuk Biru.
“Lah kok gue?” tanyanya.
“Lu disekolah jadi ketua osis, dikelas jadi ketua kelas. Dan dia salah satu murid di kelas kita. Lu harusnya bantu orang-orang yang butuh bantuan.”
“Terserah!” Biru menyerah dengan ucapan Andi. Entah mengapa hatinya pun ingin membantu Echa namun enggan untuk berkata.
Echa terdiam mendengar dan melihat tingkah dua teman kelasnya yang seperti tom and jerry. Karena sudah cukup lama membuang waktu, dua lelaki itu memaksa Echa untuk menceritakan masalahnya. “Emangnya setelah aku cerita kalian berdua bakal bantu? Aku meragukan kalian,” ucap Echa.
Andi menatap Biru, lalu menganggukkan kepalanya. “Ayo Biru, buktiin kalo lu adalah ketos yang baik.”
“Nggak jelas lu, siapa yang mau bantu siapa juga yang harus ngebantu. Andi prik!” gerutunya. Echa pun menceritakan masalahnya pada dua lelaki populer itu. Betapa terkejutnya Andi setelah mendengar masalahnya, ternyata selama beberapa hari ini Echa telah mendapatkan teror berupa poto vulgar dengan wajah dirinya. Echa sudah muak dengan semua itu, dia pun memutuskan untuk tidak meladeninya, namun orang yang meneror itu malah menyebarkannya di salah satu platform. Dan salah satu temannya yang baru saja mengancam itu mengetahui potonya.
“Astaga, tapi seriusan itu bukan lu kan Ca?” tanya Andi menyelidik.
“Sumpah itu bukan aku, mana berani aku kayak gitu.”
“Bisa jadi sih,” ujar Biru. Andi dan Echa menatapnya tajam.
“Sudah ku duga sih, percuma juga cerita sama kalian berdua. Ujung-ujungnya nggak bisa bantu, buang waktu aku aja.”
“Okay gue sama Andi bantu masalah lu. Tapi setelah itu lu harus isiin semua pr gue.”
“Ngakunya pintar tapi pr aja nggak sanggup buat dikerjain, ck!” sindir Echa.
“Aish! Ya, ya gue nggak akan minta lu buat kerjain pr. Traktir kita dalam seminggu, gimana?”
“Sama aja kek mereka, bisanya cuman manfaatin uang aku.”
Biru tertawa garing, memasang wajah murung. Dia memukul pundak Andi sambil berkata menyerah. Sedangkan Echa tertawa kecil melihat tingkah Biru yang seperti itu. Pertama kalinya ada seorang gadis yang mengetahui tingkah kocak si lelaki nakal.
“BIRU, ANDI, ECHA! Ngapain kalian bertiga di sini? Bel masuk sudah bunyi dari 10 menit yang lalu, cepat masuk kelas atau bapak akan menghukum kalian bertiga!” Ketiganya terkejut saat salah satu guru menegurnya. Mereka berlari menuju kelas, melihat keakraban Echa dengan dua cowok populer membuat beberapa siswi iri dan cemburu.
Pukul 15:00, Echa menunggu kedatangan orang orang yang mengancamnya. Seperti biasa dirinya harus membayar makan dan minum yang mereka pesan. Jika ditotal kan seminggu ini Echa telah menghabiskan uang sebanyak 2 juta rupiah. Ayah dan Ibunya sempat bertanya mengapa anaknya itu sangatlah boros. Namun Echa tak berani berkata bahwa uang tersebut untuk bayar makan teman-temannya.
“Minggu bayarin kita lagi Ca, jangan lupa! Selagi lu bayarin kita semua, poto seksi ini nggak akan pernah tersebar.” Echa hanya terdiam lalu pamit pergi.
Echa sangat terlihat pasrah saat mereka semua terus menerus meminta dibayarkan olehnya. Ditempat lain, Andi dan Biru sedang menyiapkan motor mereka berdua untuk dipakai balapan.
“Andi, makin ke sini paman gue kok kayak gitu ya.”
“Lah kenapa? Bukannya Pak Baba baik banget sama lu?”
“Lu sadar nggak sih kalo paman gue itu baiknya cuman di sekolah? Sedangkan dirumah, gue di perlakukan kek babu. Iya, selama ini gue numpang hidup sama dia itu juga amanah terakhir dari bokap.” Andi menepuk pundak sahabatnya itu, dia paham apa yang Biru rasakan selama ini. Semenjak kepergian kedua orang tuanya Biru di asuh oleh sang paman. Kenakalan yang dia lakukan pun terjadi saat dirinya ditinggal pergi orang tuanya.
Hidupnya tak semulus wajahnya. Banyak cobaan yang harus Biru lalui selama ini, sabar dalam menghadapi sikap paman dan bibinya saat dirumah.
“Gue udah selesai nih, mau coba nggak?” ujar Andi.
“Bentar gue dikit lagi,” jawab Biru masih sibuk dengan motornya.
“Kalo malam ini lu menang uangnya mau buat apa?” tanya Andi.
“Mau gue tabung dan buka usaha bengkel, Ndi. Itu juga kalo gue menang, lumayan hadiahnya kan 10 juta.”
“Tapi lu juga harus hati-hati Biru, soalnya kata temen-temen anak geng motor Aili juga ikut balapan. Lu tahu kan gimana rusuhnya mereka, gue takut sebelum lomba dimulai mereka ngapa-ngapain lu.”
“Santai aja gue bisa kok jaga diri. Intinya kalo gue nggak ada didekat motor gue sendiri tolong lu jagain, okay!” Andi sigap menghormati Biru. Hari semakin gelap, Biru pulang kerumahnya. Ternyata sang bibi sudah menunggu kepulangannya. Belum juga memasuki kamar Biru sudah dilempari lap dan sapu.
“Jam segini baru balik, kemana aja? Sengaja biar nggak beres-beres rumah? Hah!” omelnya.
“Iya Bi, maaf tadi ada urusan dulu sama Andi.”
“Andi, Andi terus. Kamu bergaul sama dia malah semakin nakal. Coba aja kalo bukan karena amanah Mas Rangga, aku nggak bakal mau menampung anak seperti kamu.”
Kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh Maya, bibi Biru seketika membuat hati lelaki tampan tersebut tergores. Dia merasakan sakit, bertanya pada dirinya sendiri mengapa bibinya itu sangat membenci dirinya. “Sabar, gue nggak akan pergi sebelum punya uang sendiri juga kerjaan. Sekarang hadapi sikap mereka dengan tabah aja, ughh!”
“Cepat sana bersihin, mau maghrib nih.”
“Iya.”
Pukul 18.20, Biru telah selesai mengerjakan semuanya. Dia memasuki kamar, baru saja melangkahkan kakinya tiba tiba sepupunya memanggil. Dia adalah Ara, gadis seumuran dengan Biru namun tidak bersekolah di sekolahan yang sama. Ara meminta bantuan untuk mengerjakan tugasnya, dia beralasan tidak mengetahui isi soal yang diberikan gurunya itu.
“Gue ganti baju dulu,” ujar Biru. Setelah dia masuk, terlihat wajah Ara tersenyum. “Yes! Mau aja gue tipu. Sebenarnya kan gue mau pergi jalan, lagipula dia cuman numpang jadi nggak masalah buat ngerjain tugas sekolah gue.”
“Mana tugas lu?” tanya Biru. Ara memberikan beberapa buku pada sepupunya itu. Setelahnya dia pamit pergi.
“Gila banyak amat nih tugas, nggak pernah dia kerjain apa? Kalo gini caranya gimana gue bisa datang ke tempat balapan?” pikir Biru didalam kamar.
Tak ingin membuang waktu Biru pun segera mengerjakan tugas milik sepupunya itu. Dia berusaha secepat mungkin agar tidak terlambat datang ke perlombaan. Saat sedang pokus tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata itu dari Andi. Biru melihat jam dinding terlihat sudah pukul 22.00 malam.
“Mau kemana kamu?” tanya sang paman.
“Ini mau ngerjain tugasnya Ara bareng Andi. Terlalu banyak soalnya,” jawab Biru berbohong. Baba melihat buku yang dibawa oleh keponakannya, dan tertulis nama anaknya di sana. Dia pun mengizinkan Biru untuk pergi.
Sesampainya ditempat balapan, Andi terkejut melihat Biru yang membawa tas. Biasanya lelaki itu jika bermain malam hari tidak pernah bawa apa-apa. Andi pun berpikir jika temannya tersebut akan pergi dari rumah sang paman.
“Yakin mau pergi dari rumah paman lu?” tanya Andi.
“Hah? Apaan sih Ndi, orang nih tas isinya buku si Ara. Tuh cewek sialan emang seenak jidat nyuruh gue ngerjain tugasnya yang bejibun.”
“Owalah kirain gue lu bener-bener mau minggat dari rumah pak Baba.”
“Ya udah cepetan lu siap-siap, bentar lagi mau dimulai. Tas lu simpan di sini biar gue jagain,” ujar Andi menyuruh Biru untuk segera bersiap.
“Sekalian Ndi kerjain tugasnya,” jawab Biru membuat sang teman melemparkan sepatunya.
Di saat Biru sedang balapan, Andi melihat-lihat buku milik Ara. Satu halaman yang membuat Andi terkejut, tertulis di sana jika Ara sedang hamil. Entah gadis itu lupa atau bagaimana, tetapi hal itu benar-benar membuat Andi penasaran.
“Woy! Ndi, gue masuk babak final. Lihat gue di sana nanti ya,” teriak Biru.
“Iya santai aja.”
Dirumah Pak Baba, Ara dengan terburu-buru membuka pintu. Dia bertanya kemana sepupunya itu pergi pada sang Ayah. Raut wajahnya yang panik membuat gadis tersebut tak karuan, dia takut jika tulisannya dilihat oleh Biru lalu mengadu pada Ayahnya.
“Mau kemana lagi kamu? Baru pulang sudah pergi lagi,” tanya sang Ayah.
“Cari Biru,” jawab Ara.
Gadis itu langsung pergi begitu saja tanpa mencium punggung tangan Ayahnya. Tak lama kemudian Ara sampai ditempat sepupunya, dia mencari keberadaan Biru namun yang dirinya temukan hanyalah Andi.
“Andi!” ucap Ara terkejut karena lelaki itu sedang memegang bukunya.
“Eh Ra ini buku lu, tunggu si Biru baru dikerjain ya,” ujarnya.
“Nggak usah, gue bisa ngerjain sendiri. Sini bukunya,” kata Ara dengan sinis. Sebelum pergi Ara bertanya kepada Andi, “Lu nggak lihat apa-apa kan, Ndi?”
“Maksudnya?”
“Nggak! Bukan apa-apa, lupain aja. Gue pamit, bilang sama si Biru kalo bukunya gue bawa.”
“Ah parah lu Ndi, nggak nonton gue.” Biru datang, mengomel pada temannya itu karena tidak menonton dirinya balapan.
“Gimana?”
“Nih.” Biru menunjukkan amplop coklat tebal kepada temannya. Ternyata Biru memenangkan lomba tersebut, saat akan memasukan uang itu kedalam tas, biru bertanya kepada Andi dimana semua buku milik Ara.
Andi pun menjelaskan jika baru saja Ara datang lalu mengambil semua bukunya. Biru senang akhirnya dia lolos, tidak mengerjakan tugas sekolah sepupunya. Ketika sedang asik ngobrol seorang perempuan lewat didepan mereka. Setelah di lihat lebih dekat ternyata itu adalah Echa.
“Ca, oy sini,” panggil Andi.
Echa melirik pada teman sekelasnya. Namun dirinya enggan untuk menghampiri Biru dan Andi. “Lah kenapa tuh cewek? Di panggil malah lanjut jalan.”
“Udah biarin aja Ndi, lu peduli banget sih sama urusan orang.”
“Heh kampret, kita berdua kan udah janji mau bantu masalah dia. Kasian juga kalo dipikir-pikir, dia harus nanggung malu yang sebenarnya bukan ulah dia sendiri.”
“Terserah lu aja, gimana nih kita pulang aja atau mampir ke tempat yang lain?”
“Mampir dulu lah, lagipula masih jam 23.30 belum terlalu malam. Sekalian tadi bokap balik terus bawa oleh-oleh, niatnya gue mau bagiin ke yang lain.”
“Oh iya gimana kabar bokap lu? Dah lama gue nggak main kesana,” tanya Biru.
“Baik. Kata bokap juga lu disuruh main.”
Tak terasa malam semakin larut, Biru melirik pada teman-teman yang lain ternyata mereka semua sudah terlelap tidur, begitupun dengan Andi. Awalnya ingin membangunkan mereka namun Biru enggan karena takut mengganggu tidur temannya.
Suara motor terdengar, Baba dan Maya sengaja menunggu kepulangan Biru. Ternyata Ara menceritakan jika sepupunya itu baru saja memenangkan balapan. Sudah bisa ditebak jika paman dan bibinya berniat mengambil hadiah uang yang dimiliki Biru. Untung saja lelaki itu sudah memisahkan uangnya. Dengan begitu hasil balapan tadi tidak sepenuhnya diambil mereka.
“Cepat masuk, langsung tidur jangan main handphone. Besok sekolah tidak boleh terlambat.”
“Iya.” Biru memasuki kamarnya. Namun Ara sudah berada didepan pintu. Dia tersenyum karena Biru tidak memiliki uang sepeser pun hasil dari balapannya.
“Lu itu beban di sini. Kenapa nggak nyari kost-an aja sih,” ujar Ara tanpa disaring dahulu.
“Lu punya masalah apasih Ra? Perasaan selama ini gue nggak pernah nyari ribut sama lu, kalo misalkan keberadaan gue di sini cuman jadi beban kalian bertiga, okay fine! Gue cabut sekarang juga.”
“Baguslah sadar diri,” ucapnya dengan sinis lalu pergi meninggalkan Biru.
Biru merebahkan badannya dikasur, dia berpikir bahwa seharusnya bukan di sini tempatnya berada. Uang yang selama ini di kumpulkan sudah terbilang cukup untuk dirinya hidup mandiri. Besok pagi Biru berniat pamit pada paman dan bibinya.
Keesokan harinya, dia benar-benar pamit. Pukul 05.00 pagi Biru telah bersiap-siap membawa tas yang berisi pakaian. Sebelum berangkat kesekolah Biru berniat mencari kost-an.
“Jangan balik ke sini lagi kalo kamu nggak sanggup menjalani kehidupan diluar sana,” ujar sang bibi.
“Sana pergi, dan jangan anggap kami keluarga kamu lagi. Sudah bagus tinggal di sini malah mau pergi. Dasar anak tak tahu di untung,” sambung pamannya.
Biru sudah tak tahan dengan semua omelan dari paman bibinya. Berbeda saat dulu, mereka berdua sangat peduli kepadanya. Mungkin karena Papa dan Mama Biru sering memberikan uang bulanan kepada mereka.
Tak mau berlama-lama dia pun pergi dari rumah, saat diperjalanan tak sengaja bertemu dengan Echa yang sedang membeli sarapan nasi uduk.
Melihat Biru membawa barang yang cukup banyak dan berat membuat Echa bertanya.
“Mau kemana? Sekolahkan jam segini belum dibuka,” tanyanya.
“Bukan urusan lu.”
“Dih, orang nanya malah sewot. Lagi pms pak ketua?”
Langkah Biru terhenti, dia membalikkan badannya. Menatap Echa lalu melanjutkan langkahnya. “Semenjak orang tua nggak ada hidup gue jadi berantakan. Kalo tahu bakal begini kenapa kalian nggak ajak Biru aja, Mah, Pah?”
Air mata menitik tanpa dirinya sadari, ternyata Echa yang sudah selesai membeli sarapan melihat itu semua. Membuat dirinya bertanya-tanya ada apa dengan teman kelasnya tersebut.
“Nih,” ucap Echa sembari menyodorkan makanan.
“Gue nggak butuh,” jawabnya menolak pemberian Echa.
Echa duduk disamping Biru, tanpa diminta gadis itu mulai menceritakan hidupnya pada lelaki yang sebelumnya tidak akrab sama sekali. Biru melirik padanya, lalu memalingkan wajah.
“Oh iya, kebetulan Ayah aku punya rumah yang nggak ke pake. Gimana kalo kamu tinggal di sana aja? Masalah harga biar aku yang bicara sama Ayah.”
“Nggak perlu, gue nggak mau ngerepotin siapa-siapa lagi.”
“Udahlah ayok. Nggak baik nolak lagipula ini udah mau jam 06.00.”
Echa menarik tangan Biru. Sedangkan lelaki yang ditarik tangannya hanya diam memandang terus pada perempuan yang sedang menggandeng lengannya. “Ekhem!”
“Eh maaf, abisnya kamu susah banget. Kita sudah sampai, bentar kamu tunggu di sini dulu biar aku bicara sama Ayah.” Echa masuk kedalam rumahnya. Setelah itu keluarlah sepasang suami istri menyambut Biru dengan baik.
”Pagi Om, Tante. Maaf saya bertamu sangat pagi,” sapanya dengan sopan dan ramah.
“Mau nempatin rumah Om ya? Kebetulan rumahnya kosong, tapi belum diberesin. Kalo kamu mau ambil silahkan masalah harga bisa dibicarakan. Lagipula kamu masih sekolah dicicil juga nggak papa.”
“Terima kasih Om, untuk beres-beres biar nanti pulang sekolah saja. Sekali lagi saya ngucapin terima kasih sama Om dan Tante.”
“Iya, ya sudah saya mau pergi ke kantor. Kalo butuh apa-apa tinggal bilang sama Tante atau Echa saja.”
Ayah Echa pamit bekerja. Kini tersisa Echa, ibunya dan juga Biru. Mereka berdua mengajak Biru masuk kedalam melihat-lihat isi rumah yang akan ditempati. Ternyata didalam sana masih terlihat bagus, yang ada di benak Biru adalah mengapa rumah tersebut tidak mereka tempati dan malah membuat rumah baru disampingnya.
Biru ingin bertanya namun enggan. Dia pun hanya mengangguk dengan apa yang dijelaskan ibu Echa. Setelah semua selesai, keduanya pergi kesekolah. Andi yang baru saja sampai terkejut melihat sahabatnya datang bersamaan dengan Echa. Begitupun teman-temannya yang lain. Mereka semua merasa heran bagaimana bisa Biru dekat dengan Echa yang notabenenya tak pernah sekalipun mengobrol.
“Wah wah ada apa ini? Tumben sekali tuan Biru datang kesekolah bareng cewek, jangan-jangan kalian berdua?”
“Apasih nggak jelas lu. Gue duluan,” ucap Biru.
“Dih dih sewot, oy Ca. Lu kok bisa datang barengan sama Biru? Kalian pacaran ya, hayoh? Nggak nyangka baru juga kalian mulai ngobrol kemarin eh sekarang udah jadian aja, daebak.” Andi menggoda Echa sembari bertepuk tangan. Sedangkan yang di godanya malah melemparkan senyuman. Hal itu membuat Andi semakin yakin dengan pemikirannya.
Didalam kelas, meja Biru sudah dipenuhi dengan kotak makanan serta snacks. Banyak para siswi yang sengaja menyimpan makanan tersebut di mejanya. Saat akan duduk suara Nadia dan Arka terdengar memanggil.
“Oy Biru! Cepetan datang keruang osis, disuruh pak Bima.”
“Males gue Nad,” jawabnya.
“Nggak mau tahu lu harus datang. Ntar pak Bima marah loh. Lu kan baru jadi ketua osis,” ucap Nadia.
“Gue ngantuk buset, lagipula kenapa nggak lu sama si Arka aja sih yang jadi ketos waketos?”
“Udah nggak usah ngeluh, gue yakin lu adalah ketua yang rajin, baik dan tidak pemalas,” ujar Arka menarik tangan Biru.
Andi yang tidak masuk organisasi hanya tertawa melihat sahabatnya yang tertekan menjadi ketua osis. Lelaki itu lebih nyaman menjadi siswa biasa, dan hanya mengikuti ekstrakurikuler saja yaitu basket. “Nitip tuh curut ya Arka, soalnya kalo masih pagi suka ngecicit nggak jelas, suaranya berisik. Kalo bisa kasih asupan dulu,” teriak Andi pada Arka dan Nadia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!