NovelToon NovelToon

The Choice

Iblis Bertubuh Dewa

...Masih berlatar tempat luar negeri🔞...

...Harap mengerti jika terdapat perbedaan budaya karena seperti itulah adanya!...

...Tidak suka langsung Skip yang bestiii...

...Harap bijak dalam berkomentar...

...Happy Reading^^...

...⬇️...

...⬇️...

Di sebuah mansion mewah, suasana melelahkan tak terhindarkan. Pertemuan dua keluarga dengan tujuan perjodohan belum mendapat hasil akhir.

Seorang gadis berusia dua puluh tahun terus menangis tersedu-sedu disamping orang tuanya yang memijat kening pusing.

"Andrea, berhenti menangis." Entah sudah berapa kali orang tua gadis itu menegurnya, gadis itu tetap saja menangis.

"Waktuku tidak sesenggan itu untuk mendengarmu menangis," datar seorang pria di hadapannya.

"Niel!" tegur ibu pria itu.

Mendengar pria itu berbicara lagi, Andrea langsung beringsut pada orang tuanya.

"Mom, dia tidak cocok denganku!" bisiknya dan langsung di pukul oleh ibunya.

Nathaniel Georgio, pria introvert, kaku dan kasar. Andai sifatnya tidak dingin dan mudah menerima orang dengan tangan terbuka, Andrea mungkin akan dengan senang hati lari kepelukan pria jelmaan dewa yunani itu.

Bukan berarti tidak tertarik, namun ia masih waras untuk ketenangan batinnya. Ingin tahu sekasar apa ia? Anggap saja seperti iblis yang terjebak dalam tubuh dewa rupawan.

"Andrea ... Kami tidak meminta untuk menikah sekarang. Kalian bisa saling mengenal terlebih dahulu," bujuk Daniela, "benarkan, Niel?" Melototi putranya agar menurut.

"Ck!" Nathaniel berdecak dengan wajah jengah.

"Niel!"

Lihat pria itu hanya diam sambil menatapnya dingin dan tajam, membuat Andrea bergidik di tempatnya.

"Maaf— tapi kami tidak cocok, Bibi." Andrea keras kepala.

Stefan dan Lewis saling menatap lelah. Pertemuan hari ini sebenarnya memang tidak berguna. Keduanya sudah menduga itu, tapi dua wanita ini tetap keras kepala ingin menjodohkan anak mereka.

"Jodohkan saja dia dengan Eve," cetus Andrea asal. Sekarang Amy yang melototi putrinya.

"Eve? Dia disini?" Daniela sedikit antusias.

"Lupakan dia. Anak itu tidak pernah ingat pulang!" ketus Amy.

Niel mengangkat sebelah alisnya. Masih ada lagi? Ah bersiap saja ibunya menyuruhnya memilih. Satu gadis di depannya ini saja sudah merepotkan dan membuat pusing dirinya, bagaimana dengan satunya lagi.

Persetan dengan perjodohan! Toh semua kandidat yang pernah dibawa ibunya sudah mundur teratur dengan sukarela.

"Silahkan lanjutkan jika mom tidak menyayangi aku lagi," bisik Andrea pada ibunya.

Siapa yang tidak tahu jika Nathaniel sangat anti dengan wanita. Jika tidak ingin kehilangan tangan atau kaki, sebaiknya jangan menyentuhnya. Pria itu sangat ringan tangan dan tidak pandang bulu. Jika tidak suka, tidak peduli wanita atau laki-laki, semua dipandang sama olehnya!

Niel mengangkat tangannya untuk melihat jam. "Sudah selesai, kan? Pekerjaanku banyak." Baru akan beranjak, Daniela langsung menariknya kembali.

"Kau sudah berjanji memberikan waktumu hari ini," desis ibunya.

"Aku sudah memberikannya," datar Niel.

"Niel, duduk," perintah Stefan dengan nada tak terbantah.

Bisa dilihat darimana sifat Niel berasal.

"Ck!"

"Baiklah, kita bahas lain kali saja masalah ini—" putus Lewis, namun belum selesai ia bicara, pintu masuk tiba-tiba terbuka dan membuat terkejut dua keluarga disana.

Seorang wanita masuk sambil memijat kepalanya dengan sebelah tangan lagi menyeret koper besarnya. Di keningnya tertempel sebuah koyo dengan rambut tidak tersisir rapi. Penampilannya sudah jauh dari kata rapi atau— berantakan.

"Eve!" pekik Amy bangkit dari duduknya.

"Nanti saja, Mom. Simpan dulu kemarahanmu." Mengangkat tangannya dan melewati mereka begitu saja tanpa menoleh.

"Dia habis bertengkar?" tanya Andrea menerka, "atau mabuk di club lagi?"

Lagi?

"Astaga! Itu Eve?" tanya Daniela dan di angguki oleh Lewis.

Tidak ada yang menyadari jika tatapan Niel tak beralih dari wanita yang dipanggil Eve itu hingga sosoknya menghilang. Sudut bibirnya terangkat menunjukkan seringaiannya.

I got you!

"Kami menginap malam ini!" putus Daniela sepihak. Senyum penuh makna tersinggung di bibirnya. Siapapun disana pasti tahu niat terselubung wanita paruh baya itu.

"Jangan berharap banyak pada Eve," bisik Amy.

"Aku sudah mengenal Andrea, tapi putrimu yang satu itu belum!"

-

-

-

-

Kehadiran Eve di ruang makan mengundang banyak tatapan padanya. Wanita itu acuh tak acuh dengan santai duduk di salah satu kursi kosong.

Setelah tidur beberapa jam dan membersihkan diri, keadaannya sudah lebih baik dari sebelumnya. Begitu duduk, semangkuk kecil sup hangat sudah diletakkan di hadapannya oleh pelayan.

Tanpa menunggu, wanita itu langsung meminumnya dari mangkuk.

"Sudah lebih baik? Apa kepalamu sudah tidak berputar?" tanya Amy dengan mengejek.

Eve menatap ibunya sebentar, kemudian beralih menatap adiknya yang menatapnya lekat.

"Kau habis menangis?"

Lihat? Bagaimana Amy tidak kesal dengan putri pertamanya ini!

Tanpa bertanya lagi, Eve mengambil sendok bersih di meja dan meletakkannya dalam batu es yang disajikan terpisah dalam mangkuk kaca. Beberapa saat kemudian Eve mengambilnya kembali dan melempar pelan pada Andrea.

"Letakkan di matamu agar tidak terlalu membengkak." Dengan cepat Andrea menurut dan melakukan sesuai ucapan sang kakak.

"Sudah selesai?" Amy bertumpang dagu sambil tersenyum paksa.

"Sudah," jawabnya singkat.

Amy mengangguk, berusaha menahan diri agar tidak meledak.

"Sekarang lihat di sekelilingmu. Ada orang lain, bukan hanya dirimu atau Andrea." Amy memutarkan tangannya mengarah pada keluarga George yang juga ada disana menyaksikan seorang Eve!

"Oh— selamat malam semua. Aku Evelyn atau Eve. Terserah memanggilku apa," sapanya datar.

"Kau lihat, Mom. Niel lebih cocok dengan Eve," bisik Andrea pada Amy dan segera disikut oleh ibunya itu.

"Kalian selalu kesal jika aku menunjuk Eve, tapi kalian mengorbankan aku," gumamnya pelan.

"Kau ingin berselisih dengan kakakmu?" tanya Amy berbisik. Gadis itu jelas menggeleng.

"Kalo begitu diam!" desis Amy kemudian.

"Aku tahu Amy punya putri lain, tapi baru kali ini aku melihatmu, Eve." Daniela terlihat antusias, "kau sangat cantik!"

Eve tersenyum tipis. "Meski bukan yang pertama, tapi ku ucapkan terima kasih." Sedikit menunduk.

"Tapi— apa boleh aku memberi sedikit masukan?" tanya Eve.

"Tentu saja!"

Yang lain hanya menyimak diam.

"Aku hanya ingin bilang jika pilihan tanpa paksaan itu lebih baik. Jika dipaksa takutnya akan menimbulkan kebohongan yang berakhir buruk." Mudah saja mencerna ucapannya itu. Daniela saja langsung paham maksud ucapan Eve, begitupun yang lainnya.

Eve jelas menyindir tentang perjodohan.

Seseorang di sisi lain meja tersenyum diam-diam. Menarik, semakin menarik.

"Bagaimana jika perjodohan dilakukan dengan sukarela?" Akhirnya kedua mata mereka bertemu.

Yang lain terkejut melihat Niel mengeluarkan suara.

"Sukarela?" tanya Eve memastikan.

"Hm. Tanpa paksaan dan dengan cinta."

Eve nampak berpikir, "maka itu bukan lagi perjodohan, tapi pilihan."

"Begitu?" Eve mengangguk yakin.

Niel tersenyum miring seolah baru saja mendapat kepuasan.

"Aku pilih dia!"

Para orang tua nyaris tersedak minuman mendengar keputusan itu. Berbeda dengan Eve yang mengerjit bingung.

Situasi apa ini?

"Dengan sukarela!" tekan Niel sambil menatap Eve yang mulai mengerti.

Andrea sudah menutup mulutnya dengan terkejut, tidak menyangka pilihan Niel jatuh pada kakaknya sendiri. Tidak tahu harus merasa bagaimana. Ia sendiri ragu apakah Niel si iblis bertubuh dewa itu bisa menghadapi Eve.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bajingan Tampan

Di sebuah club malam terbesar di Madrid yang menjadi ibu kota Spanyol.

Bruk!

Damn!

"Dia mabuk, Dude. Tahan dirimu." Brian menahan Niel yang hendak mengamuk lagi karena seorang gadis limbung disamping pria itu duduk, bahkan memeluk lengannya sebagai pegangan.

Tidak tahu mengapa gadis itu bisa masuk di ruang khusus mereka ini. Gadis itu seperti wanita kebanyakan. Pakaian yang cukup terbuka dan belahan dada yang rendah.

"Jangan melemparnya! Biar aku pegangi dia." Brian Levon si penakluk wanita tidak akan melewatkan kesempatan emas.

"Jangan sentuh aku, Baji*ngan!" Wanita itu menyentak tangan Brian.

"Mulutnya cukup kasar." Brian mengelus dada, "tapi tidak salah," lanjutnya menurungkan niatnya meraih wanita itu.

Brian tidak sadar jika ucapan wanita itu sedikit menarik perhatian Niel.

"Aku belum pernah melihat gadis ini sebelumnya. Orang baru?"

Gadis itu meracau tidak jelas setelah melepas pegangan tangannya dari Niel, lalu membaringkan tubuhnya asal di sofa club.

"Breng*sek?!" umpat gadis itu tiba-tiba mengejutkan keduanya. Brian mendekat lagi dan menepuk pipi wanita itu.

"Hei, Miss. Dimana rumahmu, biar kami antar."

Gadis itu bangun perlahan dengan memegang kepalanya yang berat. Pandangannya kemudian beralih pada Niel dan mengabaikan Brian.

Brian mulai panik saat gadis itu mendekat lagi pada Niel bahkan mengalungkan tangan di leher Niel.

Biasanya Niel akan langsung menolak jika menyangkut wanita, tapi kali ini pria itu hanya diam memperhatikan. Brian jadi penasaran.

"Kau sangat tampan! Berapa banyak wanita yang kau punya?" Niel masih diam memandang mata sayu. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Niel.

"Aku bisa memiliki berapa pun." Seringaian tipis terbit di bibirnya.

Terkejut. Jawaban Niel membuat Brian melotot kaget. Tidak salah, kan? Niel baru saja meladeninya?!

"Baji*ngan tampan! Aku benci pria tampan sepertimu."

"Oh iya? Kalau begitu ingat baik-baik wajahku," bisik Niel.

Adegan selanjutnya sukses membuat Brian menyemburkan vodka nya. Pria itu melongo tak percaya melihat adu bibir yang cukup panas antara keduanya. Bahkan baru kali ini ia melihat Niel yang nampak bernafsu pada seseorang.

"****!" umpatnya. Jika tidak keluar sekarang, dipastikan ia akan melihat hal yang lebih panas lagi.

"Nikmati malam mu, Dude." Brian beranjak pergi.

Niel melu*mat bibir cantik gadis itu dengan rakus. Keduanya berpangutan intens saling membalas dan memainkan lidah, saling menyesap liar.

Gadis itu tanpa perasaan mendorongnya tiba-tiba setelah melepas pangutan mereka. Damn it! Gadis ini berhasil membuat libidonya bangkit.

"Eve!" Terdengar teriakan cukup keras diluar sana.

Gadis itu dengan sisa kesadarannya berdiri. "Lucia, i'm here." Berjalan tertatih-tatih keluar ruangan, meninggalkan Niel begitu saja.

Pria itu menatap kepergiannya dengan tajam. Setelah menghilang, barulah Niel mengacak rambutnya gusar.

"****!"

Ia bangun dan mengawasi langkah gadis yang mulai menjauh itu.

Eve. Namanya Eve! Temannya yang dipanggil Lucia itu mendekat sambil merangkulnya keluar.

-

-

-

-

"Sudah kubilang jangan jauh-jauh dariku. Aku tidak bisa menjamin aman jika kau mabuk!" gerutu Lucia sambil menyetir mobilnya.

"Aku tidak mau mengantarmu pulang malam ini, jadi tidur saja di apartemenku." Lucia tidak tertarik mendengar omelan Amy juga.

"Aku membencimu, Lucio!" bentak Eve dengan mata terpejam.

"Ya! Aku tahu kau benci dia. Aku juga membencinya sekarang," ujar Lucia meladeni.

"Aku benci pria tampan!"

"Hm, mereka baj*ngan," sahut Lucia lagi.

"Bajingan tampan? Bibirnya manis. Aku ingin memakannya lagi." Eve tersenyum tidak jelas.

Lucia terperangah di kursi kemudinya.

"Kau bilang apa?"

Ia tak salah dengar, kan?!

"Lucia, aku bertemu bajingan tampan. Dia bilang punya banyak wanita. Brengs*ek!" umpatnya sambil menyandarkan kepala di bahu Lucia yang menyetir. Sudah berapa banyak Eve mengumpat hari ini? Lucia menghela nafas pasrah dan menghentikan mobilnya sebentar.

"Jangan pernah pergi ke club sendirian, Eve. Dengarkan aku ya?" Merengkuh kedua pipi Eve lalu mengecupnya sekilas. Lucia kembali menjalankan mobilnya.

Evelyn Lavelle. Tidak tahu bagaimana Lucia menjelaskan karakternya. Yang jelas berbanding terbalik saat gadis itu mabuk!

Hari ini adalah putus cinta pertamanya. Anggap saja begitu, meski kenyataannya tidak. Itu sebabnya Eve ada di Madrid hari ini setelah menetap cukup lama di Barcelona. Ya masih satu negara meski berbeda kota.

Sebut saja Eve wanita perfeksionis dan independent yang menjadikan Kantor seperti rumahnya. Meski memiliki kekasih, gadis itu masih terlihat seperti wanita single. Mungkin itu sebabnya Eve menemukan kekasihnya berselingkuh hari ini dan sialnya adalah kakak Lucia sendiri.

Padahal Lucia sudah berharap hubungan kali ini berhasil. Menyesal dirinya sudah memperkenalkan Lucio pada keluarga Lavelle. Akan menyenangkan kan jika dirinya dan Eve menjadi keluarga sungguhan.

Menyebalkan bukan? Sulit harus berpihak pada siapa. Namun jika harus memilih, tentu saja ia memilih Eve, haha.

-

-

-

Lucia memberi Eve obat pengar karena gadis itu terburu-buru untuk pulang. Rupanya mereka kembali dari club pukul enam pagi. Karena cuaca yang sedikit buruk dan mendung, Lucia salah memperkirakan waktu.

Setelah membantu minum obat dan menempelkan koyo untuk meredakan pusing, Lucia juga membantunya membawa koper menuju mobil Eve.

"Kau bisa membawa mobil, kan?"

"Aku mabuk, bukan lumpuh!"

"Berhati-hatilah, Eve. Jangan mengebut!"

"Hm."

"Jangan berhenti ke tempat lain!"

"Hm."

"Lupakan, biar aku antar!"

"Diam di tempatmu, Lucia." Dengan nada peringatan.

"Berhati-hatilah, Eve." Lucia menggigit jari telunjuknya cemas.

"Jangan bertingkah seolah ini pertama kali." Eve memutar bola mata jengah, kemudian mulai menyalakan mesin mobilnya.

"Eve, jangan berhenti meski ada yang meminta bantuan! Bagaimana jika itu penjahat," teriaknya.

"Hm."

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bukan Mati Rasa

Amy dengan tangan terlipat di dada disertai wajah datar berdiri sambil menatap seorang wanita yang menunduk takut di depan pintu rumahnya.

"Selamat malam, Amy," sapanya kikuk.

"Malam juga, Lucia!" jawab Amy datar.

Sial!

Jika bukan karena mengkhawatirkan kondisi Eve, tidak akan ia datang kemari malam ini. Mengingat Eve pulang dengan keadaan yang tidak baik, Lucia melawan rasa takutnya pada Amy demi memastikan sahabatnya pulang dengan selamat.

Ia jadi merasa bersalah karena membiarkan Eve pulang sendiri dalam keadaan sedikit mabuk.

Amy membuka jalan, membiarkan Lucia masuk sambil menunduk saat melewatinya.

"Lucia?"

"Selamat malam, Lewis."

Mengapa ia jadi seperti penjahatnya disini? Untungnya pandangannya langsung menangkap sosok Eve yang menatapnya datar dari sofa ruang keluarga.

"Eve! Kau tidak menabrak trotoar, kan?!" Melewati Lewis begitu saja.

"Kalian mengobrol saja. Kami ke halaman belakang bersama Daniela dan Stefan," ujar Lewis.

"Coba kulihat tubuhmu. Apakah aman?" Lucia membolak-balik tubuh Eve yang hanya memutar bola mata.

"Hentikan, Lucia. Kau tidak lihat suasana sekarang ini?" Eve memijat keningnya yang masih sedikit pusing.

"Memangnya kenapa—" Ucapannya terhenti kala menyadari ada orang lain lagi disana.

Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan sesosok pria yang pernah dilihatnya. Tampa sadar Lucia memukul lengan Eve tanpa mengalihkan tatapannya pada pria itu.

"Hubungan kalian ternyata sejauh itu," gumamnya. Eve menatapnya heran.

"Katakan dengan jujur. Kau berkencan, kan?" Lucia memicingkan mata menatap Eve curiga.

Niel tersenyum tipis mendengarnya. Dua wanita itu seperti berbisik tapi masih terdengar jelas.

"Aku baru saja putus jika kau lupa," jawab Eve jengah, tidak mau ambil pusing dengan kecurigaan Lucia.

"Aku melihatmu keluar dari ruang khusus di club. Kau bersamanya, B*itch!" bisik Lucia.

Raut malas Eve kini sudah berhenti dengan raut terkejut.

"Kau bercanda!" desis Eve melirik kecil pada Niel yang menyeringai.

"Kau tidak ingat, kan? Cih! Sudah kuduga."

Eve melirik sekali lagi pada Niel. Tanpa sadar ia menyentuh bibirnya. Sebenarnya saat membersihkan diri tadi, Eve sempat memperhatikan bibirnya yang agak membengkak dan merah bahkan ada luka gigitan kecil.

Tidak mungkin kan ia dan Niel— Eve sontak menggeleng.

Lucia memperbaiki duduknya dan menghadap Niel dengan sedikit berdehem.

"Aku Lucia dan kau teman kencan baru Eve."

"Niel," ucap datar Niel.

"Baik, Niel!"

"Apa yang kau bicarakan—" Eve hendak menginterupsi.

"Stt!" Lucia menempelkan jarinya di bibir Eve.

"Eve baru saja putus dengan pacarnya. Jadi biar ku beritahu kau— dia sedikit berbeda dari wanita kebanyakan. Jika kau mengharap momen romantis atau suasana yang panas, lupakan saja!"

"Dia bahkan memperlakukan kekasihnya seperti teman," bisik Lucia dibagian akhir.

"Dia punya kesabaran setipis tisu. Aku selalu khawatir dia akan terkena stroke karena mudah meledak."

Eve mulai kehilangan kesabarannya. Gadis itu menatap sahabatnya dengan tatapan setajam elang yang siap mencabik mangsanya. Lucia bergidik di tempatnya.

"Baru saja kukatakan, dia sudah mau mencabikku." Setelah mengatakan itu, Lucia berdiri mengambil tasnya dan berlari secepat mungkin dari sana.

"LUCIA!" teriak Eve dengan tangan mengepal.

"SUDAH MALAM. AKU PULANG, HONEY!" balas Lucia berteriak dari luar.

"Begitu? Kau payah dalam hubungan," celetuk Niel membuat tatapan tajam itu kini beralih padanya.

"Aku tidak butuh laki-laki untuk memanjakanku!" ketus Eve. Gadis itu berlalu menuju kamarnya, meninggalkan Niel yang tersenyum puas melihatnya.

"Andrea!"

Gadis dibalik tembok itu membeku dengan keringat dingin yang mulai keluar. Gadis itu keluar sambil memegang tengkuknya.

"I—iya?" gugupnya, seperti gadis yang ketahuan mencuri.

"Ceritakan semua tentang kakakmu."

"Apa?"

-

-

-

Niel tidak bisa berhenti tersenyum di mejanya hingga tidak menyadari Brian yang baru saja masuk. Pria blonde itu dibuat terkejut kedua kalinya dengan tingkah Niel yang tidak seperti biasanya.

"Eve itu pemarah dan jangan coba menguji kesabarannya, tapi dia menyayangiku." Andrea tersenyum-senyum saat menjelaskan tentang saudarinya seolah sedang jatuh cinta.

Tidak heran bagi Niel. Ia sudah melihat sendiri bagaimana perhatian Eve pada Andrea.

"Niel?" Brian melambaikan tangannya di depan wajah Niel. Tatapan tajam Niel sontak langsung menyorotnya.

"Bosan hidup?" tanya Niel menaikkan sebelah alisnya.

"Calm down, Dude." Brian terkekeh kecil kembali ke tempat duduknya.

"Bagaimana semalam?"

"Seperti harapanmu," jawab Niel datar. Masa bodohlah apa yang dipikirkan Brian. Jawaban Niel mengundang gelak tawa dari Brian.

Pria itu bertepuk tangan sambil tertawa. "Selamat, Niel. Telah melepas keperjakaanmu."

Gadis semalam pasti sangat hebat hingga membuat Niel tertarik untuk disentuhnya. Brian bahkan sudah berpikir jika gadis itu sudah tak bernyawa hari ini. Berlebihan? Terserah.

"Tidak lupakan pengaman mu?" Bisa repot jika gadis itu datang meminta pertanggungjawaban.

Niel tersenyum. Ia tidak butuh itu! Bagus kan jika Eve mengandung anaknya?

"Tidak butuh," katanya sedatar mungkin.

Brian menggeleng tak berdaya. Niel memang tidak takut apapun.

"Ya, gadis itu tidak bisa macam-macam. Dia punya banyak pria, jadi tidak bisa menuntutmu seorang."

"Apa maksudmu?" tanya Niel dengan nada tidak suka.

"Ada apa denganmu?" Brian memasang raut bingung.

"Tahu apa kau tentangnya?"

"Aku tidak tahu, tapi dia gadis club. Ayolah, Niel. Ini bukan pertama kalinya seorang wanita sengaja mendekatimu. Sebelum ke kantormu aku juga tidak sengaja melihatnya dengan pria."

Kalimat terakhir Brian tentu membuat Niel menggeram dan mengepalkan tangannya.

"Dimana dia?" dinginya.

"Siapa?"

"Gadis itu! Dimana dia!"

Brian yang terkejut berusaha tenang dan mengatakan apa yang dilihat dan dimana ia melihat. Tanpa pikir panjang Niel segera melangkahkan kakinya keluar ruangan dengan Brian dengan wajah semakin bingungnya.

"Dia tidak jatuh cinta, kan?"

Oh God! Tidak mungkin Niel sepolos itu hingga jatuh cinta pada ****** pertamanya. Mungkin Niel salah mengartikan candu nya sebagai cinta.

_

_

_

"Kau tidak merasakan apapun, kan?" tanya seorang pria di hadapan Eve.

"What?" Eve menaikkan sebelah alisnya.

"Kecewa, kesal atau sakit hati?" tanya pria itu lagi.

"Apa itu perlu?"

"See? Kau tidak merasakan apapun, kan. Kenyataannya kau memang tidak pernah merasakan apapun, Eve."

Dalam kasus ini, meski dirinya yang berselingkuh, dirinya pula yang merasa kecewa. Eve takkan membuang waktu nya untuk memikirkan sakit hatinya pada orang lain kan? Ya begitulah Eve.

"Kau yang tidak mengerti aku," ujar Eve datar.

Lucio mengangguk, "Yah kau benar. Aku memang tidak mengerti dirimu bahkan hingga saat ini. Seharusnya aku mendengarmu untuk tidak jatuh cinta, kan?"

"Aku sudah memperingatimu."

Lucia tertawa kecil. Sebenarnya Eve sama sekali tidak memiliki perasaan padanya. Ini kesalahannya karena jatuh cinta pada orang yang salah.

"Aku senang mendengar kau pergi ke club dan mabuk, lalu mengumpatiku berulang kali. Kupikir kau sudah merasakan cemburu dan marah, rupanya karena merasa harga dirimu dipermainkan," ungkap Lucio.

Eve hanya menyimak.

Pria dengan iris mata kebiruan itu berdiri dari duduknya.

"Tidak akan ada yang bertahan jika kau terus seperti ini, Eve," ucapnya sebelum pergi.

Eve mengabaikan kepergian Lucia tanpa menoleh sedikitpun. Ia mengambil segelas wine di atas meja dan meminumnya.

"Itu sebabnya aku lebih suka sendiri," gumam Eve.

Bukan tidak percaya pada cinta. Kenyataannya hingga saat ini ia belum pernah merasakan hal seperti itu meski sudah berkencan selama setahun dengan Lucio. Mungkin itu sebabnya Lucio marah hingga memiliki wanita lain untuk membuatnya cemburu meski sia-sia.

Eve sendiri pernah berpikir apakah suatu hari ada seseorang yang bisa membuatnya memiliki rasa itu. Seseorang yang bisa bersabar untuknya dan menerimanya yang seperti ini.

Lewis sang ayah pernah memberitahunya, bukan mati rasa tapi belum bertemu seseorang yang tepat. Saat kau menemukannya, secara alami kau akan berusaha untuknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!