NovelToon NovelToon

Blue Apple Of My Eye

Bibit Manusia

"Bakar saja rumahnya! Bakar hingga tak tersisa!" Warga desa masih setia dengan garpu rumput tajam juga obor yang menyala-nyala. Dengan senang hati dan tanpa rasa bersalah membakar salah satu rumah yang diyakini sebagai tempat tinggal makhluk abadi. Aksi biadab para warga malam ini akan menjadi sejarah baru kota tersebut.

Judulnya 'Para warga membakar rumah Gumiho, si makhluk rubah abadi.'

"Bakar! Jangan biarkan makhluk itu hidup!" Seorang wanita tua dengan badan setengah bungkuk berteriak lantang dengan suara melengking, "jangan biarkan makhluk hina itu menghancurkan hidup kita! Bakar rumahnya sampai menjadi abu! Jangan biarkan dia hidup!"

"Awasi seluruh bagian rumah agar dia tidak kabur! Teruslah menyiramkan minyak tanah! Teruskan!"

"Masuk ke bagian rumahnya yang lain! Kita harus memastikan agar dia takut dan tidak kembali!"

Para warga yang didominasi dengan pria membawa banyak minyak tanah, dilemparkan ke sembarang arah rumah si makhluk abadi. Api dengan cepat menyebar. Dalam seperkian menit sudah sebagian rumah besar itu terbakar. Membuat malam indah berbintang ternodai oleh udara kotor akibat kebakaran.

"Bakar! Jangan biarkan rumahnya berdiri!" Mereka melemparkan lebih banyak obor juga minyak tanah ke rumah megah itu. Awalnya sebagian besar warga sudah bersiap untuk membunuh yang ada di dalam sebelum membakar tempat persembunyiannya. Namun wanita tua bersuara melengking tadi tidak ingin ambil risiko dan memilih untuk membakar.

Tidak ada yang mengawasi hutan di sekitar, membuat sesosok makhluk berpakaian serba hitam bebas berlari menjauh dari keramaian. Mungkin gunung adalah tempat yang ia tuju sekarang. Tidak ada yang berani pergi kesana karena terkenal dengan kisah menyeramkan berupa roh gunung. Orang-orang hanya fokus pada rumahnya, ini kesempatan bagus.

"Siapapun yang pergi ke gunung, dia tidak akan pernah bisa kembali hidup-hidup."

Beberapa kali sudah ada yang mencoba untuk masuk ke daerah gunung. Namun yang kembali ke rumah hanya lipatan baju yang sudah dilipat rapih dengan banyak darah disana. Juga tidak jarang beberapa potongan tubuh yang tergeletak di depan pintu masuk gunung. Roh gunung benci jika ada mahluk sembarangan yang masuk ke daerah kekuasaannya. Apalagi makhluk yang pernah berbuat jahat.

Roh gunung akan melihat jiwa-jiwa mereka yang masuk. Sedikit saja ada noda hitam disana, dia tidak akan pernah bisa melihat langit keesokan harinya. Noda itu akan membuat makhluk yang baik pada awalnya menjadi jahat. Gunung bukan tempat yang sesuai untuk pada makhluk rendahan.

Makhluk berpakaian hitam tadi tidak punya pilihan selain menerobos masuk ke gunung untuk mencari tempat perlindungan. Meskipun desa yang dia tempati beberapa tahun terakhir tidak begitu besar, dia tentu tidak bisa kembali di tengah kekacauan di rumahnya. Bisa-bisa dia akan dibunuh dengan segala cara oleh para manusia biadab.

Joshua duduk di batu besar dekat sungai dalam hutan. Aliran sungai deras ini akan mengarahkannya ke tempat yang lebih baik. Beruntung dirinya bisa berlari sangat cepat hingga sudah tidak mendengar kebisingan yang memekakkan telinga. Hutan di sekitarnya sangat lebat, Joshua hampir menyerah melewatinya.

Si makhluk abadi berekor sembilan yang menjadi musuh utama warga desa ini mendongak, menatap bulan yang tampak lebih terang. Sang Dewi malam seolah tengah tertawa melihat kesialan yang menimpa Gumiho kelelahan ini.

Diam-diam Joshua bertekad untuk menjauh dari ras manusia manapun. Dia harus memikirkan dirinya sendiri setelah mendapatkan pengusiran yang sangat kasar malam ini.

Joshua yang ada di tubuh manusianya menutup mata perlahan, merasakan udara hutan yang dingin menusuk masuk melewati sweater hitam yang dia kenakan. Apa itu sebagai sambutan awal dari perantara roh gunung? Sejauh ini Joshua belum menemukan penolakan apapun dari roh manapun.

Makhluk itu bangkit, merubah dirinya menjadi rubah berekor sembilan seperti yang semestinya. Kembali berlari kencang sambil membawa tas yang untungnya sempat ia bawa sebelum api di depan rumahnya sempat masuk. Tujuannya hanya naik ke gunung dan berharap mendapatkan izin dari roh gunung.

Ketika sudah beranjak cukup jauh dari tempat istirahat, Joshua mendengar suara nyaring yang membuatnya terhenti. Suara yang terdengar mirip dengan tangisan seorang bibit manusia. Joshua meletakkan tas di mulutnya di tanah. Tubuhnya berubah kembali menjadi manusia bersamaan dengan dirinya yang berjalan mendekati aliran sungai.

Suara itu seperti berasal dari sekitar bebatuan besar yang ada disana. Tapi jika dipikirkan dengan akal sehat, mana mungkin ada manusia yang bisa sampai sejauh ini? Mereka pasti membutuhkan berhari-hari untuk bisa sampai. Dan juga jika yang didengarnya benar suara bibit manusia, bagaimana dia bisa bertahan hidup dan menangis?

Joshua berpikir jika itu mungkin suara penghuni hutan iseng yang ingin membuat dirinya bingung. Perlahan didekatinya aliran sungai dengan ragu. Suaranya semakin keras, itu artinya asal suaranya sudah semakin dekat. Laki-laki berpakaian serba hitam ini melihat sekitar, memastikan tidak ada hal-hal yang bisa membahayakan nyawanya lalu mulai menaiki bebatuan sungai, terus mencari asal suara.

"Ketemu," ucap Sang Gumiho. Benar bayi manusia. Dia berada di tengah bebatuan besar, tepat di tengah sungai. Kini setelah menemukan asal suara, Joshua bingung harus bagaimana. Apa dia harus membawa makhluk ini bersamanya? Apa Joshua harus menyelamatkannya demi moralnya?

Tapi bagaimana anak ini bisa ada disini? Manusia bodoh mana lagi yang membuang anaknya disini? Makhluk yang tengah menangis kencang karena lapar ini tidak bersalah. Joshua bisa melihat jiwa putih bersih anak ini dengan jelas. Bahkan jiwanya lebih putih dari jiwa manusia lain yang pernah diketahuinya.

Joshua tertegun sebentar, kenapa dia harus menemukan anak ini? Maksud semua ini? Jika Joshua membawanya, apa roh gunung akan mengizinkannya? Dia juga tidak mungkin akan merawat anak manusia. Rasnya sudah membuat Joshua harus mengasingkan diri sekarang.

Bayi yang masih ada di tengah cela bebatuan ini terus menangis, seolah memohon pada Joshua untuk membawanya bersamanya, ingin diselamatkan dari dinginnya percikan air sungai. Mata polosnya menatap Joshua menelas.

Sesuatu di dalam tubuh Joshua bergerak, ada rasa ingin menyelamatkan anak itu. Roh gunung mungkin mengirimkan anak ini pada Joshua untuk syarat masuk ke daerahnya. Juga air sungai mungkin bisa naik besok pagi dan membuat anak ini tenggelam. Joshua akan dianggap pembunuh.

Joshua berjongkok, menatap bayi yang masih menangis kencang ini sambil berpikir. Beberapa saat yang lalu dia sudah bertekad untuk menjauh dari ras manusia. Namun sekarang justru dia bertemu dengan salah satu ras manusia yang paling lemah.

Tangisan bayi ini semakin keras karena air sungai sudah naik membasahi kain tebal yang di pakainya.

Makhluk Gunung

"Baiklah," Joshua mengambil keranjang bayi itu, membawanya ke tempat tasnya berada. Bayi ini masih terus menangis. Entah apa yang membuatnya diam. Jika dia lapar, apa yang harus Joshua berikan? Bayi ini sepertinya baru berusia sebulan. Masih sangat kecil dan lemah.

"Tenanglah," Joshua berusaha menimang si bayi, namun usahanya tidak membuahkan hasil. "Kenapa kau sangat berisik?" Joshua semakin bingung dibuatnya. Jika ditinggalkan, bayi ini kemungkinan besar akan meninggal. Apa sebaiknya Joshua cepat-cepat membawanya ke gunung agar aman? Berjaga-jaga jika ada manusia yang tiba-tiba muncul.

Joshua kembali berubah menjadi gumiho, membawa bayi tadi dengan tasnya yang sedikit dibuka untuk sirkulasi udara. Dia berlari sangat cepat tanpa menganggu si bayi.

"Kenapa kau masih menangis?"

Joshua kembali dalam bentuk manusia. Kini keduanya sudah berada di tempat aman. Diletakkannya bayi itu di bawah sebuah pohon yang dekat dengan tebing curam. Tempat istirahat untuk sementara. Joshua duduk tepat di hadapan si bayi. Menunggu hingga bayi itu lelah dan tertidur.

Joshua mulai berpikir apa mungkin bayi mungil ini melihat roh jahat? Karenanya dia menangis tanpa henti. Tapi Joshua tidak merasakan keberadaan roh apapun di sekitar sini. Selain hawa-hawa khas penghuni gunung yang tidak akan menganggu.

Tebing berpohon ini sedikit jauh dari para mahluk lain yang sedang bersembunyi dalam hutan gunung. Joshua bisa memastikan jika tempat ini akan menjadi tempat yang nyaman untuk membangun rumah.

"Bagaimana aku akan membuatnya diam?" Joshua lelah setelah berlari, ditambah dengan suara tangisan bayi tiada henti. Joshua benar-benar payah dan hal mengurus bayi. "Diamlah! Aku mengantuk dan-"

Bukannya diam karena bentakan Joshua, bayi mungil ini justru tambah menangis. Terkejut karena suara besar yang tiba-tiba datang. Sudahlah, lebih baik Joshua tidur. Ia mengeluarkan ekornya yang sangat panjang juga besar, membentuknya sedemikian rupa menjadi tempat tidur nyaman untuknya sendiri.

Untuk sesaat, Joshua tidak lagi mendengar tangisan yang memekakkan telinganya sejak tadi. Refleks Gumiho itu mengecek sang bayi. Khawatir jika ternyata bayi itu meninggal karena tidak di perhatikan. Rupanya salah satu ekornya berada di tangan bayi, dia menyentuhnya dan tertidur. Sepertinya ekor rubah ini bisa menenangkan anak manusia itu.

Matahari muncul dalam sekejap. Joshua terpaksa bangun karena sinarnya menganggu matanya yang terpejam. Bayi itu masih tidur, saat Joshua memasukkan kembali ekornya, si bayi tiba-tiba membuka mata birunya yang masih mengantuk.

Bayi itu kembali menangis saat benda lembut yang disentuhnya lepas dari genggaman. Joshua mengeluarkan ekornya lagi, diberikan pada si bayi agar diam. Joshua menatap bayi yang memeluk salah satu ekornya. Dia berpikir selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk membawa bayi itu dengan tasnya.

"Apa yang harus kuberikan padamu?" Gunung ini memiliki banyak buah untuk Gumiho. Sementara anak manusia ini belum bisa makan buah.

Omong-omong bayi ini tenang sekali. Dia tidak bertingkah dan malah tersenyum ketika bertemu wajah dengan sang gumiho. Bayi itu berkedip lalu tersenyum lagi, menunjukkan isi mulutnya yang masih belum memiliki gigi. "Aku sedang bertanya padamu, kenapa kau malah tersenyum?" Tanpa sadar senyuman menawan si bayi menular pada Joshua.

Di tengah pernyataan dan senyuman diantara pendatang baru ini, Joshua seperti mendengar suara asing dari sekitarnya. Dilihatnya kanan dan kiri. Tanpa sengaja Joshua bersitatap dengan makhluk yang menarik perhatiannya itu.

Jauh disana, ada seorang wanita, mungkin korban kekejaman seseorang yang sengaja ditinggalkan disini. Wajahnya menyeramkan, penuh luka, juga ditambahkan dengan baju putih yang banyak memiliki noda tanah dan darah yang sudah mengering. Tatapannya yang tampak kosong membuat Joshua mengambil posisi mempertahankan diri.

"Siapa kau?" Tanya Joshua dengan nada tajam.

"Itu anak manusia?" Joshua menguatkan posisinya ketika mata wanita itu tertuju pada makhluk yang ada di dadanya. "Kenapa? Aku bertanya padamu." Makhluk itu mendekat, membuat Joshua makin menatapnya waspada.

"Jangan mendekat, jika kau melakukannya aku akan membuatmu menyesal. Jangan menganggu anak ini." Untuk sekejap Joshua lupa jika makhluk gunung berhati putih tidak akan berbuat jahat. Dirinya terlalu takut dengan makhluk lain yang mirip dengan manusia setelah kejadian semalam.

"Aku akan membantumu merawatnya," balas wanita itu lirih. Joshua menggeleng pelan, menolaknya mentah-mentah. Mereka tidak kenal satu sama lain.

"Aku tidak percaya padamu, menjauhlah!" Wanita itu kemudian berhenti mendekat. Tatapannya berubah sendu.

"Temukan mata air di dekat pohon bunga. Mata air itu akan membuat anak itu kenyang. Aku tahu dia menangis karena lapar semalam. Aku pernah memiliki seorang anak. Aku tahu apa yang anak itu inginkan. Kau harus menjaganya dengan baik." Wanita itu kemudian menghilang ke balik pohon.

Joshua menenangkan diri, beralih menatap bayi yang tengah menatapnya sejak tadi. "Mau pergi mengeceknya bersama? Kau pasti lapar kan?" Tanyanya.

Bayi itu hanya tersenyum ketika Joshua bertanya. Mungkin terpesona dengan wajah makhluk yang sudah menyelamatkan dirinya semalam dari sungai. Omong-omong apa Joshua harus percaya pada wanita tadi? Bagaimana wanita itu tahu soal mata air dan apa yang dibutuhkan anak manusia?

Dirinya sendiri saja bukan manusia.

Ada banyak pohon bunga yang tumbuh di hutan, Joshua lupa tidak bertanya bunga apakah itu. Laki-laki bersweater hitam ini terlalu sibuk mempertahankan diri. Yang jelas katanya di dekat mata air. Seberapa jauh mata air itu sebenarnya? Joshua ingin cepat-cepat memasukkan ekornya kembali ke penyamaran manusianya.

Mungkin sudah setengah bagian gunung sudah Joshua jelajahi untuk mencari mata air yang dikatakan. Joshua masih berusaha mencari. Harap-harap Joshua dapat segera menemukannya agar bisa memasukkan kembali ekornya. Omong-omong roh gunung tidak melakukan apapun padanya selama disini.

Itu artinya Joshua dan bayi ini diterima kan?

"Eung," bayi itu menoleh ke sebuah tempat. Dengan bantuan suara kecil si bagi, akhirnya mereka menemukan mata air. Ada beberapa pohon yang berbunga dengan indah di sekitarnya. Pasti tempat ini yang di maksud oleh wanita tadi. Segera Joshua menggunakan kekuatannya untuk melihat melihat apakah air itu aman untuk si bayi.

Aman.

"Minum ini," Joshua mengambil air dengan tangannya yang sudah bersih, meminumkannya pada bayi perlahan. Bayi ini tidak menangis saat ekor Joshua lepas dari genggamannya. Akhirnya Joshua terlihat seperti manusia sekarang.

"Kau sudah kenyang. Kita harus membawa airnya sedikit agar kamu baik-baik saja tanpa ekorku." Joshua membawa wadah air untuk berjaga-jaga sembari mencari mata air. Jadi mereka tidak tahus bolak-balik ke tempat ini setiap bayi ini lapar.

"Urusan makananmu sudah selesai." Sebaiknya Joshua berterima kasih pada wanita tadi.

Keluarga Baru

Tanpa diketahui keduanya, seseorang tengah memantau dalam diam di kejauhan. Sangat jauh hingga yang di perhatikan tidak bisa mencium baunya. Samar-samar makhluk di atas pohon itu tersenyum, jiwa kosongnya seperti kembali hangat karena apa yang ditontonnya. "Aku ingin seperti itu juga," ungkapnya.

Kilas balik menyakitkan berputar dalam kepala makhluk itu seperti film dokumenter hitam putih yang menyeramkan. Makhluk itu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan untuk mengusir ingatan buruk yang tidak pernah hilang itu. Sebaiknya dia tetap maju dan perlahan melupakan memori kelamnya.

Makhluk putih itu turun, beralih duduk di bawah pohonnya. Tempat para warga membuang jasadnya bertahun-tahun yang lalu. Sungguh tragis nasipnya, kehilangan seseorang yang paling disayanginya. Namun dengan melihat kedua makhluk berbeda alam yang berada di dekat mata air, rasanya menyenangkan.

"Andai aku masih hidup," ucapnya lirih seraya menatap langit cerah, "aku merindukan anakku."

"Kau melihat anak manusia itu?" Sesosok makhluk serigala muncul dari balik semak-semak, mendekat berniat melihat pemandangan yang sama dengan yang ditanyai.

Dan yang di tanyai mengangguk, "jangan ganggu mereka. Hati laki-laki itu putih karena menolong bayi yang ada di sungai. Bayi itu juga memiliki hati putih. Jangan sakiti mereka. Meskipun kau sudah bebas dari larangan roh gunung, tetaplah pada batasanmu."

"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Bisa saja salah satu dari mereka memiliki noda hitam lalu dibunuh di gunung ini. Roh gunung sedang mengawasi keduanya sekarang." Serigala itu duduk di dekat pohon wanita yang dia ajak bicara. Sikapnya yang selalu waspada pada para pendatang membuatnya berkata demikian.

Wanita pemilik pohon bangkit, "meksipun begitu. Sekarang kita kedatangan teman baru disini. Aku yakin mereka akan menjadi keluarga yang harmonis. Jangan selalu berburuk sangka."

"Jangan bermimpi soal itu. Manusia bisa memiliki noda itu tanpa sengaja. Lihat saja siapa yang akan mati pada akhirnya."

"Pergilah serigala, carilah makanan daripada membicarakan mereka. Tugasmu bukan untuk mengutuk pada pendatang," kesal wanita itu hingga menunjukkan wajah paling menyeramkan miliknya untuk mengusir si serigala.

"Aku hanya ingin mengatakan apa yang kurasakan padamu. Kenapa marah begitu?" Takut di serigala lalu buru-buru pergi. Meskipun sudah mengenal cukup lama, dia masih saja takut melihat wajah paling menyeramkan wanita ini. Padahal wajahnya ketika sedang senang itu sangat cantik.

...----------------...

"Sudah selesai? Ceritanya hanya berakhir seperti itu? Ayah pasti mengerjaiku." Gadis kecil bermata biru yang sedang di dongengi tidak percaya jika cerita yang dikisahkan ayahnya sudah berakhir dengan akhir cerita yang tidak berkesan. Padahal dia sudah bersemangat menunggu endingnya tadi.

"Lalu apa yang terjadi pada mereka? Apakah ayah tahu kelanjutan ceritanya? Ayolah, bacakan hingga selesai," rengek si gadis sambil menatap ayahnya memelas.

Ayahnya tersenyum kecil, menatap menerawang ke langit seolah tengah berpikir. "Mereka kemudian menjadi keluarga yang bahagia selama-lamanya. Kamu sudah puas? Ayo tidur."

Gadis manis itu mempautkan bibirnya kesal. "Ayah pasti mengarang. Ceritanya pasti tidak berakhir seperti itu. Kenapa ayah berbohong pada anak kecil?"

Sang ayah menoleh, menoel hidung anaknya gemas. "Kamu ingin tahu akhir ceritanya bukan? Sudah ayah katakan. Sekarang kita harus tidur. Besok hari yang panjang. Kamu harus bangun pagi-pagi sekali."

"Kemana kita akan pergi besok?" Gadis manis itu berubah semangat, matanya berbinar seolah akan mendapatkan hadiah. Berpikir jika ayahnya mungkin akan membawa dirinya pergi berjalan-jalan di hutan.

"Tentu saja hari belajar memanah. Jangan pura-pura lupa dengan apa yang akan kita lakukan." Joshua masih memberikan anak gadisnya senyuman semanis mungkin yang malah tampak menyebalkan untuk yang menatapnya.

Gadis kecil itu menutup wajahnya dengan selimut, menolak kenyataan untuk melakukan apa yang ayahnya katakan. "Aku tidak ingin melakukannya, ayah. Ayah selalu ada untukku, kenapa aku masih harus melakukannya? Ayah akan melindungi aku jika ada marabahaya."

Joshua memperbaiki posisi duduknya yang tadi bersandar jadi mengarah ke arah anaknya.b"Apakah kamu mau tidak memiliki keistimewaan? Bukankah seharusnya kamu memiliki setidaknya satu kemampuan. Apa kamu tidak bosan selalu mendapatkan nilai buruk saat memanah?"

Gadis kecil itu menggeleng. "Ayah tetap akan baik padaku meskipun aku tidak pandai melakukannya." Sengaja dia juga tersenyum seperti cara tersenyum ayahnya.

"Jika kamu tidak lulus tes yang ayah berikan besok, kamu tidak boleh pergi dari tempat ini selama seminggu," ancam Joshua lalu bangkit untuk pergi ke tempat tidurnya sendiri. Diletakkannya buku yang tadi dia baca di rak untuk mengatakan bahwa ucapannya tidak main-main.

"Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi apa yang akan ayah lakukan jika aku bisa menembak tepat ke tengah-tengah sasaran?"

"Ayah akan mengabulkan apa yang kamu inginkan."

"Ayah serius? Baiklah kalau begitu. Selamat malam ayah." Si gadis langsung memposisikan diri dan mulai tertidur, sementara ayahnya terjaga memikirkan sesuatu. Laki-laki ini sibuk berpikir jauh ke depan tentang kehidupannya dengan sang putri kecil bermata biru itu.

Diam-diam berharap jika noda yang sangat dinanti roh gunung tidak pernah muncul di anaknya dan ia sendiri. Joshua menutup matanya perlahan, mengambil nafas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. "Tidak ada yang akan terjadi. Semuanya akan baik-baik saja."

Joshua duduk di atas tempat tidurnya, menatap langit melalui jendela sekali lagi. Dirinya sudah membesarkan anaknya selama beberapa tahun terakhir tanpa gangguan apapun. Baik dari roh gunung atau makhluk lain yang terus mengawasinya. Para makhluk gunung terlalu penasaran pada anaknya.

Ketika akan memalingkan pandangan, Joshua seperti melihat sesuatu yang berwarna putih dari kejauhan. Mungkin tidak terlihat dengan mata orang normal, tapi tidak dengan pengelihatan hebat Gumiho. Joshua dapat melihat seorang wanita duduk di sebuah pohon tengah menatap ke arah rumahnya.

Joshua dapat melihat senyuman bahagia di wajah cantik wanita itu. Wanita yang membuat Joshua bisa menjaga anak gadisnya hingga saat ini. Rupanya wanita itu tengah bahagia. Hatinya menghangat karena kehadiran seorang anak kecil yang Joshua temukan di sungai beberapa tahun lalu.

Tidak ada yang lebih penasaran dan perhatian kepada anaknya lebih dari wanita berbaju putih bernoda itu. Setiap malam dia akan menatap ke arah rumah ini, siang harinya memperhatikan kegiatan anak manusia dengan ayahnya. Joshua sudah tidak peduli, yang penting wanita itu tidak mendekati miliknya.

"Ayah," Blue mengigau, memanggil ayahnya dengan suara lirih.

Joshua bangkit dari tempatnya, mendekati anak gadisnya. Apa mungkin Blue bermimpi buruk karena ada makhluk yang terus memperhatikannya? Joshua menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik Blue lalu mengecup singkat dahi anak manisnya.

"Mimpi indah, Blue."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!