"Halo...."
Sapa pemuda yang berjalan secara perlahan dengan ramah. Yang disapa hanya tersenyum terpaksa dengan tatapan aneh dan berlalu menjauh darinya.
Pemuda memakai seragam SMA, kembali menyapa orang berbeda, berjalan berlawanan arah dan berpas-pasan dengan dirinya. Melemparkan senyum terbaik di pagi cerah kepada semua orang yang berselisih jalan.
"Halo Tante, selamat pagi...."
Wanita yang ditegur sedikit kaget. Di raut wajah memasang mimik, mencari tahu apakah dia kenal dengan pemuda yang baru berselisih jalan dengannya tadi. Sadar tak mengenali pelajar yang berpakaian SMA, - wanita memakai baju safari, segera berlalu- mempercepat langkah, menjauh.
Tak lepas senyum dari bibir pemuda yang memiliki rambut ikal. Tetap berjalan dengan santai tanpa beban. Sesekali merapikan posisi tas ransel yang tersandang di pundak kanan. Berjalan dengan ringan menelusuri trotoar jalan. Pemuda berkulit putih memiliki mata tajam dengan tatapan yang memukau, sesekali juga membetulkan rambut ikal yang sedikit panjang tapi rapi.
Setelah beberapa saat berjalan, akhirnya dia berhenti di halte bis. Dengan santai, berdiri dan menunggu, memasang wajah bengong. Mulutnya sedikit terbuka. Sesekali dia melihat jam. Mimik wajah sangat tenang tapi tetap dengan mulut sedikit terbuka. Sesekali, bibir tebal dan sensual masih memperlihatkan senyum terbaik pagi ini kepada semua orang yang melihat. Namun, terkadang senyum melebar di bibir bisa berubah cepat berganti dengan wajah datar ketika dia menyudahi.
"Masih banyak waktu kok...,"gumamnya.
Sang pemuda berdiri tegak, menatap ke depan. Terkadang menunduk, mempermainkan kaki kanan dengan menendang-nendang ruang kosong. Kedua pergelangan tangan masuk ke dalam saku celana, kiri dan kanan. Terlihat sangat keren. Sepertinya, pemuda ini tahu cara mengatur bentuk tubuhnya yang indah. Raut wajah datar menyiratkan bahwa dia berusaha untuk sabar menunggu bis selanjutnya.
"O’...."
Terdengar suara spontan keluar dari mulut membentuk huruf O ketika dia mendengar bunyi klakson bis. Dia menoleh ke kanan dan tersenyum tipis. Kedua bibir bersatu, merapat membuat senyum yang manis tapi bagian dari mulut itu berbentuk e-moticon murung. Ajaibnya, pemuda yang memiliki bentuk bibir yang lebar, terlihat
tersenyum, bukan murung, malah membuat dia terlihat semakin menggemaskan.
Ketika bis berhenti sejajar di pinggir badan jalan, -bagian belakang mobil, berhenti tepat di samping pemuda SMA- dia mempersilahkan penumpang lain untuk naik dan masuk ke dalam bis terlebih dahulu. Penumpang yang mengantri kebanyakan pelajar. Pemuda yang terlihat ramah, menunggu dengan sabar. Akhirnya dia menaiki tangga
bis di urutan terakhir, masuk ke dalam. Tak berapa lama bis berwarna biru mudapun bergerak.
Hakiki mengambil tempat duduk di posisi paling belakang dan paling pinggir di dalam bis. Dia sengaja mengambil tempat duduk di sudut. Setelah merasa mantap posisi duduk, dia mengambil earphone di saku baju, lalu memasukkan kedua earpads ke telinga. Setelah earpads terpasang, tangannya mengutak-atik beberapa tombol di handphone, mendengarkan musik dari alat elektronik yang menjadi dewa di zaman sekarang. Menyandarkan kepala di dinding bis.
Pikiran melayang ke masa kecil. Tujuh tahun lalu ketika masih tinggal di Kota Brastagi, Sumatera Utara. Ada senyum getir di bibir ketika mengingat masa kelam sewaktu kecil. Tapi di sisi lain, ketika mengingat kembali masa kecil, terselip kenangan indah, terlihat dari senyum manis yang terpatri di bibir. Jiwa danraganya juga seolah-olah terisi dengan semangat ketika mengenang kenangan masa lalu.
*******
Hakiki menangis lagi. Kali ini suara yang dikeluarkan sudah lemah. Anak kecil ini berusaha mengusap air mata dengan bahu tangan. Kaki dan tangan terasa sakit. Sepertinya sudah cukup lama dia terikat dan terduduk di sudut gudang. Bau menyengat di gudang tua sudah tak membuat perutnya mual lagi.
Dia melihat ke arah jendela berada di ketinggian hampir tiga meter dari lantai. Jendela itu hanya berukuran 50 x 80 cm. Ada beberapa bilah kaca yang tersemat lebar di antara kusen jendela, itupun hanya satu yang bagus, tiga lainnya sudah pada rusak di pinggir-pinggir. Hakiki menatap Bulan Sabit yang terlihat dari jendela. Hatinya sedikit tenang. Itu hiburan dia beberapa jam ini.
Tersadar bahwa sebelumnya bertemu dengan pria yang menculiknya, pada saat itu, Hakiki merasa ketakutan dan menangis kencang. Masih teringat bentakan penculik.
"Diam kau anak *******!!" bentak seseorang yang masuk ke dalam gudang. "Manusia seperti kaulah yang buat hidup seperti diriku ini sengsara!" bentak orang itu lagi.
Badan penculik tak terlalu tinggi, mungkin sekitar 160 cm. Terlihat perutnya sedikit membuncit dan penuh lemak di pinggang. Terlihat badan pria yang sudah disadarinya sebagai penculik saat ini, tak ideal dengan tinggi badan yang dimiliki. Hakiki tak bisa melihat jelas wajah pria yang bertubuh pendek dan gemuk, tapi bisa sedikit memperhatikan gigi penculik agak maju ke depan. Terlihat sedikit susah menutup seluruh mulut karena gigi itu.
Pikirannya melayang, terlintas beberapa memori. Wajah lelaki yang menculiknya. Gudang yang gelap. Bulan Sabit. Suara pukulan. Anak panah yang melesat. Manusia bertopeng menggunakan jas hitam, bertopi, memegang tongkat. Di belakang baju pria bertopeng terdapat jubah.
Disampingnya, berdiri anak laki-laki yang lebih pendek darinya, juga menggunakan topeng Ada sedikit warna merah di bagian depan. Anak laki - laki yang bertubuh kurus, juga memakai pakaian berwarna hitam dan sedikit berwarna merah pada dada. Di tangannya terdapat busur panah Di punggung ada beberapa anak panah yang
menyembul keluar dari wadah. Anak laki-laki ini berdiri dengan wajah datar. Tak ada senyum, tapi wajahnya enak dipandang. Mendekati Hakiki dan mengerlingkan mata sembari menyematkan senyum di bibir.
Cring....
Hakiki terbangun dari tidurnya. Dia berusaha melihat ke jalan. Dia kembali ke dunia nyata dan berusaha mengingat bangunan yang sudah dilalui bis kota dari jendela kaca bis.
"O’... ternyata belum terlewati...."
Ketika bangun dari tidur, Hakiki sedikit berdebar. Dia takut terjadi lagi kejadian 2 hari lalu, gedung sekolahnya terlewati karena ketiduran di bis.
Pemuda yang saat ini memberesi rambut ikal, selalu mengalami mimpi yang sama selama 1 tahun terakhir. Potongan - potongan mimpi itu selalu menunjukkan masa kecilnya yang kelam. Wajahnya dipasang datar.
Beberapa potongan lain yang sering berkelebat adalah wajah anak laki - laki yang mengedipkan mata. Bulan Sabit. Pria besar yang berdiri memandangi dirinya di gudang kosong.
Senyum yang terpasang dan kedipan mata yang dilemparkan, sangat diingat olehnya. Anak laki-laki itu, mungkin tak terlalu jauh paut umur dengan dirinya.
Hakiki berusaha mencari anak laki - laki yang bertemu dengannya di gudang kosong. Tapi semenjak pindah ke Jakarta, harapan itu sirna. Karena kejadian yang menimpa sewaktu kecil berlokasi di Medan, Sumatera Utara. Ketika dia dan keluarganya pindah ke Jakarta. Baginya, untuk menemukan anak laki - laki sebagai penyelamat di masa lalu adalah hal yang sangat mustahil.
*******
- 4 Januari 2012 -
"Hakiki...!" Seru seorang gadis yang baru masuk ke dalam kelas. Mendekati pemuda yang sedang duduk di bangku, sembari berlari kecil.
Pemuda yang dipanggilpun menoleh dengan wajah datar. Pemuda itu melihat dengan mata yang berkelopak tunggal tapi dengan bola mata yang besar. Matanya memperlihatkan wajah yang lembut tapi bentuk wajahnya maskulin. Tatapannya tajam dan sendu. Dia memiliki hidung yang mancung dan tinggi. Dahinya juga lebar tapi menawan. Ada tahi lalat di beberapa tempat di wajah, di tulang pipi sebelah kiri, di bawah mata sebelah kanan dan di bawah hidung, terlihat jelas ketika dia lagi menengadah. Ketika orang bertemu dengannya, mereka akan berkata, "Tuhan sedang memiliki mood yang sangat baik ketika menciptakan makhluk ini." Ya. Wajahnya sangat
sempurna seperti Karakter Anime Jepang.
Gadis yang memanggil, spontan tertawa. Berkata, "Udah deh. Muka bloonnya jangan dipake terus. Masih pagi." Gadis yang memakai seragam putih abu-abu berdiri pas di depan pemuda yang dipanggil.
Pemuda yang dipanggil dengan nama Hakiki mengembangkan kedua bibir dengan cepat. Perubahan mimik wajah sangat cepat bahkan tidak dalam satu detik.
"Hei...selamat pagi Arini," sapanya dengan suara berat tapi mempesona dan kepala sedikit mendongak.
"Seperti biasa ya, sudah enam bulan masuk sekolah ini, kamu selalu tepat waktu, tidak pernah terlambat. Hebat," puji gadis yang berpostur mungil dan berkulit putih. Matanya kelihatan berbinar.
"Salam aku belum dijawab loh?" seru Hakiki dengan wajah yang super penuh tanda penasaran.
Arini tertawa kecil.
"Iya. Met pagi juga."
"Aku menyapa dengan Selamat Pagi, Rin, bukan Met Pagi?" Masih dengan wajah yang super penuh tanda penasaran. Protes.
"Udah ah... mukamu itu jangan serius amat, enggak keliatan pinternya, malah keliatan bloonnya. Udah ya... aku masuk ke kelas. Bye."
Arini beranjak dari meja Hakiki menuju pintu keluar, tapi... tiba-tiba sedikit membalikkan badan setelah beberapa langkah. Arini berhenti dan berseru, "Ki, kamu tahu enggak, di kelas aku ada anak baru pindahan dari Bali. Hari ini bergabung ke kelasku." Arini terlihat bersemangat.
"Oh...."
Semangat Arini langsung hilang melihat respon Hakiki. Pemuda lawan bicaranya hanya mengeluarkan satu kata dan masih dengan wajah datar.
"Dasar blank face," nyata Arini kesal. bergegas melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Sepertinya terdengar suara hentakan kaki sedikit keras.
Hakiki tak menggubris hentakan langkah kaki yang lambat laun menjauh, kembali merapikan buku yang ada di meja. Padahal sudah dari sebelum Arini datang, dia melakukan hal ini tapi mungkin belum puas dengan kondisi dan letaknya yang kurang sempurna.
Arini dan Hakiki sudah berteman lama semenjak SMP. Mereka selalu satu kelas selama tiga tahun. Tapi kali ini, Arini dan Hakiki tidak sekelas walaupun mereka berada di SMA yang sama. Mungkin nanti, di kelas 11 atau 12. Tapi Hakiki tak terlalu mempermasalahkan. Lagipula, persahabatan antara Arini dan Hakiki tetap berjalan seperti biasa. Mereka akan selalu mencari satu dan lainnya apabila satu hari tidak bertemu.
Arini sangat mengenal Hakiki. Watak dan karakter Hakiki sangat unik di mata Arini. Jika teman-temannya mengatakan Hakiki adalah manusia yang aneh tapi Arini selalu merasa sahabatnya unik dengan segala keanehan yang dimiliki.
"Untung saja wajahmu rupawan, Ki. Jadi... walaupun kamu aneh tapi kamu selalu memikat hati semua orang. Coba saja wajahmu jelek, ditambah lagi dengan wajah blank face, semua akan mem-bully-mu tanpa ampun."
Arini pernah mengatakan pernyataan itu kepada Hakiki dan tentu saja sahabatnya menanggapi dengan wajah polos tanpa keluar satu patah katapun dari mulutnya.
Begitu juga dengan Hakiki, sudah sangat mengenal Arini. Arinilah satu-satunya teman wanita Hakiki yang dekat sampai sekarang ini. Hakiki sedikit memilih untuk berteman dengan wanita karena dia tidak ingin pertemanan lawan jenis berdasarkan perasaan yang khusus. Dia ingin merasakan persahabatan, memang benar-benar murni persahabatan, bukan karena perasaan yang lain. Banyak gadis yang suka dengannya tapi Hakiki masih ingin serius mengejar impian, tak ingin terganggu dengan hal-hal yang membuatnya pusing karena urusan pacaran atau hubungan yang lain.
Hakiki percaya dengan Arini, karena selama ini yang dirasakan oleh Hakiki, Arini sangat menyayangi dirinya, tidak lebih dari sahabat. Dia juga suka berteman dengan Arini karena gadis itu bukan tipe wanita yang sombong, padahal punya kemampuan untuk menyombongkan diri dari segi fisik, jabatan ayahnya dan prestasi. Tapi... tidak dengan Arini.
Awalnya, Hakiki berpikir ketika perkenalan pertama di SMP, Arini adalah gadis yang sombong karena penampilannya yang sangat menarik dan pakaiannya yang begitu rapi. Merasa seperti di film-film bahwa perempuan seperti Arini tidak memiliki watak yang baik karena selalu dimanja oleh keluarga. Ternyata Hakiki salah
besar. Arini adalah seorang gadis yang mempunyai banyak sifat baik. Oleh karena itu, Hakiki membuat Arini menjadi teman perempuan yang sangat diistimewakan karena sesuai dengan yang diinginkan. Perempuan yang cantik, mungil, pintar, rapi, berpenampikan menarik dan punya segudang prestasi karena sangat berbakat. Tapi, yang pasti Hakiki tidak menganggap sebagai pacar. Hanya sahabat terbaik yang dimilikinya.
Hakiki terus berusaha menjaga persahabatan dengan Arini sampai saat ini. Banyak teman- temannya yang mengatakan untuk menjadikan Arini pacar, tapi Hakiki hanya diam saja, tak berkata apapun. Karena bukan hal itu yang menjadi tujuan utama hidupnya.
Siswa dan siswi lain mulai berdatangan. Pagi ini di mulai pelajaran Bahasa Inggris yang terkadang membuat Hakiki ingin pergi ke luar negri seperti London atau New Zealand untuk mengeksplorasi negara lain dengan kemampuan Bahasa Inggrisnya, walaupun dia tahu bahwa kemampuan Bahasa Inggrisnya masih dangkal. Lebih tepatnya, dia ingin mengabadikan momen-momen di negara lain dengan foto.
Hakiki mempunyai impian besar. Dia mencintai fotografi. Menjadi fotografer adalah impian terbesarnya. Pemuda ini ingin menjadi fotografer profesional. Dan berusaha untuk mewujudkan impian itu. Selain fotografi, pemuda ini juga memiliki hobi yang lain. Melukis. Walaupun tak terlalu mahir. Bermain gitar dan sekarang sedang belajar saxophone. Memiliki darah seni yang kuat, iru yang dirasakan di dalam dirinya. Dia tak tahu mendapatkan bakat itu dari mana. Bukan dari Ayah, pastinya, yakinnya di dalam hati.
Kalau dilihat dari sejarah perjalanan hidup Ayahnya, maka dia memang merasa kalau bakat seni bukan berasal dari Ayahnya. Ayahnya sekarang bekerja di BUMN Bidang Pertanian. Dulu, sewaktu dia kecil Ayahnya adalah seorang petani di salah satu daerah di Sumatera Utara, Brastagi nama kotanya. Daerah pegunungan yang sangat diandalkan oleh masyarakat setempat untuk bertani. Banyak produksi buah- buahan dan sayuran yang dikirim ke luar negri dari daerah ini. Tanahnya sangat subur dan juga menjadi salah satu Objek Wisata di Sumatera Utara.
Akhirnya, setelah tamat SD, Ayahnya mendapat pekerjaan di BUMN Bidang pertanian karena itulah mereka harus pindah ke Jakarta. Ibunya, Hakiki dan kedua adiknya juga ikut pindah secara keseluruhan karena Ayahnya tak ingin membagi antara pekerjaan dan keluarga.
Hakiki adalah seorang anak yang rapi, teratur dalam segala hal, juga disiplin. Berusaha untuk melakukan semua hal secara perlahan dan berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan. Seseorang yang moody. Terkadang bisa berlari ke sana kemari dengan sangat riang tanpa sebab apapun, sedangkan hari berikutnya bisa hanya duduk sendirian di bangku dari jam pertama di sekolah sampai berakhir pelajaran.
Oleh karena itulah, teman- temannya merasa dirinya aneh. Ketika hatinya gembira, dia akan bernyanyi dengan gaya, nada dan lirik yang dibuat sendiri. Tentu saja dengan expresi wajah yang memukau. Terkadang teman-temannya tertawa melihat tingkahnya seperti itu dan menjadi penghibur tapi ketika sedang ingin sendiri maka teman- temannya juga tak berani mendekati, bahkan untuk menegur. Paling cuma Arini yang bisa membuat dia mengeluarkan sedikit kata-kata, kalau tidak 'oh' , 'hmmm', atau 'ya!'. Tapi walaupun begitu Arini selalu berhasil untuk menghibur dan kembali mendapatkan semangatnya.
Hakiki juga punya kelebihan untuk menghibur teman-temannya dengan ekspresi wajah. Dia bisa merubah wajahnya dari sedih, menjadi gembira, terus menjadi polos, terus ketakutan, terus ini dan itu seperti e-moticon yang ada di keypad handphone. Mereka senang jika dia melakukan itu sampai ada temannya yang berkata, "sebenarnya kamu itu berasal dari planet mana?" Hakiki tidak tersinggung, malah senang dinobatkan sebagai Alien di muka bumi ini.
*******
"Rin...."
Arini menoleh. Gadis yang tinggi semampai, putih tapi terlihat mungil itu sangatlah cantik. Dia memakai seragam sekolah sama seperti siswi lain, namun paling rapi dari cara berpakaian. Wajahnya yang ayu dengan tulang pipi yang tirus, bibir yang merah dan mungil, mata yang besar dengan bola mata yang penuh semangat membuat dirinya terlihat sangat feminim. Rambutnya yang tergerai juga menambah pesona diri.
Dia kenal suara itu pastinya. Di kejauhan, terlihat Hakiki dengan ketawa kotaknya. Ya... tertawa kotak, bibir itu bisa berbentuk kotak ketika dia tertawa. Hal itu adalah salah satu keanehan pada dirinya dan hal itu bukan disengaja.
Hakiki berlari mendekati Arini tapi tidak berlari biasa, namun dibarengi dengan gerakan seperti mengendarai kuda. Kakinya yang lincah menghentak-hentak ke lantai lorong dan dibarengi dengan gerakan tangan kanan memutar di atas kepala, seakan dia memutar tali ****. Setelah mendekati Arini, tangannya langsung membuat gerakan melempar tali **** khayalan untuk menjerat Arini.
Arini tertawa cekikikan dan dia sedikit tertunduk malu.
Mereka berada di lorong sekolah yang tentu saja masih banyak pelajar lain yang berjalan di lorong. Mereka hanya tersenyum dan tertawa kecil melihat aksi Hakiki. Bagi mereka hal itu sudah biasa. Seluruh kelas 10 di sekolah tahu jika Hakiki memiliki karakter yang aneh. Bahkan senior kelaspun banyak yang membicarakannya.
Pernah satu kejadian di sekolah pada saat upacara bendera, Hakiki menjadi peserta upacara, berbaris di dalam grup kelasnya seperti peserta yang lain. Dia berada di tengah barisan kelompoknya. Dia melaksanakan upacara dengan khidmat. Memasang wajah serius dan polos. Pada saat penarikan bendera merah putih, ada kegaduhan yang terjadi. Tali untuk penggerek bendera tersangkut dan menyebabkan petugas bendera kewalahan karena bendera yang ditarik tak bisa mencapai puncak, mungkin sekitar 20 persen lagi. Para petugas pembawa bendera kewalahan, guru-guru memerintahkan untuk menarik dan mengulur tali, perintah itu bahkan semakin membuat mereka bingung. Bendera harus tetap naik. 10 menit mereka berusaha untuk menyelesaikan itu. Akhirnya Kepala Sekolah berteriak kepada Pesuruh Sekolah untuk mengambil tangga atau memanjat bendera yang tingginya sekitar 5 meter. Bisa dibayangkan jika pesuruh sekolah melakukan itu. Tiang bendera yang ramping, apakah bisa menahan beban pesuruh sekolah yang berat badannya mungkin sekitar 80 kg. Malah akan terjadi kegaduhan dari seluruh peserta upacara, jika benar-benar dilakukan, akan terjadi hal yang buruk dan itu pasti.
Hakiki yang melihat kejadian dan sebenarnya, sudah tidak sabar untuk beraksi dari 5 menit sebelumnya, dia berusaha menerobos kerumunan barisan kelasnya, lalu berlari kecil menuju tiang bendera. Setelah sampai di tiang bendera, dia menoleh ke arah kiri dan memberi kode kepada barisan yang berada di sebelah kiri untuk membuka jalan dengan raut wajah yang sangat serius. Tentu saja mereka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh anak itu. Akhirnya Hakiki membuka baut tiang bendera yang berada dibawah. Membuka baut awal sangatlah susah, tapi Hakiki berusaha sekuat tenaga membukanya dengan tangan tanpa bantuan alat apapun. Begitu keras. Telapak tangannya sampai memar. Akhirnya berhasil. Lalu dia menarik besi kecil yang menahan tiang bawah. Ada 2 besi kecil yang menahan tiang itu. Ketika dia menarik besi kecil yang kedua, dia kembali menoleh ke arah barisan kiri dan memberikan kode agar berhati-hati dan segera menyingkir. Akhirnya tiang bendera yang setinggi 5 meter terjatuh. Terdengar suara jeritan siswi yang berada di barisan sebelah kiri dan seruan kecil menggema di lapangan upacara.
"Uuuuuuuuu...."
Klentang.
Tiang bendera menyentuh tanah. Terhempas. Pelajar yang ada di barisan sebelah kiri mundur beberapa langkah. Ternyata benda itu tidak sampai mengenai barisan pelajar.
Hakiki lalu berlari ke ujung tiang, dia meminta seseorang untuk memegang ujung tiang. Memperbaiki tali yang tersangkut di ujung tiang dan menarik tali sehingga bendera tertarik menuju ujung. Kemudian dia bersama satu temannya tadi, mengangkat tiang bendera dan berusaha mendirikan tiang kembali. Aksinya sangat cepat. Hanya butuh 3 menit untuk melakukan aksinya. Dengan cepat Hakiki kembali memasang besi penghalang di pangkal tiang bendera. Penghalang 1 dan penghalang 2. Akhirnya dia memasang bautnya kembali. Dia tersenyum kepada petugas bendera yang dari awal kejadian sampai sekarang hanya terdiam melihat aksi adik kelasnya.
Terdengar suara riuh bersorak di lapangan sekolah disertai tepuk tangan yang meriah. Hakiki tertawa lebar. Bibirnya membentuk kotak. Dia menundukkan setengah badan, ibarat penyanyi yang telah menyelesaikan konser tunggal. Dia meluruskan badannya kembali, sambil tetap tertawa dan berlari kecil ke barisan semula.
"Itu blank face khan?" seru seorang siswi di salah satu barisan
"Aduh... mengapa dia sekeren itu," balas siswi lain menyahuti.
"Dia kelas berapa sih?" lanjut siswi yang lain.
"Namanya Hakiki. Kelas 10 - 2, " balas seseorang, suaranya sedikit cempreng tapi berat. Ternyata suara itu berasal dari laki-laki yang berada di belakang barisan mereka.
Ketiga siswi tadi melihat ke belakang lalu salah satunya berkata, "Eit... dah... elu mon tau aja deh mana laki yang ganteng."
"Tentu dunks," jawabnya manja.
Di barisan itu juga, Arini hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepala. Bukan hanya sekali ini, dia melihat aksi sahabatnya yang menggemparkan orang di sekitar.
Kejadian ini yang membuat seluruh guru dan pelajar di sekolah terhentak hebat dengan aksinya. Padahal pada saat itu, Hakiki baru 3 bulan memasuki Sekolah Menengah Atas yang dipilihnya.
"Ki, apaan sih?"
Arini memukul dada Hakiki setelah pemuda itu tepat berada di depannya.
"Oh... sakit."
Hakiki meringis.
"Kamu mau langsung pulang?" tanya Hakiki, sekarang ini wajah polosnya keluar lagi.
"Iya. Emang kenapa?"
"Kalau tidak ada kegiatan, temeni aku beli cairan pembersih saxophone yuk?" ajak Hakiki.
"Dimana?"
"Di pasar burung!"
"Emang ada di pasar burung, barang itu?" tanya Arini serius.
Hakiki tertawa. "Ya enggaklah. Kita cari di mall sekitar sini. Gimana, bisa?"
"Ya udah. Naik mobil aku aja ki," ajak Arini.
"Ya iyalah, wong aku naik bis kok, gak punya mobil."
Arini tersenyum, dia kembali memukul lembut dada Hakiki, dilanjutkan dengan menarik lengan sahabatnya. Merangkul dan berjalan keluar lorong sekolah.
"Oh... sakit," ringis Hakiki.
"Tas kamu mau aku bawakan? Mungkin berat?" tanya Hakiki.
Arini tersenyum kecil, senbari memberikan tas sandangnya kepada Hakiki.
Hakiki sedang belajar menggunakan alat musik saxophone dalam 6 bulan terakhir ini. Belum mahir tapi dia bisa melantunkan nada-nada dari alat musik tiup itu. Entah mengapa dia memilih alat musik yang tergolong sulit di jadwal les dia tahun ini.
Selain bisa memainkan saxophone, dia mahir memainkan gitar.
"Ki, nama anak baru itu Hikma Andapi," seru Arini membuka pembicaraan baru.
Hakiki tiba tiba menghentikan langkahnya. Tas sandang yang akan dikalungkan ke lehernya juga tersendat untuk dipasangkan.
Arini kaget. "Ada apa, Ki?"
Hakiki terdiam. Wajahnya tersirat memikirkan sesuatu yang sangat dalam.
"Kenapa?" tanya Arini sedikit mendesak. Dia melihat raut wajah Hakiki beda dari sebelumnya.
"Kok... sepertinya aku pernah mendengar nama itu ya, Rin?"
"Ouh ya. Dimana kamu mendengarnya? Apa kamu sebelumnya pernah mengenal Dapi?" tanya Arini lagi, kali ini suara Arini lebih mendesak. Mungkin karena penasaran.
"Dapi?"
"Ya... Dapi. Panggilannya Dapi."
"Oh...."
Hakiki menyelesaikan gerakan sebelumnya yang tertunda. Lalu dia melangkah dan Arinipun ikut bergerak. Masih tetap merangkul tangan kanan Hakiki.
"Aku enggak tau, kok sepertinya sering mendengar nama itu ya? Tapi mungkin hanya kebetulan," nyata Hakiki.
"Hmmmm... mungkin kamu pernah dengar nama itu dari orang atau mungkin pernah baca di koran atau majalah."
"O'...? Apakah dia artis?" tanya Hakiki sambil menoleh ke Arini. Wajahnya benar-benar serius dan kedua mata yang tajam itu membelalak.
Arini tertawa. Dia mencubit dada Hakiki.
"Uh... sakit...."
Suara itu keluar dari mulut Hakiki. Bibirnya maju setengah sentimeter.
"Bukan. Kalau artis enggak mungkin sekolah di sini. Mungkin kamu memang pernah mendengar namanya sekilas. Mungkin tadi di kelasmu ada siswa yang menyebutkan namanya. Karena hari pertama sekolah saja, dia sudah banyak memikat siswi yang ada di sekolah. Semua orang membicarakannya di kantin pada saat waktu istirahat tadi dan yang belum melihat, langsung menuju ke kelas 10-1 untuk membenarkan isu yang beredar, " jelas Arini.
"Isu yang beredar?" tanya Hakiki.
"Ya... isu yang langsung beredar kalau Dapi adalah siswa yang mungil, putih, ramah, suka tertawa dan memiliki mata yang tersenyum ketika dia tertawa."
"Mata yang tersenyum?" tanya Hakiki lagi. Tentu saja dengan wajah polos dan penuh rasa penasaran. "Puisi apa itu? Mata yang tersenyum. Yang tersenyum khan bibir!" nyatanya dengan nada protes.
"Ya... matanya memang benar-benar tersenyum. Aku mengakui itu. Dia memang benar-benar manis dan mempesona, juga ramah. Dia selalu tertawa. Apapun yang diceritakan teman-teman, dia selalu tersenyum dan tertawa. Sepertinya dia telah mengambil hati orang-orang di kelas, padahal dia masih 1 hari loh masuk ke sekolah kita."
Hakiki hanya terdiam. Mereka telah keluar dari lorong sekolah, lalu berjalan di trotoar menuju lapangan parkir. Arini terus bercerita mengenai siswa baru di kelasnya. Hakiki hanya terdiam. Dia masih mencari-cari di dalam rak-rak otaknya, dimana dia pernah mendengar nama itu tapi tak berhasil.
Akhirnya mereka sampai di parkiran. Arini yang menyetir, dia memiliki SIM tentunya. Hakiki membuka pintu mobil penumpang bagian depan sebelah kiri dan masuk ke dalam setelah Arini. Lalu mobil Honda Jazz putih meluncur, keluar dari parkiran sekolah.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!