NovelToon NovelToon

Rainy

Prolog

Kedua tangan itu bergetar hebat, saling mengepal demi menahan rasa sesak yang terus menghimpit dadanya. Dengan kedua lutut yang tertekuk, kepala itu menunduk diantara lipatan tangan dan lutut.

Saat merasa seseorang datang dan merengkuhnya, runtuh lah pertahanan yang sekuat tenaga di bangun. Tangis yang sejak tadi ditahan, akhirnya tumpah dalam pelukan hangat yang menenangkan.

“Jangan di tahan, inget lo nggak sendiri dan lo punya gue yang selalu ada untuk lo,” bisik seseorang di telinganya.

Semakin pecah, cairan sebening kristal itu keluar tanpa diminta dan sulit berhenti. Di dunia ini, mungkin hanya dia yang peduli padanya. Hanya dia yang selalu ada untuknya. Hanya dia yang mengerti dirinya tanpa perlu di beritahu.

“Lo boleh nangis sepuasnya, tapi cukup di depan gue. Jangan di depan orang lain. Dan juga, lo bukan gadis lemah cuma karena nangis. Lo gadis paling kuat yang pernah gue temui.”

Ketika ia merasa sendirian, bahu itu selalu menjadi sandaran. Ketika ia merasa tidak ada gunanya hidup di dunia, lengan itu selalu merengkuhnya dalam pelukan hangat. Dan bibir itu terus mengucapkan sebuah kalimat yang sama berulang-ulang.

“Lo nggak sendirian. Lo punya gue yang selalu ada buat lo. Lo di inginkan. Banyak orang yang sayang sama lo. Dan lo berhak bahagia.”

Meski selalu ragu, tapi ia mencoba untuk percaya.

***

“Katanya kalau seseorang udah ketemu sama orang yang baru, orang lama bakalan di tinggalin. Aku nggak nyangka ternyata orang itu adalah aku!” seru Rainy dengan nada tertahan sambil menahan dadanya yang terasa nyeri.

“Harusnya kamu nggak satu sekolah sama Riana, kasihan anakku selalu kamu bully!” ucap papa.

“Aku juga anak papa,” lirih Rainy tapi tetap bisa didengar oleh papa.

“Tapi kamu selalu bikin masalah, nggak kayak Riana yang selalu nurut.”

Harusnya Rainy sudah kebal hatinya mendengar ucapan papanya yang selalu membandingkan dirinya dengan sang adik tiri, tapi tetap saja meski perkataan itu sering terlontar, rasanya tetap sakit.

“Udah tahu tubuh adik kamu lemah, tapi malah kamu dorong sampai jatuh ke tangga. Lihat! Sekarang dia cuma bisa berbaring di ranjang rumah sakit!”

“Aku nggak sengaja, lagipula—”

“Alasan terus! Lebih baik kamu pergi, Papa nggak mau lihat kamu!”

***

“Pa, aku mau bicara,” ungkap Rainy dengan tangan yang terasa dingin.

“Besok saja, sekarang sudah larut. Papa mau istirahat.”

Papa menutup laptopnya dan berdiri. Berjalan melewati Rainy yang berada di bibir pintu ruang kerja. Tanpa menoleh sedikitpun, beliau berlalu begitu saja.

Rainy menghela napas.

Sudah ia prediksi, jadi tidak perlu kecewa. Mungkin besok masih bisa di coba lagi. Rainy berusaha mengerti, benar, ini sudah malam dan waktunya untuk papa beristirahat.

Rainy kembali ke kamar, tanpa menyalakan lampu dan gorden yang di biarkan terbuka, Rainy menaiki ranjangnya dan mulai memejamkan mata.

Rainy tertidur dengan ditemani sinar rembulan yang menembus jendela, meski tanpa lampu, kamar itu tetap terlihat terang. Namun Rainy tidak peduli, ia hanya ingin malam cepat berlalu supaya besok bisa kembali bicara dengan sang papa.

Tapi, ketika pagi tiba. Rainy lagi-lagi tidak bisa merasa kecewa meski kenyataannya tidak begitu.

“Pa, soal semalam ... ”

“Papa sibuk, bentar lagi ada meeting dan harus berangkat pagi. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja sama Bi Ira.”

“Tapi—”

“Kamu masih belum ngerti? Karena kamu kesibukan Papa jadi dua kali lipat. Setelah dari kantor, Papa masih harus ke rumah sakit buat lihat perkembangan Riana. Jadi, kamu bisa 'kan buat nggak nyusahin Papa?”

“Iya ... ”

Rainy patuh dalam rasa kecewa yang tak lagi bisa di sembunyikan. Makanan yang ia kunyah rasanya sulit di telan.

Mungkin jalan satu-satunya memang meminta bantuan bi Ira. Hanya beliau yang masih peduli padanya sampai sekarang. Ketika keberaniannya sudah terkumpul, Rainy mendekati bi Ira yang sedang membersihkan dapur.

Pelukan Rainy mendarat di tubuh yang usianya setengah abad itu. Bi Ira menoleh dan tersenyum.

“Ada apa ini kok tiba-tiba Mbak Ai peluk-peluk Bibi?”

“Nggak boleh ya, Bi?” balik bertanya dengan bibir mengerucut.

“Kata siapa? Bibi malah seneng lho di peluk Mbak Ai,” jawabnya sambil mengulum senyum.

Bi Ira membalas pelukan Rainy.

Meski ragu, Rainy yang sudah mengumpulkan keberanian mulai menyuarakan keinginannya.

“Bi Ira, bisa nggak gantiin Papa buat ngurusin perpindahan sekolah aku?” tanya Rainy pada pengasuhnya yang sudah bersama Rainy sejak ibunya masih ada.

“Lho? Mbak Ai mau pindah sekolah?” Tanya bi Ira terkejut.

“Iya, bi.”

“Sudah bilang ke papa?”

“Sudah kok,” Bohong Rainy.

Rainy tersenyum kecut. Bagaimana mau bilang, ketika Rainy ingin mengajak bicara saja papanya langsung menolak dengan berbagai alasan.

“Mau pindah ke mana, Mbak Ai?”

Rainy menyebutkan nama sekolah yang menjadi tujuannya pindah.

“Terus tinggalnya sama siapa nanti, Mbak?” tanya bi Ira dengan khawatir.

“Sama Tante, adiknya Mama yang sekarang tinggal di rumah yang dulu Ai tempati.”

Mungkin, dengan ia pergi dari rumah ini. Semuanya akan baik-baik saja seperti semula. Tanpa dirinya maka tidak akan ada masalah lagi. Iya, seperti itu. Karena seharusnya sudah Rainy lakukan sejak awal. Menjauh dari keluarga ini.

Bola dan Kepala

Tante Risa:

Alamatnya masih sama kaya dulu, kamu nggak lupa kan?

Kalau lupa telepon Tante aja, nanti Tante jemput di tempat kamu berhenti.

Pesan yang masuk sejak satu jam yang lalu itu baru Rainy baca. Tanpa membalasnya, Rainy kembali memasukkan ponselnya ke dalam sling bag. Tentu Rainy ingat, bahkan tidak akan pernah lupa sampai kapanpun dimana alamat yang dimaksud Tante Risa.

Dengan menyeret dua kopernya, Rainy hampir sampai menuju rumah yang ditempati tante Risa. Barusan Rainy turun dari travel yang mengantarnya. Harusnya bisa berhenti tepat di depan rumah, tapi Rainy lebih memilih berhenti tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh.

Berhenti di depan rumah berwarna coral, Rainy menghela napas panjang sebelum menekan bel. Setelah menekannya, Rainy menunggu selama beberapa saat sampai pintu di hadapannya terbuka perlahan.

Senyum Rainy mengembang begitu melihat siapa yang membuka pintu.

“Rainy!! Kok nggak ngabarin Tante dulu? Kan Tante bakalan jemput kamu … ”

Tante langsung memeluk Rainy, cukup erat sampai Rainy meringis. Dalam pelukan yang terasa hangat itu Rainy meminta maaf.

“Aku nggak mau ngerepotin Tante, lagian aku baru turun dari Travel kok, jadi nggak perlu dijemput.”

“Tapi kan barang bawaan kamu banyak, jadi Tante bisa bantu.”

“Masih bisa aku handle kok, Tan.”

Tante memukul pelan punggung Rainy, merasakan Rainy yang ternyata makin keras kepala. Tak ingin berlama-lama berada di luar, Tante segera menyuruh Rainy masuk. Sambil membantu membawakan salah satu koper Rainy yang cukup besar.

Rainy masuk ke dalam rumah Tante Risa, rumah yang awalnya adalah milik keluarga Rainy, tapi sekarang sudah jadi milik Tante Risa, adik kandung almarhum ibunya Rainy. Rainy berjalan perlahan sambil mengamati rumah yang sudah banyak berubah sejak sepuluh tahun yang lalu.

Rumah yang menyimpan banyak kenangan serta menjadi saksi bisu kekacauan yang terjadi di keluarganya.

“Untung sebelum kesini kamu sempet ngabarin, jadi Tante bisa bersih-bersih kamar yang kosong buat kamu tempati,” kata Tante Risa.

Mereka tiba di kamar bagian tengah, meski hanya ada satu lantai tapi rumah ini cukup besar. Ada tiga kamar tidur di sana.

“Padahal nggak usah repot-repot, Tante. Nanti aku juga bisa bersihin sendiri,” sahut Rainy merasa bersalah.

“Nggak ngerepotin, Tante malah seneng waktu dengar kabar kalau kamu mau tinggal sama Tante. Jadi Tante punya temen di rumah.”

Rainy melihat raut wajah Tante Risa yang terlihat bahagia, Rainy hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Tatapannya kembali beralih pada kamar yang memang sudah terlihat rapi. Satu ranjang queen size, lemari pakaian bahkan meja belajar pun sudah tersedia.

“Makasih Tante, dan maaf aku udah ngerepotin,” ucap Rainy dengan suara lirih, tanpa ia bisa cegah air matanya keluar.

Tante yang sedang meletakkan koper di sudut kamar itu berbalik, sambil tersenyum hangat Tante mendekati Rainy dan kembali memeluknya. Pelukan yang sangat Rainy rindukan. Terasa hangat dan menenangkan.

“jangan minta maaf terus, Kan Tante udah bilang kalau Tante seneng Rainy ada di sini. Tante juga nggak ngerasa direpotin. Udah … jangan nangis.”

Tante Risa terus mengusap punggung Rainy sampai ia berhenti menangis. Meskipun Tante tidak terlalu mengerti kenapa tiba-tiba Rainy mau pindah, tapi yang pasti Rainy sedang ada masalah.

“Aku nangis karena kangen sama Tante,” kilah Rainy yang masih terisak.

Tante Risa tersenyum lembut, entah ucapan Rainy jujur atau hanya alibi, tapi Tante cukup senang mendengarnya. Beliau juga merindukan keponakannya ini, sudah sepuluh tahun tidak bertemu padahal jarak mereka tidak terlalu jauh.

“Badan kamu agak bau, mendingan mandi gih. Tante udah bikin makan malam, nanti habis mandi kamu langsung ke meja makan, yaa,” ucap Tante Risa dengan nada bercanda setelah pelukan mereka terlepas.

Rainy terkekeh seraya mengangguk. Setelah Tante pergi, Rainy melakukan apa yang dulu suruh Tantenya. Mungkin karena lelah setelah perjalanan yang lumayan jauh, Rainy merasa segar setelah mandi. Padahal Rainy jarang sekali mandi di malam hari.

Rainy memutuskan untuk langsung ke meja makan setelah mengeringkan rambut dengan hairdryer. Tante Risa sudah duduk di sana sambil bermain ponsel.

“Tante masak banyak banget,” ucap Rainy kagum dengan hidangan makan malamnya.

“Saking senangnya dengar kamu bakalan ke sini, Tante udah masak dari asar tadi.”

Rainy meringis, bahkan kembali merasa dirinya merepotkan. Tante yang melihat raut wajah Rainy itu lantas berucap dengan cepat sebelum Rainy mengatakan yang tidak tidak.

“Tante suka ngelakuinnya, jadi Tante punya kegiatan lain selain tiduran sama nonton tv. Tante nggak ngerasa repot kok, jangan gitu lagi ya,” bujuk Tante.

“Iya, Tante.”

Makan malam kali ini diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan dari Tante Risa. Sementara Rainy hanya menjawab sebisanya sambil terus mengunyah nasi dan lauk.

“Papa gimana kabarnya?”

Rainy berhenti mengunyah, ia menatap Tante sebelum menjawab.

“Baik kok, Tante.”

“Terus Rainy ke sini emang beneran di bolehin sama Papa?”

Rainy mematung selama beberapa saat, kemudian ia tersenyum disertai anggukan. “Iya, dibolehin kok,” meskipun aku nggak izin juga kayaknya Papa nggak bakalan peduli.

Rainy mengingat kembali beberapa waktu lalu sebelum ia pergi. Berbagai cara ia lakukan untuk bisa bicara dengan Papanya tapi Papa selalu mencari alasan. Hingga Rainy lelah sendiri dan memutuskan untuk pergi tanpa izin. Hanya izin dengan Bi Ira.

Papa marah sudah pasti, bahkan akan marah besar. Tapi Rainy tidak peduli, toh kemarahan Papa bukan sebab khawatir Rainy kenapa-kenapa tapi sebab takut Rainy kabur dan tidak bisa di jadikan boneka lagi. Rainy tersenyum miris tanpa Tantenya sadari.

***

Untuk seorang anak pindahan, hari pertama memasuki sekolah baru adalah hal yang cukup mendebarkan. Tak terkecuali dengan Rainy yang merasa kedua telapak tangannya terasa sangat dingin. Irama jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya, apakah Rainy gugup?

Tentu saja!

Apalagi Rainy pindah sekolah tanpa seizin Papanya, sudah pasti suatu saat Rainy akan dimarahi habis-habisan, namun Rainy tidak peduli dan tetap melanjutkan langkahnya mengikuti ibu guru yang katanya akan menjadi wali kelasnya.

“WOIII AWAAASSS!!!”

bugh!

“Aaarghh,” ringis Rainy saat merasa kepalanya terkena benda yang cukup keras.

Sakit sekali.

Guru yang sedang berjalan di depan Rainy pun menoleh terkejut dan dengan cepat mendekati Rainy yang duduk berjongkok sambil memegangi kepalanya.

“Ya ampun! Kamu nggak apa-apa, Rainy?” tanyanya khawatir.

“Kepala Rainy sakit, Bu.”

Sambil mengusap-usap kepala Rainy yang ternyata terkena bola dan membantu Rainy berdiri, Ibu Dina melihat ke arah lapangan untuk mencari siapa pelakunya.

Satu orang cowok berlari menuju arah mereka, mengetahui bahwa dialah yang menendang bola hingga mengenai kepala Rainy, Bu Dina melotot sambil berkacak pinggang.

“Aksa! Kamu yang udah nendang bola sampai sini?” tanya Bu Dina dengan kesal.

Cowok yang namanya Aksa itu meringis dan memberi anggukan. “Maaf, Bu. Tadi nendangnya kekencengan.”

“Kamu lihat karena ulah kamu sampai kena kepala anak murid Ibu?”

Aksa meringis lagi, lalu menoleh ke arah Rainy yang masih memegang kepalanya. Sumpah Demi Neptunus, kepalanya yang terkena bola itu sakit sekali, jika orang lain mungkin saja bisa sampai pingsan.

“Sorry, ya. Gue nggak sengaja,” ucap Aksa merasa bersalah.

“Mau gue bantu ke UKS?” tawarnya, tapi Rainy menggeleng dan berkata, “Nggak perlu, cuma pusing dikit, bentar lagi juga ilang.”

“Oh, ya udah kalau nggak mau, yang penting gue udah minta maaf dan nawarin buat ke UKS. Gue mau balik ke lapangan.”

Aksa bicara dengan nada dan wajah yang datar, kemudian tersenyum saat menoleh ke arah Bu Dina. “Mari, Bu, silakan lanjutkan perjalanannya.”

Lalu berbalik dan pergi sampai Bu Dina hanya bisa menggeleng. Sementara Rainy hanya melihat sekilas punggung yang semakin menjauh itu, batinnya berkata, kok kayak kenal?

“Masih sakit, Rainy?”

Rainy tersentak kemudian menggeleng. “Udah mendingan kok, Bu.”

“Kalau beneran udah mendingan, kita lanjut masuk kelas ya?”

Rainy mengangguk, ia yang tadi berjalan di belakang Bu Dina kini sejajar karena Bu Dina masih memapahnya seolah Rainy belum bisa berjalan sendiri.

Kelas yang akan Rainy tempati ternyata cukup jauh, mereka masih harus melewati kelas anak IPA untuk bisa sampai ke IPS. Meskipun ada jalan yang jauh lebih dekat, tapi di awal mereka pergi dari ruang kepala sekolah maka dari itu Bu Dina membawa Rainy ke IPS tapi melewati kelas IPA yang katanya lebih dekat.

Bel sekolah sudah berbunyi beberapa detik yang lalu, para siswa dan siswi mulai memasuki kelasnya masing-masing, begitupun dengan Rainy hanya sekarang sudah sampai di depan kelas barunya, 11 IPS 4.

Rainy mempersilakan Bu Dina masuk duluan, di susul Rainy di belakangnya. Debar jantung yang semakin cepat membuat Rainy meremat jari tangannya. Rainy merasa seluruh penghuni kelas itu tengah menatapnya.

“Selamat pagi, Anak-anak,” ucap Bu Dina.

“Pagi, Bu!”

“Mulai hari ini kita punya teman baru, untuk kedepannya tolong bantu dia kalau dia butuh bantuan, ya. Jangan di jauhi,” ujar Bu Dina.

“Ayo, Rainy, kenalin diri kamu supaya teman-teman baru kamu bisa kenal juga sama kamu,” lanjut bu Dina pada Rainy.

Rainy mengangguk, sambil menahan gugup Rainy memberanikan diri menatap ke arah depan, dimana ada 35 murid dan menjadi 36 ketika Rainy masuk ke kelas ini.

“Halo, semuanya ... ”

“Haii ... ” satu kelas menjawab serempak.

“Saya Rainy Shakaela, panggil aja Rainy. Pindahan dari Jakarta.”

Dan ... Sudah kan? Rainy bingung ingin bicara apa lagi, cukup nama dan dari mana ia berasal sebelumnya.

“Itu saja, Rainy?” Rainy mengangguk, “Kalau sudah silakan duduk di kursi barisan ketiga yang kosong itu, ya. Di depan anak yang dari nendang bola tadi,” kata Bu Dina.

Rainy terkejut, kemudian ia melihat ke tempat yang Bu Dina katakan. Benar, di depan anak yang tengah bermain ponsel itu, atau yang tadi membuat Rainy terkena bola ada kursi kosong.

“Baik, Bu. Terima kasih.”

Bu Dina tersenyum disertai anggukan, “Ibu pamit, ya. Sekarang bukan jam pelajaran Ibu. Anak-anak, jangan ada yang keluar dari kelas dan kalau mau keluar izin sama ketuanya. Ibu minta tolong juga sama kalian semua jangan tidak acuh sama temen barunya.”

“Iyaa, Bu ... ”

Sebelum Bu Dina keluar, beliau menghampiri cowok yang menendang bola hingga mengenai kepala Rainy tadi. Dengan gerakan cepat beliau mengambil ponsel dalam genggaman cowok itu hingga membuatnya terkejut.

“E—Ehhh, Bu kok di ambil?” tanya cowok bernama Aksa itu dengan kesal.

“Lain kali kalau ada orang berbicara kamu dengarkan baik-baik. Jangan main ponsel!” tegas Bu Dina.

“Iya, Bu.”

“Sebagai hukuman karena kamu sudah mengenai kepala siswi Ibu dan bermain ponsel ketika ada guru, kamu Ibu suruh mengenalkan sekolah kita pada Rainy. Nanti saat istirahat pertama, kamu ajak dia keliling sekolah dan kenalkan ruangan-ruangan yang ada di sini.”

Aksa lantas melotot. “Nggak bisa dong, Bu. Kan itu tugasnya ketua kelas,” ujarnya, sesekali matanya melirik Rainy yang terdiam di depan kelas.

“Ardi ada urusan sama Ibu nanti waktu istirahat.”

Aksa yang tidak percaya lantas menoleh ke arah cowok yang duduk paling depan dekat jendela.

“Iya, Ar?” tanyanya.

Ardi sang ketua kelas mengangguk dengan kaku. Aksa mendengus, kemudian memberikan anggukan dengan malas.

“Iya, Bu.”

“Ingat Aksa! Jangan di buat tersesat teman baru kamu, jangan di tinggalin juga. Nanti Ibu tambah hukuman kamu,” ancam Bu Dina, dibalas anggukan pelan oleh Aksa.

Setelah itu barulah Bu Dina keluar dari kelas, Rainy tersenyum tipis saat Bu Dina melewatinya. Dengan langkah pasti, Rainy menempati kursi barunya yang tadi di tunjuk oleh Bu Dina.

Stunting dan Kurang Gizi

Tak lama setelah Bu Dina meninggalkan kelas, guru mapel pertama datang. Mengucapkan salam lalu mulai masuk ke pembelajaran. Rainy sejak tadi hanya diam dan menyimak, dan Rainy baru sadar kalau teman sebangkunya itu senyam-senyum sendiri, entah karena apa.

Ketika guru di depan selesai menjelaskan dan menyuruh mereka merangkum, Rainy tersentak kaget ketika ada yang menyenggol lengannya. Rainy lantas menoleh ke samping, teman sebangkunya yang tadi senyam-senyum itu yang sudah menyenggol nya.

“Kenapa?” tanya Rainy heran.

Ia yang hendak menulis pun lantas meletakkan pulpennya.

“Lo nggak inget sama gue, ya?”

Alis Rainy naik sebelah. Siapa? Rainy merasa belum pernah bertemu dengannya, jadi ia menggeleng sebagai jawaban membuat gadis di depannya mengerucutkan bibir.

“Ya udah, kita kenalan lagi … ” gadis itu mengangkat sebelah tangannya, dengan ragu Rainy membalas jabatan tangan itu. “Gue Vania, temen lo waktu TK, sama SD kelas 1 dan tetangga samping rumah lo.”

“Vania?” gumam Rainy sambil berusaha mengingat.

Iya, dulu Rainy punya tetangga yang menjadi sahabatnya. Meski samar, tapi Rainy ingat karena dulu mereka sering bersama. Mereka hanya terpisah saat malam hari saja, selebihnya waktu mereka dihabiskan bersama.

“Masih belum inget juga?” tanya Vania mencebikkan bibirnya.

“Inget kok,” jawab Rainy sambil tersenyum, “Cuma agak lupa aja sama wajah lo yang udah berubah banget,” lanjut Rainy.

“Lo juga berubah. Banget malah. Gue pikir kalau kita ketemu lagi lo bakal sama kayak dulu. Rambut sebahu, wajah dekil, badan pendek. Eh, ternyata lo jadi tinggi juga ya, rambut lo udah panjang. Kulit lo juga udah putih,” cerocos Vania dengan suara agak lirih, takut terdengar guru yang sedang duduk di mejanya sambil bermain ponsel.

Rainy mendengus mendengar kata-kata Vania yang tidak ada bagus-bagusnya untuk mendeskripsikan dirinya.

“Btw, lo sekarang tinggal dimana?” tanya Vania penasaran.

“Masih ditempat yang dulu,” jawab Rainy. Ia kembali mengambil pulpennya dan mulai menulis, sambil sesekali menjawab pertanyaan Vania yang tidak berhenti bertanya.

“Yah, sayang banget kita udah nggak tetanggaan lagi.” Vania mengembuskan napasnya dengan lesu, sementara Rainy tak acuh dan terus menulis.

“Emang lo udah pindah?” Rainy balik bertanya, tanpa melepaskan tatapannya pada buku yang ada di atas meja.

“Udah lama banget malah gue pindah. Lima tahunan lebih kayaknya. Tapi boleh kan gue sesekali mampir ke rumah lo?” Vania menatap Rainy penuh harap, meskipun ekpresi Rainy datar, atau bisa di bilang Rainy tidak berekspresi, tapi Rainy tetap mengangguk mengiyakan.

Rainy bukan gadis yang pandai mencari topik duluan, sehingga setelah permintaan Vania disetujui oleh Rainy mereka tak lagi bicara. Rainy tengah serius merangkum karena ingin cepat selesai. Sementara Vania tampak mengamati Rainy meskipun tidak terlalu intens.

Ada yang berbeda dari Rainy. Walaupun mereka sudah sangat lama tidak bertemu, tapi Vania masih ingat kepribadian Rainy itu seperti apa. Dulu, Rainy bukan anak pendiam seperti sekarang, bahkan dulu Rainy lebih banyak tertawa dibanding Vania. Tapi, sekarang?

***

Begitu bel istirahat berbunyi, Rainy telah menyelesaikan rangkumannya yang akan di kumpul minggu depan. Guru yang mengajar pun sudah pergi dari beberapa menit yang lalu. Setelah membereskan alat tulisnya, Rainy yang hendak menelungkupkan kepala di atas meja itu kembali di buat terkejut oleh pukulan yang mendarat di atas mejanya.

Brak!

“Sialan!” desis Rainy yang merasa detak jantungnya berdegup lebih kencang.

Kepalanya mendongak, menatap sang pelaku yang ternyata adalah Aksa. Cowok yang tempat duduknya tepat di belakang Rainy. Mata cowok itu menyorot datar dan di balas pelototan oleh Rainy.

“Apaan sih?!” tanya Rainy dengan kesal.

Baru tadi pagi cowok itu melemparinya dengan bola hingga membuat kepalanya sakit, sekarang datang lagi dengan menggebrak mejanya.

“Ikut gue!”

Alis Rainy terangkat sebelah, “Kemana?”

“Mojok.”

Rainy terkejut bukan main. Lantas ia menggeleng dengan keras. “Ogah!” Karena suara Rainy yang cukup keras, membuat beberapa siswa di kelas itu menoleh ke arah mereka.

Aksa berdecak. “Jadi pemandu lo lah. Kan gue tadi di suruh Bu Dina.”

Rainy baru ingat, kemudian ia meringis sendiri. Dengan berat hati ia berdiri dari kursinya dan melangkah mengikuti Aksa yang sudah duluan. Sebelum benar-benar pergi, Rainy menoleh ke arah Vania yang tengah menatapnya dan lagi-lagi … senyam-senyum sendiri.

“Gue tunggu di kantin,” ucap Vania sambil melambaikan tangannya.

Rainy hanya mengangguk dan berbalik. Berjalan cepat karena Aksa sudah jauh didepan sana.

Rainy tiba di samping Aksa, cowok itu pun menoleh padanya. “Lelet banget,” cibirnya.

Rainy mendengus tanpa menjawab. Karena kaki Aksa yang lebih panjang dari kakinya membuat Rainy harus bisa mengimbangi langkah Aksa. Cowok itu seakan tidak peduli dengan Rainy yang sedikit kesulitan.

“Di sini gedung IPA, tempat lo lewat tadi sama Bu Dina. Kalau mau ke gerbang atau ke kantor emang agak jauh lewat sini. Tapi kalau mau yang lebih deket bisa lewat sebelah kanan dari gerbang pas mau masuk. Di sana juga deket kantin. Kebanyakan anak IPS sih lebih milih lewat sana ketimbang sini. Kecuali kalau lagi ada urusan di kantor.”

Aksa menjelaskan sembari menunjuk ke arah yang dimaksud. Rainy mengangguk paham. Setelah mereka melewati gedung IPA, Aksa kemudian mengajak Rainy ke bagian kantor guru.

“Kantor guru, ruang kepala sekolah sama tata usaha ada di lantai dua. Pasti tadi lo udah kesini kan? Kalau yang di lantai satu isinya cuma piala yang di pajang doang.”

“Iya,” sahut Rainy.

Mereka menaiki tangga untuk ke lantai atas, karena tidak berhati-hati, Rainy tidak berpijak pada anak tangga dengan benar sehingga ia hampir terpeleset dan jatuh kebawah andai Aksa tidak punya refleks yang bagus.

Aksa menarik tangan Rainy yang akan terjatuh, lalu menariknya dengan kuat hingga kepala Rainy membentur dada kanan Aksa membuat cowok itu ikutan meringis.

“Aduh … ” Rainy meringis, merasakan kepalanya yang kembali berdenyut.

“Lo kalau jalan hati-hati dong. Kalau gue nggak cepet-cepet narik lo tadi udah jatoh ke bawah kan lo,” ucap Aksa dengan nada kesal.

Mereka masih tidak sadar bagaimana posisi mereka sekarang. Tangan kanan Aksa masih memeluk tubuh Rainy sambil menggenggam tangan kanan Rainy. Sementara tangan kirinya memegang railing tangga untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

Rainy yang masih memegangi kepalanya itu pun tersadar, karena terkena embusan napas Aksa di kepalanya. Serta indra penciumannya yang menghirup aroma tubuh Aksa yang cukup … wangi.

“Iya, maaf. Tapi lo bisa lepasin gue dulu nggak? Nanti kalau ada orang yang liat bisa salah paham,” ujar Rainy dengan cepat. Kedua tangan Rainy kini berada di depan dadanya, untuk menjadi pembatas antara dirinya dengan Aksa.

Aksa pun tersadar, dengan cepat ia menghempas tangan Rainy yang tadi dia genggam. Lalu Aksa berdehem untuk menetralisir rasa canggungnya.

“Lain kali hati-hati!”

“Iya.”

Mereka kembali berjalan menaiki tangga, tapi tidak seperti tadi. Kali ini Rainy merasa lebih canggung, ia berjalan sedikit di belakang Aksa, supaya tidak terlalu dekat dengan cowok itu.

“Ehm, btw makasih ya, kalau lo tadi nggak pegangin gue, pasti gue udah jungkel ke belakang terus bakalan masuk rumah sakit.” Rainy meringis lagi.

Ia benar-benar berterima kasih, jika tadi Rainy benar jatuh dari tangga, pasti akan merepotkan dan membuat Papanya harus membayar tagihan rumah sakit. Rainy tidak mau itu terjadi dan mendengar ucapan Papanya yang akan membuatnya sakit hati.

“Hm,” sahut Aksa tanpa minat.

Setelah melewati kantor guru, Aksa mengajak Rainy naik ke lantai tiga. Di sana ternyata ruangan kelas dua belas, yang masih terhubung dengan gedung IPA, dan IPS. Jadi lantai satu adalah untuk anak kelas sepuluh, lantai dua kelas sebelas dan lantai tiga anak kelas dua belas.

Lalu saat matanya menyisir sekitar, Rainy melihat ada satu buah tangga lagi.

“Terus itu tangga buat kemana?” tanya Rainy sambil menunjuk ke arah tangga yang ada di atas tangga yang mereka lewati tadi.

“Ke rooftop.”

“Lo sering ke atas?”

Aksa menoleh. Dengan mengangkat sebelah alisnya dia malah balik bertanya, “Emang kenapa?”

Rainy menggeleng, “Cuma nanya doang.”

Padahal yang ada dalam kepala Rainy saat ini adalah, tempat itu akan menjadi tempat favoritnya selain perpustakaan. Rainy suka tempat yang sunyi, tidak berisik dan membuat tenang. Mungkin saat ada jam kosong, Rainy akan pergi ke rooftop sambil membaca buku.

“Suka. Tapi jangan terlalu sering ke sana, banyak anak cowok yang kadang suka ngerokok diem-diem,” ucap Aksa seolah sedang memberikan peringatan.

“Tapi nggak mungkin rame terus kan? Nggak mungkin juga tiap hari bakalan ada anak-anak ke sana. Pasti ada satpam yang keliling sekolah,” sahut Rainy.

Aksa berdecak. “Serah lo dah. Yang penting gue udah ingetin.”

Mereka turun lagi sampai lantai satu. Cukup melelahkan juga. Ketika Aksa melirik jam tangannya, katanya istirahat tinggal sepuluh menit lagi. Tapi mereka belum mengelilingi semua yang ada di sekolah ini.

“Lo cukup anterin gue dimana perpustakaan aja. Habis itu kita langsung ke kantin. Lo pasti mau jajan kan?”

“Oke.”

Aksa langsung setuju, mereka berjalan lagi sampai ke perpustakaan. Tempat yang terpisah dari gedung kelas dan ruang guru. Cukup besar sampai membuat Rainy berdecak kagum.

Aksa mengajaknya masuk, untuk sekedar melihat-lihat lalu mereka akan keluar lagi. Dengan antusias Rainy mengikuti Aksa yang sudah ada di pintu perpustakaan. Kali ini Rainy berjalan di depan Aksa, sementara Rainy melihat rak-rak yang berisi buku.

“Lo suka baca buku?” tanya Aksa tiba-tiba.

Rainy sampai tersentak lalu berbalik untuk menghadap Aksa.

“Suka.”

“Bukannya lo paling benci sama buku?”

“Hah? Kata siapa?” Rainy menoleh bingung. Sementara Aksa tersenyum miring. Ia berjalan dan berdiri lebih dekat dengan Rainy.

Gadis itu menelan ludahnya, bukan tergoda bukan. Tapi sekarang posisinya agak dekat dengan Aksa sementara di belakangnya rak buku yang menjulang tinggi. Rainy merasa terjepit dan ketika Rainy hendak bergeser tapi malah Aksa juga ikut bergeser.

“Lo Rainy si bocah Stunting itu kan? Yang dulu suka dateng ke rumah gue cuma buat minta es krim sama nyokap gue?”

Rainy mematung selama beberapa saat sampai … “Ooohhh, jadi lo Aksa yang itu?” Rainy ber oh dengan mata membulat.

Terkejut? Tentu saja.

Rainy tidak menyangka akan satu sekolah dengan Aksa, bahkan satu kelas. Aksa, anak laki-laki yang dulu adalah tetangga depan rumah Rainy. Cowok kurus dan lebih tinggi dari Rainy sehingga Aksa sering menyebutnya Stunting. Dan sekarang?

Aksa masih tetap lebih tinggi darinya, bahkan Rainy hanya sebatas bahu cowok itu. Tapi yang membuatnya sedikit tidak percaya adalah Aksa tak lagi kurus, tidak juga gemuk. Rainy bisa merasakan ketika di peluk Aksa tadi. Eh?

Rainy memukul kepalanya ketika pikiran aneh muncul.

“Itu apa?”

“Kurang gizi,” jawab Rainy sambil lalu.

Jika Rainy anak Stunting maka Aksa anak kurang gizi. Karena sebutan itu, dulu keduanya kerap kali bertengkar hingga saling ledek. Sampai sekarang, Rainy kesal mendengar ada yang menyebutnya Stunting, padahal Rainy sehat, bisa tinggi seperti gadis yang lain.

Aksa ikutan kesal, lalu mencengkram tangan Rainy yang hendak pergi dari hadapannya dengan mata menyorot tajam. Wajahnya maju hampir sejajar dengan Rainy.

“Gue nggak kurang gizi!” desisnya, kesal setelah Rainy menyebut kata itu.

“Gue juga nggak Stunting!” balas Rainy tak kalah sengit.

Mereka tidak sadar, kalau saat ini wajah keduanya berdekatan. Hanya berjarak beberapa centi. Sampai ketika ada guru yang menjaga perpustakaan datang, dan menegur mereka.

“Hei! Kalian ngapain?!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!