”Kau yakin Bos?” tanya Baron melihat Kamil tengah bersiap di atas motornya.
Kamil memutar bola matanya malas menanggapi pertanyaan asistennya, ”Udah kamu jangan berisik diam aja di rumah ini, saya akan pulang jika dagangannya sudah habis!” balas Kamil mulai menyalakan mesin motornya bersiap untuk berjualan keliling.
Andai saja pertengkaran malam itu tidak terjadi, mungkin dia tidak akan meninggalkan Jakarta. Hamid papanya menginginkan dia untuk segera menikah mengingat usianya yang tidak lagi muda dan juga dengan alasan ingin segera memiliki cucu membuat Hamid terus mendesaknya.
Terlebih Farhan kakaknya belum bisa memberikan keturunan dan pernikahannya harus berujung pada perceraian. Kamil tidak habis pikir dengan sikap papanya yang selalu saja menekannya padahal dia sendiri tidak memiliki kekasih bahkan dia enggan berurusan dengan makhluk yang bernama wanita. Baginya wanita itu makhluk yang paling rumit sulit dimengerti kecuali ibunya sendiri.
Kamil berkeliling kampung sesekali senyumnya mengembang di bibirnya.
”Sayur ... sayur ... sayur ...!” teriak Kamil.
Tin ... tin ... tin ...
Suara klakson sengaja dia bunyikannya agar emak-emak komplek datang mendekat padanya.
”Ibu-ibu pada belanja gak nih?” seru Kamil.
Benar saja sekumpulan emak-emak berdaster mengerumuni sepeda motornya memilah sayuran yang akan dimasak.
Beberapa orang sibuk memilah sayuran dan masih sempat berghibah membicarakan orang lain. Tapi Kamil justru terfokus pada salah satu wanita yang sedang kebingungan karena pembeli yang lain masih berkerumun membuatnya tidak bisa melihat barang dagangannya.
”Ada ayam gak Bang?” tanyanya mendekati Kamil.
Jantung Kamil berdebar kencang hatinya berdesir mendengar suara wanita yang sejak tadi dia perhatikan.
”MasyaAllah cantik sekali,” gumam Kamil.
”Ada tunggu sebentar ya saya ambilkan.” Kamil mengambil ayam dan memberikannya pada Medina. Kamil masih saja memandang wajah wanita cantik bermata safir yang ada di depannya.
”Totalnya berapa Bang?” tanya Medina.
”Eh, iya sebentar saya ambil plastik dulu.” Kamil mengambil kantong plastik dan menghitung belanjaan yang ada di keranjang milik Medina.
”Totalnya lima puluh dua ribu lima ratus, bayar lima puluh aja deh diskon dua ribu lima ratus saja ya,” sambung Kamil.
Entah kenapa hatinya berdebar-debar melihat wanita cantik yang baru saja membeli ayam hingga dia pulang ke kontrakannya wajah itu selalu saja membayangi kedua matanya.
"Ish, kenapa kamu selalu ada di depanku!” kesal Kamil baru kali ini dia merasakan hal aneh dalam hatinya tunggu apakah ini yang disebut dengan cinta?
Hati Kamil mulai tak tenang apakah ini yang disebut cinta pada pandangan pertama, kenapa rasanya justru membuatnya tidak tenang dan selalu ingin kembali bertemu dengannya.
”Baron apa aku boleh bertanya sesuatu padamu.”
”Apa itu bos?”
”Apa kamu pernah jatuh cinta?”
”Pernah tapi ditolak karena saya belum punya pekerjaan waktu itu, kenapa bos nanyain hal itu?”
”Rasanya gimana kalau orang jatuh cinta, apa tiap hari ingin ketemu maksudnya selalu rindu?"
”Apa kamu sedang jatuh cinta bos, siapa gadis itu?”
Kamil menoleh ke arah Baron, ”Kok jadi kamu yang mengintrogasi saya!”
”Ya namanya orang jatuh cinta tiap waktu kangen bos, pengennya Deket terus tiap saat,” jelas Baron.
”Fix, saya sedang jatuh cinta padanya.”
”Siapa bos?”
”Mau tahu aja.” Kamil berdecak dengan sikap asistennya yang ingin tahu urusannya.
Keesokan harinya Kamil kembali berjualan sayur dan pulang lebih cepat dari sebelumnya baru beberapa hari jualan tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa, biasanya tiap pagi dia berolahraga tapi beberapa hari ini dia justru ke pasar mencari sayuran untuk dijualnya.
”Aduh bos, saya gak bisa tenang kalau Anda gak bersama dengan saya,” ucap Baron.
”Lah biasa aja kali, saya aja santai kenapa kamu yang panik begitu,” ucap Kamil.
”Masalahnya gawat Bos!” seru Baron.
”Apanya yang gawat?” tanya Kamil.
”Pak Hamid tadi katanya berulang kali menghubungi Anda tapi tidak direspon beliau menghubungi saya dan memarahi saya,” ucap Baron.
”Sudah abaikan saja, nanti kalau emosinya sudah reda baru dihubungi lagi biarkan dia marah dulu.”
Kamil segera merebahkan tubuhnya di sofa rasanya lelah apalagi dia harus berpanas-panasan di bawah terik matahari langsung. Namun saat dirinya akan memejamkan kedua matanya dirinya kembali teringat dengan wanita yang baru saja dia temui di komplek perumahan.
”Medina,” gumam Kamil.
***
Medina menatap Malvin putranya yang mulai tumbuh menjadi pria dewasa. Meskipun tanpa di dampingi seorang ayah tapi Medina yakin bisa membesarkan Malvin sendiri. Medina tersenyum getir mengingat masa lalu dimana dia keluar dari rumahnya karena diusir oleh keluarganya sendiri.
”Cepatlah makan lalu istirahat nanti sore jam lima antar mama ke jalan Pramuka, mama mau antar pesanan milik Bu Broto.”
Medina kembali ke dapur menyiapkan pesanan milik Bu Broto dan segera beristirahat sebentar rasanya lelah seharian karena sejak tadi malam dia membuat pesanan orang.
Tok ... tok ... tok ...
”Ma, ada tamu!” teriak Malvin.
”Bentar,” sahut Medina dengan cepat menyambar jilbabnya dan segera menuju ke pintu depan.
”Mas Daffa,” panggil Medina.
”Apa kabarnya?” sapa Daffa mantan suami Medina.
”Baik silakan masuk Mas, ada apa ya datang ke sini?” tanya Medina.
Daffa mengeluarkan sebuah undangan dari tasnya dan memberikannya pada Medina.
”Siapa yang mau nikah?” tanya Medina.
”A-ku, aku mau menikah dengan Lastri.”
Medina terdiam mendengar pengakuan Daffa.
”Jadi papa mau nikah sama wanita itu? Syukurlah dengan begitu Malvin tidak akan datang lagi ke rumah nenek dan tolong jangan pernah datang lagi ke sini karena kami sudah tidak lagi membutuhkanmu.”
”Malvin tolong jaga ucapanmu, mama tidak pernah mengajarkanmu berbicara begitu!" seru Medina.
”Biarkan saja tanpa mama ajari Malvin sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Malvin kira papa bisa balikan lagi sama mama tapi kenyataannya papa memang tidak pernah mencintai mama dan lebih memilih wanita lain sebagai pengganti teman tidurnya.”
”Malvin!” teriak Medina.
”Malvin benci papa jangan pernah datang lagi ke rumah ini!” Malvin segera masuk ke kamarnya dia merasa sudah besar dan mengerti apa yang sedang terjadi diantara kedua orang tuanya amarahnya semakin meledak begitu tahu jika papanya akan menikah lagi dengan wanita pilihan neneknya.
”Sebaiknya Mas Daffa pulang saja karena aku yakin Malvin tidak akan keluar dari kamarnya karena emosinya sedang tidak stabil.”
”Baiklah aku permisi dulu. Assalamualaikum.”
”Waalaikumussalam.”
Medina menghela nafasnya perlahan dia sudah menebak jika hal ini akan terjadi dan mungkin inilah saatnya dia harus benar-benar menata diri meskipun sejak jauh hari dia sudah melakukannya tepatnya saat Malvin berumur lima tahun.
”Semoga kalian bahagia,” gumam Medina.
Malvin kembali keluar dan memeluk Medina. ”Maafkan Malvin Ma, Malvin janji tidak akan menyusahkan mama.”
”Mau kemana bos?” Baron menatap bosnya yang sedang memakai t-shirt asal lalu mengambil ponselnya.
”Ke depan cari angin!”
”Di sini juga ada angin ngapain ke depan segala!” gumam Baron.
”Cari makanlah bodoh! Memangnya kamu mau berdiam diri di sini terus menerus tanpa makan? Mau ikut gak?” ucap Kamil mengambil kunci motornya bersiap pergi.
Dengan terburu-buru Baron keluar mengikutinya dan duduk di belakang Kamil. Begitu keluar dari pintu gerbang Kamil dikejutkan dengan kehadiran Medina yang ada di rumah sebelahnya.
”Semua sudah dimasukkan ke dalam Ma, sudah selesai ayo kita pulang!”
”Dia ...?”
”Dia putraku.”
”Oh, ja-jadi kau sudah memiliki seorang putra?” tanya Kamil gugup sekaligus terkejut dengan pengakuan wanita itu.
”Iya, saya menikah muda jadi jarak antara kami berdua tidak begitu jauh. Kalau begitu kami permisi dulu. Assalamualaikum.”
”Waalaikumussalam.”
Medina dan Malvin pun pergi meninggalkan rumah Bu Broto.
Kamil hanya dapat memandang Medina yang pergi hingga sosoknya menghilang di tikungan. Sungguh dia baru pertama kali ini merasakan getar-getar yang tak dapat dia artikan sendiri. Mungkin cinta atau sekedar mengaguminya.
”Bang Kamil mau kemana?” Bu Broto membawa box makanan lalu memberikannya pada Kamil.
”Niatnya mau cari makan, itu tadi Medina kesini ngapain Bu?” selidik Kamil.
”Ya itu tadi antar makanan, dia kan usahanya catering buat biaya hidup sehari-hari,” jelas Bu Broto.
”Lalu suaminya kemana?” tanya Kamil.
”Saya dengar mantannya mau menikah lagi, dulu awalnya mereka menikah karena Daffa itu menghamilinya dan nasibnya kurang beruntung kedua orang tua Daffa tidak menyukainya karena Medina gadis miskin, ya akhirnya bercerai,” jelas Bu Broto.
”Oh jadi begitu ya,” gumam Kamil.
”Aduh ini segera dimakan nanti keburu dingin gak enak, kalau roti bisa awet tapi ini nasinya segera habiskan ya!” seru Bu Broto segera pergi meninggalkan mereka berdua.
Kamil pun kembali masuk dan menikmati makan malam lebih awal dari biasanya.
”Enak ya ini kayak masakan restoran mahal!” seru Baron.
”Ck! Kau ini terlalu berlebihan, biasa aja kali!”
”Iya ini memang enak, munafik namanya kalau Anda gak bilang demikian,” ucap Baron dia sadar sejak tadi bosnya sedang menikmati makanan pemberian Bu Broto.
”Tapi bos, kalau dipikir-pikir kok ya sangat tidak imbang ya antara ibu dan anak tadi.”
”Maksudmu?” Kamil menautkan kedua alisnya.
”Lah itu ibu dan anak kok kayak adik dan kakak, ibunya awet muda.”
”Ya namanya juga nikah muda kau bisa tebak umurnya berapa?” tanya Kamil.
”Berapa ya bos?” Baron tampak berpikir.
”Tiga lima mungkin bos!” ucap Baron yakin.
”Kenapa tiga lima?” protes Kamil.
”Nikah muda bos dan lagi anaknya udah segede itu. Kalau tebakan saya benar Anda harus kasih saya tip lebih buat gaji bulan depan!”
”Oke!”
Kamil sendiri merasa tidak percaya dengan penjelasan dari Bu Broto tadi, wanita secantik Medina saja masih diperlakukan dengan tidak baik lalu mantannya itu mencari sosok istri yang seperti apa, dasar manusia yang kurang bersyukur.
”Oh iya bos apakah Anda sudah menghubungi Pak Hamid jangan sampai beliau marah berkepanjangan dan nanti beliau memangkas uang gaji saya ya!”
”Hah! Memangnya yang gaji kamu itu siapa? Aku atau papaku? Sejak kemarin kamu itu ribut saja, udah abaikan saja toh ada Bang Farhan yang akan mengurus kantor.”
”I-iya bos maafkan saya.”
***
Tin ... tin ... tin ...
Suara klakson sepeda motor milik Kamil terdengar begitu nyaring pertanda memanggil emak-emak di komplek untuk segera keluar. Pagi ini Kamil sengaja agak telat keliling komplek sebelah karena dagangan yang diambil Baron juga datang terlambat dan dia sendiri tidak bisa tidur semalaman memikirkan perkataan papanya Hamid. Pertengkaran kembali terjadi keduanya memang tidak pernah cocok satu sama lain.
Kamil pun mulai menghitung belanjaan para emak-emak hingga keributan terdengar di telinganya.
”Biarkan saja Ma, dia memang pantas! Lagipula selamanya Malvin tidak akan menganggapnya sebagai papaku, dia sudah Malvin anggap mati. Pria bodoh yang tidak punya pendirian!” teriak Malvin.
”Jangan begitu Nak, bagaimanapun dia adalah papamu,” ucap Medina.
”Itu dulu dan sekarang sudah tidak ada lagi. Pergi kamu dari sini, pria tidak tahu malu! Dulu kamu mengemis minta balikan pada mama awalnya Malvin mau percaya dengan ceritamu tapi setelah kejadian ini jangan harap kau bisa melihat kami!”
”Dasar pembohong!”
Seseorang keluar dari pintu gerbang rumah Medina dia adalah Daffa, dia berjalan menunduk karena malu dilihat banyak orang terutama kaum emak-emak.
”Tuh mantan suaminya Mbak Medina, cakep sih tapi kayak yang diucapkan anaknya itu dia bodoh gak punya pendirian,” ucap Bu Lia.
”Hust, jangan begitu Bu, itu kan hanya ucapan anak kecil saja belum tentu benar!” sahut Wina.
”Halah masa kau tidak bisa membedakan mana anak kecil mana bukan? Malvin itu sudah mulai beranjak dewasa dia tahu mana baik dan buruk!”
”Iya juga ya,” sahut yang lain.
”Anaknya marah kan karena dengar dia mau kawin lagi sama perempuan pilihan ibunya dan itu bikin anaknya marah. Ya benar jika disebut pria gak punya pendirian, tapi calonnya juga masih muda baru lulus sarjana ya benar saja kalau Daffa gak nolak,” sambung Bu Lia.
Kamil sengaja mendengarkan obrolan emak-emak tersebut dan mulai bisa mengambil kesimpulan meskipun dia sendiri masih ragu.
”Bang, ini tauge berapa?” teriak Wina seraya memegang tangan Kamil membuat Bu Lia melotot seketika.
"Dua ribu aja,” sahut Kamil.
”Ini uangnya Bang.” Wina menyerahkan uang dua ribuan pada Kamil dan dengan sengaja menggoda Kamil namun pria itu tidak menggubrisnya.
Tak lama kemudian Medina keluar dan mengambil beberapa potong kelapa, bumbu dapur dan sedikit cabai.
”Bu, tadi mantannya datang ya? Saya dengar dia mau menikah lagi?”
”Eh, kata siapa Bu?”
”Ya hanya denger-denger sih Bu.”
Medina meringis secepat itukah berita itu menyebar, ”Minta doanya saja ya semoga ini yang terbaik buat mantan suami saya.”
Kamil terdiam mendengar penuturan Medina wanita yang ada di depannya ini cukup kuat menghadapi terpaan badai kehidupannya setelah mendengar cerita dari Bu Broto kemarin dia bisa memastikan jika kehidupan Medina tidaklah mudah.
”Bang saya mau pesan dagingnya apa bisa tapi barangnya dikirim lebih pagi?” tanya Medina.
”Bisa tentu saja bisa, mau berapa?” jawab Kamil.
”Lima kilo Bang,” ucap Medina tersenyum dan hal itu membuat Kamil senang entah kenapa dia bisa merasakan hal itu.
"Mau pesta Bu Dina?” tanya tetangga sebelah.
”Besok Malvin ulang tahun Bu, saya sengaja mau masak yang banyak dan mengundang teman-temannya ke rumah.”
”Oh begitu.”
”Apa ada lagi yang mau dipesan Neng?” tanya Kamil membuat Medina menoleh ke arah Kamil karena kembali mendengar sebutan ’Neng’ hal yang biasa dilakukan oleh Daffa mantan suaminya.
”Tolong panggil nama saya saja ya Bang, lebih enak didengar daripada panggilan ’Neng’ karena saya sudah terlalu tua untuk dipanggil dengan sebutan itu.”
”Oh ... memangnya berapa umurnya, kelihatan masih muda dan cantik.”
”Tiga puluh dua tahun.”
”Hah!”
”Kenapa Bang?” Medina terkejut melihat reaksi Kamil. ”Aneh kenapa dia berlebihan begitu,” gumam Medina.
"Maaf ya merepotkan, tolong ditaruh di sini saja ya Bang!” pinta Medina begitu Kamil datang jam lima pagi.
”Semua berapa Bang?” sambung Medina.
”Totalnya 140 ribu kali lima jadi 700 ribu,” jawab Kamil.
”Baiklah tunggu sebentar ya saya ambilkan uangnya dulu.” Medina masuk mengambil uangnya.
Malvin yang baru pulang dari masjid pun terkejut melihat orang asing di teras rumahnya. ”Om, siapa ya?” tanya Malvin.
Kamil yang sedang menguap karena mengantuk pun ikut terkejut karena kedatangan Malvin.
”Eh?”
”Mm ... Malvin ingat Om yang kemarin sore di samping rumahnya Bu Broto kan? Penjual sayur itu?” tebak Malvin.
”Ya benar itu saya,” jawab Kamil.
”Bentar ya Malvin panggil mama dulu.” Malvin segera masuk memanggil Medina.
”Ma, ada tamu tuh om sayur pagi-pagi dah nongkrong di depan rumah.”
”Hust jangan begitu gak sopan! buruan persiapan sekolah!” titah Medina.
”Nanti lah Ma, baru juga jam lima mau lanjut tidur lagi bentar,” sahut Malvin.
”Ini Bang uangnya, terima kasih ya.”
”Iya, di sini kalau pagi sepi ya?” ucap Kamil.
”Ya begini ini namanya juga di kampung,” sahut Medina. ”Duh kenapa dia gak pulang malah ngajakin ngobrol ya?”
”Abang gak jualan keliling?” tanya Medina sengaja bertanya hanya bertujuan mengusirnya dengan halus Medina khawatir Kamil akan tersinggung jika dia bicara langsung dengannya.
"Oh jualan dong, kan ada asisten saya yang mengurusnya jadi saya tinggal berangkat saja,” papar Kamil.
”Hah, asisten? Kok saya baru dengar tukang sayur punya asisten? Biasanya bos besar dan kerjaannya di kantor gitu.”
”Eh itu maksud saya, tukang bantu jadi dia bantu saya mempersiapkannya jadi ya tinggal berangkat saja gitu. Duh hampir aja ketahuan.”
”Oh begitu,” Medina mengangguk padahal dia tidak mengerti apapun.
”Baiklah terima kasih untuk pesanannya saya pulang dulu,” pamit Kamil segera menyalakan motornya pulang ke kontrakan.
”Bos udah pulang?” sapa Baron.
"Sebaiknya aku gak jualan aja deh, mau sambung tidur lagi,” ujar Kamil.
”Loh bos kan udah belanja persiapan itu di keranjang bagaimana?”
”Kamu aja yang jualan kalau ada yang nyari bilang aja saya sedang libur.”
”Hah? Tapi saya gak bakat jualan sayur bos!” tolak Baron.
”Ya sudah kalau begitu bagikan saja buat sedekah ini hari jum’at kan?” papar Kamil.
”Astaghfirullah bos kalau disedekahkan nanti rugi ya? Ini semua lebih dari tiga juta loh!” ucap Baron.
”Kalau saya bilang sedekahkan ya sedekahkan bukankah kamu gak mau berangkat menggantikan saya?” terang Kamil.
”Baik bos saya akan mangkal di tempat bos mangkal seperti biasanya.”
”Cepat pergi sana.”
Baron segera pergi meninggalkan Kamil yang masih bersandar di sofa, baru beberapa detik dia memejamkan matanya ponselnya bergetar.
'Papa Hamid calling ... ’
”Hallo ada apa Pa?”
”Dimana kamu sekarang?”
”Ada di rumah.”
”Rumah mana? Sejak kemarin papa ke apartemen kamu dan di sana tidak ada orang sama sekali!”
”Iya memang Kamil sedang di rumah Pa.”
”Terserah kau saja sekarang ke kantor papa karena ada sesuatu yang harus papa bicarakan denganmu.”
”Tidak bisa Pa, Kamil sekarang ada di luar kota.”
”Apa? Kamu meninggalkan perusahaanmu berhari-hari keluar kota?”
”Papa tenang saja, Kamil sudah mempercayakan semuanya pada Daren jadi papa jangan khawatir.”
"Papa tidak mau tahu segera pulang atau papa akan menyuruh orang menyeret kamu pulang ke rumah.”
”Pa, Kamil itu sudah dewasa please, jangan campuri urusan pribadiku, papa masih ada Bang Farhan yang selalu papa banggakan itu jadi biarkan Kamil memilih jalan sendiri.”
"Kau semakin berani sama papa?”
Bip.
Kamil mematikan sambungan teleponnya dia malas berdebat dengan Hamid ayahnya karena dia yakin takkan pernah ada ujungnya. Kamil memilih untuk melanjutkan tidurnya yang sebelumnya tertunda karena harus ke pasar membeli daging untuk Medina.
Memikirkan wanita itu membuat Kamil kembali berfikir diusianya yang masih sangat muda harus melewati berbagai ujian hidup. Umurnya pun sama dengannya tapi dia terlihat sangat dewasa.
"Kenapa aku jadi memikirkan wanita itu,” gumam Kamil.
***
”Mbak, memangnya mau datang ke pernikahan Mas Daffa?” tanya Hasna teman sekaligus tetangga Medina.
"Aku gak tahu Na, enaknya bagaimana ya?” balas medina.
”Kalau menurut Hasna lebih baik datang dan bawa pasangan biar keluarganya Mas Daffa tahu jika Mbak juga bisa move on darinya, enak aja mereka menginjak-injak harga dirinya Mbak Medina.”
”Jika datang nanti yang didapat hanya hinaan, Hasna yakin Bu Yanti pasti akan mengatakan berbagai hal dan itu hanya akan menambah rasa sakit hati saja,” lanjut Hasna.
”Sudahlah, ini tolong bagikan ke tetangga ya bilang ini sedekahnya Malvin karena sedang berulang tahun.”
”Hem, baik Mbak.”
Hasna mulai membagikan nasi box ke tetangganya hingga di ujung kompleks yang sedang mangkal ibu-ibu belanja sayur.
”Ibu-ibu ini ada nasi box bisa dibawa pulang ya buat sarapan,” seru hasna.
”Ada acara apa dan siapa yang bagikan ini semua?” tanya Bu Lia.
”Mbak Medina, putranya Malvin kan sedang berulang tahun dia sengaja bikin ini buat dibagikan nanti siang tinggal teman-temannya Malvin yang datang ke rumah.”
”Oh begitu, saya ambil dua ya,” ucap Bu Lia.
”Boleh silakan Bu,” sahut Hasna.
”Ayo Bang silakan ambil, eh bukan abangnya yang biasanya ya?” ucap Hasna memberikan dia nasi box pada Baron dia box.
”Kok dua Mbak?” tanya Baron.
”Iya buat temannya yang biasanya ya, ini masakannya Mbak Medina pasti ketagihan.”
”Baiklah saya terima dengan senang hati dan terima kasih.”
”Ayo bu-ibu silakan diambil seperlunya karena hari ini gratis, khusus hari Jum'at ini ya,” seru Baron dalam satu jam keranjang yang nangkring di motor ludes diserbu ibu-ibu komplek.
”MasyaAllah, semoga berkah ya Bang,” ucap Hasna diaminkan oleh ibu-ibu yang mendengarnya.
Hasna pulang dengan membawa sedikit sayuran membuat Medina mengerutkan keningnya.
”Ini buatmu, aku ambil kacang panjang sama tauge saja ya,” ucap Hasna.
”Kamu beli dimana?” tanya Medina.
"Si abang sayur yang biasanya nongkrong di depan itu, tapi yang bawa bukan abang yang biasanya sih.”
”Kok bisa?”
”Iya mungkin temannya satu penjual ini aja gratis itu satu keranjang gak bayar siapa mau boleh ambil katanya jum’at berkah gitu,” jelas Hasna.
”Oh ... nasi box udah dibagikan semuanya kan?” Hasna mengangguk.
”Makasih ya, ini tinggal nunggu teman-temannya Malvin datang semoga mereka suka dan Malvin juga senang karena bisa ajak teman-temannya ke rumah.”
***
”Bagaimana bisa jualan kan?” tanya Kamil.
”Ya semua udah habis bos!” jawab Baron mantab.
”Lalu mana duitnya?” Kamil menagih uang dagangan.
"Loh, katanya tadi suruh dibagikan kok sekarang nagih uangnya?” Baron kebingungan dengan sikap bosnya itu.
”Astaga jadi dagangan sebanyak itu kamu kasihkan ke orang semua?” Kamil menepuk jidatnya sendiri merasakan kesal ingin marah tapi tidak bisa Baron memang terlalu polos dan belum bisa diandalkan.
”Maaf bos, ini ada nasi box pemberian dari Mbak Medina,” ucap Baron.
Kamil yang sedang marah pun melirik sekilas padanya. ”Kau yakin ini darinya?”
"Yakin bos, tadi temannya yang membagikannya.”
Kamil membawa nasi box tersebut dan membukanya, tampilannya sangat rapi dan begitu dia menikmatinya rasanya ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!