Seorang gadis menunduk menatap lantai yang berada di bawahnya, dia tidak berani mendongak sedikitpun. Ya, walaupun keinginannya sangat besar untuk membalas perkataan yang diucapkan oleh pria paruh baya yang sedang menatapnya tajam saat ini.
"Mau jadi apa kamu ini? Papa sudah mendaftarkan kamu les tapi kamu tidak pernah datang!" Ucap pria paruh baya tersebut.
"Irina jawab pertanyaan papa!"
Ya, benar gadis yang sekarang sedang menundukan kepalanya itu bernama, Irina Anatasya. Dia menghela napasnya dan memberanikan diri mengangkat wajah untuk menatap ayahnya.
"Irina hanya ingin--"
"Ingin apa? Ingin jadi seorang pengangguran atau ingin menjadi berandalan diluar sana seperti teman mu itu?" Desis Aldi, Papa Irina.
"Mereka semua itu bukan anak berandalan Pa! Mereka temen-temen Irina," bela Irina.
"Apa susahnya sih buat kamu nurut sama perkataan papah!" Bentak Aldi.
Mendengar bentakan itu wanita paruh baya yang sedari tadi berada di samping Irina melangkah menuju tempat Aldi berdiri. Dia mengusap pundak suaminya itu dengan perlahan.
"Sudahlah tidak usah diperpanjang, Irina sayang, sebaiknya kamu lekas mengganti pakaian sekolahmu!" Tutur Aleta, ibu Irina dengan lembut.
Irina yang mendengar itu lantas menganggukan kepala, sebelum pergi ke kamarnya dia menyempatkan untuk melirik ayahnya yang sedang memalingkan wajahnya. Dia menghela napas lelah lalu berlalu dari sana.
"Kamu ini terlalu memanjakan Irina, jadinya sekarang dia menjadi anak pembangkang tidak seperti kedua kakaknya," ucap Aldi seraya menatap Aleta yang sedari tadi menatapnya sambil tersenyum.
Meski ucapan Aldi terkesan dingin pada Aleta namun tatapan matanya melembut tidak seperti dia menatap Irina tadi.
Aleta tersenyum mendengar ucapan Aldi, walaupun usianya tidak lagi muda, namun kecantikan selalu memancar dalam wajahnya. Dia memeluk suaminya itu dan mengusap-usap punggungnya dengan lembut.
"Aku tidak pernah memanjakannya. Setiap anak akan tumbuh dengan berbeda-beda."
Aldi yang mendengar itu hanya menghela napasnya seraya membalas pelukan dari istrinya.
______________________________
Irina merebahkan dirinya ke kasur setelah dia berendam dengan air dingin tadi. Kepalanya benar-benar pusing jadi dia memutuskan untuk berendam dengan air dingin sebentar. Irina menatap langit-langit kamarnya yang terdapat banyak gantungan not dalam musik. Dia menghela napas kasar saat mengingat Ayahnya itu menentang keinginannya untuk bermusik, bahkan dengan kejamnya dia membakar semua barang-barang Irina yang berkaitan dengan musik.
"Kenapa sih gu--" ucapan Irina terpotong saat pintu kamarnya di ketuk, dengan melangkah malas dia berjalan untuk membukakan pintu.
"Mau apa lo ketuk-ketuk pintu kamar gue?"
Mendengar pertanyaan yang ketus dari Irina, orang yang tadi mengetuk kamar Irina terkekeh sinis.
"Gue cuma mau bilang kalo kak satria bakalan pulang dari Paris, jadi lo harus siap-siap. Soalnya bentar lagi kita bakalan jemput dia ke bandara!" Ucap orang itu sinis.
"Ya, ya, ya. Gue ngerti, udah sana pergi lo!" Suruh Irina seraya menutup pintunya dengan kencang. Terdengar orang yang berada di luar sedang menggerutu seraya memaki Irina. Irina hanya memutar bola mata malas saat mendengar makian dari saudara perempuannya. Dia berjalan menuju lemari untuk mengambil baju yang akan dia pakai.
"Eh, buruan! Gue udah siap nih!" Teriak Sena, saudara perempuan Irina
"Iya, iya," balas Irina sambil menyisir rambutnya asal.
Irina menuruni tangga dengan tergesa pasalnya dia takut ditinggalkan oleh saudara perempuannya itu. Dia menutup pintu mobil dengan kencang, membuat Sena yang sedang bermain ponsel terlonjak kaget.
"Bisa gak sih lo jangan rusuh?" Tanya Sena seraya menjalankan mobilnya.
Irina tidak menjawab dia malah memakai headseat nya dan mulai menganggukan kepala mengikuti irama lagu yang di dengarnya. Sena yang tidak mendapat jawaban dari Irina mendelikan matanya.
Emang enak gue kacangin! Batin Irina tertawa sinis.
______________________________
Irina mendengus pelan, sungguh dia merasa bosan sekarang. Setelah menjemput Satria Kakak pertamanya dari bandara, mereka langsung pulang ke rumahnya. Dan sekarang ini mereka sedang makan sekeluarga. Keheningan melanda di ruang makan hanya terdengar suara dentingan disana, itulah yang membuat Irina bosan. Ini juga salah satu peraturan yang diterapkan oleh ayahnya 'Tidak boleh berbicara saat sedang makan'. Irina beranjak dari kursinya menimbulkan decitan yang lumayan keras, membuat semua orang menatapnya dengan pandangan bertanya, kecuali ayahnya yang menatapnya dengan datar.
"Irina udah selesai makannya, aku pamit dulu," ucap Irina seraya berlalu.
"Dia masih saja begitu," ucap Satria.
"Itulah akibatnya jika dia bergaul dengan orang-orang yang tak benar," ucap Aldi, ayah mereka. Aleta hanya menghela napas saat mendengar ucapan dari Aldi.
"Bagaimana keadaan disana?" Tanya Aldi pada Satria.
"Semua berjalan dengan lancar."
Aldi hanya menganggukan kepalanya saat mendengar jawaban dari Satria.
"Oh iya Sena mau memberi tahu sesuatu nih..."
"Apa sayang?" Tanya Aleta.
"Sena berhasil memenangkan juara satu se Asia kemarin dalam lomba balet..."
Semua orang di ruangan itu memuji Sena dan Satria, termasuk ayahnya yang membangga-banggakan keduanya. Tanpa mereka sadari sebenarnya Irina belum beranjak dari sana, dia bersembunyi di balik tembok mendengar gelak tawa mereka semua. Irina memandang pilu ke depan, mengapa ayahnya selalu sinis kepadanya? Sedangkan kepada Sena dia selalu dijadikan 'princessnya' ayah. Tidak ingin merasa lebih sesak Irina beranjak dari sana.
______________________________
Tok... tok... tok...
"Irin bangun ini sudah pagi!" Ucap Aleta dengan suara lembut seraya mengetuk-ngetuk pintu kamar Irina. Karena tidak kunjung mendapat balasan Aleta kembali mengetuk pintu kamar itu.
"Irin ini sudah pagi, kamu harus sekolah!"
Tepukan di bahu Aleta membuatnya terjingkat kaget. Dia memukul bahu anak pertamanya yang sedang terkekeh geli.
"Mamah pagi-pagi udah teriak-teriak," ucap Satria.
"Ini adik mu. Dia susah sekali dibanguninnya."
"Coba Satria yang panggil, mamah terlalu lembut memanggilnya," ucap Satria membuat Aleta menjitak kepalanya.
"Gini ni mah, ekhem... ekhem.. IRINA OY BANGUN DASAR KEBO," teriak Satria seraya menggedor-gedor pintu kamar Irina.
Aleta yang melihat putranya teriak-teriak hanya menggelengkan kepalanya, dia menjewer telinga Satria dengan gemasnya.
"Kamu itu malah teriak-terika kayak orang gila aja."
"Aws.. sakit mah!" Ucap Satria seraya mengerucutkan bibirnya.
"Mamah tega banget, ganteng gini disamain sama orang gila."
"Stop.. stop kenapa mamah jadi ladenin kamu?" Tanya Aleta dengan kening berkerut setelah itu dia kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar Irina.
"Irina sayang... bangun ini udah pagi, kamu harus sekolah!"
Aleta gelisah karena Irina tidak kunjung membuka pintunya dan menjawab panggilannya. Biasanya Irina akan langsung bangun jika dirinya yang membangunkan. Aleta menghela napas gusar dia melirik ke arah putranya yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Bang, mending sekarang kamu dobrak aja pintunya!" Suruh Aleta pada Satria dan langsung diangguki olehnya.
BRAKK
Pintu terbuka sempurna memperlihatkan isi kamar Irina. Aleta berjalan menuju ranjang Irina dia menyingkapkan selimut yang menutupi, napasnya langsung tercekat karena di balik selimut itu tidak ditemukan Irina melainkan guling.
"Bang kok Irina gak ada?" Tanya Aleta dengan suara bergetar.
"Mamah tenang dulu! Coba Satria cek ke kamar mandinya," ucap Satria seraya berlalu untuk mengecek kamar mandi Iriana, dia mengetuk dulu pintu kamar mandi itu namun kamar mandi itu tidak terkunci dan kekosongan yang di lihatnya.
Satria menggelengkan kepalanya seraya menatap ibunya yang sudah berlinang air mata. Satria mendekati jendela yang tidak terkunci dan dia menemukan tali tambang disana. Aleta semakin terisak ketika menemukan surat di atas nakas disana, membuat Satria memeluknya.
"Hiks.. hiks.. ini gak mungkin! MANA IRINA? MAMAH INGIN IRINA!" Teriak Aleta sambil menangis dengan kencang di pelukan Satria. Aldi sudah pergi ke kantornya sedangkan Sena sudah berangkat kuliah. Satria menggendong ibunya saat tubuh ibunya sudah melemah dia meketakan Aleta dengan hati-hati ke ranjang.
"Huft... anak itu masih saja seperti dulu," ucap Satria menghela napas kasar seraya mengutak-atik handphone nya untuk menghubungi ayahnya.
"Pah Irina berulah lagi," ucap Satria setelah sambungan terhubung.
"Mulai saja pencariannya!"
"Baiklah, tapi masalahnya dia tidak membawa ponsel atau alat-alat lainnya."
"Anak itu sedari dulu selalu membangkang dan membuatku susah!"
"Jadi sekarang bagaimana?"
"Cari dia sampai ketemu! Papah akan menyuruh seseorang untuk mencarinya juga!"
"Baiklah."
Tut
Panggilan ditutup oleh Aldi secara sepihak membuat Satria mendengus kesal.
"Selamat Irina kau telah membuat hari liburku tersita," desis Satria.
Sementara itu di tempat lain seorang gadis sedang tersenyum lebar sambil menatap lautan luas dia merentangkan tangannya lalu menutup mata menikmati semilir angin yang membelainya.
Akhirnya gue bebas, semoga aja bertahan lama! Batin gadis itu.
---------------------------
Halo gaess semoga suka ya sama ceritanya...
Masih banyak typo dimana-mana soalnya.....
Jangan lupa lho tinggalkan jejak kalian berupa vote dan komenan nya😚😂
-Tbc
Kediaman Aldi masih saja gempar sedari tadi pagi. Aldi, pria paruh baya itu mengurut pangkal hidungnya. Dia menghela napas lelah dan menatap istrinya yang sedang memalingkan wajahnya yang terlihat pucat, karena dari pagi tadi setelah mengetahui Irina 'kabur' dari rumahnya dia tidak menyentuh makanan sedikit pun.
"Sayang, makan yah kamu belum makan dari pagi!" Ucap Aldi dengan lembut seraya menyodorkan sendok ke mulut Aleta yang sedang memalingkan wajahnya. Aldi menghela napasnya sekali lagi, ini semua karena 'anak nakal' itu pikirnya.
"Aku akan segera menemukan anak kesayangan mu itu segera," ucap Aldi dingin membuat Aleta menolehkan kepalanya dia menatap Aldi dengan mata yang sembab.
"Ini coba makan sesuap saja! Makanannya en--"
Prangg
Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya Aleta menepis tangan Aldi membuat mangkuk yang berada di genggaman nya terhempas berserakan di lantai. Aldi memejamkan matanya untuk mencoba menahan amarah, lantas dia beranjak memeluk istrinya.
"Hiks.. ini semua karena kau terlalu mengaturnya... kau tidak pernah mengijinkan dia bebas.. hiks.. "
"Ssstt... sudah-sudah jangan menangis! Aku akan menemukannya segera," ucapnya seraya mengelus punggung istrinya.
______________________________
Irina terkekeh geli saat melihat ekspresi kedua sahabatnya saat melakukan video call, dia membeli ponsel baru dengan tabungan nya. Ya, dia kabur dari rumah hanya membawa kartu ATM miliknya, bukan pemberian ayahnya namun benar-benar miliknya karena 3 tahun belakangan ini dia sering menabung.
"Serius lo kabur?"
"Alah! Paling juga bentar lagi di boyong balik sama bokapnya."
"Gue berani jamin, sekarang gue di tempat yang gak diketahui oleh siapapun! Termasuk kalian."
"Yang bener ... lo dimana emangnya?"
"Kalo sekarang gue beritahu lo berdua bisa-bisa kacau dong rencana gue!"
"Alah pelit amat lo sama temen sendiri! Kita nggak akan bocor kok!"
"Betul tuh. Ya, kecuali gue nggak keceplosan sih! Hehehe."
Irina mendengus nendengar jawaban dari kedua temannya.
"Udah ah gue tutup dulu mau istirahat. Bhubay!"
Tut
Irina mematikan sambungannya secara sepihak. Dia membaringkan badan nya di ranjang, sekarang dia sedang berada di salah satu hotel di kota dimana tempat persembunyiannya.
"Huft... tapi kok gue ngerasa bersalah ya," ucap irina seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Bodo amat lah yang penting selama disini gue mau senang-senang dulu!"
Irina bangkit dari posisi tidurannya, dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia menanggalkan baju nya dan mulai berendam di bathtub untuk menyegarkan kepalanya.
Sesudah menyegarkan tubuhnya, dia berjalan-jalan di sekitar kota itu menyusuri pameran buku seraya mengunnyah snack nya. Sangat menyenangkan, pikirnya. Irina memilih buku mana yang akan dia beli.
Huft
"Gak ada yang menarik," Irina keluar dari pameran itu, dia memotret pemandangan di sekitarnya.
Baru saja Irina mau melangkah tangannya sudah di cekal oleh seseorang. Irin tersentak kaget, langsung saja dia menoleh ke belakang tempat seseorang yang sedang mencekalnya. Dia membelalakan matanya saat melihat para bodyguard ayahnya sudah berada di samping kiri kanannya. Irina berontak, namun cekalan ditangannya malah semakin menguat. Dia mengayunkan kakinya untuk menendang inti bodyguard yang sedang mencekalnya, namun kakinya segera ditepis oleh yang lain.
Sial. Sial. Sial
Kenapa harus ketemu sih?!batin Irina
"Nona anda harus pulang! Sudah cukup anda berkeliarannya!."
"Apa-apaan sih. Lepas gak tangan gue! Gue teriak nih! Tolong... tol--"teriakan Irina teredam oleh kain yang mentupi mulutnya, ingin melawan pun Irina sudah lemas, sampai kegelapan menghampirinya.
______________________________
Irina mengerjapkan matanya untuk menyesuaikan cahayan dalam penglihatannya. Dia melirik ke kanan dan kiri seraya memejamkan matanya kembali, sampai akhirnya dia terperanjat kaget sampai terduduk.
Loh, ini kan kamarnya.
Tunggu, kamarnya?
Kam--
"Arghhh...." Irina berteriak kesal dan mengacak rambutnya saat mengetahui dia sudah berada di dalam kamarnya yang sudah pasti dia berada di rumah ayahnya.
"Oke Irina tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Huftt....."
Suara pintu terbuka membuat Irina menoleh, dia mendapati ibunya sedang tersenyum sambil membawa nampan makanan di tangannya. Aleta tersenyum lembut penuh kasih sayang pada Irina.
"Kenapa kamu sampai bertindak bodoh, sayang?" Aleta bertanya dengan nada lirih, seraya mendudukan dirinya di pinggir ranjang.
"Kamu gak cape dari kecil kamu gini terus? Sekeras apapun kamu coba lari, ayahnya mu pasti menemukannya."
Irina hanya menunduk sambil memainkan jari-jari tangannya. Aleta mengangkat dagu Irina agar menatapnya.
"Ma-maaf Ma," Irina selalu saja kalah oleh tatapan sendu dari ibunya.
Aleta tersenyum lembut seraya mengusap puncak kepala Irina.
"Ini makan dulu, Mama masak kesukaan kamu lho."
Irina menerima nampan itu dengan senyum tipis. Dia mulai menyuapkan makanan itu dan mengunnyah nya dengan perlahan. Aleta yang melihat putrinya kelihatan tidak bersemangat dengan masakannya mengernyitkan kening.
"Gak enak ya pasakan Mama," lirih Aleta.
Irina yang melihat ibunya murung lantas memakan makanan nya dengan lahap.
"Enak kok. Enak banget malah."
"Yasudah kalo begitu, habiskan makanan dan temui ayah mu di ruang kerja!"
"Iya, Ma."
Aleta mengelus kembali puncak kepala Irina yang sedang menunduk menikmati makanannya.
"Mama ke luar dulu ya."
Irina hanya mengangguk mendengar perkataan ibunya. Dia mendongak saat ibunya sudah berlalu dari sana.
"Kapan gue bisa bebas? Papah itu paranormal ya, sampai tau kalo gue ada dimana?!" Gumam Irina kesal.
Irina menyimpan nampan makanan itu sedikit kasar di atas nakas. Dia berjalan melewati tangga menuju riang kerja ayahnya. Belum sempat Irina mengetuk pintu, ayahnya sudah membukakan terlebih dahulu.
"Puas larinya?" Pertanyaan dingin itu meluncur dari mulut Aldi.
Irina yang melihat ayahnya memandang datar dirinya hanya menghela napas kasar.
"Pa aku hanya ingin berli--"
"Kamu itu udah mau masuk universitas, seharusnya mulai belajar serius!"
"Aku udah serius kok," bela Irina.
"Serius apa? Ingat ini Irina, siapa lagi yang akan meneruskan perusahaan kalo bukan kamu!" Desis Aldi.
Irina memandang ayahnya dengan kening mengernyit.
"Tapi 'kan udah ada Kak Satria. Lagipula aku gak mau jadi pengusaha!"
Aldi hanya memandang putrinya dengan dingin tanpa memperdulilan perkataan gadis itu. Dia menyilangkan tangan ke depan dengan angkuh.
"Papa gak mau dengar alasan apapun! Silahkan keluar dari ruangan ini!"
Irina mengepalkan tangannya, dia berlalu dari sana tanpa mengindahkan perkataan ayahnya. Dia membanting pintu ruang kerja ayahnya dengan keras.
"Hiks... gue pengen bebas...." Irina menangis menenggelamkan wajahnya ke boneka yang ada di dekapannya.
"Gimana caranya supaya papah gak tau gue pergi kemana?" Tanyanya pada diri sendiri.
Karena sudah lumayan lelah dengan apa yang terjadi hari ini, Irina membaringkan badannya. Dia menarik selimut sampai ke dadanya.
Semoga aja terjadi keajaiban! Batin Irina sambil menutup matanya.
______________________________
Ringgggg ...
Irina meraba-raba nakas yang berada di sebelahnya untuk mematikan benda sialan yang mengganggu tidurnya. Setelah berhasil dia kembali mengangkat selimutnya hingga menutupi seluruh badannya.
Tok... tok... tok...
Sial.
Tidak bisakah dia tenang sehari saja? Dengan kesal Irina membuka pintu kamarnya. Sena sudah berdiri disana dengan senyum miringnya sambil melipat tangan di depan. Irina melihat penampilan Sena yang sudah terbakut seragam, lantas dia membulatkan matanya dan menutup pintu kamar dengan keras membuat Sena terlonjak kaget.
"Lo itu gak ada sopan-sopannnya ya!" Teriak Sena.
"Bodo," balasnya teriak.
Irina menepuk keningnya, kenapa dia bisa lupa kalo hari ini, hari senin. Dia membasuh muka, gosok gigi dan mulai memakai seragam sekolahnya.
"Pagi," ucap Irina saat sudah berada di meja makan.
"Kesiangan?" Tanya Satria polos.
"Gak. Kepagian," jawab Irina ketus.
Satria hanya terkekeh mendengar jawaban ketus dari adiknya.
"Irina pamit," Irina berlalu dari sana tanpa memperdulikan teriakan seseorang.
Irina menyumbat kedua telinganya dengan earphone, dia memasukan lengan ke saku jaket, dia berjalan di koridor sambil bersiul.
"Oi, Irin."
Irina menoleh dia tersenyum saat melihat kedua temannya melangkah ke arahnya sambil tersenyum.
"Katanya gak bakalan kena," ledek Dewi.
"Apasih yang gak bisa di lakuin sama bokap lo?!" Ejek Gita.
Irina menutar bola mata malas, kedua teman nya ini kenapa suka sekali mengejeknya.
"Biarin. Yang penting udah usaha!"
"Tapi gak membuahkan hasil 'kan."
"Membuahkan kok," ucap Irina.
"Membuahkan apa?" Tanya Gita.
"Membuahkan teguran, hehe.."
Dewi mendelikan matanya ke Irina. Dia mendaratkan satu jitakan di kepala Irina yang membuat si empunya meringis.
"*** lo."
"KALIAN KENAPA BELUM MASUK KELAS?! MAU SAYA HUKUM! GAK KEDENGERAN TADI UDAH BEL?!"
Teriakan dari guru olahraga ter-killer itu membuat ketiga orang itu meringis dan berlari dari koridor. Ya, begitulah kalo ketiga nya sudah betemu mereka akan lupa waktu jika sudah mengobrol atau menggosip.
---------------------------
Jangan lupa vote dan koment nya gaess!
-Tbc
Bel sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu, dan sekarang Irina sedang duduk di halte bus sambil menunggu jemputannya. Dia menghela napas kasar langit sudah mendung, menandakan hujan akan segeta turun. Namun jemputannya itu belum datang.
Apa gue kabur lagi ya, sekarang? Eh tunggu-tunggu, kalau kabur sekarang, gue nggak bawa duit, Batin Irina.
Akhirnya dia memutuskan untuk menunggu jemputannya lagi. Hujan sudah mulai turun membasahi bumi, bau petrictor sudah tercium, membuat Irina makin mengeratkan jaketnya dan memejamkan matanya menikmati bau petrictor.
Ekhem
Irina membuka matanya saat mendengar suara orang yang duduk di sampingnya, dia menoleh sekilas dan menutup matanya kembali.
"Lo suka hujan?"
Irina membuka matanya lagi, dia melirik ke kiri dan kanan tapi tidak ada orang lain lagi, hanya ada mereka berdua. Irina menunjuk dirinya sendiri sambil mengernyitkan keningnya.
"Iya. Gue tanya lo."
"Biasa aja," jawab Irina singkat.
"Lo kayak 'menikmati' soalnya."
"Hem."
Bus datang bertepatan dengan jemputan Irina. Laki-laki itu berdiri dari duduknya.
"Gue duluan. See you next," ucap lelaki itu seraya berlalu menaiki bus.
"Non, maaf saya telat tadi ban mobilnya bocor," ucap supir itu membuat Irina tersentak dari lamunannya.
Irina masuk ke mobil di payungi oleh supir tadi. Mobil mulai berjalan, Irina menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Jari telunjuknya dia arahkan ke kaca mobil lalu melukiskan sebuah gitar dengan embun yang membasahinya. Dia penasaran dengan wajah laki-laki yang mengajaknya bicara di halte tadi, wajahnya tertutup oleh hoddie dan masker hitam yang dikenakannya, jadi Irina tidak melihat jelas.
Bodo ah. Kenapa juga gue mikirin orang aneh tadi, Batin Irina.
______________________________
Dingin.
Itulah yang menggambarkan malam ini, Irina bergelung dalam selimut nya sambil menonton drama dari laptop nya.
"Wanjir... sweet banget," ucap Irina lebay sambil memakan mie nya.
"Kapan gue kayak gitu?"
"Kapan-kapan."
Bisikan di telinga nya membuta Irina kaget, untung saja mie nya tidak tumpah. Dia menatap ngeri orang yang duduk di samping nya dan dengan seenak jidat nya merebut mie miliknya.
"Lo kapan masuk bang? Gak kedengeran suara langkah kakinya, jangan-jangan lo..."
"Gue bukan demit oke!"
"Terus lo ngapain kesini? Ganggu gue nonton aja," ketus Irina seraya mem-pause film nya.
"Gak boleh ya kakak sendiri ngunjungi adiknya."
"Gak. Gak boleh, terakhir kali lo ke kamar gue. Lo ancurin barang-barang gue."
"Ya itu 'kan di suruh papah!" Bela Satria.
"Lo itu gak cape apa, kabur terus?"
"Gak."
"Bener-bener liar ya lo," ucap Satria menyeringai seraya memeluk bahu Irina.
Irina menepis tangan Satria yang bertengger di bahunya, dia menatap tajam kakaknya itu.
"Jangan sentuh gue. Keluar!" Desis Irina
"Santai-santai, kayak mau ngeluarin pisau aja matanya," ucap Satria sambil mengeratkan rangkulannya.
"Lepas! Atau gue teriak supaya Papa tau kelakuan lo!" Ancam Irina.
Satria melepaskan rangkulan sambil menunjukan smirk nya. Dia berjalan menuju pintu.
"Good night. Baby grils," ucap Satria sambil menutup pintunya.
Irina menghela napas kasar, sekarang dia sudah nggak mood untuk menonton drama nya. Kakanya itu memang, gila.
"Huft... lelah adek bang. Eh kok gue jadi alay sih," gumam Irina.
"Hujan nya udah reda."
Irina memakai jaketnya, dia menuruni tangga. Irina berencana akan membeli cemilan untuk besok, karena besok hari minggu dia berencana bermalas-malasan di kamar nonton drama sambil ngemil, pikirnya.
"Non mau kemana? Ayo saya anter!"
"Pak Udin jangan bilang-bilang papah ya... Irina pengen nyetir mobil sendiri gak mau dianter," bisik Irina.
Pak Udin mengernyitkan alisnya dia menatap tidak setuju pada Irina, namun ternyata gadis itu sedang menatapnya memohon. Pak Udin menghela napasnya seraya mengangguk membuat Irina berjingkrak senang.
"Tapi non Irina jangan kabur-kabur lagi nanti saya yang kena akibatnya!"
"Iya pak Irina cuma mau beli cemilan kok.. suer deh."ucap Irina seraya mengangkat dua jarinya.
Irina menjalanan mobilnya dengan perlahan, biar lambat asalkan selamat. Itulah kata-kata yang selalu dia ungkapkan jika mengendarai mobil sendiri. Setelah sampai ke tempat yang dia tuju, Irina langsung memasukan berbagai cemilan ke keranjang belanjaannya.
"Totalnya 650.000 mbak."
"Oh iya, ini," ucap Irina seraya membelikan uangnya.
Jalanan yang sepi membuat Irina menaikan kecepatan mobinya.
"Ini jalanan sepi amat udah gitu gelap lagi, baru juga jam 21.30."
Citt...
Irina mengerem mobilnya mendadak saat melihat ada orang yang berbaring telungkup di tengah jalanan. Jantung Irina berdetak cepat lantaran kaget.
"Aduh, itu bukan karena gue 'kan? Jelas-jelas tadi gue rem mendadak karena kaget," ucap Irina sambil menatap ke kaca depan mobil.
"Atau ini sebuah jebakan superman ya."
Karena rasa penasaran Irina lebih besar daripada rasa takut, dia turun dari mobilnya melangkah ke seseorang yang tengah tergeletak itu. Posisinya telungkup membuat Irina susah untuk melihat wajahnya. Dia membalikan tubuh yang telungkup itu menjadi terlentang dengan perlahan.
Irina membelalakan matanya, jantungnya berdetak cepat, bukan karena terkejut tapi karena hal yang lain.
Egusti nu agung, astaga astaga astaga INDAH, astaga astaga MIAPA, Batin Irina seraya menelan ludahnya dengan kasar.
"Buset ini cowok apa cewek cantik banget," gumam Irina.
"Kak, kak bangun kak," diguncangkan bahu cowok itu pelan. "Kak lo gak mati kan?"
Kondisi cowok itu sangat mengenaskan lebam-lebam di sekitar wajahnya dan bekas darah yang mengering di sudut bibirnya apalagi jaket yangg digunakannya sobek. Irina menatap sekeliling jalanan itu sepi dengan lampu yang temaram, dia menelan ludahnya.
Irina bolak balik memerhatikan cowok yang sedang terkapar sambil mengigiti kuku tangannya. Tidak ada mobil yang lewat membuat dia bingung harus meminta bantuan.
"Huftt.. oke gue udah putuskan."
Irina menarik cowok itu agar terduduk, dia menahan punggungnya. Disampirkannya lengan cowok itu ke pundaknya. Irina mencoba untuk berdiri, namun terjatuh kembali. Karena perbedaan tubuh membuat Irina kesusahan untuk berdiri.
"Lo makan apa sih? Berat banget udah gitu tinggi lagi," gerutu Irina.
Irina mencoba untu berdiri kembali. Berhasil! Irina terlonjak senang dia melangkah terseok-seok menuju ke mobilnya. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, sudah terseungkur bersama ke jalanan, dengan kesal Irina melepaskan tangan cowok itu.
"Kalo gini ceritanya, gue tinggal juga lo," ucap Irina kesal seraya berjalan menjauh dari cowok itu, namun sedetik kenudian dia berbalik lagi dan membopong cowok itu walaupun langkah mereka terseok-seok.
"Gila cape banget! Udah kayak lari marathon aja," Irina menyeka keringat yang ada di keningnya, dia menoleh ke arah cowok yang ada di sampingnya. Setelah perjuangan lelahnya akhirnya Irina bisa membawa cowok itu masuk ke dalam mobil.
Setelah mobil sudah di pekarangan rumahnya. Irina masuk ke rumah untuk melihat keadaan.
"Sip! Mereka udah tidur," dengan langkah yang mengendap-ngendap Irina membopong cowok itu masuk ke rumahnya, untung saja para satpam dan bodyguardnya sedang main catur di pos.
"Ini gue, gimana cara bawa naik tangganya."
Irina membenarkan letak tangan cowok itu, dengan bersusah payah akhirnya mereka sudah berada di depan pintu kamar Irina. Irina membaringkan cowok itu di karpet tebal warna biru muda miliknya.
"Hah... lo harus beliin gue permen kapas setelah usaha gue ini!" Napas Irina terengah sambil menyandarkan diri ke pintu yang sudah di kucinya dengan rapat.
Dia mengambil kotak p3k nya di laci. Irina menatap wajah cowok itu. Ujung bibirnya robek, kantung matanya juga lebam. Irina meringis melihatnya. Irina membuka sepatu yang digunakan cowok tersebut.
"Misi.." bisik Irina saat menempelkan kapas itu dilukanya.
Dibersihkannya luka-luka itu dengan iri hangat terlebih dahulu lalu mengompres nya dengan es batu yang terbungkus oleh kain. Cowok itu meringis walau matanya terpejam, membuat Irina menghentikan gerakannya karena terkejut.
"Astaga, gue kira udah mati.." Irina membereskan barangnya kembali. Dia duduk di pinggir kasur sambil memperhatikan cowok yang sedang meringis seraya memegang perutnya.
"Lo mau minum obat nyeri?" Tidak ada jawaban dari cowok itu. "Atau mau gue jejelin ke mulut lo boleh, gak?" Masih tidak ada jawaban dari cowok tersebut meski raut wajahnya menahan kesakitan.
Irina menghela napasnya lalu mengambil selimut yang berada di lemari. Dia menyelimuti cowok itu sampai ke dadanya. Irina merebahkan dirinya ke ranjang dia menatap langit-langit kamar nya. Sambil memikirkan, kenapa dia nekad membawa masuk orang asing ke kamar nya apalagi, orang itu laki-laki. Kalau ketahuan oleh ayahnya, Irina pasti akan di marahi habis-habisan atau mungkin diasingkan dari keluarganya. Rasa lelah karena sudah mengerahkan tenaga nya untuk membopong cowok asing itu, membuat mata Irina berat dan akhirnya tertutup untu menjelajahi alam mimpi.
-------------------------------
Jangan lupa vote and comennt nya gues!!
Salam si penulis amatir
-Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!