NovelToon NovelToon

Quiet Wife

01. Hari Pernikahan

"Saya terima nikah dan kawinnya Naura Akmilia Binti Hermawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Terjadi keheningan beberapa saat selepas Calvin mengucapkan deretan kalimat sakral dalam sebuah upacara penting yang disebut, ijab qabul. Dadanya tiba-tiba serasa bergemuruh. Tangannya yang tengah menjabat tangan calon ayah mertuanya pun dibuat bergetar hebat sampai berkeringat.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillahirabbil 'alamiin ..."

Suasana sekitar tempat resepsi pernikahan yang digelar secara terburu-buru itu perlahan mulai berubah khusyuk dan khidmat. Banyak dari para hadirin tamu serta para saksi yang mendoakan dengan tulus hati teruntuk hubungan pasangan muda itu kedepannya.

Sayang. Pernikahan yang seharusnya adalah niat dan ketulusan hati yang baik, serta kebahagiaan terbesar yang menjadi keinginan setiap insan manusia, nyatanya hanyalah sebuah pernikahan untuk menetupi aib sampai pada waktunya.

Disela berdoa, diam-diam Calvin melirik Naura yang kini statusnya telah sah menjadi istrinya.

Gadis itu, tidak! Perempuan itu diam-diam menitikkan air mata. Berkali-kali dia juga tampak menyekanya, berharap tidak ada seorang pun yang menyaksikan raut wajahnya yang mengenaskan di hari yang seharusnya membahagiakan.

Selesai memanjatkan doa, Calvin dan Naura mulai saling berhadapan. Saling memakaikan cincin satu sama lain, yang kemudian diakhiri dengan Naura yang mencium punggung tangan Calvin, dan dilanjut dengan Calvin yang mencium kening Naura.

Dan, ya.

Kehidupan bebas telah berakhir.

Kisah yang diawali dengan suatu kesalahan, apakah pada akhirnya akan tetap menjadi sebuah kesalahan?

Pernikahan yang diawali karena sebuah tragedi, bukan atas dasar cinta dan keinginan dari kedua belah pihak, bisakah berjalan semestinya?

Jika saja malam itu tidak pernah terjadi, mungkin saat ini, Naura tidak harus menikah dengan Calvin yang sekalipun tidak pernah terpikirkan olehnya.

Tak seharusnya Naura menginjakkan kakinya di rumah Calvin pada waktu itu. Mungkin, kesalahan malam itu dan pernikahan hari ini, tidak akan pernah terjadi.

Omong-omong soal kejadian malam itu tepatnya satu minggu yang lalu, di mana kedua orang tua Calvin sedang tidak berada di rumah. Di tengah malam yang dingin nan sunyi, Calvin dibopong pulang oleh beberapa teman lelakinya ke dalam rumah.

Dua teman lelaki yang membantu merebahkan tubuh Calvin ke tempat tidur menerangkan, jika Calvin baru saja hampir dijebak oleh seseorang. Dan seseorang itu memasukkan sesuatu ke dalam minuman Calvin, yang menyebabkan dirinya mabuk dan tak sadarkan diri.

Waktu itu, Naura yang tidak tahu apa-apa hanya mengiyakan saja perkataan kedua lelaki itu. Dengan telaten, Naura melepaskan jaket jeans yang dikenakan Calvin, untuk membuatnya jauh lebih nyaman.

Siapa yang tahu. Belum sempat Naura beranjak menjauh, sesuatu yang besar menyentak tubuhnya. Belum sempat Naura berbalik untuk melihat apa yang terjadi, tubuhnya sudah limbung sehingga berakhir jatuh di atas tubuh Calvin yang kesadarannya mulai kembali, namun tidak semuanya.

Saat itu, baik Naura maupun Calvin, tidak ada yang lebih dulu membuka mulut. Sesaat keduanya dibuat saling pandang dengan tatapan berbeda.

Seolah terbius, saat itu juga, Calvin menarik Naura ke dalam dekapannya. Tak berhenti sampai di sana, Calvin melakukan sesuatu yang tak seharusnya pada Naura. Dan sialnya, malam itu Calvin begitu bersemangat. Tanpa mengetahui seberapa tersiksanya Naura yang berusaha meloloskan diri dari cengkraman Calvin.

Sentuhan halus kelewat lembut, seketika membangunkan Naura dari berbagai lamunannya. Adegan demi adegan malam itu bersama Calvin, ikut membuyar seiring dengan kepalanya yang menoleh ke samping. Menatap sang pelaku yang baru saja menyentuh salah satu bahunya.

"I-itu ... akadnya udah selesai, jadi sekarang-" Calvin menggantungkan ucapannya tatkala mendengar embusan napas panjang dari Naura.

Perempuan itu yang awalnya masih menatapnya, perlahan kembali menunduk dengan wajahnya yang penuh dengan kesedihan.

Dan sialnya, hal itu membuat Calvin semakin merasa bersalah atas apa yang sudah dia lakukan pada Naura.

"Maaf, Naura! Gue janji, gue akan jagain lo seumur hidup gue." Ucap Calvin, terdengar cukup samar, namun sanggup membuat perhatian Naura kembali padanya.

Terjadi adu kontak mata beberapa saat. Hingga di detik selanjutnya, setitik air mata kembali luruh dari salah satu pelupuk mata Naura. Bertepatan dengan itu, Naura lantas menenggelamkan wajahnya dengan memeluk tubuh Calvin, tepat di depan seluruh tamu undangan.

Suasana di sana kemudian berubah riuh oleh teriakan para tamu yang menyoraki sepasang pengantin baru itu.

Ada yang beranggapan bahwa keduanya begitu romantis tanpa sedikit pun malu-malu. Ada juga yang beranggapan bahwa sikap mempelai wanita begitu terburu-buru, seolah sudah siap menyerahkan segalanya pada suaminya.

Namun, anggapan semua orang yang berbeda-beda tak membuat Calvin peduli sehingga berakhir ambil pusing. Yang ada, dirinya tiba-tiba merasa gugup akibat Naura yang telah dengan berani memeluknya di hadapan para tamu undangan.

Takut menuai berbagai spekulasi aneh, Calvin balas memeluk tubuh ramping nan mungil Naura yang baru Calvin sadari bahwa perempuan itu tengah menangis dalam diam.

Ya. Tidak ada suara rengekkan yang terdengar dari mulutnya. Hanya ada isakkan demi isakkan pun air mata yang mulai terasa membasahi setelan jas Calvin.

Naura Akmilia. Perempuan yang tak pernah sekalipun melontarkan kata demi kata melalui mulut cantiknya. Sedari perempuan itu sudah tinggal di rumah Calvin selama kurang lebih satu bulan pun, Calvin tidak pernah mendengar seperti apa suaranya.

Yang Calvin tahu lewat mamanya, Naura itu memang tidak pernah lagi berbicara. Dan itu terjadi bukan baru-baru ini. Melainkan sudah bertahun-tahun lamanya.

Naura bisu?

Entahlah. Tidak ada seorang pun baik dari mama maupun papanya yang menjelaskan, bahwa Naura itu seorang gadis bisu.

Tetapi, memangnya kenapa jika Naura memang bisu? Kecantikan parasnya saja bahkan sudah mengalahkan segalanya. Dan mungkin, malam itu Calvin sempat dibuat terbius juga karena paras wajah serta pahatan tubuh Naura yang begitu cantik tanpa cacat.

Perlahan, Naura mulai melepaskan pelukannya dari Calvin, saat menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Kedua pipinya serasa memanas tiba-tiba. Semburat merah padam seolah langsung menghiasi wajah Naura yang cantik jelita.

Tanpa sadar Calvin menarik kedua sudut bibirnya, merasa gemas melihat tingkah Naura, entah antara merasa malu maupun kebingungan, yang pasti wajahnya begitu menarik perhatian Calvin.

Kedua tangan Calvin yang menganggur lantas terangkat. Dengan lembut penuh perhatian, Calvin menyeka sisa air mata yang masih menempel di wajah Naura.

Lagi-lagi gerak-gerik Calvin mengundang perhatian para tamu. Beruntungnya hal itu terjadi tidak seheboh yang tadi.

"Jangan nangis lagi, nanti riasannya luntur. Acaranya masih lama soalnya."

"Ampun, Vin! Baper gue, pleaseee! Gue butuh ceweeekkk!" Selorohan yang diakhiri dengan berbagai tawa yang menggelegar, sontak membuat seluruh perhatian, tak terkecuali Calvin yang di-notice, lantas memokuskan perhatiannya pada satu titik yang sama.

Irgha, salah satu sohib Calvin di kampus, beserta teman-teman seperjuangannya yang lain, mengacungkan jempol mereka tinggi-tinggi. "Tar malem pasti langsung unboxing 'kan, Vin?"

"Diem lo!"

"Punya istri cantik gitu mah gak usah malu-malu, Vin! Sikat ajaaa!" Nino yang juga adalah salah satu sababat Calvin, ikut-ikutan menggoda Calvin habis-habisan.

"Berisikkk! Nyesel gue ngundang lo semua! Paling cuman numpang makan doang 'kan kalian!"

"Eeh, gak boleh gitu, Vin! Mereka 'kan temen-temen kamu. Jangan gitu, ah! Bagus mereka hadir." Fani, mamanya Calvin, menyela di tengah-tengah argumen antara putra bungsunya dan para teman-temannya.

Karena ucapan Fani yang terdengar seperti tengah memihak Irgha, Nino dan teman-teman yang lain, mereka semua kembali bersorak gembira, tanpa mengetahui seluk beluk kenyataan dibalik pernikahan antara Calvin dan Naura.

Kisah pernikahan canggung antara Calvin dan Naura, dimulai sejak saat itu.

^^^To be continued...^^^

02. Pengantin Baru

"Calvin!" Sahutan dengan nada bariton dari arah lain, seketika membuat sang empunya nama yang tengah berjalan melalui koridor kelas, dibuat memaku untuk sesaat.

Kepalanya refleks menoleh ke belakang. Ketika menyadari siapa yang baru saja menyahutinya, saat itu juga Calvin langsung memasang seulas senyuman hangat. Dengan sopan, Calvin kemudian menyalimi pria paruh baya yang tak lain ialah salah satu dosen favoritnya di kampus.

"Pagi, Pak!"

"Pagi, pagi! Gimana nikahannya? Lancar?" Tanya sang dosen yang akrab disapa Pak Arnold.

Calvin terkekeh renyah mendengar pertanyaan itu. Entah mengapa terdengar cukup menggelikan di telinganya. "Berkat do'a semuanya, alhamdulillah lancar."

Pak Arnold, bisa dikatakan beliau adalah salah satu dosen senior di fakultas hukum. Wajahnya yang selalu memancarkan aura positif, tak ayal membuatnya banyak dikagumi dan disegani oleh seluruh jajaran mahasiswa.

Selain karena raut wajahnya yang ramah, sifat beliau pun selalu menjadi cerminan baik bagi semuanya. Caranya mengajar yang cukup unik, semakin membuatnya dikenal hampir satu kampus.

"Kamu ini masih pengantin baru. Kenapa udah masuk kampus aja? Gak liburan bareng istri dulu?" Pertanyaan usil dari Pak Arnold, lagi-lagi dibalas kekehan renyah oleh Calvin.

"Ah, Bapak mah suka gitu! Kuliah itu 'kan lebih penting,"

"Masa? Kalau kuliah lebih penting, terus kenapa sekarang udah nikah aja? Padahal tinggal nunggu dua tahun lagi lho, Vin!"

Jujur. Pertanyaan dari Pak Arnold sedikit membuat Calvin gelagapan. Jika dirinya menjawab jujur bahwa Calvin menikah dengan Naura karena kesalahannya, apakah beliau akan kecewa?

"Em ... kebelet?" Jawaban yang sungguh diluar ekspektasi itu, sontak mengundang tawa tersendiri. Spontan Pak Arnold menepuk-nepuk punggung Calvin.

"Dasar anak muda! Omong-omong, maaf Bapak gak bisa hadir waktu itu. Istri Bapak tiba-tiba sakit. Kalau kamu berkenan, kamu bawa istri kamu ke hadapan Bapak, ya! Ada angpau besar yang menanti."

"Serius, Pak? Wah ... gak akan malu-malu lagi Saya kalau gitu. Jam berapa, kapan dan dimana?" Pertanyaan Calvin yang pada dasarnya hanya sebuah candaan, nyatanya malah dibalas serius oleh Pak Arnold.

"Ya, itu mah terserah kamu siapnya kapan. Hubungi saja Bapak kalau kamu benar-benar mau angpau dari Bapak. Isinya gak main-main lho, Vin!"

"Wah ... makin penasaran, nih! Ya udah, deh, Pak. Nanti Saya kabarin lagi, soalnya harus nanya-nanya dulu sama istri. Istri Saya itu malu-malu soalnya." Perjelas Calvin. Lagi-lagi Pak Arnold dibuat tertawa kecil akibat ucapan Calvin yang tak lagi seperti dulu.

Rasanya setelah anak itu menikah, aura yang terpancar dari wajahnya mulai berubah. Aura dewasa dan penuh tanggung jawab itulah yang terlihat oleh Pak Arnold.

"Duh, yang udah beristri mah beda, ya,"

"Yeeh, Bapak sendiri udah beristri duluan. Saya mah masih nob, emangnya Bapak yang udah pro?"

"Balik ngeledek. Ya sudah, Bapak mau lanjut ngajar. Ada kelas sepuluh menit lagi. Kamu udah beres, Vin?"

"Untuk hari ini cuman satu aja sih Pak, jadi sekarang bisa langsung pulang."

Tampak Pak Arnold yang mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. "Kalau begitu hati-hati di jalan, ya,"

"Makasih, Pak! Kalau begitu Saya juga permisi."

...****...

Begitu menapakkan kaki di halaman depan rumah, Calvin sudah lebih dulu menghela napas gusar. Raut wajahnya yang tampak cerah saat berhadapan dengan salah satu dosennya ketika berada di kampus tadi, nyatanya raut wajah itu hanya untuk menutupi sebuah kebohongan belaka.

Tidak ada cinta dalam pernikahannya.

Bahkan, tepat satu minggu pernikahannya dengan Naura saat ini, keduanya tidak pernah sekalipun tidur bersama.

Selain karena Calvin masih merasa bersalah pada Naura atas apa yang pernah Calvin lakukan pada Naura, Calvin juga tidak kuasa melihat raut wajahnya yang selalu tampak menyedihkan itu.

Di setiap malam setelah menikah, jadilah Calvin selalu tidur di atas kasur lantai, sementara tempat tidurnya menjadi milik Naura.

Gila saja Calvin menyuruh perempuan tidur di bawah! Sudah saja Naura dibuat tersiksa olehnya, jangan sampai perempuan itu dibuat terluka lagi oleh Calvin.

Dengan langkah berat, Calvin memasuki rumah dengan menenteng tas punggung di tangannya. Belum ada sekitar lima langkah memasuki rumah, aroma harum dari masakan mulai tercium oleh indera penciuman Calvin.

Spontan kepalanya menoleh ke arah pintu dapur. Tanpa disuruh sedikit pun, kedua kakinya sudah lebih dulu melangkah mengekori aroma harum tersebut yang semakin lama semakin menggodanya.

"Udah pulang, Vin?" Sahutan lembut itu berasal dari mulut sang mama, Fani, yang tengah mencicipi beberapa camilan kering di meja makan.

Lho, terus yang masak siapa?

Seketika, perhatian Calvin langsung menjelajah ke arah meja kompor. Tempat di mana seorang perempuan yang dapat diidentifikasi adalah Naura, tengah memasak tanpa sedikit pun merasa terganggu oleh kehadirannya.

"Mama masak apa?" Walau sudah tahu yang memasak bukanlah mamanya, tetapi jika Calvin bertanya pada Naura pun, perempuan itu tidak akan menjawabnya.

"Mama gak masak! Semuanya Naura yang masak. Coba, kamu tanya sendiri sama istri kamu!"

Aneh. Selepas mengatakan hal itu, mamanya langsung melenggang keluar dari dapur, dengan membawa beberapa toples camilan kering di pangkuannya.

Sial! Mamanya ini pasti sengaja! Mamanya tahu jika hubungan Calvin dengan Naura tidak sebaik pasangan suami istri pada umumnya.

"Ekhem."

Gugup. Satu hal itu seolah menguasai diri Calvin disela langkah kakinya menghampiri Naura yang masih saja fokus berkutat dengan kegiatannya.

Perlahan, Calvin melirik Naura lewat ujung matanya. "Masak apa?" Tanya Calvin pelan.

Siapa yang tahu, reaksi Naura yang berjengit kaget, membuat Calvin ikut berjengit. Kedua bola matanya seolah sudah mau meluncur keluar dari tempatnya.

"Astaga, Nau! Kagetnya biasa aja! Gue 'kan jadi ikut kaget."

Seperti biasa, tak ada jawaban lisan dari Naura. Hanya perubahan ekspresi dari yang awalnya syok menjadi agak cemberut. Dengusan sebal tiba-tiba keluar dari mulutnya.

"Nauraaa! Masak apa? Suaminya nanya, nih?" Calvin kembali melontarkan kalimat tanya, dan sialnya, ucapannya terdengar begitu rendah di telinga Naura.

Refleks Naura langsung mematikan kompor, seraya kembali menatap Calvin yang wajahnya lumayan cukup tinggi dari jangkauannya.

Lagi-lagi raut wajah cemberut yang Naura tampilkan ketika menatap Calvin. Namun, bedanya kali ini kedua pipinya terlihat sedikit bersemu, entah karena apa. Tapi yang pasti, Calvin lagi-lagi dibuat betah menatapnya.

Perlahan, Naura meraih ponselnya yang ditaruh di dalam saku celemek yang dia pakai. Jari jemari lentiknya mengutak-atik ponsel tersebut dengan lihai. Tak berapa lama, Naura memperlihatkan layar ponselnya pada Calvin yang berupa deretan teks untuk menjawab pertanyaan dari Calvin beberapa saat yang lalu.

Masak capcai.

"Masak capcai doang?" Pertanyaan lain yang terlontar dari mulut Calvin, lagi-lagi dibalas dengusan sebal oleh Naura.

Dengan malas, Naura kembali mengetikkan sesuatu di sana untuk menjawab pertanyaan Calvin.

Di meja makan udah aku buatin ayam kecap kesukaannya Mas Calvin. Dicoba dulu takutnya gak sesuai selera.

Diam-diam Calvin mengulum senyumannya membaca ketikan tangan Naura. "Makasih, ya. Pasti sesuai selera, kok. Naura 'kan jago masak."

"Ekhem. Papa mencium aroma cinta di sini!" Dehaman menggoda dari arah pintu masuk dapur, seketika menyadarkan sepasang pasutri baru itu dari apa yang tengah mereka lakukan.

Spontan Calvin berjalan mundur menjauhi Naura, pun dengan Naura yang berpura-pura sibuk memindahkan masakannya ke dalam wadah kosong.

"Tumben Papa ada di rumah? Nggak kerja?" Mencoba menghilangkan kecanggungan yang melanda, Calvin bertanya basa-basi pada sang papa, Divo, seolah tidak ada yang pernah terjadi sebelumnya.

Dengan tampang usil, Divo menatap wajah putranya penuh selidik. "Kenapa? Papa gangguin kalian?"

"Ekhem! Eng-gak! Biasa aja. By the way, Mama mana?"

"Tuh, lagi nerima paket."

"Belanja online lagi?"

"Gitu, deh."

Terjadi keheningan beberapa saat di antara mereka. Sampai ketika Naura menghidangkan masakannya, pun dengan Fani yang memasuki dapur, barulah suasana kembali hangat.

"Maket apa lagi, Mah?" Divo menyahut malas teruntuk istrinya. Sedangkan yang disahut hanya menyengir lebar tanpa dosa.

"Apaan sih, Pah! Bukan buat Mama, kok. Tapi buat Naura!" Ujar Fani.

Merasa terpanggil, Naura yang tengah mengambil beberapa alat makan di dalam rak lantas dibuat menoleh sekilas ke arah sang ibu mertua.

"Emang Mama beliin Naura apa?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Calvin.

"Rahasia dong! Udah, ah. Yuk, kita makan! Pasti semuanya udah pada laper 'kan? Kebetulan masakan hari ini Naura yang buat." Terang Fani, tak sedikit pun membuka spoiler tentang apa barang yang dibelinya teruntuk Naura.

"Btw, hari ini menunya cuman dua. Mama lupa belum belanja bulanan. Naura, nanti habis makan temenin Mama ke super market, ya?"

"Gak usah, Ma, biar aku aja sama Naura yang pergi. Mama di rumah aja." Ucapan penuh pengertian yang terucap dari Calvin, membuat Fani dan Divo, pun Naura yang lagi-lagi namanya terpanggil, spontan memokuskan perhatiannya pada Calvin.

"Serius?" Fani membekap mulutnya tak percaya, dengan sepasang bola mata yang sesekali akan melirik penuh arti pada suaminya.

"Serius." Jawab Calvin, tulus. Seulas senyuman manis kemudian tercetak di wajah Fani dan juga Divo.

"Oke. Tenang aja, belanjaannya nanti Mama catet, biar gak pusing."

...****...

Sore menjelang malam, Calvin ditemani Naura telah memasuki area super market sekitar beberapa menit yang lalu. Seolah takut berpencar, Calvin terus menggenggam tangan mungil Naura sampai ketika keduanya telah benar-benar sampai di area bahan makanan.

"Mama ngirimin note-nya gak? Coba lihat!" Calvin bertanya halus pada Naura yang mulai sibuk kembali mengutak-atik ponselnya.

Belum sempat Calvin melirik isi dari ponsel Naura, perempuan itu sudah lebih dulu menyerahkan ponselnya. Kemudian berlari kecil meninggalkan Calvin untuk menggapai sebuah troli yang akan digunakan untuk menaruh barang belanjaan.

"Kenapa gak minta tolong aja, sih? Udah, biar aku aja yang dorong, kamu yang nyari barang. Kalau ada yang susah, jangan lupa kasih tau, ya!" Calvin berlari mengekori Naura yang telah menggapai troli hendak membawanya ke hadapan Calvin.

Naura yang kebingunan dengan sikap lembut Calvin yang tiba-tiba, hanya bisa tersenyum simpul seraya mengangguk paham sebagai jawaban dari perkataannya. Lewat gestur tangannya, Naura mengode Calvin untuk cepat-cepat mengikuti langkahnya. Calvin yang paham pun lantas menurut mengekori di belakang.

"Kalau gak salah tadi di note Mama nyuruh beli daging ayam. Daging ayam di mana?" Walau tahu Naura tidak akan pernah menjawab pertanyaannya, Calvin tetap bersikukuh memulai obrolan agar dapat semakin dekat dengan Naura.

Dan, lihatlah saat ini. Jemari mungil Naura yang menyentuh ujung kemejanya, seketika membuat perhatian Calvin langsung beralih pada Naura.

Tak berhenti sampai di sana, perempuan itu mulai kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya, yang tak lama kemudian ia perlihatkan pada Calvin.

Ke tempat sayuran dulu, yuk! Biasanya kalau di sana ada sayur, pasti ada daging. Aku tahu tempatnya di mana.

"Ya udah, tunjukkin jalannya. Aku ikutin kamu di belakang."

^^^To be continued...^^^

03. Gangguan Mantan

Satu jam kurang lebih sudah berlalu. Calvin maupun Naura, rasanya keduanya mulai merasakan penat akibat berjalan sambil mendorong troli ke sana ke mari untuk mencari bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Kini, keduanya tengah mengantre di antrean paling terakhir. Bisa dibilang super market saat ini tengah ramai. Mau tidak mau mereka harus menunggu cukup lama.

"Haus gak?" Calvin bertanya penuh perhatian. Dirinya cukup peka melihat istrinya yang berdeham beberapa kali di sampingnya.

Merasa terpanggil, Naura menengadahkan wajahnya menghadap Calvin. Seulas senyuman tipis diiringi kepalanya yang menggeleng pelan adalah jawaban dari pertanyaan Calvin.

"Bohong!" Calvin tiba-tiba menyeka keringat yang menetes dari kening Naura. Sontak aksi Calvin membuat Naura terkesiap untuk beberapa saat.

"Aku nyari minum dulu, ya. Kamu tunggu di sini." Saat Calvin hendak melenggang menjauh, Naura langsung mencegahnya dengan menarik ujung kemeja Calvin.

"Kenapa?" Calvin mengernyit bingung menatap raut wajah Naura yang sepertinya hendak mengatakan sesuatu.

Beberapa saat menunggu, Calvin kira Naura akan kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya untuk berkomunikasi. Tetapi, Naura malah menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

"Jadi? Gak mau?" Tanya Calvin. Jujur saja, adakalanya Calvin tidak paham dengan keterdiaman Naura yang hanya membalas perkataannya dengan anggukkan maupun gelengan kepala.

Mungkin jika menggunakan bahasa isyarat, Calvin akan memahami sedikit-sedikit. Tetapi, Naura bahkan tidak tahu apa itu bahasa isyarat. Calvin jadi semakin yakin jika Naura itu tidak benar-benar bisu.

Melihat raut wajah Calvin yang masih kebingungan, buru-buru Naura kembali mengeluarkan ponselnya. Lagi-lagi dia mengetikkan sesuatu di sana, yang kemudian Naura perlihatkan pada Calvin.

Gak usah, aku gak haus, kok. Aku cuman agak capek aja, tapi gak banyak. Dikit, banget! Serius! Nanti kalau udah selesai juga hilang, kok!

"Yakin?"

Anggukkan cepat dari Naura, dibalas helaan napas panjang oleh Calvin. "Ya udah. Kalau kamu capek, kamu tunggu aku di mobil aja, mau?"

Dengan cepat Naura kembali menggelengkan kepala sebagai jawaban. Lagi-lagi Calvin menghela napas panjang. "Ya udah, aku gak maksa. Antreannya juga udah lumayan. Tahan sebentar, ya!"

...****...

Setelah cukup lama mengantre di kasir super market, kini Calvin dan Naura mulai menenteng belanjaan mereka sampai ke parkiran, di mana mobil milik papanya Calvin terparkir di sana.

Naura yang membawa barang belanjaan paling sedikit sengaja berjalan lebih awal. Perempuan itu lalu bergegas mengitari mobil untuk membuka pintu bagasi. Dengan telaten dan hati-hati, Naura menaruh satu demi satu barang belanjaan mereka ke dalam sana.

"Biar aku aja." Ucapan Calvin terlontar saat kedua tangan Naura hendak mengambil alih barang belanjaan di tangannya.

Tanpa berniat untuk menolak, Naura hanya tersenyum tipis seraya sedikit menyingkir agar Calvin dapat dengan mudah menaruh sisa barang belanjaannya.

Ketika semuanya telah selesai ditaruh, Calvin sudah hendak menutup pintu bagasi, namun tepukan pelan dari Naura di punggungnya, memecah perhatian Calvin.

"Iya, Nau. Kenapa?"

Naura lagi-lagi memperlihatkan deretan teks yang dia ketik di ponselnya ke hadapan Calvin.

Aku mau ke toilet dulu sebentar. Pengin pipis.

"Mau aku anter?" Dengan cepat Naura menggelengkan kepala. Selang beberapa saat, Naura memberi isyarat pada Calvin bahwa dirinya akan langsung berlari ke toilet.

Calvin yang segera paham pun hanya bisa mengangguk pasrah sambil mempersilakan Naura.

Sepeninggalan Naura ke toilet, Calvin melanjutkan kegiatannya yang belum sempat menutup pintu bagasi. Tak berlangsung lama, kini Calvin mulai menyeret kedua kakinya untuk masuk ke dalam mobil.

Ketika Calvin baru saja membuka pintu, suara langkah cepat dari arah lain sanggup kembali menghentikan kegiatannya. Seulas senyuman tipis kemudian tercetak di wajah Calvin. Refleks tubuhnya langsung berbalik ke belakang.

"Cepet banget?"

Senyuman tipis yang baru berlangsung beberapa saat itu diharuskan luntur, saat seseorang yang Calvin kira adalah Naura yang telah kembali dari toilet, nyatanya adalah orang lain.

Tak hanya senyuman Calvin saja yang memudar. Raut wajahnya bahkan berubah masam, dengan alis yang berkerut dalam. Bahkan, kedua tangannya tanpa sadar mulai terkepal kuat.

"Hai, Cal! Gimana kabar kamu selama ini? A-aku kangen banget sama kamu!"

Calvin refleks berdecih pelan saat mendengar kalimat memuakkan tersebut keluar dari mulut seorang perempuan yang dahulu begitu dia cintai. Evelyn.

Sayang. Cinta yang Calvin pertahankan, nyatanya mengkhianatinya. Dengan tega Evelyn berselingkuh bersama salah satu sahabat Calvin sekitar tiga bulan yang lalu.

Belum lama memang, tetapi Calvin telah berhasil mengubur perasaan cintanya, hingga yang tersisa sekarang bukan lagi perasaan cinta teruntuk perempuan itu. Melainkan perasaan benci.

"Ngapain nyamperin gue? Mana cowok lo?"

Evelyn sontak berjalan menghampiri Calvin dengan tampang menyedihkan. Tampak kedua bola matanya mulai berkaca-kaca, namun hal itu tak lantas membuat Calvin iba.

"Lo? Kok, kamu jadi kasar sama aku, Cal? Dulu kamu gak gitu, lho!"

"Iya, lo dulu juga bukan cewek gatel setahu gue."

Hening. Seakan tertampar oleh kenyataan, tak ada lagi suara sahut menyahut dari mulut Evelyn.

Ketika Calvin hendak melanjutkan langkahnya memasuki mobil, tiba-tiba saja Evelyn melompat ke pelukannya. Seolah tidak lagi memiliki urat malu, perempuan itu memeluk Calvin begitu erat dengan sesekali akan terisak seperti seseorang yang paling terluka.

"Lepas, Evelyn!" Kecam Calvin, masih berusaha untuk menahan diri dari amarah yang bergejolak di dadanya.

"Nggak! Aku mau minta maaf sama kamu, Cal! Dengerin aku, please!"

"Gak ada yang perlu kita omongin. Gue juga udah gak peduli soal permintaan maaf lo!" Masih dalam keadaan mencoba untuk tetap tenang, Calvin kembali berucap tegas seraya mencoba mendorong tubuh Evelyn yang semakin melekat pada tubuhnya.

"Tapi-"

Calvin merasakan jantungnya berhenti berdetak, saat sepasang bola matanya tidak sengaja melirik ke arah seseorang yang tengah berdiri cukup jauh dari posisinya.

Dengan kasar, Calvin langsung mendorong tubuh Evelyn hingga dibuat mundur beberapa langkah, sampai mengakibatkan perempuan itu menggantungkan kalimatnya.

Tanpa berniat memedulikan Evelyn yang dibuat syok, Calvin lantas berlari ke arah Naura yang entah dari sejak kapan terus berdiri memaku di sana.

"Ini gak seperti yang kamu lihat, Nau! Aku-" Calvin menjeda ucapannya saat jari telunjuk Naura menempel di permukaan bibirnya.

Perempuan itu tidak bereaksi berlebihan, sungguh! Dia malah tersenyum simpul dan menggenggam tangan Calvin yang baru disadari tengah bergetar hebat.

Perlahan, Calvin menarik napasnya dalam-dalam, seraya balas menggenggam tangan Naura. "Nanti aku jelasin di jalan, ya." Ucap Calvin, kemudian menarik pelan tangan Naura, dan membawanya tepat ke hadapan Evelyn yang masih belum juga beranjak dari tempatnya.

Diam-diam Evelyn terkekeh miris melihat kedekatan serta perubahan ekspresi Calvin yang terlihat begitu khawatir jika perempuan di sampingnya itu akan salah paham.

Siapa sih, dia?

"Denger ini baik-baik. Gue udah nikah! Dan ini istri gue! Gue mohon sama lo sebesar-besarnya. Tolong jangan ganggu hidup gue! Lupain gue, karena bagaimanapun hubungan kita selesai juga karena lo yang memilih khianatin gue! Ngerti?"

"A-apa? Nikah? Istri? Cal, kamu kalau mau manas-manasin aku, kamu gak perlu sampai berbuat sejauh itu! Dia paling juga orang asing yang kebetulan lewat. Iya 'kan?"

Demi apa pun, Evelyn merasakan hatinya hancur saat mendengar deretan kalimat yang terucap dari mulut Calvin. Sebisa mungkin ia berpikir positif, jikalau apa yang diucapkan Calvin barusan, tak lebih semata-mata hanya demi membuat Evelyn cemburu.

Sayang. Ucapan Calvin selanjutnya, membuat Evelyn benar-benar serasa hancur sejadi-jadinya.

"Gue gak peduli lo percaya atau enggak, yang jelas, dia adalah istri gue!"

...****...

Sedari pukul sembilan malam mencoba untuk memejamkan mata, nyatanya hingga detik ini, Calvin masih belum bisa terlelap ke dalam mimpi. Lagi-lagi kepalanya menoleh ke arah jam dinding yang berada di kamarnya. Pukul sebelas malam tepat, tertera gamblang di sana.

"Ck! Kok, gue gak bisa tidur, sih?" Terlanjur kesal, Calvin memutuskan bangkit dari atas tempat tidurnya yang tergelar di lantai.

Sesaat ketika berdiri, perhatian Calvin langsung terfokus pada raut wajah tenang Naura yang tertidur pulas. Seolah tidak ada beban dalam pikirannya, padahal beberapa jam yang lalu, perempuan itu nyaris salah paham akibat seseorang dari masa lalu Calvin yang dengan tiba-tiba memeluk tubuhnya.

"Naura, Naura! Nggak cemburu apa, lihat suami sendiri dipeluk cewek lain? Marah dikit, kek. Apa, kek. Lempeng-lempeng aja perasaan."

Entah ada angin lalu apa, tiba-tiba Calvin ikut naik ke atas tempat tidur sebelah Naura yang masih kosong. Dengan hati-hati, Calvin menarik selimut Naura dan ikut masuk ke dalamnya. Dengan posisi tidur menyamping menghadap Naura yang juga dalam posisi tidur menyamping menghadapnya, diam-diam Calvin memerhatikan setiap inci wajah Naura. Sedikit pun perempuan itu tidak merasa terganggu, padahal Calvin terus menerus bergerak di sampingnya.

"Naura!" Panggil Calvin, pelan. Sayangnya, sang pemilik nama telah benar-benar terlelap dalam tidurnya. Refleks Calvin berdecak kesal entah karena alasan apa.

"Demi apa, gue keinget lagi kejadkan malem itu, Nau! Aarghh! Sial! Mana lo cantik banget lagi!" Calvin menggerutu tidak jelas di tempatnya. Namun, seberapa sering pun Calvin berbicara, Naura tetap dalam posisi dan keadaannya.

"Naura!" Lagi. Calvin menyahuti Naura, namun kali ini jemari telunjuknya ikut andil untuk mencolek pelan pipi istrinya.

"Aku mau tidur tidur di sini, ya? Di bawah gak enak, punggung aku sakit. Besok pagi jangan kaget kalau lihat aku pindah ke sini. Ya?" Setelah cukup puas berbicara sendiri, Calvin lantas mendekatkan posisi tidurnya, seraya melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Naura.

Terdengar bunyi erangan halus dari Naura, yang sempat membuat Calvin terkejut bukan main.

"Kirain bangun." Gumam Calvin, saat mengecek raut wajah Naura yang ternyata masih terlelap. Tanpa berniat menunggu lebih lama lagi, Calvin ikut memejamkan matanya di samping Naura. Tak lupa dengan lengannya yang dengan berani memeluk pinggang Naura.

"Good night, Naura!"

^^^To be continued...^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!