Malam hari.
Tampak mendung bergelayut seakan hujan hendak turun. Sekiranya pukul 9 malam. Ken yang baru saja kembali dari minimarket untuk membeli indomi, mendapati sekelompok remaja sedang berkumpul di pojok gang.
Terdengar erangan kesakitan dari seorang diantaranya, namun disambut gelak tawa yang lain. Situasi yang kontras. Oleh karena itu, Ken mencoba mendekat ke arah mereka dan menemukan fakta bahwa telah terjadi penganiayaan kelompok.
Seorang anak lelaki berkacamata tersungkur di tanah dengan wajah berdarah. Tas dan bukunya berantakan, begitu pula kondisi seragam sekolahnya. Berkali-kali ia memohon ampun, namun hanya dibalas tendangan dan injakan. Suara gelak tawa dan cacian mengiringi rintihan demi rintihan korban yang telungkup dan terinjak. Ken yang mengetahui hal itu tentu tidak tinggal diam. Segera saja Ken menolong anak SMA yang tanpa daya itu. Perkelahian pun dimulai.
"Eh ada om-om ikut camput, minggir om. Bukan urusan lu!" teriak salah seorang dari mereka.
BUGHH!!!
Bogem mentah salah seorang remaja itu mendadak mendarat di pipi kanan Ken.
"Hajar, Rik!" Teriak salah satu temannya.
Ken menyeka darah yang keluar dari bibirnya. Ia mengambil ancang-ancang dan memancing lawannya untuk maju kembali.
BUGGGHH!!
PRAAAAKK!!!!
DUUGGHHH!!!
Perkelahian antar-pemuda itu pun pecah. Karena terjadi di gang sempit dan malam hari, tak banyak orang yang tahu. Mereka terlihat saling tendang dan melayangkan tinju tanpa henti. Ken dikeroyok. Namun, ia tak menyerah. Satu per satu tinju diblokir dan dibalas.
BUGH!!!
Kena ulu hati, satu tumbang.
BUGHH!!
Kena tenggorokan, satu tumbang
PRAKKK!!
Lengan ken menjadi memar karena menangkis balok kayu yang dipukulkan padanya. Balok yang terpecah jadi dua itu kemudian dihantamkan kembali pada empunya.
**PRAAKKK!!
PRANGGG**!!
Tiga orang telah tumbang. Dua orang lain yang ada di sekitar kejadian, lari terbirit-birit. Tersisa Ken dan remaja berkacamata yang meringkuk ketakutan.
"To... Tolong... Jangan sakiti saya," Ia menutupi wajahnya dengan tangan gemetar.
Ken membungkuk memunguti buku pelajaran dan kacamata yang terserak. Gagang sebelahnya patah, lensanya retak.
"Maaf, rusak nih," Ujar Ken sambil menyodorkan kacamata ke arah remaja tersebut.
Dito Narendra.
Begitu papan nama yang ada di seragam remaja korban perundungan itu. Ken tersenyum dan membantunya berdiri.
"Terima kasih. Kakak rupanya menolong saya?" Dito tak jadi takut. Ia tersenyum. Giginya yang ternoda darah tampak rapi. Wajahnya bulat dengan beberapa jerawat. Kulitnya coklat dengan rambut berponi. Anak yang lucu, pikir Ken.
"Hati-hatilah lain kali, lapor gurumu atau orang tua, kalau bisa, kenapa sendirian aja?" Ken tampak tak habis pikir. Sepertinya ini bukan pertama kali dia dirundung.
"Hehe... Nggak kak, kasian ibu kalau harus mikir. Kalau guru, guru saya nggak peduli. Ini cuma candaan anak-anak, katanya," Raut wajah Dito tampak sedih. Ken menahan amarah. Bagaimana bisa seorang guru tidak menjaga murid-muridnya dan meremehkan perundungan? Padahal, bisa berakibat fatal.
Setelah mengamati beberapa saat, Ken pun memutuskan untuk mengajarkan teknik bela diri pada anak itu. Perawakannya cukup besar, seharusnya ia bisa menahan serangan. Namun, karena mentalnya loyo, anak itu akan tetap jadi bulan-bulanan.
"Benarkah? Kakak mau ngajarin saya?" Mata Dito berbinar.
Mereka pun pindah ke minimarket dan mengobrol sambil belajar teknik bela diri dasar. Dito yang merupakan yatim sejak kecil, tidak mengerti cara berkelahi. Dito hanya tinggal bersama ibunya, karena ayah dan kakaknya sudah meninggal. Anak seorang janda seperti Dito memang cocok jadi mangsa perundung. Karena, mereka hanya akan menahan rasa sakit tanpa bisa membalas. Ken menaruh simpati mendalam pada situasi Dito. Ken jadi teringat dirinya ketika masih kecil dulu. Sejak ditinggal ibu, dunia rasanya terbalik. Apalagi kakaknya masih bersekolah di luar negri. Ken menjadi uring-uringan dan tidak punya tempat untuk mengadu. Sejak saat itulah, Ken menjadi pemberontak. Ayahnya mulai menjauh dari Ken kecil yang butuh perhatian. Ken semakin liar dan terluka batin.
*
"Pertama, dalam ilmu bela diri, yang terpenting adalah MIKIR. Jadi, bukan sok jagoan, kalau sekiranya musuhmu berbahaya. Ya menghindarlah! Kamu ngga lagi syuting film laga. Nggak semua musuh harus dihadapi," Ken memberi petuah pertama. Dito mencatatnya dalam buku tulis yang diberi judul "KURSUS BELA DIRI KAK KEN". Ia tampak sangat antusias dengan apa yang diajarkan oleh Ken. Meski baru mengenal satu sama lain, mereka cepat akrab. Wajah Dito cukup familiar. Mungkin karena Ken teringat keponakan-keponakannya yang berumur sama dengan anak tersebut.
"Nah, yang kedua, karena kamu masih pemula. Teknik bertahan ini penting. Teknik ini, terdiri dari, teknik menghindar, menangkis, dan memblokir serangan lawan,"
Ken kemudian mencontohkan beberapa gerakan untuk menhindar, menangkis dan memblokir serangan. Karena, perkelahian bukan hanya adu tinju, tapi juga adu stamina. Jika terlalu lelah di awal. Tentu saja akan lekas tumbang.
"Yang ketiga, teknik menyerang. Ini nih, bisa pakai tinju, bisa pakai kaki, nendang gitu, tau ya.... Begini cara meninju yang benar, dorong tangan dari belakang dan putar pergelangan tangan pake kekuatan ya. Ayo.. Coba!"
Dito mencoba menirukan gerakan yang diajarkan Ken. Namun malah tampak seperti hendak mendorong orang.
"Bukan gitu, hahaha.... Diputar loh pergelangannya,"
Dito mencobanya lagi, kali ini, sudah lumayan.
"Nah, tinggal dikasih kekuatan ya... Jadi mendorongnya yang kuat," Pesan Ken. Dito mengangguk dan mencatatnya kembali. Belum selesai kursus, ada panggilan dari ponsel Ken. Rupanya telepon dari kak Hilda, kakak perempuan Ken satu-satunya.
"Halo, kak?"
"Ken, dimana? Kok belum pulang?"
"Iya, ini mau pulang, maaf tadi ada urusan sedikit,"
"Yaudah, kakak tunggu, cepat ya... "
Klik.
Pembicaraan mereka selesai. Dito tampak sedih karena harus berpisah. Ken tersenyum.
"Maaf ya, dek. Kakak balik dulu. Ini no. Telpon kakak, lain kali kita ngobrol lagi ya? Ingat! Harus latihan fisik. Lari, angkat beban, pull up, push up, supaya otot kuat, janji?"
"Janji, Dito akan berusaha, kak,"
Kelingking mereka berkait. Ken pamit undur diri, Dito juga tampak akan pulang segera. Setelah saling melambaikan tangan, Ken keluar dari minimarket dan berbelok ke pertigaan Lengkeng Tiga. Dito yang masih berada di minimarket, membereskan alat tulisnya.
*
Jam 10 malam.
Kebanyakan jalanan di Jakarta belum terlalu sepi. Ibukota yang seperti kota 24 jam itu selalu ramai orang. Namun, berbeda dengan suasana di area Lengkeng Tiga. Bilangan Jakarta Selatan yang termasuk pinggiran itu tak memiliki akses metro terpadu, sehingga jalanannya cenderung lengang. Tak banyak kios dan penjaja keliling, trotoar pun tampak sunyi. Jam 10 adalah jam yang cukup malam. Suasana sekitar tampak mencekam. Oleh karena itu, Kak Hilda panik jika Ken tidak segera pulang.
*
Jlebb!
Tiba-tiba, dari arah belakang, ada sesosok orang yang menusukkan pisau ke perut Ken. Ken terkejut, reflek ia mencengkeram tangan si penusuk itu lalu membantingnya ke tanah. Pelaku penusukan itu tampak meringis kesakitan, namun langsung bangkit meski sempoyongan. Ia kemudian melarikan diri sekuat tenaga tanpa bisa dikejar oleh Ken yang sedang terluka.
Ken jatuh ke tanah. Tubuhnya dirambati rasa nyeri akibat tusukan pisau. Beruntung, tusukan itu tak mengenai organ vitalnya. Ia mencoba meraih ponsel dan menghubungi kak Hilda. Ken memencet 'bagi lokasi' dan menekan pesan suara.
"Kak.. To.. Loong... Jem.. Put... "
Dengan tangan berlumuran darah, ia menekan tombol ponselnya. Setelah berhasil terkirim. Ken mencoba berjalan menepi sambil memegangi perutnya. Jika pisau dicabut, malah bahaya. Ken akan mengalami pendarahan hebat. Ken hanya bisa berharap jemputan Kak Hilda datang segera. Ia menepuk-nepuk wajahnya supaya tak tertidur. Jika ia tidur, bisa dipastikan tidak akan bangun lagi. Ken harus menjaga kesadarannya.
"Ya ampun, Ken!!!"
Selang 10 menit, Kak Hilda sampai dengan mobil. Ia lantas memapah Ken ke dalam, dan menyetir ngebut ke rumah sakit terdekat. Wajah ken pucat kebiruan, suhu tubuhnya sangat rendah, darah yang keluar terlalu banyak. Hilda menberikan pertolongan pertama terlebih dahulu sebelum Ken dirawat intensif di UGD.
Sesampainya di UGD. Dokter langsung memerintahkan untuk menyiapkan kamar operasi. Hikda terisak namun mencoba tegar. Ia menunggu dengan cemas, tak tidur.
Tiga jam sudah lampu kamar operasi menyala. Sesaat kemudian, lampu padam. Operasi Ken baru selesai. Seorang dokter keluar dari kamar tersebut dan menyampaikan kondisi terkini pasien. Beruntung, pasien tertolong. Masa kritis Ken telah berakhir. Hilda merasa lega. Dalam hati, ia bersumpah akan menemukan pelaku penusukan adik semata wayangnya itu.
Atas anjuran dokter, Ken harus dirawat intensif selama tiga hari. Jika hasil observasi baik, Ken diperbolehkan pulang.
*
Sementara itu, Ayah Ken terlihat murka dengan video yang ditunjukkan oleh ajudannya.
"Dimana bocah itu sekarang??" Tanyanya ketus. Ajudannya menjawab, bahwa, Ken sedang dirawat karena luka tusuk. Wajah ayahnya merah padam. "Dasar tukang bikin onar! Preman!" Bukannya bersimpati, Ayah Ken malah meradang. Ayah Ken yang saat ini berada di Kanada, tampak memerintahkan sekretarisnya untuk memesankan tiket pulang ke Jakarta esok. Sekretaris Ayah Ken yang bernama Miss Elle itu pun sigap menghubungi maskapai rekanan perusahaan, dan menjadwalkan keberangkatan Presdir Grup Tang ke Jakarta esok pagi, pukul 08:00.
*
"Ka... Kak," Ken membuka mata untuk pertama kali. Sepanjang penglihatan, hanya ada langit-langit rumah sakit, set infus dan beberapa perawat yang mempersiapkan obat.
"Ken! Syukurlah kamu sudah bangun," Hilda yang sedari tadi tertidur di sisi Ken, mengelus rambut adiknya.
"Dimana ini, Kak?"
"Rumah sakit lah, masa akhirat? Dasar anak nakal! Bikin orang jantungan!" Hilda merajuk. Sudah tiga hari Hilda tak enak tidur. Ken yang berhasil melewati masa kritis, cukup menenangkan hatinya, baru kemarin ia tidur dengan nyenyak.
"Makasih, kak... " Ken tersenyum tipis. Hilda memegang erat tangannya sambil menenangkannya.
Tok tok!
"Masuk,"
"Permisi, Bu... Ada keadaan darurat,"
Tampak seorang pria berjas rapi dengan sepatu pantofel hitam dan dasi biru gelap, menyodorkan sebuah tablet ke arah Hilda. Pria itu bernama Romy. Sekretaris Kak Hilda.
"Kita ngomong di luar aja. Ken, kakak tinggal sebentar ya,"
Ken mengangguk pelan. Ia mencoba menggerak-gerakkan lengannya yang terasa kaku. Badannya sakit semua. Sepertinya efek kelamaan rebahan.
"Pak Presdir pulang hari ini, Bu," Jelas Romy.
"Hah? Mendadak banget!"
"Ibu harus lihat ini, baru diunggah kemarin malam," Romy menyodorkan kembali tablet berlogo apel tergigit yang tadi ditolak Hilda. Sebuah video viral berjudul "Perkelahian Preman dan Anak Sekolah," sedang trending di media sosial. Meski tak terlihat identitas pria yang disebut preman itu karena memakai topi, tapi jelas Hilda mengenalinya.
"Itu Ken, kan?"
Romy mengangguk.
"Pak Presdir sepertinya murka karena kejadian ini, Bu. Harap berhati-hati," Romy menjelaskan situasi saat ini.
Hilda yang mengelola Perusahaan nirlaba internasional milik almarhumah ibunya sebetulnya tidak ada hubungan dengan Grup Ayahnya. Memang sejak awal Grup akan diwariskan pada anak lelaki keluarga, dan anak perempuan akan meneruskan perusahaan ibunya.
Skandal belum terjadi, karena belum ketahuan siapa preman yang disebut-sebut di video. Namun, Ayah Ken yang sudah menyematkan label 'pembuat onar' pada Ken tentu bereaksi lain. Ayah Ken marah besar, melihat putranya terlibat perkelahian sampai trending di media sosial. Kepalanya sakit memikirkan skandal yang mungkin terjadi.
"Cari pengunggahnya dan hapus video itu. Bereskan media-media yang memberitakannya," Perintah Hilda pada Romy. Pria itu mengangguk dan segera melakukan tugasnya. Hilda kembali ke kamar Ken dan mencoba untuk tersenyum, supaya Ken tidak kepikiran.
"Ada masalah, kak?"
"Enggak, kok. Kamu istirahat aja, ya,"
Perasaan Ken tidak enak.
Pasti terjadi sesuatu.
Namun, ia tak bisa berbuat banyak dengan tangan terinfus seperti ini.
<10 tahun yang lalu>
"Yak!! Upper cut!!! Hajar, Dek!"
Hilda tampak heboh sendiri dengan layar gawai yang menyiarkan live streaming dari TWINS BOXING. Dengan wajah serius, terkadang tertawa terbahak-bahak, Hilda tak melepaskan pandang dari ponsel kecilnya itu. Sesekali tangannya meraih popcorn dan soda yang tersedia di meja. Bibi Dian geleng-geleng melihat kelakuan majikannya itu yang sedari tadi tak beranjak dari sofa ruang tengah.
"Pasti siaran Tuan Ken lagi itu," bisik Bik Dian pada asisten dapur lainnya.
"Tuan Ken itu kok seneng banget tinju-tinjuan gitu, ya Bu? Apa gak sayang kalo wajah gantengnya bonyok?," tanya asisten yang bernama Ina, sambil tetap membersihkan sayuran dan daging untuk diolah menjadi santapan malam.
"Yah, hobi aja. Daripada mukulin anak orang," dengus Bik Dian setengah berbisik supaya tak terdengar Hilda. Takut Nona muda itu tersinggung. Padahal, sudah jadi rahasia umum kalau Kenneth Tang memang hobi tawuran.
Sejak kecil, anak bungsu keluarga Tang itu memang sudah sering keluar-masuk kantor kepala sekolah. Ketika di SMP, bahkan pernah digelandang ke polsek karena tuduhan penganiayaan. Bik Dian yang sudah 20 tahun bekerja sebagai kepala pelayan tahu betul sifat agresif Ken mulai muncul sejak ibunya meninggal. Ken kecil yang baru berusia 5 tahun itu tentu saja larut dalam kesedihan. Kakak Ken yang kala itu masih berada di Akademi Luar Negri bahkan tak bisa berlama-lama di Indonesia. Ketika ibunya meninggal, Hilda sempat cuti untuk mengurus pemakaman ibu bersama ajudan ayahnya. Segera setelah cuti sekolahnya habis, Hilda bertolak kembali ke Kanada. Ken sangat kesepian. Ayahnya, Presdir Devon Tang, sangat sibuk. Tak ada waktu mengurusi Ken. Jadilah Ken semakin terasing, sehingga emosinya sering meledak-ledak.
Ina mengangguk paham. Ina yang baru bekerja selama sebulan belum begitu mengenal karakter tuan rumah.
"Yang penting, kamu jangan kaget kalo kadang Tuan Ken pulang-pulang bonyok atau berdarah. Rahasiakan dari Tuan Besar," pesan Bik Dian yang membuat Ina merinding.
"Ouchhh!!! Duh, goblok, kok bisa kena sih!" Hilda tampak kecewa karena adiknya terkena hantam. Bik Dian dan Ina bertukar pandang, lantas melanjutkan persiapan makan malam.
"Papa pulang,"
Presdir Tang melangkah masuk ke kediaman. Yessi, asisten kebersihan, menyambut tuannya dan dengan sigap melepaskan mantel serta membawakan tas kerja beliau.
"Mana anak-anak, Yes?" tanya Presdir setelah mengamati sekeliling yang tampak sepi.
"Nona di sana, Tuan," Yessi menunjuk Hilda yang sedang rebahan di sofa sambil memakai headset dan fokus pada gawainya.
"Ken, mana?"
"Tuan Ken.. Em..... " Yessi tidak bisa menjawab.
Presdir menghela nafas panjang. Sudah tahu kelakuan putranya itu. Ia berjalan pelan menuju ke tempat Hilda. Wajahnya menyembul dari balik sofa. Mengamati anak gadisnya yang sibuk sendiri itu. Hilda tak sadar akan kedatangan ayahnya. Ia masih mengunyah popcorn sambil menghentak-hentakkan kakinya mengikuti gerakan adiknya yang sedang adu-jotos di ring tinju.
"Pertandingan Kelas Bulu: KEN vs LIAM" Presdir mengeja judul yang terpampang di siaran langsung tersebut. Buluk kuduk Hilda merinding. Ketika ia menoleh....
"PAPAAAA!! NGAGETIN AJA!!"
Hilda terperanjat sampai jatuh dari sofa.
Presdir tergelak, namun, seketika mimiknya berubah serius. "Ngapain lagi adekmu itu?!!"
"Biarin sih pah, olahraga dia," jawab Hilda membela adiknya. Presdir geleng-geleng kepala. 'susah diatur anak dua ini, batinnya.
"Yaudah, Papa mau mandi dulu. Habis ini kita makan bareng," Presdir beranjak ke kamar utama dan bersiap untuk membersihkan diri. Hilda mengacungkan jempol lalu kembali pada aktivitasnya tadi.
"YESSS!! MENANGGGG!!!"
Dalam siaran itu, tampak Ken memukul KO lawannya. 2-1 begitu angka yang tertera di papan atas ring tinju. Hilda lari-lari kegirangan namun tak sengaja menghamburkan popcorn-nya ke lantai. "Waduhhh... ngapain aku ini, gabisa dimakan deh," sesalnya kemudian. Bik Dian geleng-geleng kepala dan memerintahkan Yessi untuk mem-vakum remahan popcorn yang terjatuh.
*
"Bre, ayo lah ikut,"
Dewa Kemenangan, Kenneth Tang, yang sudah muak merayakan keberhasilannya, bersiap pulang. Pelatih Ken tersenyum puas dan memberinya protein bar untuk camilan. Setiap pertandingan, Ken selalu memenangkannya. Jadi, pertandingan kali ini tidak istimewa baginya. Pelatih memperbolehkan Ken pulang untuk beristirahat. Namun, Hadi, teman sparring-nya tampak memohon-mohon pada Ken untuk ikut ke acara party-nya. Ken menolak. Ia sudah ada janji dengan sepupunya.
Hari ini ulang tahun Ferdi, sepupu dari pihak ayah, anak satu-satunya dari paman dan bibi Ken yang sudah meninggal. Ferdi kemudian diasuh oleh Ayah Ken dan menjadi sangat dekat karena sejak kecil tinggal serumah.
"Next time, ya... " Ken pun beranjak pergi. Ia menggendong tasnya menuju ke parkiran. Motor Ducati Panigale berwarna hitam tampak jinak ditunggangi pemiliknya. Ken men-starter mesin kuda besi itu untuk dilajukan menuju Bilangan Jakarta Pusat, tempat kursus Ferdi, sepupunya.
*
"Ken!" Ferdi melambaikan tangannya dari arah trotoar. Di Indonesia ini, sangat sedikit pemilik motor Ducati. Ferdi bisa langsung mengenali kedatangan Ken.
Ken memarkir motornya di tepi jalan, dan menyerahkan helm pada Ferdi. "Kemana kita hari ini?" tanyanya. Ferdi terkekeh. Rasanya seperti dijemput kencan seseorang.
"Ken, lo tuh pacaran sana, biar gak gabut ama gue terus," sahut Ferdi geli. Ken menarik gas motornya dan mengeremnya.
BRRRRMM
CKIIIT
Bugh!
Ferdi terhempas ke punggung Ken dengan sangat keras.
"EH ORANG GILA!!" Ferdi mengamuk, jantungnya berdetak tak karuan.
"Bawel sih," Ken berseloroh tanpa rasa bersalah.
"Iye...Iye... Dasar!! Ayo kita ke Club X," Ferdi mengomando. Ken memicingkan matanya.
"Ngapain, Bre? Dugem bikin capek!" protes Ken tak setuju.
Ferdi memasang tampang sedih. Seumur-umur ia belum pernah ke kelab malam. Baru kali ini ia bisa merasakan masuk ke kelab, karena sudah berumur 21 tahun.
"Plis, yah?"
Ken memutar bola matanya. Namun, tak bisa menolak. Mereka pun meluncur menuju Club X, sesuai permintaan Birthday Boy.
*
JEDAG... JEDUG...
JEDAG... JEDUG...
Suara musik kelab memekakkan telinga. Ken merasa pusing. Ferdi tampak takjub. Mereka menepi ke meja bar.
"Whiskey, 2," Ken memesan minuman ke bartender wanita yang ada di seberang mereka. Ferdi tampak melongo.
"Boleh kita minum?" tanyanya polos.
"Boleh lah, for your birthday! Happy birthday, Fer!"
Whiskey pesanan mereka sudah datang. Ferdi menenggaknya langsung seperti minum air putih. Lalu ia terkapar di meja bar. Ken terkekeh. "Bego, lu" desisnya dan kemudian meminun Whiskey-nya pelan-pelan.
"Vodka, please. 1 shot," Pinta Ken pada Winny, bartender wanita yang sedari tadi melayaninya.
"Right away, Gorgeous," jawab Winny sambil mengedipkan sebelah matanya. Ken tersenyum tipis.
Minuman pesanan Ken sudah tersaji, ia langsung menghabiskannya dalam sekali teguk. Wajahnya berubah merah, dadanya panas. Ia mulai mengantuk. Ken menggoyang-goyangkan Ferdi yang sudah tertidur duluan.
"Mahhuu cahhbut, Bhhreee?" Tanya Ken pada Ferdi yang tentu saja tidak dijawab. Ferdi sudah ngorok. Ken ikut tertidur di sebelahnya. Badannya sakit semua setelah pertandingan tinju tadi, saat ini, sakitnya serasa hilang. Tubuhnya ringan seperti akan terbang.
Tiba-tiba, perut Ken terasa sakit. Sebelum minum alkohol, ia lupa makan malam terlebih dahulu. Sepertinya, efek perut kosong yang diisi alkohol langsung bereaksi. Ken bergegas menuju ke toilet.
*
"Lehhhgaaahhh.... " desis Ken masih dalam pengaruh alkohol. Baru saja Ken hendak kembali pada Ferdi. Ia mendengar suara teriakan minta tolong yang tersamarkan oleh hentakan musik dalam kelab.
"Tolong... Jangannnn.... "
Ken yakin mendengar suara seorang wanita. Ken mendekat ke arah suara dengan sempoyongan. Ia mencoba membelalakkan matanya supaya dapat melihat secara jelas. Ada seorang wanita yang dikepung oleh beberapa pria. Satu orang terlihat sedang menjambakknya. Seorang lain menekan keras pipinya supaya tak bersuara, sedang yang lainnya memblokir jalan untuk menghalangi pandang dari pengunjung lain.
Ken mendekat ke arah mereka.
"Eh, Bhaaanciiihh.... Bheeraninya shaama cehwekk.. Shiinii Lhooo... " tantang Ken gagah berani padahal sedang tak begitu sadar. Perkataannya pun tak jelas, jalannya juga sempoyongan.
"Eh ada orang mabok ikut campur!" Tukas salah satu preman.
"Minggir, Dek! Ntar bonyok, loh... " celetuk salah satu dari mereka sambil tertawa.
Wanita itu berhasil melepaskan diri. Dan kini berlindung di balik Ken setelah mendorong salah satu dari mereka. Toni, Jefri, Didit. Rupanya itu nama mereka.
"Ayo lariiiii," wanita itu menarik Ken yang tak begitu sadar. Mereka pun berlari sekuat tenaga, tiga preman yang agak bodoh itu baru tersadar, mangsanya menghilang.
"Eh, goblok! Kejar!"
"Eh! Iya bang!"
Ken dan wanita itu menyibakkan lautan manusia yang berada di kelab lalu menuju pintu keluar. Derak kaki mereka terdengar lantang di koridor gedung yang sepi. Ken dan wanita itu berlari ke atap gedung melewati tangga darurat. Para pengejar tampak mengikuti mereka dari belakang.
"Jangan sampe lolos!" Perintah Toni.
"Siap Bos!" Jefri dan Didit mempercepat lari mereka.
Ken dan wanita itu sampai di atap. Dengan sigap, wanita itu mengunci pintu darurat. Sekarang, hanya ada mereka berdua. Ken terengah-engah kemudian tergeletak di lantai. Nafasnya memburu, kepalanya sakit. Rasanya mau mati.
"Makasih ya," ujar wanita yang masih belum menyebutkan namanya itu.
Ken membuat tanda 'OK' dengan tangan. Ia masih sibuk mengatur nafas.
"Maaf ya, jangan terlalu benci sama aku. Ini cuma masalah bisnis,"
Ken terganggu dengan kata-kata anehnya. Ia bangkit dari posisinya, namun tak menemukan sosok wanita tadi. Ken mencari ke sekeliling, tapi tak ketemu.
Tiba-tiba.
BRRUUUUKKKKKKK
Tak lama, terdengar suara dentuman keras yang menghantam salah satu mobil di bawah gedung. Alarm mobil berbunyi nyaring. Membuat semua orang yang berada di kelab menghambur ke luar.
"OH ASTAGA????!!! ADA ORANG MATI!!!" Teriak salah satu pengunjung yang pertama kali sampai ke sumber suara. Orang-orang Club X tak mempercayai apa yang sedang mereka saksikan.
Bunuh diri?
Atau..
Pembunuhan?
*
Tiga preman yang mengejar Ken tadi mundur teratur.
'Misi Selesai'
Terlihat Toni mengetik pesan pada gawainya, dan mengirimkannya pada klien yang menyewa jasanya.
DDRRRRTTTT....
Ferdi mengecek pesan masuk yang baru ia terima. Senyumnya seketika mengembang. Ia bangkit dan membayar minuman yang telah dipesan sebelumnya. Wajah polosnya tiba-tiba berubah tajam. Rambutnya dirapikan. Ferdi lalu meninggalkan kelab segera tanpa menunggu Ken kembali.
Tak lama, puluhan juta rupiah mengalir ke rekening Toni. Tiga preman itu menghilang seperti angin. Pekerjaan mereka sudah selesai.
"Pewaris Grup T diperiksa polisi terkait dugaan pembunuhan yang ada di sebuah kelab malam....."
"Ulah Anak Konglomerat, rakyat biasa jadi korban"
"Diduga cemburu buta, pacar anak konglomerat dibunuh"
*
Suasana kediaman Pressir Tang sunyi senyap. Para asisten diliburkan. Hilda terlihat sendirian di sofa ruang tengah. Jemarinya tak henti memencet-mencet tombol gawai memberikan penjelasan tertulis pada kerabat. Layar televisi menyala, seluruh stasiun berita menyiarkan kejadian semalam dengan beragam judul tak masuk akal.
Kenneth masih mendekam di bilik interogasi polres, sambil didampingi kuasa hukum Grup Tang yang tengah memeriksa dokumen-dokumen. Sudah hampir 24 jam mereka berada di sana, penyidik masih mengolah data dan menanyai Ken sebagai saksi terkait kasus Club X.
Ayah Ken marah besar. Saham Grup Tang anjlok drastis. Hilda tidak bisa berkata-kata. Kali ini, ia tak mampu membela adiknya.
Setelah negoisasi alot dengan pihak kepolisian, Ken akhirnya bisa bebas. Barang bukti tidak lengkap, alibi tidak kuat, dan gadis yang tak jelas asal-usulnya itu juga bukan hal yang harus diributkan. Dalam hati Ken tertusuk. Seseorang telah meninggal. Dan ia difitnah atas insiden tersebut. Tapi, jika melewatkan kesempatan untuk bebas seperti ini, entah apa yang terjadi. Kejadian ini juga tidak adil untuknya.
Kasak-kusuk, pengacara Grup Tang menyerahkan selembar cek kosong pada kepala penyidik, dan merekapun pergi dengan diam-diam dikawal petugas melalui pintu belakang, karena di depan polres, tampak para wartawan menyemut meminta keterangan. Kasus insiden kelab malam itu pun di-peti-es-kan, dan Ken dikirim ke luar negri untuk menghindari skandal lanjutan.
Insiden Club X sangat menghebohkan. Banyak pihak LSM menggoreng momentum ini untuk menggugat politik kelas atas. Petisi-petisi mulai bermunculan untuk mengusut harta konglomerat yang menjadi backing-an pejabat. Ketimpangan keadilan yang terjadi akibat suap. Dan banyak lainnya. Sementara, fokus Grup Tang adalah memulihkan citra, pekerjaan di bidang profit pun digulung, Grup Tang sibuk membesarkan Organisasi Nirlaba milik mendiang keluarga nyonya besar: The Royal Tree Foundation. Organisasi berbasis di Kanada itu mulai digeret ke Indonesia. Organisasi yang awalnya hanya untuk program Corporate Social Responsibility di Kanada, kini menjadi organisasi nirlaba presitisius dan banyak menangani dana sosial dari konglomerat di dunia, setara dengan unit PBB.
The Royal Tree Foundation tak banyak dikenal di dalam negri, namun, karena Grup Tang akan menjadi sponsor utama. Organisasi itu menjadi kian besar. 100 Milyar Rupiah digelontorkan untuk The Royal Tree Indonesia, dengan syarat Hilda Tang yang ditunjuk sebagai CEO.
Royal Tree mulai mensponsori pendidikan pra-ASN untuk anak-anak yang tidak mampu. Akademi-akademi gratis berbasis vokasi pun dibuka di berbagai kota. Dalam kurun waktu tiga tahun, The Royal Tree Foundation sukses merebut hati masyarakat. Tidak ada lagi yang mengingat insiden pembunuhan yang melibatkan pewaris Grup Tang.
*
Ken harus mulai membiasakan diri di Kanada, negara tempat ibunya berasal. Ia mulai belajar ilmu-ilmu bisnis secara tidak formal dari pakar terkenal. Ken juga menyibukkan diri dengan olahraga dan pertandingan tinju amatir untuk menghabiskan waktu. Sesekali ia menghubungi kakaknya dan menanyakan kabar ayahnya. Namun, tak pernah sekalipun mereka berbicara berdua. Ayah Ken sudah muak dengan kelakuan putranya.
"Sabar ya, dek... Suatu hari nanti, papah pasti maafin kamu," Hibur Hilda sewaktu Ken meneleponnya. Hilda cukup sibuk mengurus Royal Tree, kali ini, kerjasama dengan kementrian membuatnya semakin kewalahan. The Royal Tree menjadi rekanan penerimaan pejabat yang bisa merekomendasikan calon-calon pilihan mereka. Presdir Grup sangat bangga dengan pencapaian putri sulungnya, tapi tidak dengan ulah putra bungsunya. Hati Presdir belum bisa memaafkan kekacauan yang terjadi akibat ulah Ken selama ini. Ferdi, yang kini menjadi ajudan Presdir kerap membagikan informasi tentang kegiatan Ken. Tentu saja, banyak hal buruk yang dibahas. Presdir jadi semakin membenci putra kandungnya itu. Ferdi merasa puas, dapat mengadu-domba keduanya tanpa dicurigai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!