Alunan musik dari salah satu penyanyi terkenal Indonesia menjadi pendukung acara pernikahan yang diselenggarakan di sebuah ballroom hotel termegah di Jakarta. Dari tempatnya berdiri, Viona bisa melihat kedua pasangan yang telah berdiri di atas panggung itu memamerkan senyum merekah sebagai raja dan ratu malam ini.
“Kamu ingin memakan sesuatu?” Zio, berdiri di sampingnya menginterupsi kegiatan Viona yang sedang menatap antrian para tamu yang mengular demi memberikan selamat kepada calon mempelai.
“Aku ingin makan siomay di sana.” Zio menunjuk salah satu stand makanan yang berada di sisi ruangan dengan dagunya. Tanpa meminta persetujuan dari Viona, pria itu langsung melangkah pergi.
Viona tidak berselera makan. Perutnya terasa diremas dan dililit dalam waktu bersamaan. Terlebih lagi beberapa saat yang lalu ia harus bertemu dengan seseorang yang tidak sepantasnya bertemu di sini. Ia terlalu terkejut dengan pertemuan tersebut hingga mematikan seluruh saraf di tubuhnya. Jika ia bisa memilih, ia tidak akan setuju Zio mengajaknya ke pesta ini.
“AKH!” Cekalan yang kuat di lengannya sontak membuat Viona meringis dan menoleh ke samping. Kedua matanya langsung melebar begitu melihat siapa pemilik tangan itu.
“Ikut denganku!” Suara rendah dan berat yang mengintimidasi itu membuat Viona bertekuk lutut. Dengan terseok-seok, Viona mengikuti langkah pria itu yang menyeretnya menjauh keluar dari ballroom. Sesaat sebelum dibawa keluar, pandangan Viona melihat sekitar, ia hanya takut kalau Zio ataupun orang yang ia kenal memergokiknya pergi dengan seorang pria.
“Lepaskan aku! Sakit!” keluh Viona setelah mereka berhasil keluar dan berjalan di lorong hotel yang lengang. Cekalan tangan pria itu pada tangan Viona semakin mengerat.
“Kita mau ke mana, huh?” tanya Viona lagi yang kesusahan menyamakan langkah cepat dan lebar pria di depannya. Terlebih lagi high heels setinggi dua belas cm yang ia kenakan juga mempersulit pergerakan wanita itu. Tangan bebasnya mengamit ujung gaun pesta yang menyapu lantai.
Tidak ada jawaban keluar dari mulut pria itu yang membuat debaran jantung Viona semakin tidak terkendali.
“Kei …,” lirih Viona pada akhirnya, memanggil nama pria itu agar menghentikan langkahnya.
Langkah Kei terhenti, tepat di depan sebuah kamar hotel. Ia merogoh kunci di saku celananya lantas membuka pintu kamar dan menarik paksa Viona masuk ke dalam. Tubuh Viona di dorong ke atas ranjang. Belum sempat otak Viona mencerna, tubuh berat pria itu menindihnya.
“Mengapa kamu ke sini bersama dengannya, Viona?” Tatapan tajam bagaikan pisau itu yang dilumuri perasaan cemburu itu tengah menuntut jawaban.
“Dia tunanganku, Keita. Zio mendapatkan undangan dan dia mengajakku. Aku tidak punya alasan untuk menolak itu. Lagipula aku tidak tahu kalau kamu akan ke sini. Dan aku juga baru tahu kalau pengantin pria punya hubungan keluarga dengan Wirya.” Viona berucap jujur.
Tidakkah Keita melihat tadi begitu terkejutnya Viona melihat pria itu yang datang dengan seragam tuxedo hitam dengan rambut ditata ke belakang yang membuat penampilan Keita menjadi sangat tampan dan gagah.
“Kamu mencintainya?” Dua kata yang terlontar dari mulut Keita langsung menancap tepat di hati Viona. Ia memilih membuang wajahnya ke samping. Wanita itu tidak sanggup menatap mata hitam milik Keita yang tajam.
“Aku tahu kamu tidak mencintainya,” jawab Keita retoris.
Wajah pria itu mendekat hingga Viona bisa merasakan deru napas pria itu yang berat. Jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya dan mengalirkan darah ke wajah hingga sukses memerah dan memanas. Viona sudah tahu detik selanjutnya akan berakhir seperti apa.
Tenaga Viona seolah terhisap habis hingga tidak mampu mendorong tubuh Keita menjauh. Bukan, Viona bukannya tidak mau berusaha, ia tahu apa yang diinginkan tubuh dan hatinya. Hanya saja ia mati-matian mengirimkan sinyal ke otak untuk membantah dan mengelak.
Ketika bibir Keita menyentuh bibir kenyal miliknya, detik itu juga pertahanan yang dibangun Viona luluh lantak. Ketika jemari mereka saling bertaut, kebimbangan yang menghantui Viona antara memilih mengikuti kata hati atau logikanya bahwa selama ini ia telah memiliki tunangan sukses menghantuinya. Meskipun begitu, Viona tidak sanggup memilih salah satu diantaranya.
Beberapa bulan yang lalu …
Viona menatap cincin berwarna keperakan yang melingkar di jari manis sebelah kirinya sembari menyentuh permukaannya berkali-kali yang mengilap ketika berpantulan dengan cahaya. Benda bulat itu selalu ada di dalam tasnya, jadi ketika ia harus pergi ke suatu acara seperti malam ini yang mengharuskannya mengenakan itu, ia langsung merogoh ke dalam tas.
“Bisa tidak kalau ingin mengajakku makan malam jangan mendadak seperti ini?” rungut Viona kepada pria di sampingnya yang sedang fokus menyetir.
Pria yang bernama Zio Mahendra itu membalas. “Kakek yang menginginkannya. Dia bilang rindu denganmu. Kalau bukan karena lelaki tua itu, aku juga enggan mengeluarkan uang hanya untuk memesan tiket pesawat kembali ke Jakarta dari Bali. Padahal aku baru saja sampai tadi pagi,” gurutu Zio.
Viona tidak membalas dan memilih membuang wajahnya ke samping guna menghitung kendaraan yang melintas bersama dengan mereka. Mobil yang dikendarai Zio melambat dan perlahan-lahan berhenti karena mobil di depan mereka melakukan hal yang sama. Jalanan di waktu weekend memang padat merayap dan sering menyebabkan kemacetan.
Zio memanfaatkan waktu untuk bertanya kembali. “Apakah tidak ada dress lain? bulan lalu kamu mengenakan ini juga, kan? Bukankah kita sudah sepakat kalau acara makan malam setiap bulannya kamu harus selalu menggunakan dress yang berbeda? Bagaimana kalau Mama mengenalinya? Aku bisa dituduh tidak memperhatikanmu, Viona.” Zio menelisik penampilan Viona dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Perkataan Zio mau tidak mau membuat Viona meringis. Ia memang mengenakan dress bulan lalu yang diperuntukan untuk acara yang sama seperti malam ini. Hampir setiap bulan memang selalu ada agenda makan malam bersama antara Viona dengan keluarga Zio. Tidak jarang juga makan malam antar keluarga mereka.
Zio dan Viona sejak kecil memang sudah dijodohkan oleh kedua kakek mereka. Kakek Zio yang bernama Mahendra di masa lalu memiliki hutang budi kepada kakek Viona dari pihak ibu yang juga merupakan sahabatnya karena telah menolong mereka saat kesusahan dulu.
Ketika keluarga Mahendra telah sukses dan menjadi kaya raya bahkan memiliki perusahaan properti nomor satu di Indonesia, kakek Zio ingin membalas budi dengan menjodohkan cucunya dengan cucu sahabatnya yaitu Viona. Mereka bertunangan ketika Viona telah menginjak usia 25. Umur Viona kini 27 tahun, berarti sudah dua tahun ia menjadi tunangan Zio.
Viona ikut memperhatikan penampilannya. Wanita itu mengenakan dress berbentuk V yang memperlihatkan lehernya yang jenjang. Berwarna navy selutut dengan kerutan di bagian perut dan berlengan pendek. Apa salahnya dengan baju yang ia pakai? Toh bajunya masih layak pakai. Kalau bukan untuk acara makan-makan, ia tidak mau mengeluarkan uangnya hanya demi sebuah pakaian. Pemborosan dan menciptakan limbah. Tahukah Zio kalau setiap tahunnya dunia ini menghasilkan berton-ton limbah pakaian?
“Aku tidak punya waktu untuk berbelanja pakaian. Pekerjaanku cukup menguras waktu. Lagipula makan malam ini juga terlalu mendadak.” Viona membela diri dengan berbagai alasan meskipun alasannya itu sepenuhnya kebenaran. Berdasarkan pengalaman, harusnya agenda makan malam ini berlangsung minggu depan bukan sekarang.
“Sebaiknya dari sekarang kamu pikirkan alasan yang masuk akal jika Mama menanyakan tentang dress itu. Ingatan Mama masih cukup tajam. Dan jangan bawa aku ke dalam alasanmu.” Zio memperingatkan Viona dengan nada ketus dan terkesan memerintah.
Pria itu menginjak pedal gas dan mobil sepenuhnya berjalan lagi saat kendaraan di depan telah menciptakan jarak.
Viona mengunci bibirnya begitu pula dengan Zio. Mereka berdiam diri sepanjang perjalanan menuju sebuah restoran mewah yang berada di kawasan Jakarta.
Ketika mobil yang dikendarai Zio telah memasuki kawasan restoran, jantung Viona langsung berdetak lebih cepat dibandingkan tadi. Meskipun telah menjadi agenda rutin, Viona selalu gugup dan tidak siap jika berhadapan dengan keluarga Zio yang memiliki latar belakang sangat berbeda dengan latar belakang keluarganya.
Zio melajukan kendaraan roda empatnya menuju parkiran restoran. Setelah sukses, ia kemudian mematikan mesin mobil. “Mari kita samakan persepsi,” tuntutnya setelah melihat keadaan di luar lewat kaca jendela yang belum terbuka. Keluarganya telah menunggu di dalam restoran sejak tadi.
“Bilang saja aku sedang sibuk mengurus bisnis properti di Bali.” Zio memberikan informasi itu kepada Viona setelah ia melepaskan sabuk pengamannya. Zio sengaja memiringkan posisi duduknya agar dapat melihat penampilan Viona lebih lekat.
Viona melipat kedua tangan di depan dada, mendengarkan dengan seksama penjelasan pria itu walaupun air mukanya tidak bisa menyembunyikan perasaan sangsinya.
Zio mengurus bisnis properti? Yang benar saja! Itu pasti hanya akal-akalnya. Tentu saja dia ke sana untuk menghamburkan uang milik keluarganya.
“Aku tidak suka penampilanmu yang sederhana seperti ini. Keluargaku menyukai penampilan wanita yang elegan, seperti Alinka contohnya.” Zio mencibir, tatapannya jelas sekali mencemooh tampilan Viona.
Alinka adalah salah satu teman kerja Viona di kantor. Beberapa orang yang dekat dengan Viona sudah mengenal Zio.
“Jadi sekarang kamu mencampuri soal penampilanku, ya? Ini tidak ada dalam perjanjian kita,” sindir Viona.
“Jika menyangkut keluargaku, tentu saja itu akan menjadi urusanku.”
Viona mengangkat salah satu tangannya ke udara meminta Zio untuk berhenti memberikan komentar. Baginya, penampilannya malam ini sudah terlihat elegan. Rambut panjang hitam sepunggungnya dikepang belanda. Viona juga mengenakan giwang berbentuk bunga di telinganya untuk menunjang penampilan. Jangan lupa heels setinggi sepuluh cm agar terlihat lebih tinggi.
Zio berdecak lagi sambil mengibaskan tangannya ketika Viona hendak buka suara. Zio tidak suka pendapatnya disanggah. “Cepat berikan informasi untukku,” sergahnya dengan cepat.
“Aku sedang sibuk dengan pekerjaanku. Itu saja. Tidak ada yang penting.” Viona mengedikkan bahunya ke atas.
Zio lantas mengangguk dan bersiap untuk keluar dari mobil. Ia melihat penampilannya sekali lagi lewat rear view mirror.
Ketika tangannya mendorong pintu mobil, tangan Viona menghentikan pergerakannya. Zio menoleh ke belakang. Kedua alis hitamnya bertaut. “Apa lagi?” tanyanya tidak sabaran.
“Cincin.” Viona mengingatkan.
Secepat kilat Zio melihat jemari kirinya dan tersadar hal yang paling penting dari semuanya. Buru-buru ia membuka kotak di bawah dashboard mobilnya dan menemukan apa yang pria itu cari. Zio langsung mendorong benda bulat itu ke jari manisnya.
Sempurna sudah penampilan mereka berdua. Zio dan Viona telah siap memasuki restoran. Tidak lupa juga Viona membawa buket bunga mawar besar yang dipesannya tadi khusus untuk tante Mia.
Kegugupan Viona bertambah besar ketika ia sudah sampai di pelataran restoran mewah tersebut. Seorang pramusaji dengan pakaian rapi menghampiri mereka. Zio menyebut nama keluarganya dan seketika pramusaji itu mengantarkan mereka ke meja yang telah dipesan.
Viona sangat takjub dengan desain restoran ini. Lampu-lampu kristal digantung di langit-langit yang cahayanya menyinari semua sudut restoran. Masing-masing meja juga ditata sedemikian rupa hingga jarak antar meja terlihat sangat teratur. Gelas berkaki telah berada di atas meja lengkap dengan botol wine. Tidak lupa dengan sendok, piring dan garpu. Beberapa meja pengunjung dilengkapi dengan lilin di atasnya. Mungkin mereka memilih tema candle light dinner yang romantis.
Viona langsung melingkarkan tangannya lengan Zio dengan mesra saat jarak mereka dengan meja keluarga Zio telah dekat. Seolah tahu dengan kode tersebut, Zio mengamit jemari Viona.
“Maaf ya, kami terlambat,” ujar Zio kepada seluruh keluarganya disertai dengan senyumannya yang lebar. Tidak lupa juga ia menggeser kursi ke belakang dan mempersilahkan Viona untuk duduk.
“Nggak papa, pasti macet di jalan, iya, kan?” tebak Mahendra sambil terkekeh.
“Oh iya … ini buket untuk Tante. Semoga Tante suka.” Viona yang sudah duduk kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan menuju tempat duduk Mia yang bersebrangan dengannya demi menyerahkan buket tersebut.
Perut Viona mendadak mulas saat Mia belum juga menerima buket dari tangannya dan memilih mendikte penampilan Viona dari atas hingga bawah. Ia tahu kalau wanita di depannya itu tidak pernah setuju Zio bertunangan dengannya. Dari sorot matanyaa, Viona sudah bisa menilai kalau Mia menganggap Viona tidak pantas bersanding dengan putra semata wayangnya.
Sudut bibir Mia tertarik ke atas saat melihat baju yang ia kenakan. Viona yakin kalau Mia mengenali pakaian itu. Kalau saja Mahendra tidak ikut malam ini, wanita itu pasti akan mencercanya habis-habisan.
“Terima kasih, ya, Sayang. Bunganya cantik sekali.” Pada akhirnya Mia menerima buket tersebut dan mencium bunga itu sekilas. Senyum lebar yang terkesan dibuat-buat itu terlihat jelas. Menghindari pertanyaan lebih lanjut, Viona memilih kembali ke tempatnya dengan napas lega karena Mia tidak berkata apa-apa tentang penampilannya.
“Apa kabar kamu, Sayang? Kakek rindu sekali denganmu.” Mahendra—pria paruh baya berumur 65 tahun bertanya dengan suara hangat disertai dengan senyuman yang memperlihatkan kerutan di ujung matanya. Meskipun usia telah senja, kharisma dan wibawanya masih saja terpancar.
“Baik Kek. Maaf, Viona nggak bisa sering main ke rumah.” Viona mengulum senyum dengan tulus. Di antara mereka berempat hanya Mahendra yang benar-benar menyayangi Viona seperti cucu sendiri.
Mahendra tertawa sembari mengibas tangan di udara. “Jangan terlalu dipikirkan, Kakek tahu kamu sibuk bekerja. Bagaimana dengan keluargamu? Bulan depan kita harus makan malam dengan formasi lengkap, ya.”
Viona menjawab tentang keadaan keluarganya yang sehat disertai dengan anggukan kepala singkat menyetujui usul Mahendra itu. Percakapan terhenti sejenak saat dua orang pelayan membawakan makanan yang telah dipesan. Steak yang asapnya masih mengepul tersaji di depan Viona. Daging panggang itu terlihat sangat lezat. Dari penampilannya saja ia sudah bisa mengatakan kalau daging tersebut akan lembut dan empuk saat bertemu dengan giginya nanti.
Semua orang makan dalam diam. Viona sudah hapal aturan dalam keluarga ini. Berbeda sekali dengan keluarganya yang ketika makan bersama dimanfaatkan untuk sesekali buka suara.
“Bagaimana rencana kalian ke depannya?” tanya Mahendra ketika semua orang sudah selesai menyantap hidangan utama. Makanan penutup akan datang sepuluh menit lagi.
“Maksud Kakek menikah?” ujar Zio untuk meyakinkan.
“Tentu saja itu yang ingin Kakek kamu tanyakan, Zio. Makan malam ini memang bertujuan untuk itu.” Hartono—papa Zio buka suara sembari melihat ke arah Zio dan Viona yang memang sengaja duduk bersebelahan. “Kalian sudah bertunangan cukup lama.” Sambungnya lagi.
Zio tertawa kencang hingga kedua bahunya bergetar. “Oh ayolah, Kek! Kami belum memikirkan hal itu untuk saat ini. Viona masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia juga ingin sekolah S2 lagi. Iyakan, Sayang?” Tangan Zio yang bebas menyentuh tangan Viona yang berada di atas meja. Ibu jari pria itu mengelus lembut kulitnya . Senyum Zio melebar hingga menunjukkan deretan giginya yang putih. Jangan lupa pancaran matanya yang terlihat sangat mendamba dan juga mencintai Viona.
Dalam hati, Viona ingin muntah saat ini juga. Zio sudah sukses memainkan peran sebagai seorang pria yang begitu menyayangi pasangannya. Kalau ada open casting, Zio pasti lolos dan menjadi peran utama. Wajahnya sangat mendukung untuk itu.
Tidak ingin kalah dengan pria itu, Viona juga akan menunjukkan kemampuannya. “Betul kata Zio, Kek. Akhir-akhir ini Zio juga masih sibuk dengan bisnis propertinya di Bali yang baru dijalaninya. Bisni itu membutuhkan perhatian lebih. Kami minta waktu lebih banyak untuk memikirkan pernikahan.” Viona mengeratkan genggaman Zio serta membalas senyum pria itu dengan senyum simpul. Melalui sudut matanya ia bisa melihat ketiga orang tersebut memandangi pertunjukan mereka.
Mahendra berdeham singkat untuk mencuri atensi. “Baiklah kalau begitu, tapi Kakek harap jangan lama-lama. Kami semua sudah tidak sabar untuk menantikan calon penerus.”
Zio dan Viona kompak memberikan senyuman dan anggukan kepala sebagai jawaban.
***
Viona menelisik penampilannya lewat kaca kamar mandi yang lebar sambil menyapukan kembali pewarna bibir di bibirnya. Setelah dirasa pas, ia lantas kembali ke meja makan. Baru beberapa langkah keluar dari kamar mandi, ia dikejutkan dengan kehadiran Zio yang bersandar di dinding sembari merokok. Pria itu pasti menunggunya.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Viona penasaran.
“Hanya ingin berlaku sebagai tunangan yang baik.” Pria itu mengedikkan bahunya ke atas. “Kamu terlalu lama berada di toilet tadi. Daripada Kakek yang memintaku untuk mengecek keberadaanmu, lebih baik aku berinisiatif duluan. Ya … hitung-hitung mencari muka di depannya.”
Jawaban itu tentu saja membuat Viona memutar bola matanya bosan. Ia sudah paham kalau semua yang Zio lakukan terhadapnya pasti memiliki maksud di balik itu. Tujuan utamanya adalah menjadi cucu yang baik dan meluluhkan hati Mahendra.
“Aku rasa sandiwara kita untuk kesekian kalinya berhasil.” Zio berujar kemudian. Matanya menatap awas ke sekeliling. Tidak lupa juga ia mencari titik-titik CCTV yang terpasang di sekitar mereka, jangan sampai gerak-gerik mereka terekam oleh kamera.
“Yah … aku sudah mampu menyaingi Jefri Nichol.” Pria itu lantas tertawa lagi. Tawanya sangat keras hingga membuat bahu pria itu bergetar.
Viona hanya menggelengkan kepala. Zio dan tingkat percaya dirinya yang tinggi memang sudah bukan hal baru lagi.
Ia menatap sekali lagi cincin keperakan yang melingkar di jari manisnya. Cincin tunangan yang hanya ia pakai ketika bertemu dengan keluarga Zio dan jika ia berada di rumah dengan maksud untuk mengelabui mereka. Selebihnya tidak pernah ia gunakan. Jika ada orang lain yang bertanya, ia akan membuat alasan sedemikian rupa. Pun sama halnya dengan Zio.
Di depan semua anggota keluarga, Zio dan Viona akan menjelma menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun, di balik punggung mereka, Zio dan Viona kembali menjadi dua orang asing yang tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing.
“Siap untuk pertunjukan berikutnya?” Zio membuang puntung rokok yang telah terbakar setengah kemudian mematikan apinya. Sudah cukup waktu istirahatnya, saatnya mereka kembali ke meja makan.
“Aku membenci ini, tapi tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, kan?” sahut Viona. Ia menyamakan langkahnya dengan Zio yang telah pergi lebih dahulu. Jika Zio melakukan ini untuk mencapai tujuannya, maka Viona juga sama.
Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semuanya memiliki harga sekalipun harus dibayar dengan sebuah sandiwara.
Selama 27 tahun hidupnya, Viona belum pernah jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian sesungguhnya. Seingatnya, saat SMP hingga SMA ia sempat menikmati yang namanya cinta monyet, tetapi itu hanya berlangsung sementara. Masa kuliah, Viona menyampingkan tentang itu dan memilih fokus belajar. Ia harus mati-matian menyelamatkan IPKnya agar beasiswanya tidak dicabut. Persetan dengan yang namanya cinta.
Viona sudah tahu perihal ia dijodohkan sejak kecil dengan cucu salah satu sahabat kakeknya bernama Mahendra ketika telah lulus dari kuliah. Arumi—ibunya mengatakan itu kepada Viona suatu hari.
Mahendra juga yang menempatkan Viona ke perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Sebagai pebisnis ternama, lelaki itu tentu saja memiliki koneksi di mana-mana dan sangat mudah memasukan Viona ke dalam salah satu mitra kerjanya.
Saat itu, Viona tidak bisa menolak uluran tangan Mahendra. Meskipun agak sedikit bertentangan dengan prinsipnya, ia harus tetap realistis. Zaman sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dan ketika ada orang baik hati yang membuka peluang untuknya, Viona langsung menerima. Walaupun terkesan mendapatkan privilege, Viona tidak bisa leha-laha. Ia tetap menunjukkan kerja keras di perusahaan tempatnya bekerja sebagai bukti kalau ia memang layak dan pantas.
Ini juga yang membuat Viona cukup segan dan berterima kasih kepada Mahendra. Ketika pria itu mengenalkan Zio sebagai calon tunangannya, Viona hanya bisa mengiyakan.
Viona sering membaca kisah perjodohan di novel-novel romansa yang berakhir dengan saling jatuh cinta di antara tokoh utama. Sayangnya, kisah seperti itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Ia tidak pernah jatuh cinta kepada Zio bahkan sejak awal pertemuan mereka. Pun sama halnya dengan pria itu.
Di mata Viona, Zio bukan pria yang bertanggung jawab atas apa yang ia punya. Pria itu masih sibuk menghambur-hamburkan uang milik keluarga di saat yang lain sedang kesusahan mengais rejeki. Pria itu suka mengatur dan tidak suka pendapatnya disanggah.
Seperti pagi ini, ketika Viona bersama kedua teman kerjanya yaitu Lana dan Alinka sedang fitting baju di sebuah bukti langganan mereka untuk keperluan acara pesta topeng dalam rangka anniversary perusahaan, Zio, tiba-tiba saja datang.
“Hai Sayang …,” sapanya sesaat setelah masuk ke dalam butik. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna navy dengan inner kemeja berwarna putih serta celana berwarna sama dengan jasnya. Di tangan kirinya melingkar jam branded Fossil keluaran terbaru yang Viona taksir harganya melebihi gajinya sebulan penuh.
Kedatangan Zio yang mendadak tentu saja membuat Viona kelabakan. Ia tidak menyangka pria itu akan berada di sini. Di depannya sembari tersenyum lebar yang dibuat-buat. Saat pria itu mencium salah satu pipinya, Viona tidak bisa mendorong tubuh pria itu menjauh, sebab kedua sahabatnya menonton sandiwara mereka.
“Oh! Hai Sayang ….” balas Viona kemudian. Ia langsung menarik lengan Zio dan menjauh dari tempat kedua temannya berdiri. “Kamu ngapain di sini?” tuntut Viona.
“Tentu saja menemanimu untuk mencari gaun yang akan kamu kenakan di pesta topeng besok. Apakah ini semua koleksi baju yang ada di butik ini? jelek sekali. Tidak berkelas!” komentar Zio lagi setelah selesai memindai semua koleksi baju yang dipajang.
“Aku tidak butuh bantuanmu,” sungut Viona dengan perasaan jengkel. Mulut Zio yang tidak pernah difilter itu ingin sekali ia tarik dan plintir.
“Kamu pikir aku mau, huh? waktuku lebih berharga jika kuhabiskan dengan berolahraga di gym atau sekedar main golf dibandingkan harus membantumu memilih baju.” Tatapan Zio kentara sekali kalau ia tidak menyukai semua jenis baju yang ada di butik ini.
“Kakek yang memintaku. Asal kamu tahu saja, iya, aku juga akan ikut ke pesta itu besok malam. Semua jajaran pebisnis diundang dan itu kesempatanku untuk menunjukkan diri.”
Ingin rasanya Viona menendang bokong pria ini agar segera pergi dari tempat ini. Butik ini memang butik langganannya dengan Lana. Hanya butik ini yang rentangan harga bajunya masih bisa dijamah oleh kantong mereka.
Dalam hidupnya Viona sudah berjanji tidak akan menerima uang sepeser pun dari Zio.
“Sudah pilih saja baju itu!” Perintah Zio dengan menunjuk satu dress brokat berwarna pastel dengan kerah bentuk Sabrina yang panjangnya sampai ke mata kaki dengan dagunya.
“Tidak! aku tidak suka itu!” Viona bersikeras. Baju yang dipilih Zio terlalu sederhana. Viona sudah berjanji pada dirinya akan tampil glamour saat pesta nanti. Kapan lagi ia bisa berpakaian seperti itu kecuali ke pesta. Viona sudah punya pilihannya sendiri.
Zio tergelak. “Oh ayolah Viona! baju apapun yang kamu kenakan, kamu tidak akan pernah bisa menjadi pusat perhatian. Perempuan dari keluarga sederhana mana bisa menyaingi perempuan dari keluarga berada. Kamu harusnya sadar diri.”
Viona mengeratkan kedua kepalan tangannya yang menggantung di udara. Ini salah satu alasan mengapa Zio tidak pernah bisa membuat dadanya berdebar atau perutnya digelitiki oleh ribuan kupu-kupu. Pria itu selalu memandang rendah dirinya hanya karena berasal dari keluarga sederhana.
“Sebaiknya kamu pergi saja dari sini,” desak Viona kemudian.
“Seperti yang kuharapkan.” Zio mengedikkan kedua bahunya ke atas. “Kalau Kakek menanyakanmu, bilang aku sudah menjadi tunangan yang baik.”
Setelahnya Zio melangkah pergi keluar dari butik. Tidak lupa juga ia menyalami kedua sahabat Viona.
“Cie Mbak Viona … punya tunangan so sweet banget sih, Mbak. Milih baju aja sampai disamperin.” Lana—teman kerja sekaligus junior Viona semasa kuliah menggoda Viona sesaat setelah Zio pergi.
“Apaan sih, Lan! Zio ke sini cuma mau ketemu sebentar aja, kok. Seminggu terakhir ini kami jarang ketemu.” Viona cukup kaget dengan alasan yang ia buat sendiri ini. Semakin lama ia semakin mahir untuk berakting kalau ia dengan Zio adalah pasangan yang serasi.
“Kalian sudah milih baju?” tanya Viona lagi, mencoba untuk mengalihkan topik.
Lana mengangguk dengan mantap sedangkan Alinka menggeleng. “Aku cari di butik langgananku saja. Sorry, baju di sini bukan cup of tea aku.”
Alinka adalah seorang content creator, model dan brand ambassador produk pelembab di perusahaan Labios Ikari Cosmetics, tempat Viona bekerja. Sudah setahun wanita itu menjalin kontrak kerja sama. Sejak itu, produk pelembab yang diproduksi menjadi laris manis di pasaran.
“Mbak … bibir Mas Zio seksi, yah. Kalau ciuman pasti mode nyedot, ya?” Lana terkikik sendiri dengan pertanyaannya. “Mbak Viona ciuman gimana sih? ada sensasi semriwing gitu, nggak? perut digelitik gitu ada, nggak? sama kayak aku? cerita, dong!”
Viona dan Alinka saling berpandangan kemudian geleng-geleng kepala. Semenjak tadi Lana memang heboh sendiri menceritakan pengalaman berciuman dengan pacar barunya.
Viona hanya mengulum senyum. Sejujurnya, Viona belum pernah sama sekali melakukan hal itu. Ia memang tidak pernah memberikan kesempatan itu kepada Zio. Viona hanya ingin melakukannya dengan seseorang yang ia suka.
“Iya,” jawab Viona datar. Mana mungkin ia menceritakan hal bodoh dan konyol itu kepada mereka. Bisa-bisa ia jadi bahan bullyan.
Lana mengambil baju yang dipilihnya kemudian berjalan menuju kasir. Viona menyusul lima menit setelah menimbang kembali dress yang menjadi incarannya bahkan sejak sebulan yang lalu. Alinka hanya menjadi pengekor dan pelengkap mereka.
“Untung deh kamu sudah sempat mengalami pengalaman itu sebelum umur 30.” Alinka merespon pernyataan Lana tadi.
“Memangnya ada yang aneh jika melakukannya setelah umur itu?” Viona tampak tertarik.
Kali ini giliran Alin yang tertawa kencang hingga membuat mbak kasir sempat kaget dan mengelus dadanya berulang kali. Alinka kalau tertawa sangat lepas dan tidak mengenal tempat. Kepalanya sampai terangkat ke atas. Terkadang Alinka sampai memegang perutnya yang sakit karena kebanyakan ketawa.
“Itu namanya kolot, Viona! Anak SMP zaman sekarang saja sudah melakukan itu, bahkan lebih.”
Viona mencibir. Jadi selama ini ia dicap sebagai perempuan kolot karena belum pernah melakukan hal itu? Cih … yang benar saja.
“Sebelum dunia kiamat, setidaknya lakukan hal itu sebagai salah satu pengalaman dalam hidup. Ya hitung-hitung menambah portofolio kehidupan,” kikik Alinka yang dibarengi dengan Lana. Viona hanya diam saja. Malas menanggapi.
Setelah selesai membayar mereka memutuskan untuk kembali ke kantor. Jam makan siang sudah habis.
***
Keesokan harinya, acara yang ditunggu-tunggu Viona pun tiba. Ia mematut dirinya di cermin dan cukup puas dengan make up bold yang tersapu di wajahnya. Hampir selama dua jam ia merias diri. Rambut hitam sepunggungnya dibentuk dengan model twisted rope bun dengan sehelai rambut di dekat telinga dibiarkan menjuntai. Viona mengenakan dress berkerah rendah yang berbentuk V. Ujung lengan bajunya berisikan karet yang membuat penampilan Viona makin terlihat manis. Pakaian yang panjangnya hingga ke mata kaki itu memiliki dua warna. Bagian atas berwarna hitam sedangkan bagian bawahnya berwarna abu terang dengan bahan brokat.
“Nak … belum selesai juga, ya? Zio sudah nungguin kamu dari tadi. Tunangan kamu itu cakep banget.” Arumi masuk ke dalam kamar Viona setelah mengetuk pintu terlebih dahulu tadi. Wanita itu duduk di tepian ranjang dan mengamati penampilan Viona di cermin.
Lewat cermin, Viona bisa melihat wajah ibunya yang berseri-seri setelah kedatangan Zio tadi. Yah … inilah alasan mengapa Viona mau bersandirawa dengan pria itu. Arumi sangat menyayangi Zio dan ingin sekali pria itu menjadi menantunya.
“Biarkan saja dia menungggu, siapa suruh datang terlalu cepat,” gurutu Viona. Kedua tangannya masih sibuk memasukan anting yang panjangnya sekitar tujum cm itu ke dalam lubang telinga.
“Gak boleh gitu! Zio sudah bela-belain untuk datang menjemput kamu disela-sela waktunya yang terbatas karena kesibukannya. Kamu harus menghargai usahanya, Na! Mama gak pernah ngajarin kamu untuk jadi wanita yang tidak bisa menghargai orang.”
Viona hanya memutar bola matanya jengah. Arumi memang bereaksi berlebihan jika menyangkut soal Zio. Ibunya itu tidak pernah tahu kalau lelaki yang ia sanjung itu justru tidak pernah menghargai anak perempuannya.
Akhirnya Viona beranjak dari tempat duduknya. Sebelum keluar dari kamar, ia menyapukan bibirnya dengan pewarna bibir berwarna merah bata. Ia mengangkat sedikit gaunnya untuk mempermudah langkah. Arumi tersenyum melihat Viona yang begitu cantik. Ia mengekori putri sulungnya bertemu dengan tunangannya di ruang tamu.
Setelah berpamitan dengan keluarga Viona, Zio mengajak wanita itu menuju mobil yang telah terparkir di depan rumah Viona. Malam ini pria itu sengaja mengendarai mobil Marcedes-Bens mewahnya. Zio akan memanfaatkan situasi ini untuk memamerkan status sosialnya sebagai salah satu pewaris perusahaan properti nomor satu di Jakarta.
“Kita tidak akan turun bersama nanti. Aku akan menurunkanmu sebelum sampai di gedung.” Zio berujar dengan nada ketus. Viona meyakini kalau pria di sampingnya itu kesal akibat menunggunya terlalu lama tadi.
Viona tidak perlu menjawab. Toh, apapun jawabannya, Zio tetap bersikukuh pada pendapatnya.
Mereka sampai ke gedung tempat diselenggarakannya pesta topeng tersebut 30 menit setelahnya. Sesuai dengan perkataan Zio tadi, pria itu menurunkan Viona 50 meter sebelum sampai di tempat tujuan. Meskipun kesulitan berjalan dengan high heels 10 cm, Viona tetap berjalan tegap dan sampai ke gedung mewah yang sudah dipadati dengan para tamu yang hadir.
Acara anniversary kantornya kali ini memang mengusung konsep yang unik dan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ide ini tercetus dari karyawan di bidang creative dan design, lalu disetujui oleh semua karyawan yang lain.
Viona menyerahkan lanyard miliknya kepada resepsionis yang bertugas. Setelah menyocokan informasi, ia diizinkan untuk ke meja selanjutnya. Tidak lupa juga Viona diberi satu topeng berwarna putih yang memiliki aksen bulu di atasnya. Segera Viona mengenakan topeng tersebut sebelum masuk ke dalam gedung.
Semua orang yang bertugas malam ini kebanyakan berasal dari anggota jasa organizer yang sengaja disewa. CEO mereka—Pak Adrian memang berkeinginan agar semua karyawan malam ini menikmati acara tanpa dibebani pekerjaan. Acara ini terselenggara sekaligus merayakan perpisahan beliau yang akan dipindah tugaskan ke tempat asalnya.
Ketika kakinya memasuki gedung, Viona dibuat terpesona. Kedua mata hitam yang bersembunyi di balik topengnya menatap banyaknya tamu yang hadir memenuhi gedung ini. Para pelayan lalu lalang memberikan welcome drink. Gedung yang semula polos ini disulap dengan berbagai interior yang membuat gedung ini langsung tampak mewah dan megah.
“Viona!” Suara wanita dari arah belakang membuat Viona terperanjat kaget dan sontak membalikkan tubuhnya. Ia melihat seorang wanita dengan terusan berwarna merah terang dan rambutnya yang bergelombang dibiarkan tergerai kini berjalan mendekat ke arahnya. Wanita itu tentu saja menggunakan topeng sama sepertinya.
“Ini aku, Alinka!” Ia terkekeh kemudian sembari memberikan segelas minuman kepadanya.
“Kamu mengenaliku?” tanya Viona heboh. Padahal fungsi topeng ini kan untuk menyembunyikan identitas.
Alinka tertawa. Lagi-lagi tawa yang tidak perduli dengan sekitar. Kelebihan Alinka memang itu, ia tidak jaim dan apa adanya. “Tentu saja! Gaun yang kamu kenakan, kamu beli bersamaku, ingat?”
Viona langsung menepuk jidatnya saat sadar dengan kebodohannya. “Iya juga ya … eh? Lana di mana?” tanyanya lagi.
“Dia sedang kencan bersama pacar barunya. Tuh, di sana!” Alinka mengarahkan dua sejoli yang berada dalam jarak yang cukup jauh dengan mereka, tapi masih bisa terlihat dengan telunjuknya.
“Kamu sendirian? Zio di mana?”
Viona menyesap minuman yang diberikan Alinka untuk menghilangkan dahaganya hingga habis. “Dia izin masuk duluan tadi. Katanya ingin bertemu dengan beberapa rekan bisnis.” Entahlah Viona tak yakin alasannya ini cukup kuat atau tidak.
Baru saja Viona hendak bertanya lagi kepada Alinka mengapa ia tahu tentang Zio yang ikut datang ke sini padahal ia sama sekali tidak bercerita dengannya terpaksa ditunda akibat suara MC yang akan memulai acara.
Setelah sepatah dua patah kata pidato dari para pendiri serta CEO tentang sejarah berdirinya perusahaan serta tujuan dari penyelenggaraan acara ini, maka dilanjutkan dengan agenda yang paling dinanti.
Cahaya menyilaukan dari lampu-lampu yang digantung di langit-langit kini berubah menjadi gelap dan temaram. Lampu-lampu pesta yang berwarna-warni serta dihiasi dengan kerlap-kerlip mirip seperti lampu diskotik kini telah menyala.
Musik menyentakkan semangat diputar. Sosok perempuan, yang sepertinya sudah ditugaskan untuk menghidupkan suasana bergoyang dan berjoget diiringi dengan musik. Semua mata di balik topeng itu menatapnya. Ia menjadi pusat perhatian.
Entah dari mana datangnya keberanian itu, tiba-tiba Viona sudah berada di samping perempuan itu dan menemaninya berjoget. Tubuh Viona seolah dialiri sesuatu hingga membuatnya sangat bersemangat dan merasa bebas. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Rasanya beban yang selama ini ia tanggung menguap untuk sementara.
Viona mengacungkan salah satu tangannya di udara, kepalanya mengangguk, kemudian menggeleng lagi. Sesaat kemudian ia memainkan gaunnya lalu tubuhnya berputar.
Tidak sampai sedetik, tamu yang lain ikut melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Viona. Mereka tenggelam dalam keriuhan pesta dan musik.
Sepuluh menit berlalu, musik beraliran disko itu kini berganti haluan menjadi lagu Thinking out loud milik Ed Sheeran yang cocok dijadikan teman berdansa. Beberapa pasangan telah berdansa sesuai dengan ritme lagu.
Viona memilih untuk menyingkir, sebab ia memang tidak punya pasangan untuk berdansa. Alinka tidak terlihat batang hidungnya bahkan sejak lampu tadi dipadamkan. Namun, begitu Viona hendak melangkahkan kakinya, seseorang mengulurkan tangan di depannya.
Viona menoleh ke samping dan mendapati seorang pria yang ditutupi topeng berwarna hitam mengajaknya berdansa. Walaupun lampu temaram, Viona masih bisa melihat dengan jelas lelaki itu tersenyum simpul. Manis. Viona memuji senyuman itu.
Ia menerima uluran tangan lelaki itu. Mereka berdansa dengan tempo lambat. Dalam jarak sedekat ini, Viona bisa mencium aroma tubuhnya. Ia tidak mengenal dengan cukup baik aroma parfum, tetapi tubuh pria itu mengeluarkan aroma daun yang menyegarkan. Viona suka.
Lelaki itu sedikit mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Viona. Bibirnya dimajukan hingga hanya berjarak satu cm di telinganya. “Kamu bersemangat sekali.”
Suara beratnya entah mengapa terdengar seksi di telinga Viona hingga membuatnya sedikit gugup. Viona hendak mundur, tetapi sayangnya tangan pria itu yang melingkar di pinggangnya menghentikan keinginan Viona.
“Maksud kamu apa?” Kening Viona mengernyit samar.
Lelaki itu merespon dengan tawa kecil yang membuat lubang di kedua wajahnya tercetak dengan jelas. Dua tahi lalat di bawah bibirnya juga membuat wajahnya terlihat sangat manis dan menggemaskan. Walaupun ditutupi topeng, Viona tahu kalau pria di depannya itu masuk dalam kategori tampan.
“Jogetmu tadi. Kamu kelihatan sangat plong, seolah tidak ada beban. Aku memperhatikanmu sejak awal dan aku cukup terhibur.”
Jawaban itu mau tidak mau membuat hati Viona merasa ringan. Yah … menghibur orang juga termasuk pahala, kan? Ketika musik semakin mengalun, tangan pria itu mendorong tubuh Viona makin mendekat ke arahnya. Ia menuntun Viona untuk berdansa mengikuti langkahnya. Kiri kanan kiri kanan.
Diputarnya tubuh Viona ketika beat musik mulai menyentak. Lalu dengan sekali tangkapan, ia menarik kembali tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. “You’re so beautiful tonight.” Mata hitam di balik topeng itu mengungkapkan kejujuran.
Viona merasakan ada sesuatu yang aneh menggelayut di dalam tubuhnya. Perasaan yang menjalar dan berpusat ke wajahnya hingga membuat sensasi panas di sana. Entahlah, apakah ini karena efek kerumunan orang yang berdansa atau yang lainnya, yang jelas ini belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Wanita itu mencari kebohongan pada tatapan tajam pria itu yang menatapnya tanpa berkedip sekalipun, tetapi Viona tidak menemukannya.
Ini adalah kali pertama Viona dipuji oleh seorang laki-laki. Malam ini juga kali pertama baginya untuk tampil di depan umum tanpa sebuah paksaan dan mengikuti kata hati untuk berjoget dan bergoyang.
Tiba-tiba Viona teringat akan perkataan Alinka di butik tempo hari.
Entah darimana datangnya dorongan itu, atau karena suasana yang mendukung serta perasaan ingin tahu yang besar membuat Viona dengan tiba-tiba menarik tengkuk pria itu mendekat ke arahnya.
Ia menyapukan bibirnya di atas bibir pria itu lalu menciumnya.
Hal yang pertama kali Viona ingat saat bangun dari tidurnya adalah bibir kenyal milik pria itu yang menempel di bibirnya. Wajah Viona memanas. Buru-buru ia menutupi seluruh tubuh dengan selimut.
“Kyaaaa!!!” Viona berteriak dan menghentakkan kakinya di udara.
Kejadian tadi malam masih membekas diingatkannya seolah baru saja terjadi. Bagaimana tatapan mata hitam milik pria itu yang membiusnya, bagaimana bibir tebal pria itu serta kedua tahu lalat di bawahnya yang membuat penampilannya makin menggoda. Bagaimana lengan pria itu yang semakin mencengkram pinggangnya.
Oh ****! Wajah Viona kembali memanas.
Apakah Viona menyesal dengan tindakan impulsifnya itu? Oh tentu tidak! Ia lebih memilih memberikan ciumannya kepada pria asing itu dibandingkan Zio.
“Because this is my first life,” ungkapnya sembari mengedikkan bahu setelah sisi malaikat di dalam dirinya buka suara protes.
Seperti kata Alinka, sebelum dunia ini punah dan kiamat, sebelum memasuki umur 30 tahun, Viona harus merasakan itu.
Ia memutuskan bangkit dari tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi untuk bersiap-siap ke kantor. Setelah pesta kemarin malam yang menghabiskan uang perusahaan cukup banyak, kini para pekerja mesti dipaksa mencari uang lagi agar balik modal. Tidak ada kata santai-santai, kerja bagai kuda.
Hampir 30 menit yang Viona gunakan untuk mandi dan bersiap-siap. Setelahnya ia beranjak menuju meja makan.
Dari arah kamar ia sudah tercium aroma masakan yang menggugah selera makannya.
“Pagi Ayah ... hai Verrel,” sapa Viona dengan riang kepada kedua lelaki beda usia itu. Ia memutuskan untuk duduk bersebrangan dengan adiknya. Rupanya Verrel sedang menikmati sarapannya.
“Tadi malam kamu pulang diantar Zio, Nak?” tanya Pramudya. Pria yang berprofesi sebagai guru SD itu menyendokkan nasi goreng ke piring.
Viona menggigit bibir bawahnya pelan. Ia tidak mungkin mengatakan kebenarannya kalau semalam ia pulang dengan taksi. Setelah ciuman itu, Viona langsung kabur tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk mengenalnya lebih jauh. Ia hanya iseng. Anggap saja rejeki nomplok. Viona sudah seperti Cinderella yang kabur pas tengah malam, beruntung saja sepatunya tidak ketinggalan.
“Ya iyalah Pak, Viona pulang sama Zio, mau sama siapa lagi. Iya, kan, Nah?” Arumi langsung menyambar pertanyaan itu begitu saja.
Ketika Pramudya memalingkan wajah ke arah putrinya, Viona segera mengangguk. Biarlah ia berbohong, toh selama ini juga ia sudah sering melakukannya.
“Na ... kalian kan sudah lama bertunangan, kapan rencana untuk ke tahap selanjutnya?” tanya Arumi disela-sela menyantap nasi gorengnya.
Suara sendok dan piring milik Viona seketika berhenti beradu. Ia melihat kedua orang tuanya yang juga memandangnya.
Perut Viona tiba-tiba merasa tidak enak seolah ada yang mengaduknya. Dalam hatinya ia mencibir. Tidak adakah hal lain yang bisa dibicarakan selain pernikahan?
“Belum Bu ... kami berdua belum memikirkan hal itu,” ungkap Viona. Tidak mungkin ia mengabaikan pertanyaan Arumi.
Kali ini giliran piring dan sendok milik Arumi yang berhenti beradu. “Mau sampai kapan kamu kayak gini terus, Viona?
Kening Viona mengernyit bingung. “Maksud Ibu apa?”
“Menunda-nunda pernikahan. Zio sudah mapan, berasal dari keluarga baik dan kaya. Kita juga sudah mengenal keluarga mereka. Apalagi yang kamu tunggu, huh? Kamu mau hubungan bertahun-tahun kayak nyicil KPR, iya?”
Viona menatap wajah ibunya yang menahan kesal sedangkan ayahnya hanya diam saja sambil menikmati makan. Verrel, sang adik tidak peduli sama sekali.
“Bu ... Zio sedang sibuk dengan bisnis properti yang baru saja dijalankannya, jadi mana mungkin kami memikirkan pernikahan, Bu?” jelas Viona. Ia menggunakan alasan yang pernah dilontarkan Zio beberapa hari yang lalu. Persetan dengan kebenaran alasan itu. Yang jelas, sebisa mungkin Viona akan berkelit kalau ditanya soal pernikahan. Tidak ada kata itu di kamus mereka berdua.
“Paling itu akal-akalan mu saja. Kamu kan yang maksa Zio untuk menunda pernikahan kalian? Nak, kami hanya ingin kamu bahagia. Dan Zio orang yang tepat untuk membahagiakan kamu.”
“Bu ... ini masih pagi, gak baik memulai hari dengan pertengkaran. Apalagi di meja makan.” Pramudya yang sedari tadi menyimak kini memutuskan untuk angkat suara.
Arumi berdecak lantas melanjutkan sarapannya. Bibirnya masih mengerucut sebal.
“Iya,Bu.” Viona hanya bisa menjawab pendek.
***
Suasana di kantor cukup riuh ketika Viona datang. Mereka masih sibuk membicarakan tentang suasana pesta tadi malam. Ada yang gembira dan cekikikan karena bisa menikmati pesta yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, ada juga yang mengeluh karena harus tetap bekerja setelah foya-foya kemarin. Ya namanya juga hidup dan roda terus berputar, kan, yak.
Mood Viona sudah lebih baik dari yang tadi. Ia juga menyapa beberapa karyawan yang berpapasan dengannya tadi sepanjang perjalanan menuju ruang kerja.
“MBAK VIONA!!” jerit Lana setelah melihat Viona muncul di ambang pintu ruangan. Lana dan Viona memang satu ruangan yang dipisahkan dengan kubikel saja.
Lana melompat dari tempat duduknya kemudian berlari menghampiri Viona dan menggamit lengannya. Ia tidak memberi kesempatan Viona untuk menaruh tasnya.
“Mbak kemarin datang ke pesta, kan? Kok aku gak lihat mbak sih? Hanya Mbak Alinka yang berpapasan denganku. Mbak Alinka cantik banget, kayak bidadari jatuh dari surga tepat di hadapanku,” kekeh Lana.
Viona mencibir. “Ke pestalah!!! Kamu kan lagi bucin-bucinnya, dunia cuma milik berdua. Yang lain ngontrak.” Ketika ada celah, Viona langsung melesatkan dirinya menuju kubikel dan duduk di sana. Ia menghidupkan komputernya, mengambil cermin dari laci dan memeriksa penampilannya terlebih dahulu.
“Ah Mbak!! Kayak gak pernah gitu aja sama Mas Zio,” protes Lana lagi. “Mbak datang sama Mas Zio ya? Eh btw kemarin Mbak Alinka pulang sama cowok loh, Mbak. Mereka pergi diam-diam, lewat jalur belakang gitu. Mereka cabut pas acara dansa.”
“Mbak Alinka ternyata bohong, ya ... katanya nggak punya pacar,” cibir Lana.
Viona hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh mendapati Lana yang banyak berbicara pagi ini tanpa mau membalas pertanyaan itu.
Viona bangkit dari kursi hendak ke pantry untuk membuat kopi sebagai dopingnya di pagi hari. Ia belum sempat menikmati minuman hitam nan pekat itu di rumah karena adu mulut dengan sang ibu.
Namun, suara telepon yang berdering menghentikan niat Viona untuk sementara waktu. Ia mengambil gagang telepon itu dan mengarahkannya ke telinga.
Viona, bisa ke ruangan Pak Adrian sebentar?
Suara lembut di seberang sana milik sekretaris Adrian. Viona menjawab dengan kata ok dan langsung bergegas menuju ruangan tersebut.
Ketika sampai di depan ruangan, Viona tidak mendapati Ana—sekretaris Adrian di mejanya. Takut membuat bosnya menunggu lama, ia langsung masuk ke dalam setelah sebelumnya mengetuk pintu terlebih dahulu.
Wanita itu tidak mendapati Adrian di ruangan. Hanya ada seseorang yang sedang duduk di sofa sambil membaca surat kabar dan membelakanginya. Viona yang canggung hanya mampu berdeham.
Mungkin tamu ini juga sedang menunggu Pak Adrian. Pikirnya.
Viona memutuskan untuk keluar saja dan menunggu di luar. Ia terlalu canggung berada di ruangan ini. Wanita itu berbalik dan melangkahkan kakinya.
“Tunggu!”
Suara rendah itu menghentikan Viona. Ia berbalik lagi dan menemukan sosok pria bertubuh tinggi itu sedang menatapnya. Sudut bibirnya terangkat ke atas.
Belum sempat otak Viona mencerna lebih dalam lagi, pria itu sudah berdiri hanya sejengkal darinya. Tangan lebar milik pria itu menutup bagian bawah wajah Viona yang hanya menyisakan kedua matanya.
Viona yang ketakutan mendadak mundur hingga tubuhnya terbentur tembok.
Bola mata milik wanita itu sontak melebar ketika melihat pria di depannya yang menyeringai.
Aku ketahuan. Batin Viona menjerit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!