Kulangkahkan kaki menuruni bis di halte depan kampus. Menjatuhkan bokong di kursi panjang halte ini. Hujan masih sedikit deras, aku lupa membawa payung hari ini. Padahal pagi tadi langit masih terlihat begitu cerah.
Huft ... Kubuang napas dan memandangi jalanan becek yang terguyur air sedari tadi. Entah kenapa hujan selalu mengingatkan aku padanya. Seseorang yang pernah singgah di hati, seseorang yang hadir membawa keceriaan dan juga mengenalkan aku pada cinta untuk pertama kali.
Seseorang yang sering mengajakku bercanda ria. menikamati indahnya masa remaja dengan cinta dan juga tawa. Seseorang yang juga mematahkan hatiku dan meninggalkan bekas luka teramat dalam di sini, di gumpalan daging yang bisa teremas karena rasa kecewa.
"Kita putus, ya!" Satu kalimat yang terakhir kali keluar dari bibir tipisnya.
Sebuah hadiah terindah saat aku akan memasuki sekolah menengah atas. Iya, aku memang menjalin cinta monyet selama tiga tahun di sekolah menengah pertama.
Tapi cinta itu tak pernah dirusak olehnya, ia selalu menjagaku, cara dia mencintai adalah dengan melindungi diriku.
Dia selalu berkata "Aku mencintaimu, dan karena cinta itu, aku ingin melindungimu."
Sebuah perkataan dari seorang remaja lelaki biasa, tapi entah kenapa, karena perkataannya itu, aku berharap ia bisa menjadi cinta sejati untukku.
Sungguh lucu, aku mengharapkan cinta monyet bisa menjadi cinta sejati?
Karena pada kenyataannya, luka yang saat ini aku rasakan adalah ulah dia.
Karena ia juga, aku menjadi gadis yang lebih tertutup. Masa-masa indah saat SMA, lebih banyak terbuang untuk merenung dan fokus pada pelajaran.
Aku seperti kehilangan keceriaan, sampai saat ini pun, aku terlatih tumbuh menjadi gadis yang lebih pendiam.
Saat SMA aku lebih banyak menghindar dari laki-laki. Padahal dulu, ketua OSIS di sekolah, sempat menaruh hati padaku, dan berulang kali menyatakan perasaannya.
Reza, ketua OSIS yang populer pada masa itu, berulang kali aku tolak. Bukan sombong atau merasa dicintai. Namun hatiku tak pernah lupa dengan sosoknya. Yudha, dia masih sangat berarti di dalam hati.
Pikiranku tak pernah luput dari angan tentangnya. Yudha, masih sering bermain dalam pikiran, walaupun bertahun sudah berlalu, namun dirinya masih segar dalam ingatan.
Tak ada yang pernah mengenal Yudha , dia hanya tersimpan di dalam lubuk hati. Aku tak pernah menceritakan dia pada siapa pun, termasuk Tantri. Sahabat karibku.
Saat duduk di kelas dua bangku SMA, sepupu Tantri, --kak Evan. Pernah menyatakan perasaannya padaku. Demi Tantri aku mencoba untuk menjalin kembali kasih asmara. Namun sayang, lagi dan lagi, aku memutuskan untuk berhenti.
Yudha, nama itu masih merajai hati ini.
Sempat tak enak hati, namun sepertinya Tantri mengerti. Ada seseorang yang selalu aku simpan di dalam hati. Entah kenapa, namun, kekosongan ini tak pernah ingin aku isi dengan siapa pun atau bertepi pada pesisir yang lain.
Yudha, walaupun cinta itu telah lama menghilang dari pandangan. Namun, waktu tak pernah mengikis rasa itu. Mungkin orang tak pernah percaya, namun, sering kali cinta pertama itu sulit untuk dilupakan.
Tanpa alasan, dia memutuskanku dan menghilang dari pandangan. Akan tetapi, di ingatanku, wajahnya masih tersimpan sangat nyata. Yudha, nama itu telah merubah seluruh duniaku.
Dunia gadis remaja yang awalnya indah, penuh canda, dan juga tawa, menjadi datar tanpa warna. Mengubah aku yang suka bergaul dan ceria, menjadi seseorang yang dingin dan tertutup sempurna.
Kupandang langit yang mulai berubah warna menjadi sedikit lebih cerah. Hujan yang tadi deras mulai menyisakan rintik-rintik kecil saja.
Ini sudah hampir lima tahun berlalu, namun, bayangan itu tak pernah semu dalam pandangan. Entah bagaimana lagi aku mencoba untuk menghapus bayangannya.
Aku akan terus dan terus kembali mengingatnya. Seperti peristiwa itu baru terjadi kemarin, aku masih merasakan luka yang tak pernah mengering.
Karena saat ini, banyaknya kenangan manis yang tercipta, semakin membuat aku tak berdaya. Canda, tawa, yang terukir hari itu, kini menjadi luka yang teramat sangat menyiksa kalbu. Aku mulai bangkit dan berjalan menapaki trotoar menuju kampus.
Membeli secangkir Moccachino untuk menghangatkan tubuh. Menunggu Tantri di depan gerbang kampus. Sesekali kumainkan kaki menyapu dedaunan yang gugur karena air hujan tadi.
Moccachino di tangan mulai mendingin, perlahan kaki terasa kebas. Kulirik jam yang melingkari pergelangan kiri, ini sudah hampir 40 menit. Aku berdiri menunggunya selama ini, namun, Tantri belum juga muncul menampilkan batang hidungnya.
"Ck ... dimana Tantri?" decakku kesal.
Kurogo tas dan mencari benda pipih di dalam sana. Namun, aku tak menemukannya. Sial ... aku meninggalkannya di rumah.
Kelas akan dimulai lima belas menit lagi, Tantri ini di mana?
Kuputuskan untuk menunggunya lima menit lagi, tidak bisa! Aku terlanjur kesal.
Dengan cepat aku membalikan badan, kepala ini terbenam di dalam dada seseorang. Moccachino yang ada di dalam genggaman mengotori kemeja dongker yang ia pakai.
Aku sedikit mendelik ketika melihat kemejanya yang kotor. Kembali memasukan tangan ke dalam tas, mengambil sebuah sapu tangan untuk membersihkannya.
Namun, busa dari Moccachino itu tambah melebar.
"Ya ... Tuhan," ucapku kaget. "Maafkan aku," sambungku sambil menghapus kemejanya.
Akan tetapi, tangan besar itu malah mencengkeram pergelangan tanganku. Menggenggamnya dengan erat dan perlahan wajahnya semakin mendekat.
Mataku membelalak lebar saat melihat wajahnya, tak percaya, benarkah ini dia?
"Aku sangat merindukanmu, Terry," ucapnya dengan menatapku tajam.
"Yu-Yu ... Yudha."
"Apa kabar Terry?" ucapnya sambil menyungging senyum di bibir tipisnya.
Kuat, kutarik pergelangan tangan, berlari menjauh dari gerbang. Sesekali aku melihat kebelakang. Meninggalkan Yudha yang hanya terpaku melihatku berlari semakin menjauh.
Buughh
Badanku menghantam kuat badan seseorang.
"Aduh ... Terry, kenapa lari-lari sih?" tanya Tantri kesal.
"Maaf, ya," ucapku bersalah.
Aku berjongkok, memungut buku-buku milik Tantri yang jatuh karena tabrakan tadi.
"Kenapa sih? Pakai lari-lari segala?" tanya Tantri kesal.
"Hem ... itu." Aku menggaruk kelopak mata. "Aku takut telat masuk kelas." Aku menyengir kuda.
"Kemana saja? Aku tungguin dari tadi."
"Aku nunggu kamu di depan gerbang loh, Tant."
"Kan aku sudah kirim pesan ke kamu, aku mau ketemu Dosen pagi ini."
"Yah ... ponsel aku ketinggalan," ucapku sambil menggaruk kepala.
"Ya sudah, ayo masuk!"
Aku kembali menoleh ke belakang saat berjalan masuk menuju koridor. Tak kulihat lagi Yudha berada disana.
Memang seharusnya begitu, seharusnya kamu tak lagi menampakan wajah manismu di hadapanku Yudha.
Mencoba berusaha untuk memfokuskan diri pada materi yang diberikan oleh Dosen muda di hadapanku ini. Namun sayang, pikiranku kembali tersita oleh bayangan Yudha.
Yudha, kembali ia membawa ingatanku pada masa-masa itu. Entah berapa banyak waktu yang sudah aku habiskan untuk melupakanmu.
Aku tak pernah bisa, kamu masih terus menyita segala pikiranku. Seribu malam telah aku tempuh, namun bayangmu tak sedikitpun semu.
Apa yang harus aku lakukan Yudha? Aku tak pernah berpikir bagaimana menghadapimu jika suatu saat nanti kita bertemu.
Karena aku tak pernah berharap pertemuan ini kembali terjadi. Ada luka yang tak pernah mengering, aku masih begitu sakit. Jika aku terlalu melow, mungkin iya.
Karena kamulah yang telah membawa rasa itu padaku. Rasa hangat dalam setiap katamu, rasa sendu dari setiap senyummu.
Aku tak pernah bisa lepas dari jerat yang kau ciptakan. Separah itukah luka yang telah kau buat?
Tidak, aku yang terlalu dalam jatuh pada hatimu.
Bel istirahat berbunyi, aku membereskan meja dan memasukan beberapa buku kedalam tas. Dengan santai berjalan melewati pintu.
"Terry." Kupalingkan wajah saat mendengar panggilan itu.
"Iya, Pak," jawabku lembut saat melihat Pak Gilang datang mendekatiku.
"Apa ada masalah? Saya lihat, kamu banyak melamun waktu kelas tadi."
"Oh ... maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulangi lagi," ucapku sambil menundukan pandangan.
"Pft .... " Pak Gilang menangkupkan telapak tangannya di depan mulut.
"Kenapa Bapak tertawa?" tanyaku bingung.
"Kamu lucu, Terry. Kamu ini, tak ada mahasiswi seumuran kamu yang begitu polos," ucap Pak Gilang dengan seulas senyum manis.
Pak Gilang adalah Dosen jurusan Biologi, ia salah satu Dosen muda di sini. Wajahnya tak terlalu tampan, ya bisa di bilang dia manis. Ada tahi lalat di bawah sudut mata kanannya, wajahnya cukup menarik untuk para mahasiswi di jurusan Biologi.
"Maaf, Pak. Kalau tidak ada yang dibicarakan, saya permisi," ucapku sambil berjalan cepat.
Aku tak biasa berbicara dengan lelaki secara intim. Apalagi dengan Dosen, aku berusaha menghindar setiap kali bertemu berdua dengan pak Gilang.
Kujatuhkan bokong di atas kursi ujung koridor, sedikit menghela napas panjang. Kenapa hanya memikirkan Yudha saja begitu membuat aku lelah?
"Hey ... Ter." Seorang lelaki menjatuhkan bokongnya tepat di sebelahku.
"Hey, Za," ucapku sambil tersenyum.
"Tantri mana? Tumben sendiri?"
"Lagi ke ruang Dosen," balasku sambil membuang pandangan kosong ke depan.
Reza, aku lumayan bisa mengobrol dengannya. Karena aku dan Reza sudah kenal dari semenjak SMA. Selain Reza aku tak pernah mau diajak duduk berdua begini, risih dan juga sedikit trauma.
Trauma akan rasa sakit yang terlalu membekas ini.
"Makan, yuk! kamu gak lapar, Yang?" tanya Reza asal.
"Duluan deh, aku masih mau nunggu Tantri."
"Sudah, tunggu Tantri di kantin saja yuk. Aku lapar, Yang," ucap Reza ngeyel.
"Reza," panggilku lembut.
"Iya," jawabnya tak kalah lembut.
Aku tersenyum dan menggeleng pasrah, sama sekali tak bisa marah dengan lelaki di sampingku ini.
"Jangan panggil aku begitu," ucapku lembut.
"Kenapa, Yang?"
"Nanti kalau ada yang salah paham gimana?"
"Aku sih berharapnya dari kesalah pahaman itu, menjadi kesalahan yang indah, Yang."
Kunaikan sebelah alis mata, lalu dahi ini berkerut. Apa maksud lelaki bocor ini?
Seperti mengerti maksud dari pertanyaanku, Reza mengacak rambutnya dan menghela napasnya berat.
"Aku masih benar-benar jatuh cinta sama kamu, Ter," ucap Reza serius.
"Modus," balasku sambil tersenyum pahit.
"Modus itu nilai tengah, kan, Yang?"
"Reza."
"Oke, oke. No more Yang-Yang-an."
Aku menggeleng pasrah.
"Tapi Baby saja, ya."
Aku menggaruk kelopak mata yang tak gatal. Pusing dengan tingkah lelaki yang satu ini. Modusnya kadang buat aku risih. Mana mungkin dia masih jatuh cinta sama aku.
Selama kuliah saja, entah sudah berapa banyak wanita yang menjadi mantannya. Terlepas itu, Reza cukup baik untuk menjadi seorang teman. Dia cukup sopan dan tahu batasan, karena itu, sedikit banyaknya aku merasa nyaman dengannya.
"Ter, kantin yuk!" Tantri menepuk sebelah bahuku.
"Eh ... playboy cap biawak. Ngapain lu di sini? Pasti godain Terry lagi, kan?"
"Weits ... Tant. Lu itu ngomong gak disaring, ya. Wah parah lu jadi perempuan," ucap Reza ketus.
"Emang elu jadi laki gak parah? Semua wanita dicobain, parah lu Za."
"We ... kalau ngomong jangan suka ngasal, ya. Jangan jatuhi image gue di depan Terry."
"Elah ... emang nyatanya gitu," ucap Tantri sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Reza bangkit dan berdiri sejajar dengan Tantri. Ia menumpuhkan satu lengan tangannya di pundak Tantri.
"Jangan bilang lu cemburu karena gue gak pernah deketi elu," balas Reza songong.
Dengan cepat Tantri menghempaskan tangan Reza yang ia tumpuhkan di bahu wanita itu.
"Gak waras lu, gue sama elu?" Tantri menepuk jidat Reza kasar. "Gak level!" sambungnya ketus.
"Pantes lu jadi jomblo akut, Tant. Kasar banget jadi betina. Lu contoh tu Terry, lembut, kalem, senyumnya, waahhh banget."
Aku tersenyum geli mendengar ucapan Reza. Melihat mereka berdua gak akan ada habisnya.
"Sudah, katanya mau makan, ayo ke kantin," ucapku menengahi.
"Sayang ..., " panggil seorang cewek di ujung koridor.
"Wah gawat, gue duluan ya gaes," pamit Reza sambil berlari, menghilang secepat kilat.
"Heran aku lihat tuh anak. Gak bosen-bosen ngejar kamu dari SMA, padahal cewek yang dia pacari cantik-cantik," ucap Tantri kesal.
"Sudah, gak usah bahas dia," jawabku sembari menggandeng tangan Tantri menuju kantin kampus.
Kami memesan dua piring siomay untuk mengganjal perut. Kukeluarkan sebuah novel untuk menemani makan siang kami.
"Hobi kamu gak pernah hilang ya, Ter."
Kualihkan pandangan ke arah Tantri dan hanya tersenyum, kembali bola mata ini membulat secara sempurna ketika melihat wajah lelaki yang duduk di belakang Tantri.
Sepasang mata elang itu menatapku lekat, begitu banyak makna yang tidak bisa aku artikan dari pandangannya tersebut. Sampai akhirnya, bibir tipis itu mengulas senyuman.
Tanpa sengaja aku menyenggol gelas jus milik Tantri dan membuat bajunya kotor.
"Ya ampun Ter, makannya kalau lagi makan jangan sambil baca!" ucap Tantri kesal.
"Maaf, ya, Tant. Aku gak sengaja." Aku mengerutkan dahi, menatap wajah Tantri dengan binar mata sedih.
"Sudah gak usah pasang wajah seperti itu, aku tidak akan bisa marah kalau lihat wajah itu."
Tantri berjalan menuju toilet yang terletak di belakang. Kulihat punggung Tantri yang berjalan menjauh dari meja.
Ketika kembali memutar pandangan, jantungku hampir berhenti berdetak saat melihat Yudha duduk di kursi Tantri tadi. Tepat di hadapanku, hanya berbatas sebuah meja kayu.
Kutundukan pandangan, membalik lembaran novel yang saat ini aku baca. Satu tangan yang lain kubiarkan kosong di atas meja.
Menikmati debaran jantung yang kembali hidup setelah sekian lama mati. Terasa nyata, sama nyatanya ketika aku melihat lelaki yang saat ini ada di depanku.
"Terry," panggilnya lembut.
Aku hanya menunduk, menelan saliva yang terasa memahit. Sepahit kisah masa lalu kita yang coba untuk kembali dibuka.
Kurasakan sebuah jemari menyentuh punggung tangan. Perlahan, aku menarik tanganku, melirik Yudha yang ada di hadapanku sinis.
"Terry, masih marah sama aku?" tanyanya kembali, suara itu terdengar begitu lembut. Membawa kenangan kembali mengawan.
"Ter, lihat aku dong," sambungnya kembali. Tak ingin menjawab, apalagi menatapnya. Sungguh, luka ini tak pernah hilang, Yudha.
"Terry." Yudha menarik novel yang aku baca. "Aku di sini! Tolong kasih kesempatan aku jelasin."
Aku mencoba mengambil novel milikku yang kini berada di tangan Yudha. Namun, cepat ia mengelakannya.
"Ter, dengerin aku!" ucap Yudha sedikit menekan.
Kurapikan tas, dan mulai bangkit dari kursi. Kembali badan Yudha menghadang langkahku. Kutatap wajah itu dengan sinis. Akan tetapi, lelaki itu bergeming. Tak ingin menghindar dari hadapan.
"Terry." Tantri menyenggol lengan tangan.
Kupalingkan wajah ke arah Tantri. Secepat kilat, lelaki itu kembali menghilang dari pandangan, membawa serta novelku bersamanya.
Kupandangi punggung dengan balutan kemeja berwarna dongker itu berlalu pergi. Jauh, dan semakin menjauh.
Sekarang kamu sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa Yudha. Banyak yang berubah dari dirimu, akan tetapi, mengapa? Aku tak mampu merubah hati ini, agar tak lagi berharap pada hatimu?
"Terry, itu tadi siapa?" tanya Tantri menyelidik.
Aku hanya mengendikkan bahu, tersenyum dan berjalan menjauh dari kantin.
"Ter, kamu kenal?" tanya Tantri lagi.
"Enggak, Tantri," jawabku lembut.
"Tapi yang dibawa dia tadi novel kamu, kan?"
"Iya."
"Kamu kok masih santai saja sih? Marah kek, dia kan udah ambil punya kamu."
Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Bukan itu masalahnya Tantri, bukan hanya novel saja yang diambil olehnya, namun, juga sebagian hati, dan juga sebagian kisah ini. Sebagian cinta yang berujung pada luka.
"Terry!"
"Hem."
"Kamu ini, ih ... cuma senyum aja, selain senyum wajah kamu itu tanpa ekspresi, ya, Ter. Marah senyum, sedih juga senyum. Semua senyum," ucap Tantri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sedang aku, hanya bisa kembali tersenyum dan menggeleng, memang tak ada lagi yang bisa kutunjukan selain senyum palsu ini. Segala ekspresiku telah lenyap bersama waktu, kenangan indah itu yang disulap menjadi duka tanpa warna. Membawa segala yang indah, menjadi sesuatu yang sangat menyiksa.
"Terry ...."
"Apa sih, Tantri?"
"Keluarin ekspresi lo dong. Ih ... dingin banget sih jadi cewek."
"Udah lah, Tant. Gak usah dibahas. Pulang aja yuk!"
Dengan sedikit kesal Tantri mengikuti langkah kakiku. Berjalan keluar gerbang kampus dan menunggu bis arah rumah kami datang.
Tantri melambaikan tangannya saat ia menaiki bis terlebih dahulu. Aku membalasanya, tersenyum dengan helaan napas panjang. Biarkan setiap orang hanya melihat senyum ini, aku tak ingin siapa pun tahu tentang luka ini.
Menyimpannya sendiri, menikmati setiap sayatan yang membuat luka seakan tak pernah tersudah.
Sebuah motor sport berhenti di depan halte tempat terduduk. Lelaki itu menaiki kaca helm full facenya, matanya menatap tajam ke arahku.
Tanpa melihat wajahnya, aku tahu mata elang itu milik siapa. Bersamaan dengan lelaki itu semakin mendekat, bis yang kutunggu muncul. Cepat aku berjalan menaiki bis, namun, lelaki itu menarik pergelangan tanganku.
Memaksa tubuh ini kembali turun dari ambang pintu bis.
"Yudha, sadar gak sih, kamu bahayain nyawa aku!" ucapku sedikit berteriak.
"Aku akan antar kamu, ya." Lelaki itu meraih kedua bahuku, mencoba menautkan dua binar mata ini.
"Makasih, Yudha, tapi aku bisa pulang sendiri." Aku melepaskan pegangan tangan Yudha. Berjalan menjauh agar lelaki beralis tebal itu tak lagi mendekat.
"Terry," panggil Yudha sedikit berteriak.
"Terry, dengarin aku." Yudha berlari mengejar langkahku, menarik pergelangan tangan ini.
"Terry, kasih aku kesempatan buat jelasin sama kamu." Kembali lelaki dewasa itu meraih kedua pucuk bahuku.
"Terry, aku--"
"Yudha, kisah kita hanya terjadi saat masa remaja, kan?" tanyaku memutuskan kalimatnya.
"Sekarang kita udah sama-sama dewasa. Jadi anggap kita gak saling kenal, ya." Kembali kuturunkan pegangan tangan Yudha di ujung bahu.
"Novel itu, anggap saja hadiah terakhir dari pertemuan kita," sambungku.
Perlahan aku menjauh dari tempat Yudha berdiri dan terpaku. Sebenarnya aku juga masih sangat ingin mendengarkan penjelasanmu, Yudha.
Akan tetapi, aku belum siap menerima kenyataan yang akan keluar dari dalam bibirmu. Saat ini semuanya sudah sangat buruk, jangan buat semuanya semakin memburuk.
Kustop sebuah ojek yang saat itu sedang melintas, kembali memalingkan wajah ke arah Yudha berdiri tadi. Namun, tak kulihat lagi bayangan lelaki berjaket kulit itu di sana.
Memang seperti itu kamu, Yudha. Kalau kamu ingin, kamu akan muncul. Saat kamu ingin pergi, maka kamu akan menghilang dengan segala kemisteriusan.
Kamu terlalu sulit untuk aku tebak, Yudha. Banyak pertanyaan dalam pikiran yang ingin aku ajukan padamu. Namun, seperti ada sesuatu yang terus membuat aku selalu menarik diri saat menatap matamu.
Mata yang selalu aku rindui, hangatnya tatapan mata itu kini hanya membawa getaran yang membuat seluruh tubuh ini mengigil. Terlalu banyak makna dalam matamu yang tak mampu lagi aku artikan. Sama seperti kembalinya hadirmu di hadapanku, yang tak pernah aku inginkan.
Yudha, nama itu yang selalu terukir dalam masa laluku. Walau aku pernah berharap nama itu juga yang ada di masa depanku kelak. Namun saat ini, hanya dengan menatap matamu saja membuat aku kembali pada luka masa lalu kita.
Kubuka pintu pagar kayu rumah bunda, mengucapkan salam dan langsung menaiki lantai dua rumah Bunda. Saat ini, wanita yang telah melahirkanku itu pasti sedang berada di toko bunga.
Rumah Bunda bukan rumah mewah, hanya rumah kayu bernuansa klasik. Namun, aku nyaman tinggal di sini. Banyak tanaman berbagai jenis bunga dan pepohonan hijau.
Rumah kecil di tengah hamparan warna-warni taman bunga dan hijau pepohonan. Sejuk, tenang, dan sangay nyaman.
Kulempar tas di di atas kasur, merebahkan badan ini di atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Sejenak mataku terpejam, menghilang dibawa oleh kelelahan. Penat hati dan juga pikiran.
Sampai sebuah deringan telepon masuk kedalam ponsel. Menyadarkan dari alam bawah sadar. Kulihat layar ponsel itu, sebuah nomor tanpa nama. Asing.
Kembali aku lempar ponsel itu ke atas kasur. Lalu segera kekamar mandi.
Kusiapkan beberapa hidangan di atas meja makan sederhana ini. Sembari menunggu Bunda pulang, aku membereskan beberapa bufet yang berdebu.
"Assalamualaikum." Suara yang selalu aku dengar di penghujung senja.
"Waalaikum salam, Bunda." Aku berlari mencium tangan Bunda, takzim.
"Masak apa, Sayang? Dari aromanya saja udah buat Bunda lapar," ucap Bunda sambil mengelus pipiku.
"Ya sudah, kalau Bunda lapar, kita langsung makan, ya." Kuraih tas yang Bunda genggam dan meletakannya di kamar.
Kami saling menikmati makan malam berdua. Hening, terkadang tanpa pembahasan, pun candaan. Selalu, suasana seperti ini yang hadir di dalam rumah mungil ini. Bunda dan Ayah sudah berpisah dari empat tahun yang lalu.
Itu juga yang menjadi salah satu penyebab karakter aku terbentuk selerti ini. Menjadi seorang gadis yang introvert dan tak banyak bergaul. Selalu menghabiskan weekend di rumah dan mengurus taman.
Aku yang tanpa ekpresi, terkadang hanya menatap datar dan lebih sering mengumbar senyum palsu. Aku tak ingin Bunda terluka, aku tahu perpisahan ini bukan hanya berat untukku dan adikku. Namun juga buat Bunda.
Aku tak pernah tahu alasan kenapa Bunda berpisah, tapi saat ini Ayah dan Bunda masih sama-sama sendiri. Aku tak mengerti apa yang salah, kenapa jalan ini yang mereka ambil. Namun, di balik itu semua, aku menghormati keputusan Ayah dan Bunda.
Walau sempat sedih sampai membuat aku depresi. Perpisahan Bunda dan Ayah hampir membuat aku dan adikku kabur dari rumah.
Ayah dan Bunda tak pernah terlihat bertengkar sebelumnya, keputusan perpisahan mereka benar-benar membuat kami berdua terkejut dan berharap ini hanya mimpi buruk saja.
"Terry."
"Iya, Bunda."
"Kamu udah siap-siap, Sayang?"
"Oh iya, besok pagi Ayah jemput ya, Bunda. Terry lupa."
"Sebenarnya Bunda lebih suka kalau anak-anak Bunda di sini bersama Bunda, tapi Bunda gak boleh egois, ya."
"Hanya sebulan, Bunda," ucapku lembut.
"Adik kamu itu lebih sering buat Bunda pusing, Ter. Bunda tahu ini kesalahan Bunda dan Ayah, tapi Bunda juga ...." Bunda memegang dahinya, seperti ingin berbicara, namun, enggan.
Kuraih jemari Bunda yang ia letakan di atas meja makan. Kusungging sebuah senyuman ketika Bunda mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Bunda ... Terry tahu, Bunda sama Ayah punya alasan sendiri, kan. Walaupun Terry gak tahu apa masalahnya, tapi Terry memahami keadan Bunda sama Ayah."
"Makasih, ya, Ter, kamu anak Bunda yang paling bisa Bunda banggakan. Maafkan Bunda sama Ayah ya, Sayang," ucap Bunda sambil menghapus sudut matanya.
Kupeluk badan Bunda erat, sebenarnya aku lebih nyaman tinggal di rumah sederhana ini, di bandingkan rumah beton milik Ayah.
Akan tetapi, jika aku tak ingin bertukar tempat, maka itu tak adil buat adikku. Memang semenjak Ayah dan Bunda berpisah, aku dan adikku harus bertukar tempat sebulan sekali, agar bisa mendapatkan kasih sayang yang lengkap.
Memang tak mudah, namun, perlahan aku terbiasa. Ini semua berat buat adikku, saat dia masih berumur sebelas tahun orangtua kami berpisah.
Adikku memang tumbuh berantakan, suka buat masalah dan mencari perhatian orang lain. Namun, menurut aku, tak sepenuhnya juga ia bersalah. Ia masih terlalu kecil, sulit untuknya memahami ini semua.
Kubereskan keperluan kuliah untuk pindah besok. Karena sering berpindah begini, aku dan adikku menyimpan baju dan barang kami di dua tempat.
Kutata semangkuk besar nasi goreng, beberapa potong telur dadar dan sambal goreng di atas meja kayu sederhana milik Bunda.
Setelah tersusun rapi, kususuli Bunda yang berada di taman belakang, wanita itu sedang asyik mengurusi anggrek-anggrek miliknya.
"Bunda," panggilku lembut.
"Iya, Ter."
"Sarapan udah siap, mau sarapan?"
"Adik dan Ayahmu sudah datang, Ter?"
"Belum."
"Ya sudah, nanti saja sekalian sama mereka, ya."
"Ya sudah." Aku berlalu meninggalkan Bunda sendiri di taman anggreknya.
Kunaiki tangga lantai dua yang terbuat dari kayu. Membuka pintu balkon lantai dua untuk menghirup udara segar yang di ciptakan Bunda di rumah ini.
Suara deringan ponsel kembali terdengar. Kulangkahkan kaki menuju kamar, dan melihat nomor asing semalam kembali menelpon.
Menggeser tombol hijau setelah panggilan ketiga dari nomor yang sama berulang, dan mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum," ucapku lembut.
Namun tak ada jawaban, kulihat layar ponsel dan panggilan masih berlangsung.
"Hallo," ucapku sekali lagi.
Setelah beberapa detik menunggu tak ada sahutan di seberang sana. Kembali kulihat layar ponsel itu, masih tersambung, namun, sama sekali tak ada jawaban.
Kuputuskan untuk menekan tombol merah, sebelum benar-benar terputus, kudengar jawaban dari seberang di sana.
"Terry," panggilnya lembut.
Seketika suara itu membuat tanganku bergetar. Aku ingat suara itu, ingat kelembutan dan juga nadanya berbicara. Perlahan, embun bening melapisi netra mata. Ada desiran yang kembali terasa memasuki rongga dada.
Rindu, terbalut luka masa lalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!