NovelToon NovelToon

Lembaran Kisah Aira

1

Hari belum terlalu siang ketika sebuah kapal penyeberangan bersandar di pelabuhan. Berbagai kendaraan keluar dengan hati-hati sesuai urutan. Termasuk sebuah bus antar pulau yang ditumpangi oleh seorang gadis bernama Aira.

Bus itu akan membawa Aira ke terminal kota. Kemudian dia akan menaiki taksi menuju tempat tujuan, yaitu rumah kedua orang tuanya.

Aira yang baru lulus sekolah memutuskan untuk menyusul orang tuanya, karena orang tuanya mengatakan kalau dia bisa tinggal bersama mereka dan kuliah sesuai keinginannya.

Sepanjang jalan Aira terus memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Sungguh luar biasa. Itulah kesan pertama yang dia dapatkan.

Bumi asing yang dia pijak saat ini memiliki pemandangan yang begitu indah. Laut yang tenang dengan ombak kecil yang menyapu bibir pantai. Ditambah lagi hamparan hijau persawahan, dan perbukitan pun turut memanjakan mata yang memandang.

"Te**rnyata di sini sangat indah." batin Aira bergum.

Samar-samar terdengar aliran air sungai. Ternyata taksi yang dia tumpangi akan menyeberangi sebuah jembatan, yang mana terdapat sungai di bawahnya dengan air yang cukup jernih. Setelah melewati jembatan, taksi itu belok ke kiri dan masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil. Tapi masih muat untuk dua kendaraan yang melintas.

Rumah warga saling berdekatan, seolah tidak ingin menciptakan jarak antar tetangga. Jangan lupakan gang-gang kecilnya, karena masih banyak sekali rumah warga di dalam sana.

Beberapa orang terlihat berkumpul di teras rumah, ada pula yang di depan toko sedang belanja. Atau yang sekedar mengajak balitanya bermain. Pemandangan yang biasa Aira lihat, namun dengan orang-orang dan lingkungan yang berbeda.

Tak lama kemudian taksi menepi di depan sebuah rumah kecil dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

"Apakah aku salah alamat?"

Tapi keraguan Aira terpatahkan setelah melihat gerobak di samping rumah itu. Ditambah lagi dengan aroma bumbu yang sangat dia kenal.

Deg

"Apa yang terjadi...?"

"Pakde, bude..., anaknya sudah datang ini...!" seru seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek, yang baru saja keluar dari rumah itu.

Mata Aira berkaca-kaca ketika melihat dua sosok yang paling dia rindukan keluar beriringan.

"Ayah..., ibu...!!!"

"Aira...!!"

Aira berlari menghampiri kedua orang tuanya. Meninggalkan tasnya begitu saja di halaman rumah itu. Mereka saling berpelukan untuk melepas kerinduan setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

Mereka meninggalkan Aira ketika dia kelas 6 SD. Dan baru bertemu kembali setelah lulus SMA. Bukan berarti tidak pernah pulang ke kampung halaman. Pernah pulang, tapi hanya ayahnya saja. Itu pun tidak lama, hanya beberapa hari kemudian kembali lagi.

Tetangga terdekat yang kebetulan ada di luar rumah, seketika mengalihkan perhatian mereka. Rumah yang tidak memiliki pagar pembatas itu, mempermudah mereka untuk melihat adengan yang sangat mengharukan.

......................

Di sinilah Aira sekarang. Sebuah rumah dengan 2 ruang tidur. Ruang tamu yang sangat kecil dan hanya ada tikar di sana. Ruang tengah di sekat dengan tirai, untuk sholat dan sebelahnya untuk mengolah dagangan. Di belakang ada kamar mandi dan juga dapur kecil. Di halaman belakang terdapat sebuah sumur dan tempat jemuran. Dan ternyata di belakang sana ada sungai. Aira menerka-nerka, pasti itu sungai yang tadi dia lewati sebelum sampai di rumah.

"Segar sekali..."

Aira menghirup udara di belakang sana. Sungguh dia sangat menikmati suasana di sana.

Sebenarnya banyak sekali yang ingin Aira tanyakan pada orang tuanya. Tapi melihat binar kebahagiaan yang terpancar dari mata orang terkasihnya itu, membuat Aira mengurungkan niatnya. Dia tidak ingin merusak suasana hati mereka dengan pertanyaan yang mungkin saja akan membuat mereka tersinggung. Aira yakin, kalau sudah waktunya mereka pasti akan bercerita tanpa diminta.

"Tempat jualannya jauh?" tanya Aira pada sang ayah.

"Tidak jauh, nak. Dekat jembatan di sana." katanya.

"Ooh..., yang aku lewati tadi ya?" terka Aira.

"Benar, Aira. Nanti ibu mau bantu ayahmu setelah bersih-bersih rumah. Mau ikut tidak?" sahut ibu.

"Boleh. Aku juga nggak berani di rumah sendirian." kata Aira.

Setelah maghrib, ibu mengajak Aira pergi ke tempat ayahnya jualan nasi goreng.

Di sepanjang jalan, orang-orang tak hentinya menyapa.

"Bude..., mau ke tempat pakde?" tanya seorang ibu sambil menggendong anaknya yang masih balita.

"Iya, bu." balas ibu Aira dengan sopan.

"Ini anaknya?"

"Iya..."

"Bu..." Aira mengulurkan tangannya untuk memberi salam. Dan disambut hangat oleh ibu itu.

"Cantiknya anak bude, ya..."

Aira hanya tersenyum tipis saat mendengarnya.

Tiba di depan sebuah salon sederhana, terdapat beberapa orang sedang duduk santai sambil bermain gitar. Seseorang dengan wig panjangnya dan celana super pendek, menyapa ibu Aira.

"Bude..., ini siapa?" tanya orang itu dengan nada kemayu.

"Aduh ibu..., kenapa kenal dengan orang model beginian juga sih...?"

"Anak saya." jawab ibu Aira.

Aira hanya sedikit membungkuk dan tersenyum untuk menghargai seorang w*ria yang menyapa mereka dengan ramah. Bukan takut, hanya saja ini pertama kalinya Aira berinteraksi dengan seorang w*ria. Jadi nuansanya sedikit terasa aneh.

"Tidak ke tempat pakde?" tanya ibu Aira kemudian.

"Ya nantilah, bude. Belum jam kerja." katanya dengan gaya gemulai dan kemayu.

"Kok ibu bisa kenal sih?" tanya Aira saat mereka sudah jauh.

"Biasa datang ke tempat ayah juga buat makan. Kamu jangan takut, dia baik kok."

"Tidak takut ibu, hanya gimana gitu..." balas Aira.

Tak lama kemudian mereka sampai di pertokoan tempat ayah jualan. Di samping kanan jualan ayah Aira ada bengkel motor. Sedangkan di sebelah kanan masih kosong.

Tempat jualan ayah Aira ada di jalur yang biasa dilewati truk-truk besar. Dan sang ayah buka mulai sore hingga larut malam. Terkadang sampai jam 03:00 pagi.

"Ya Allah, seperti **i**ni rupanya kerja keras mereka untuk mencukupi kebutuhanku. Biaya sekolahku. Bagaimana mungkin aku bisa dengan lancangnya minta kuliah?"

"Tidak Aira, jangan lakukan itu. Sebaiknya kamu membantu mereka bekerja."

Aira melihat ibunya sedang tidur di lantai beralaskan karpet hijau yang sudah sangat tipis. Sedangkan ayahnya sibuk menggoreng nasi untuk pengunjung. Aira tergerak hatinya, dia turun untuk membantu sang ayah.

"Aku bantu ya, yah." Aira tersenyum sangat tulus.

Agar tidak terjadi kesalahan, Aira terus bertanya, apakah porsi yang dia berikan sudah benar? Apa benar seperti ini? Begitu terus hingga nasi siap disajikan.

......................

"Hari pertama yang sangat mengejutkan. Kondisi ayah dan ibu sungguh membuatku ingin menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Ingin rasanya aku marah pada mereka yang membawa orang tua ke tempat ini. Tapi melihat ayah yang begitu legowo, dan selalu mensyukuri segalanya, membuatku tak bisa berkata-kata. Sungguh mulia sekali hatimu, ayah..."

......................

2

Aira tidak bisa lagi melanjutkan tidurnya selepas ibadah subuh. Rumah di tepi jalan raya membuatnya sedikit tidak nyaman. Karena sepagi itu kendaraan sudah banyak yang melintas.

"Bagaimana ayah dan ibu bisa tidur senyenyak ini."

Aira membuka tirai kamar orang tuanya. Keduanya tidur di kasur lantai yang usang. Katanya, kasur di rumah adalah pemberian orang-orang yang berhati baik. Setidaknya mereka tidak merasakan sakit punggung karena harus tidur di lantai. Dan tidak merasakan hawa yang terlalu dingin, lantaran mereka melapisi bagian dalam bilik bambunya dengan koran dan kalender bekas. Sehingga bisa menghalangi udara dingin yang masuk melalu celah-celah.

"Terimakasih orang baik. Karena kebaikan kalian, orang tuaku bisa tidur dengan nyaman."

Karena tidak ingin membuat orang tuanya terusik, Aira pun kembali ke kamarnya tanpa membuat suara sedikitpun.

Beberapa saat kemudian...

"Ibu mau ke pasar. Mau ikut?" tanya ibu.

"Mau, bu!"

Sudah tentu Aira akan ikut bersama ibunya. Karena dia sangat tertarik dengan tempat barunya.

Aira sangat takjub saat tiba di pasar tradisional itu. Kereta kuda berjajar rapi menunggu penumpangnya. Suara pedagang yang menawarkan barangnya sangat unik. Meski terdengar asing di telinga Aira, karena mereka menggunakan bahasa daerah. Belum lagi ibu-ibu yang membawa barang belanjaan di atas kepala dengan begitu mudahnya. Aira yang sekedar melihat, bisa merasakan betapa nyeri lehernya saat itu.

"Kuat sekali mereka..."

......................

Sore hari, setelah ayahnya pergi jualan. Aira diajak ibunya pergi menikmati suasana sore di sekitarnya.

"Mau tahu jajan di sini kan? Ayo ikut ibu ke bawah. Pinggir sungai sana, banyak sekali orang jualan. Kamu pasti suka."

Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati gang-gang kecil. Dan rumah-rumah yang begitu rapat.

"Aduh..., banyak sekali orang di sini...?"

Aira mulai tidak nyaman, karena banyak orang yang memperhatikannya. Sebenarnya itu bukan hal yang aneh, karena Aira adalah pendatang baru di lingkungan mereka. Jadi wajar jika sebagian dari mereka masih penasaran. Terlebih selama ini orang tua Aira hanya tinggal berdua di rumah itu.

"Bude..., mau kemana?" tanya seorang pemuda pada ibu Aira.

"Ini mau ajak anak bude jalan-jalan ke bawah." kata ibu Aira.

"Oh, ini anak bude?" tanya pemuda itu lagi.

"Iya. Aira, ini Aditya. Anak pemilik rumah yang kita tempati."

"Hai, Aira." sapa pemuda yang dipanggil Adit itu.

"Hai..." balas Aira.

"Ya sudah, kita ke bawah dulu ya." pamit ibu Aira.

"Iya, hati-hati bude..."

"Kira-kira apa yang mereka bicarakan ya? Ngomongin aku kayaknya..."

Begitu pikir Aira setelah sedikit jauh. Pasalnya, Aditya dan teman-temannya seperti sedang bergosip tentang dirinya.

"Eh, bude... Ayo mampir sini. Masih hangat ini...!!!" seru seorang ibu pedagang jajanan.

Aira membeli beberapa yang membuatnya tertarik. Sambil ngobrol dengan beberapa teman ibunya.

Tanpa dia sadari, sedari tadi ada yang terus memperhatikannya.

"Cantik..., imut sekali..."

......................

Sejak kepergian Aira ke tepian sungai sore itu, Aira mendadak jadi pusat perhatian. Tapi juga mendatangkan teman baru untuknya.

"Main-main ke tempatku yuk!" ajak Ninik. "Boleh kan pakde, bude?" gadis berhijab itu meminta izin pada orang tua Aira.

"Pergi saja, tidak apa-apa." kata ayah.

"Jauh?" tanya Aira.

"Ya Allah..., di sebelah ini. Ayo makanya!"

Aira pun ikut ke rumah Ninik, yang hanya berjarak satu rumah dari kontrakan orang tua Aira.

Aira terkejut saat Ninik membawanya ke belakang. Ternyata kamar Ninik berada di belakang rumah utama. Berhadapan langsung dengan sungai.

"Kamu tidur di sini? Sendirian?!" Aira sangat heran dengan pola rumah di sana.

"Iya. Kenapa? Nggak ada apa-apa Aira. Paling juga biawak tiba-tiba lewat." guraunya.

"Ya ampun...!!!" Aira mengkidik ngeri. "Kalau malam kamunya gimana?" tanya Aira lagi.

"Ya nggak gimana-gimana..." jawabnya dengan santai.

Setelah mereka sholat dhuhur bergiliran, Ninik mengajak Aira beli makanan. Dan lagi, Aira bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya dia temui waktu jajan di tepi sungai.

"Hai..., Aira..." sapa salah satu dari mereka.

Aira hanya tersenyum sambil sedikit membungkuk.

"Beli apa, Nik?" tanya mbak pedagang.

"Lontong topat dua, mbak. Aira es nggak?" Ninik menoleh ke arah Aira yang ada di sebelahnya.

"Boleh, jeruk nipis ya." kata Aira.

"Es jeruk nipis satu, es melon satu."

"Aira doyan pedas juga?" tanya Aditya.

"Nggak seberapa sih." jawabnya singkat.

"Oh, Aira. Ini kenalin teman-teman kita." Aditya memperkenalkan tiga orang yang sedang makan bersamanya.

"Rangga." seseorang mengulurkan tangannya.

"Hai." Aira membalas uluran tangan Rangga dengan sopan.

"Aku Toni." Toni pun melakukan hal yang sama.

"Hendri." begitu pula dengan si Hendri.

"Aira jangan khawatir. Kita ini orang-orang baik, kok." kata Aditya.

"Iyalah. Mereka teman mainku juga, Ra." sahut Nanik.

"Ah, iya." balas Aira.

Semakin hari Aira semakin mengenal banyak orang. Berteman dengan siapa saja tanpa terkecuali.

......................

Suatu hari ada acara lintas alam di daerah mereka. Acara rutin tahunan yang digelar oleh para remaja karang taruna di sana.

"Ikut ya, Ra. Satu kelompok sama kita." kata Ninik.

"Iya, Ra. Please...!!!" pinta Icha.

"Aku bilang ayah dulu ya." balas Aira.

"Bilang sama pakde ada Adit juga nanti. Kalau ada Adit pasti dibolehin." ujar Ninik.

Aira jadi teringat ucapan ayahnya waktu itu.

"Adit itu anaknya baik, sopan. Ayah tidak begitu khawatir kalau sama dia. Ayah dan ibu mengenalnya dengan baik."

Benar yang dikatakan Ninik. Ayah Aira mengizinkan.

"Biarkan, bu. Dia pasti senang punya banyak teman, dan betah di sini." kata ayah.

"Ibu cuma khawatir dia kecapekan, terus sakit." balas ibu.

"Pikirannya yang baik-baik saja."

"Iya, yah..." akhirnya ibu menerima keputusan ayah.

Malam itu Ninik mengajak Aira pergi mendaftar ke rumah panitia. Icha dan Sari pun ikut bersama mereka.

Ada beberapa orang yang belum Aira kenal di sana.

"Siapa nih?" seseorang menggoda Aira yang berdiri di samping Ninik.

"Temanku nih. Namanya Aira." balas Ninik.

"Anak pakde yang sewa rumah Adit itu." Icha memperjelas.

"Oh..., yang katanya baru datang kemarinan itu ya?" sahut yang lain.

"Sudah lama kali..." balas Aira dalam hati.

"Jadi mau ikutan juga? Berapa orang tim kalian?"

Ninik menyebutkan anggotanya satu persatu. Setelah itu mereka pamit untuk pulang.

"Aira...!" seru orang pertama yang menggodanya tadi.

Aira menoleh saat namanya dipanggil. Bukan apa-apa, dia hanya tidak ingin terlihat sombong atau kurang sopan. Hanya karena mengabaikan panggilan orang.

"Sampai bertemu pas acara ya..." seru orang itu dengan nada yang sangat manis.

"Ciiieeehhhh, wuuuuhh...!!!" sahut teman-temannya.

"Aira..., dia suka kamu kayaknya." bisik Sari.

"Bedakan antara suka dengan menggoda ya." balas Aira.

"Itu tadi namanya Ryan, Ra." kata Ninik.

Aira mendengarnya, tapi tidak ingin memberi respon apapun.

......................

Aditya bertemu ayah Aira sore itu sebelum ayah berangkat jualan. Waktu itu Aditya kebetulan sedang melintas di depan rumah.

"Belum berangkat pakde?" tanya Aditya.

"Sebentar lagi. Tidak mampir dulu?"

Aditya pun menghampiri ayah Aira.

"Pakde, nanti kita mau pergi belanja bekal buat acara besok pagi. Boleh Aira ikut sama kita?" tanya Aditya dengan sopan, setelah duduk di bangku kayu.

"Boleh. Pakde titip ya. Dia masih baru di sini." pesan ayah.

"Iya, pakde." balas Aditya sambil menganggukkan kepalanya.

Malam itu pun mereka pergi ke sebuah toko besar dengan berjalan kaki. Waktu itu kebetulan giliran pemadaman listrik di desa mereka.

"Kenapa pergi pas mati lampu gini sih? Harusnya tadi siang kan enak." gerutu Aira.

Aditya mempercepat langkahnya agar bisa sejajar dengan Aira.

"Takut ya??" goda Aditya.

"Bukan takut, nggak suka saja. Lagian kenapa sih pakai ada lampu mati bergilir di sini? Menyusahkan saja." cicit Aira.

Aira tipikal orang yang sulit diajak ngobrol. Tapi ketika dia merasa nyaman dengan orang di sekitarnya, dia akan menjadi orang yang cukup cerewet.

"Ya memang begitu, Ra. Penghematan sumber tenaga listrik. Ini mending ada penerangan. Dulu susah sekali penerangan di sini." terang Aditya.

"Oooh..." balas Aira. "Masih lamakah?"

"Lagi bentar sampai. Itu di depan." tunjuk Aditya.

Setelah sampai toko...

Aira melihat segala jenis perjajanan di toko itu. Dia hanya mengambil beberapa kuaci kesukaannya.

"Cuma itu, Ra?" tanya Rangga heran.

"Em." Aira mengangguk.

"Memangnya kamu hamster..." celetuk Aditya.

"Iiih...!" spontan Aira menepuk bahu Aditya.

"Hahahaaa...!" semua tertawa melihat adegan itu.

Aira duduk di bangku depan toko sambil menunggu yang lain. Aditya datang membawa minuman.

"Minum, Ra." katanya.

"Terimakasih." Aira menerimanya dengan senang hati.

"Memang yakin kamu kuat, Ra?" tanya Aditya.

"Kuatlah..." jawab Aira.

"Empat bukit lho, Ra." katanya lagi.

"Aman." balas Aira lagi.

"Kita lihat besok ya, siapa yang bakal sampai finish lebih dulu." tantang Aditya.

"Ayo saja. Nggak takut."

Aditya geleng-geleng kepala mendengar reaksi Aira.

......................

"Aditya..., dia satu-satu cowok yang dipercaya orang tuaku. Bahkan ketika izin pergi kemanapun, kalau ada Aditya, pasti langsung diizinkan. Dan memang benar, Aditya itu anaknya sangat sopan. Tapi kadang juga ngeselin sih. Tapi tidak hanya Aditya yang baik. Teman yang lain juga baik sama aku. Senang sih, akhirnya aku punya teman di sini."

3

"Nanti kalian jangan jauh-jauh dari kita ya!" Hendri memberi wejangan pada Aira dan teman-temannya.

"Hai, Ra...!!" itu suara Aditya.

"Kamu...?!!" Aira terkejut melihat Aditya pakai baju panitia. "Iihh..., kok gitu?!"

"Hahahaaa..., gitu kenapa?" ledek Aditya.

"Curang namanya nih. Ya jelas kamu sampai finish duluan, kamunya panitia acara." celoteh Aira.

"Dia dekat sama Adit...?!"

Tenyata ada yang sedang memantau mereka.

"Lupakan yang semalam. Pokoknya kamu harus hati-hati ya." kata Aditya. "Kalau terjadi apa-apa aku bisa digoreng sama pakde." guraunya.

"Dibuat lauk nasi goreng terus." celetuk Toni.

"Cocok tuh!" sahut Icha.

"Adit benar. Mungkin Aira dulu sering melakukan ini di tempatnya. Tapi di sini medannya berbeda, jadi tetap hati-hati ya, Ra." tutur Rangga.

"Siap pak kepala suku!" Aira memberi hormat pada Rangga.

"Kepala suku?!" Rangga mengernyitkan dahinya.

"Cocok, bro. Bagus Aira." kata Hendri.

"Hahahaaa...!!!"

Sebelum acara dimulai mereka bertukar nomor handphone untuk mempermudah komunikasi.

......................

Situasi masih aman terkendali karena mereka masih berada di dalam perkampungan. Tapi beberapa menit kemudian mereka mulai memasuki jalan setapak.

"Sejuk banget...!!!" Aira menghirup udara di sana.

"Bentar lagi tanjakan pertama." Toni memberi peringatan.

Aira sudah tidak sabar, dia ingin segera masuk lebih dalam lagi. Menyatukan diri dengan alam adalah kegemarannya.

"Pos pertama...!!" seru Rangga. "Cewek kasih jalan duluan!" Rangga yang sudah ada di atas memberi aba-aba pada timnya.

Tiba giliran Aira, seseorang mengulurkan tangannya. Aira menyambutnya tanpa melihat dulu siapa di atas sana.

"Terimakasih." kata Aira, lalu dia melihat siapa orang itu.

"Ryaaan..." batin Aira.

"Hai, Ra." sapanya dengan lembut.

"Hai." balasnya singkat.

Aira kemudian melangkah mundur untuk memberi jalan pada yang lain.

"Bagaimana? Masih aman?" ternyata Aditya sudah ada di belakangnya.

"Aman!" Aira memamerkan ibu jarinya.

"Good girl..." Aditya menepuk-nepuk pelan puncak kepala Aira.

"Apa mereka benar-benar ada hubungan spesial...?" pikir Ryan sambil melirik interaksi Aira dan Aditya.

"Kita lanjut ya, bro." kata Rangga.

"Oke!" balas Aditya. "Sampai ketemu di pos berikutnya." ujar Aditya pada Aira.

Tibalah mereka di sebuah tempat yang sangat indah. Ada sumber mata air juga di sana.

"Istirahat dulu ya." kata Toni yang sudah duduk di atas pembatas jembatan.

"Kita isi botol di sini." seru Icha.

Aira mengikuti Toni dan dia bersandar di pembatas jembatan.

"Seru, Ra?" tanya Toni.

"Ya. Pemandangannya juga bagus banget." tidak bisa dipungkiri, Aira memang sangat menikmatinya.

"Tahun depan mau ikut lagi?" tanya Hendri.

"Bolehlah." Aira tersenyum sangat manis.

......................

Awalnya semua baik-baik saja, medan bisa dilalui dengan baik. Tapi kemudian mereka sampai di perbukitan yang cukup licin, lantaran daerah itu sempat dilanda gerimis beberapa waktu sebelum mereka datang.

"Awas licin!" Rangga yang memandu jalan tidak pernah bosan mengingatkan teman-teman di belakangnya.

"Hati-hati, Aira..."

"Itu Aira dibantu..."

"Aira..., Aira..., Aira....!!!" Icha mulai risik karena semua memperhatikan Aira.

"Hati-hati...!! Kalian akan segera melewati turunan...!" seru panita melalui toak yang dibawanya.

"Medan licin, pastikan tumpuan kalian kuat...!"

" Pelan-pelan, Ra." Ninik yang berada di depan Aira memegang tangan Aira dengan erat.

Baru beberapa langkah...

"Auh..!! Ssstt...!!" Aira merasakan sakit yang luar biasa pada kakinya.

"Ra...!!

"Aira...!"

"Aira...!!"

Entahlah berapa orang yang menyebut namanya saat itu. Aira tidak peduli lagi, karena kakinya yang mendadak kaku itu terasa sangat menyakitkan.

Seorang panitia mendekatinya. Dan hendak memegang kakinya.

"Jangan pegang...!!" sahut Aira sambil mengangkat tangannya.

"Biarkan dulu." katanya kemudian, lalu dia memapah kakinya sendiri untuk mencari posisi yang nyaman.

"Biar aku saja." Rangga berjongkok di hadapan Aira.

"Gaaa...?!!" Icha menatap kesal pada Rangga, terlebih lagi pada Aira.

"Sudah nyaman?" tanya Rangga.

"Em." Aira mengangguk. "Pelan-pelan..." ucapnya lirih.

Tangan Rangga begitu lihai melepas sepatu Aira dan mencari titik penyebab rasa sakitnya.

"Hanya kram." gumam Rangga. "Kita istirahat sebentar tidak apa-apa kan?" Rangga melihat reaksi timnya satu per satu.

"Oke."

"Terimakasih, ya." kata Aira pada Rangga.

Tiba-tiba Ryan menghampiri mereka. Dia mendengar ada masalah dengan tim Rangga.

"Apa ada yang terluka?" tanya Ryan.

"Kaki Aira kram." balas Sari.

Ryan melihat Aira yang sedang duduk sambil mengikat sepatunya.

"Sekarang bagaimana, Ra? Sudah enakan?" tanya Ryan sambil duduk di samping Aira.

"Ya, jauh lebih baik. Rangga membantuku tadi." lagi-lagi Aira tersenyum.

Aira bersyukur memiliki banyak teman yang penuh perhatian.

"Bisa tidak jangan tersenyum seperti itu. Terlalu manis, Aira..." batin Ryan.

Setelah Aira merasa lebih baik, mereka kembali melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya.

Masalah mereka tak cukup sampai di situ. Cuaca mulai tidak bersahabat karena hujan mulai turun. Medan terakhir yang harus mereka lewati adalah sungai besar dengan arus yang sangat deras. Ditambah lagi bebatuannya sangat licin.

"Tidak ada jalan lain?" tanya Sari saat melihat sungai yang membentang di depannya.

"Ada, tapi kita harus putar arah. Dan itu akan memakan waktu sangat lama. Sekarang sudah mau sore." sahut Toni.

"Kita lewat sini saja. Semua berpegangan jangan sampai terlepas." kata Rangga.

Di depan Airin ada Icha, di belakangnya ada Ninik dan Hendri.

"Hati-hati licin." Toni memperingatkan mereka.

Beberapa sudah sampai tepi. Sementara Aira, Ninik, dan Hendri masih berjuang melewati arus yang cukup deras. Rangga sedikit masuk ke sungai untuk menarik tangan teman-teman yang mendekati tepi sungai.

"Astaghfirullah...!" pekik Aira.

"Airaaa...!!" Ninik terlihat panik.

Tiba-tiba kaki Aira kembali terasa sakit dan hampir terjatuh. Bersamaan dengan itu Rangga reflek melepas tangan Icha yang baru saja dia tarik ke daratan. Dengan gerakan yang begitu cepat Rangga membantu Aira juga. Karena Hendri dan Ninik yang berusaha menahan Aira terlihat kepayahan melawan arus sungai itu.

"Ya Tuhan, aku pikir aku akan terbawa arus." batin Aira ketika sudah sampai daratan.

"Iiiihhh...!!!" Icha kembali uring-uringan.

"Tidak apa-apa?" tanya Rangga.

"Tidak." balas Aira dengan nafas yang tidak beraturan.

"Aku takut sekali kamu terbawa arus, Ra..." sahut Ninik dengan mata yang berkaca-kaca, lalu dia berhambur dalam pelukan Aira.

"Aku baik-baik saja berkat kalian. Terimakasih..." ujar Aira.

Icha memilih jalan paling depan meninggalkan mereka. Tanpa menanyakan kondisi Aira yang hampir terseret arus.

Baju mereka yang tadinya basah, sampai di finish kembali kering karena cuaca kembali panas. Semua mengambil minuman yang disediakan oleh panitia. Mereka tidak kecewa meski bukan yang pertama sampai finish. Karena mereka sangat menikmati perjalanannya.

"Kenapa lama sekali? Apa kalian tersesat?" tanya Aditya pada Rangga.

Sangat jelas pancaraan kepanikan di wajah Aditya. Terlebih handphone merek tidak ada yang bisa dihubungi. Giliran nomor Hendri bisa tersambung, tapi Hendri tidak mengangkatnya. Lantaran dia menyetel handphonenya dalam mode silent.

"Sedikit tersesat." bisik Rangga.

Memang Rangga, Hendri, dan Toni sudah tahu kalau mereka tersesat. Tapi mereka sengaja diam agar Aira dan teman-temannya tidak panik. Kalau saja terjadi sesuatu pada Aira waktu di sungai tadi, mereka pasti akan sangat menyesal.

"Tapi tidak jauh kok. Hanya saja Aira tadi hampir terjatuh di sungai." tambah Hendri.

"Aira?!" Aditya terkejut. "Kenapa bisa sampai lewat sungai...?! Aira tidak bisa berenang." Aditya terus menggerutu.

"Dimana dia sekarang?" tanya Aditya kemudian.

Toni menunjukkan keberadaan Aira. Aditya segera berlari menuju tempat Aira dan teman-temannya. Hal itu juga tak luput dari pantauan Ryan.

"Mereka bilang kamu hampir jatuh. Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Aditya sambil mengamati sosok di hadapannya dari atas sampai bawah.

"Nggak kok. Mereka nyelametin aku." Aira tersenyum.

"Syukurlah..." Aditya mengacak-acak puncak kepala Aira. Lalu dia duduk di samping Aira.

"Apa karena kakimu terasa sakit? Ada yang bilang kaki kamu sempat kram tadi." ujar Aditya.

"Nggak. Sudah baikan, Rangga menolongku tadi." kata Aira.

"Aku tidak tau kenapa aku sekhawatir ini sama kamu, Aira. Entah karena amanah ayahmu, apa yang lain. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu sama kamu." begitu yang ada dalam benak Aditya.

......................

"Aku harus mengatakan apa untuk hari ini??... Entahlah...

Aku sangat bersyukur memiliki teman seperti mereka. Andai tadi mereka tidak menolongku?!...

Bagaimana nasibku setelah itu?!...

Selalu jaga mereka ya Allah. Seperti mereka yang selalu menjagaku. Aku sangat menyayangi mereka."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!