Kawasan balapan liar,
Segerombolan pemotor sudah bersiap untuk melakukan balapan liar. Dengan memperebutkan hadiah yang tidak tanggung-tanggung yakni atas kepemilikan saham lima persen dari mereka pemilik perusahaan.
Suara berisik dari knalpot yang sudah dimodifikasi sangat menggema di tempat itu, dibarengi gemerlap lampu dari cahaya lampu motor itu sendiri.
"David..."
"David..."
"David..."
Teriak semua wanita begitu histeris, saat David sudah menunggangi kuda besi miliknya.
Decak kagum tidak hentinya keluar dari mereka, yang memiliki bibir bergincu merah menyala, seperti habis menghisap darah.
Karana nama David sendiri merupakan nama yang paling memiliki pengaruh dan daya tarik tersendiri. Karena wajah tampan blasteran Spanyol dan Indonesia. Yang menjadikan dia di elu-elu kan oleh kaum wanita.
Tapi sangat disayangkan ketika balapan harus terhenti di saat dering ponsel yang ditunjukan oleh asistennya. Dimana pada layar ponsel itu tertera nama Grand Mother.
Perumahan Elit, Jakarta.
Selepas pulang dari area balapan, David segera pulang menuju rumah karena sang Nenek memintanya demikian.
Padahal dia sudah bersiap untuk membawa lari kuda besinya sekencang mungkin. Untuk semakin memuncak kan nama Davidson Club pada pundak kejayaannya.
David segera melepas atribut balapan dan diserahkan pada asistennya. Kemudian dia pulang dengan mengendarai mobil.
Sesampainya di rumah, David di sambut oleh isak tangis sang Nenek.
Pertanyaan yang memang tidak memerlukan jawaban pun keluar dari mulut David. Sebab dia tidak menemukan lagi kalimat tanya yang bisa menenangkan sang Nenek. Karena bisa David pastikan jika itu karena ulah kedua orang tuanya.
"Ada apa, Nek?. Kenapa Nenek menangis?."
"Nenek mau pergi saja dari rumah ini!." Nenek mengelap air matanya sambil memegangi ujung tasnya.
David hanya mampu menghela nafas sambil menatap dua daun pintu, dimana Mommy nya pasti berada di kamar, dan Daddy nya pasti berada di ruang kerja.
"Mereka sudah tidak menghormati dan menganggap Nenek lagi!." Sambung sang Nenek masih dengan isak tangisnya.
"Nenek mau aku antar kemana?. Mau ke rumah Tante Santi dan Om Heru?, atau mau ke rumah Om Wisnu dan Tante Olive?, atau mau ke rumah Om Putra dan Tante Tamara?." Tanya David memberikan beberapa pilihan. Yang menurutnya rumah mereka yang disebutkan namanya itu merupakan rumah ternyaman sepanjang penglihatannya.
Akan tetapi sang Nenek menggeleng sebagai bentuk penolakannya. Karena baginya semuanya tetap sama, tidak ada bedanya dengan Fahmi dan Bella, kedua orang tua Willi Davidson.
"Lalu Nenek mau pergi kemana kalau bukan ke rumah mereka?." David dengan sabar mencoba mengikuti apa yang diinginkan Neneknya. Sebab sang Nenek merupakan wasiat dari mendiang sang Kakek, yang sudah berpulang enam tahun silam.
"Nenek mau ke rumah Bibi Elis dan Mang Maman saja. Biar hidup Nenek sedikit tenang, jauh dari sini." Jawab sang Nenek.
"Nenek sudah yakin mau tinggal di rumah mereka?,kan Nenek tahu sendiri mereka tinggal dimana?." Tanya David meyakinkan lagi sang Nenek. Karena yang dia tahu, pembantu di rumahnya yang bernama Bibi Elis dan Mang Maman tinggal di desa, yang jauh kemana-mana.
"Iya Nenek sangat yakin!." Jawabnya mantap.
David segera memanggil Bibi Elis dan Mang Maman, guna menyampaikan niat sang Nenek untuk sementara waktu akan tinggal di sana. Sampai Neneknya merasa tenang.
"Tapi rumah kami sangat jelek, tidak ada apa-apanya..."
"Mang Maman dan Bibi Elis tenang saja, mungkin Nenek tinggal di sana tidak akan lama. Bisa satu Minggu atau bisa kurang, karena saya yakin Nenek tidak akan betah tinggal di sana."
Bibi Elis dan Mang Maman saling pandang, rasanya ingin menolak pun sudah tidak bisa karena keinginan Nenek Widya seperti sebuah perintah yang harus segera dilaksanakan oleh mereka.
Akhirnya mereka pun menyetujuinya.
Desa Bojong Rawa.
Gadis berparas cantik, mengenakan hijab segi empat berwarna hitam senada dengan warna gamisnya. Dia adalah Soleha Fatimah. Anak kedua dari dua bersaudara.
Sedang mengajari beberapa anak-anak kecil sekitar usia 4 sampai 7 tahun membaca IQRA. Dimana mereka semua mengaji mendatangi rumah sederhana milik kedua orang tuanya, yang memiliki teras dan halaman cukup luas.
"Shadaqallahul-'adzim'...."
Semua anak-anak mengucapkan kalimat tersebut sambil menutup IQRA masing-masing.
Kemudian sebelum pulang mereka melanjutkan membaca surat-surat pendek seperti An-Nas, Al-Falaq dan Al-ikhlas. Yang diakhiri dengan membaca surat Al-Ashr.
"Assalamu'alaikum Kak Soleha...." Pamit semua anak-anak pada Soleha sambil menyalami tangannya sebagai bentuk penghormatan karena sudah mengajari mereka.
"Wa'alaikumsalam...." Soleha menjawab salam dari mereka sambil tersenyum kearah mereka.
"Kalian hati-hati di jalan."
"Iya Kak Soleha."
Dengan serempak mereka menjawab Soleha sambil berlarian meninggalkan halaman rumah.
Soleha mengganti pencahayaan yang sangat terang dengan yang cukup redup untuk menerangi teras rumahnya.
"Kamu mau makan atau langsung tidur?." Tanya Umi Uswatun dari arah ruang makan.
"Tidur saja, Um. Aku besok ada kuliah pagi." Soleha langsung masuk ke dalam kamar dan segera mengganti pakaian.
Umi Uswatun dan Abi Firdaus melanjutkan lagi obrolan mereka, terkait Mang Maman yang akan membawa salah satu majikannya untuk tinggal di rumah mereka.
"Bagaimana menurut Abi?."
Karena Umi tahu, rumah Mang Maman yang merupakan adik dari Abi Firdaus sangat sudah tidak layak untuk ditempati. Bahkan sudah hampir roboh. Makanya sudah lama rumah itu dikosongkan.
Jadi harapan Mang Maman ya hanya di rumah ini nantinya Nenek Widya akan menenangkan pikirannya. Tapi tentunya harus mendapatkan izin dari tuan rumah.
"Kalau memang tidak lama tinggal di sini, ya silakan saja. Takutnya kan beliau tidak nyaman juga dengan keadaan rumah kita. Apalagi sudah sepuh, dari dini juga kan rumah sakit jauh, jadi Abi hanya takut saja kalau ada apa-apa kita akan kesulitan untuk memberikan pertolongan."
Banyak hal yang Abi pertimbangkan sebelum memberikan izin. Tidak lama kemudian, Abi menerima telepon dari Mang Maman untuk semua kesiapan mereka untuk melakukan perjalanan malam ini juga.
Dan pada akhirnya, Abi Firdaus mengiyakan apa yang diminta oleh Mang Maman.
Umi Uswatun menyiapkan satu kamar yang tersedia di rumah itu untuk di tempati sementara oleh
Sekitar pukul satu dini hari, ada dua mobil mewah yang sudah terparkir di halaman rumah Abi Firdaus dan Umi Uswatun.
Bibi Elis dan Mang Maman yang sudah turun terlebih dahulu, untuk membangunkan pemilik rumah yang sedari tadi ditelepon tapi tidak dijawabnya.
Sudah hampir sepuluh menit Mang Maman dan Bibi Esti berdiri depan pintu, berulang kali mengetuk pintu dan memanggil pemilik rumah. Dengan ponsel yang terus berdering memangil nomer Abi Firdaus.
Karena Mang Maman tidak kunjung kembali ke mobil dan mereka malah lama di depan pintu. Akhirnya David turun untuk melihat situasi di sana.
"Ada apa Mang?." David berjalan mendekati mereka.
"Maaf Tuan David, Kakak saya belum bangun." Jawabnya tidak enak hati karena sudah membuat majikannya menunggu lama.
Tanpa permisi atau izin pada Mang Maman dan Bibi Elis, David menggedor kencang daun pintu itu berulang kali.
Sehingga tidak membutuhkan waktu lama, pintu pun terbuka cukup lebar, dengan kepalan tangan David yang menggantung di udara hampir mengenai jidat Soleha.
Pertemuan pertama antara David dan Soleha, meninggalkan kesan yang sama-sama kurang baik tentang diri mereka.
Dimana Soleha berpikiran, mana ada pemuda baik-baik datang bertamu di tengah malam dengan menggedor pintu pula. Itu namanya mau membuat onar.
Pun sebaliknya David berpikiran, mana ada tuan rumah yang baik akan membiarkan dengan sengaja tamunya menunggu lama di luar rumah. Sementara mereka enak-enakan tidur di dalam.
Walau pun keduanya saling mengakui jika Soleha di mata David, wanita yang cantik dengan mengenakan hijabnya jika dilihat secara kasat mata. Begitu David dilihat oleh Soleha memiliki ketampanan yang jauh di atas rata-rata orang tampan pada umumnya.
Namun untuk saat ini apa pedulinya mereka untuk itu. Mereka hanya dua orang asing yang untuk pertama kalinya bertemu, di waktu yang tepat bagi orang-orang untuk melaksanakan shalat tahajud.
"Akang nya, kalau bertamu itu yang sopan. Kalau tidak mengucapkan salam, minimal permisi, mengetuk pintu dangan baik. Bukan membuat onar begini dangan menggedor-gedor pintu." Ucap Soleha panjang lebar tanpa melihat wajah tampan David.
"Kau bagaimana juga, jadi tuan rumah sangat tidak menghargai tamu yang datang?." Balas David dengan nada menyolot, dengan telunjuk yang nyaris mengenai jidat Soleha jika saja Soleha tidak melangkah mundur.
"Ini juga, mana ada orang bertamu di jam segini?." Sambung Soleha saat melirik jam yang menggantung sebelah kamar Abi dan Umi, bertepatan dengan Abi dan Umi nya yang keluar dari dalam kamar.
"Um...Bi..." Panggil Soleha pada Umi dan Abi yang menuju kearahnya.
"Leha, ini mungkin tamu Mang Maman dan Bibi Elis?." Ucap Umi memberitahunya.
"Tapi mana Um, Mang Maman dan Bibi Elis nya?, enggak ada?." Tanya Soleha.
Ternyata saat David menggedor pintu, Mang Maman dan Bibi Elis ke dalam mobil karena membantu Nenek Widya menurunkan beberapa kopernya.
Soleha berjalan melewati tubuh tegap pemuda didepannya, tercium aroma wangi dari parfum yang menempel pada pakaian David.
"Oh iya Um, itu Mang Maman dan Bibi Elis." Tunjuk nya pada kedua orang yang kenalnya.
Soleha tidak tahu apa-apa tentang malam ini yang akan kedatangan tamu, bahkan dia juga tidak tahu kalau Mang Maman dan Bibi Elis akan pulang.
Soleha tidak terlalu mengurusi tamu yang datang bersama Mang Maman dan Bibi Elis. Dia hanya membantu membawa masuk semua koper dan menaruhnya di dalam kamar yang sudah disiapkan oleh Umi.
Kemudian Soleha pergi ke dapur saat melihat di meja masih kosong tidak ada apa pun. Dia segera membuat beberapa cangkir teh hangat untuk semua orang yang ada di ruang keluarga.
Lalu dia menghidangkannya setalah teh hangat itu jadi, dengan di bantu oleh Bibi Elis.
Karena sudah tidak ada yang membutuhkan tenaganya lagi, Soleha segara masuk ke dalam kamar.
Keesokan paginya...
Hampir saja Soleha kesiangan hari ini karena insiden semalam, kalau tidak dibangunkan oleh Bibi Elis.
Secepat kilat dia mandi, berpakaian dengan sangat sopan dan rapi, sebelum sarapan dia sudah memanaskan motor metik yang baru dibelikan Abi nya.
"Kenapa tadi habis shalat subuh kamu tidur lagi, Leha?. Jadinya serba terburu-buru kan!." Ucap Umi sambil merapikan gelas-gelas yang sudah kosong.
"Iya Um, habisnya mata ku minta merem lagi." Jawab Leha bercanda dengan senyum manis di bibirnya.
"Iya Um, untung saja tadi Bibi Elis membangunkan aku, kalau tidak alamat kesiangan aku pagi ini." Lanjut Leha sambil menyambar tas yang ada disebelahnya.
"Aku berangkat ya, Um. Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam...Hati-hati, Leha."
"Iya Um..."
Soleha berjalan menuju motor yang terparkir di depan halaman rumah dengan tangan yang menenteng helm.
Usai memakai helm, Soleha segera menaiki motor dan melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Sedangkan di dalam sebuah rumah megah dan besar, keributan selalu mewarnai pasangan suami istri itu. Sehingga David yang baru sampai di rumah pukul 05.00 pagi pun harus terganggu dengan isi pertengkaran kedua orang tuanya yang berada di meja makan.
"Sekarang mau kau apa?." Tantang Mommy Bella sambil menatapnya dengan congkak.
"Kau harus bisa mendidik David untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaannya di kantor, Mom!." Jawab Daddy Fahmi selalu menyerahkan tugas David pada sang istri.
"Kenapa tidak kau saja yang mendidiknya!. Kau dan dia sama-sama laki-laki, siapa tahu ucapan kau lebih didengarkan oleh dia!." Mommy Bella mendebatnya.
"Itu tugas kau, Mom!. Kau sebagai Mommy nya yang harus mendidik David, bukan aku!." Daddy Fahmi tidak bisa di perintah sehingga kembali menyerang Mommy Bella dengan argumennya.
"Kata siapa tugas mendidik anak itu tugas aku Dad, itu menjadi tugas dan tanggung jawab kau juga. Jangan semuanya kau limpah kan pada ku!." Mommy Bella kembali mendebat sang suami, karena rasanya tidak adil jika dirinya saja yang disalahkan.
"Iya seharusnya itu tugas kau, Mommy!. Kau seharusnya diam di rumah, menunggu suami pulang sambil mendidik David. Bukannya malah ikut bekerja, bahkan sekarang kau lebih sibuk dari pada aku!." Ucap Daddy Fahmi dengan tegas dan sedikit membentak Mommy Bella.
"Kau lupa kenapa aku mau bekerja?, kau lupa siapa yang memaksa ku untuk bekerja?." Teriak Mommy Bella.
"Itu semua karena perselingkuhan yang kau lakukan bersama wanita j*Lang itu. Kalau bukan kau yang sudah menyakiti ku, sudah aku pastikan aku akan menjadi istri yang baik untuk kau dan ibu yang baik juga untuk David, tapi sayang kau sudah bermain api sampai keluarga kita ikut terbakar." Lanjut Mommy Bella dengan air muka yang merah padam.
"Itu tidak seperti yang kau lihat, Mommy!. Kami hanya memiliki hubungan sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih!." Daddy Fahmi menegaskan.
"Halah, Daddy. Mana ada maling yang mau mengaku meski sudah ketangkap basah sekali pun." Ejek Mommy Bella tidak menerima pembelaan dari sang suami.
Pertengkaran dengan hal yang sama setiap harinya, masalah anak, tangung jawab, perselingkuhan dan harta. Dan itu selalu menyeret namanya. Karena dia di cap sebagai anak berandal, tidak memiliki masa depan, urakan dan lebih parahnya lagi tidak berguna dan tidak memiliki masa depan.
David menyambar ponselnya, lalu menghubungi semua teman-temannya untuk balapan lagi malam ini.
Setelah tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi, David segera keluar dengan pakaian gembelnya ala anak motor yang urakan.
Daddy Fahmi yang melihat hal itu langsung mencekal pergelangan tangan David dan memintanya duduk di meja makan bersama mereka.
"Kau mau jadi apa dengan gaya hidup dan penampilan yang seperti ini?." Tunjuk Daddy Fahmi pada diri David, menatapnya dengan wajah sinis.
"Aku mau hidup bebas, semau ku. Suka-suka aku." Jawab David santai dengan suara sepatu yang di hentak ke lantai.
"Kau lihat teman-teman kau yang sudah pada sukses memimpin perusahaan. Tidak seperti kau yang malah asyik dengan geng motor yang tidak jelas itu." Selalu saja Daddy Fahmi membandingkan dirinya dengan yang lain.
"Itu orang lain Dad, bukan aku!." David bangkit berdiri, lalu berjalan dengan pundak yang sengaja beradu dengan pundak Daddy Fahmi sehingga Daddy Fahmi mundur beberapa langkah.
"Lihat anak kau, kurang ajar!."
"Anak kita, Daddy."
Malam pun tiba, dimana David bersama-sama Geng Motor yang notabenenya adalah berasal dari kalangan kaum Borjuis sudah mengambil ancang-ancang untuk memulai balapan. Setelah tadi diberi arahan rute mana saja yang harus mereka lalui.
Seperti biasa, Willi Davidson yang lebih akrab dengan panggilan David. Tetap menjadi bintang malam ini.
Penampilan urakan dengan ciri khas gayanya David, memiliki kharisma tersendiri di mata kaum hawa yang memandangnya.
"David...David..." Teriakan histeris para wanita yang berjajar di sebelah kanan kiri David, dengan pakaian yang serba mini yang tidak mampu menutupi tubuh indah mereka.
Suara bising yang berasal dari knalpot semua anggota geng motor milik David, yang terus saja menggeber knalpot pun memenuhi jalanan, dengan kepulan asap yang menambah kesan macho pada mereka yang mengikuti balapan.
Pemandu balapan sudah mengibarkan bendera sebagai tanda balapan akan di mulai dalam hitungan ketiga.
"Satu... dua... tiga...Go!."
Semua motor besar itu sudah melaju dengan kecepatan sangat tinggi, supaya bisa memenangkan kepemilikan saham 5% dari perusahaan anggota balapan yang lain.
Hingga pada putaran terakhir, motor David yang berada paling depan, jauh meninggalkan pembalap yang lain.
Dan bisa dipastikan jika David lah yang keluar sebagai pemenangnya lagi.
Usai balapan, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan kota untuk menyusuri jalan yang akan mereka lalui saja sampai mereka menemukan tempat tujuan mereka malam ini.
Sedangkan di tempat lain, tepatnya di rumah Abi Firdaus dan Umi Uswatun. Mereka sedang menikmati waktu dengan berbincang santai, setelah makan malam yang sudah dimasak oleh Bibi Elis dan Umi.
Bahkan secara tidak langsung Nenek Widya sudah mengantongi semua informasi mengenai Soleha dari Bibi Elis dan Mang Maman. Tentunya tanpa ada yang menyadarinya.
Seperti malam ini, selepas anak-anak pulang mengaji dari rumah Abi dan Umi. Soleha merapikan beberapa buku IQRA yang diletakkan bukan pada tempatnya.
Ada sepasang mata tua namun masih begitu jeli melihat kecantikan dan kebaikan yang dimiliki Soleha.
Dengan wajah yang selalu berseri, Nenek Widya selalu memperhatikan hal detail yang dilakukan gadis berhijab itu.
"Kenapa Nek?, ada yang Nenek perlukan?."
Untuk pertama kalinya Soleha menyapa Nenek Widya karena kesibukannya sebagai mahasiswi yang membantu juga mengajar ngaji semua anak para tetangga.
Nenek Widya menghampiri Soleha yang masih di teras rumah.
"Apa boleh Nenek menanyakan hal yang sifatnya pribadi pada mu?." Nenek mendudukkan dirinya di sebelah Soleha.
"Boleh Nek, tanyakan saja. Memang hal pribadi apa yang ingin Nenek ketahui tentang aku?." Soleha menghentikan aktivitasnya lalu menatap intens wajah Nenek Widya.
"Bagaimana kalau sekarang, ada seorang pria yang melamar mu?." Tanya Nenek Widya hati-hati.
Soleha tersenyum tipis namun malah semakin mempercantik wajahnya.
"Kalau itu aku terserah pada Umi dan Abi. Tapi biasanya Umi dan Abi pasti akan membicarakan dulu pada ku." Jawab Soleha.
"Apa kamu akan langsung menerimanya?." Tanya Nenek Widya lagi.
"Apa tidak bisa kami saling mengenal dulu?." Tanya balik Soleha.
"Tentu kalian bisa saling mengenal, tapi nanti setelah menikah?. Bagaimana jika seperti itu menurut mu?." Nenek Widya meminta pendapat pada Soleha. Jika Soleha sudah memberikan jawaban yang menurutnya itu yang dikehendakinya. Maka malam ini juga Nenek Widya akan melamar Soleha untuk cucunya.
Penuh dengan kemantapan dan keyakinan hati tentunya dengan mengucap basmalah, Soleha menjawab pertanyaan Nenek Widya.
"Insya Allah tidak ada masalah bagi ku, Nek." Karena Soleha tidak menganut sistem pacaran jadi hal seperti ini menurutnya sangat lumrah terjadi.
"Alhamdulilah" Ucap Nenek sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.
Kemudian Nenek Widya pun berpamitan pada Soleha untuk menemui Mang Maman dan Bibi Elis.
Setelah rapi, Soleha masuk ke dalam kamar sebelum berkumpul di meja makan.
Soleha mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai yang bisa memberinya keleluasaan dalam bergerak dan melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaganya.
Semua mata tertuju padanya yang baru ikut bergabung bersama mereka di meja makan.
"Kenapa menatap Leha sepeti itu?. Ada yang salah dengan pakaian Leha?." Tanyanya pada mereka tapi lebih ditujuan pada keluarganya, seperti Abi, Umi, Mang Maman dan Bibi Elis.
Lalu Soleha duduk di sebelah Uminya.
"Ada apa sih?." Soleha merasa ada yang aneh dengan keempat orang tersebut. Sehingga Abi yang menengahi.
"Satu tahun lagi kan ya Leha selesai kuliah?."
"Enggak sampai Abi, paling yang efektifnya hanya enam sampai delapan bulan." Jawab Soleha sambil meneguk air minum yang ada didepannya.
"Bagus kalau begitu, tidak akan ada masalah." Ucap Abi Firdaus yang sontak saja membuat Soleha penasaran.
"Ada apa Abi?, kenapa Abi bilang seperti itu?. Itu pasti ditujukan pada Leha kan?." Tanya Soleha mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus pada Abi nya.
"Iya setelah ini, kita akan bicara." Ucap Abi tambah membuat Soleha penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Abi nya.
Soleha baru keluar dari kamar Umi dan Abi sekitar pukul 12 malam lewat. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya.
Apa yang mereka bertiga bicarakan sedikit banyaknya sangat mempengaruhi keadaanya sekarang. Ada perasaan takut, was-was, ragu dan tidak ingin berada dalam posisi saat ini.
Antara percaya atau tidak, jika dirinya sekarang sudah menjadi calon istri dari seseorang yang belum dikenalnya sama sekali.
"Aku tidak percaya jika hari itu akan datang juga pada ku?." Ucap Soleha berbicara pada dirinya sendiri sambil menatap foto sang kakak yang lebih dulu dengan cara ini melakukan pernikahan.
"Tapi tidak ada yang salah, kakak ku juga bisa bahagia dalam rumah tangganya." Ucap Soleha lagi kali ini menatap dirinya yang ada di dalam cermin.
"Apa dulu kakak merasakan apa yang aku rasakan sekarang?." Tanyanya pada cermin dengan tangan yang memegang benda dengan sembarangan, sehingga tanpa di sadari nya jika hari tengahnya tertusuk jarum pentul yang sedang dipegangnya.
"Aw...Astagfirullah." Ucap Soleha sambil menatap darah yang keluar dari kulit jari tengahnya.
Brak......Gubrak...
Sementara itu, ada beberapa fasilitas warga seperti pos siskamling, mushola dan posyandu yang rusak parah, karena tertabrak oleh segerombolan pemotor besar yang melintas di kampung itu.
Dan yang lebih parahnya lagi, tidak ada satupun dari mereka yang berniat baik untuk sekedar berhenti dan melihat keadaan bangunan tersebut. Mereka semua tanpa cap begitu saja, tanpa itikad yang baik.
Karena pencahayaan yang begitu minim, sehingga ada beberapa orang yang sedang melakukan ronda keliling pun, tidak bisa melihat jelas plat nomor motor mereka, atau apa pun selain bentuk dari motor mereka yang besar-besar semua.
"Mang Asep, kayanya baru sekarang kita melihat motor-motor besar begitu ya?." Ucap teman ronda mang Asep.
"Iya Mang Dadang, tapi sayang mereka malah merusak di kampung kita." Jawab Mang Asep.
Keduanya mengecek kondisi ketiga bangunan yang rusak tersebut dan besok pagi mereka akan mengadukannya pada Pak RT dan Pak RW.
Keesokan paginya....
Semua warga desa sudah berkumpul di tempat kejadian, menyaksikan fasilitas umum mereka rusak sangat parah. Karena semua bahan ketiga bangunan tersebut terbuat dari bambu dan itu pun sudah lapuk.
"Ini ada apa?." Tanya Soleha yang ikut mendengar ada kerusakan di kampungnya.
"Itu Kak Soleha, anak-anak motor yang sudah merusak semua bangunan ini." Jawab salah satu anak yang diajarinya mengaji.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!