Sebuah mobil melaju kencang, dengan gagahnya menyisir desiran angin yang meniup hamparan rerumputan di kedua sisi jalan.
Dua insan yang berada di dalamnya tampak menebarkan senyum kebahagiaan. Keduanya sesekali saling melempar pandangan, tanpa ingin melepas tangan yang saling bertaut.
“Mas, ada yang ingin ku katakan,” ungkap sang wanita berparas cantik yang duduk di kursi penumpang dengan nada lembut.
“Ada apa, Sayang?” Sang pria langsung tanggap.
Namun tiba-tiba terdengar suara dari sebuah ponsel yang akhirnya mengganggu momen pembicaraan, membuat sang pria melepaskan tangan istrinya tersebut serta mengabaikannya sebentar untuk memeriksa panggilan yang masuk.
Sorot matanya langsung berubah setelah melihat ponselnya, ia terpaku sejenak sembari jarinya mengusap layar sentuh ponsel dan membuat panggilan berakhir.
“Kenapa di reject, Mas?”
“Hanya panggilan yang tidak penting, Sayang,” jawabnya.
Detik berikutnya, bunyi singkat dari ponsel kembali menarik perhatiannya untuk membuka sebuah pesan sembari terus mengemudikan mobilnya.
“Mas, mau aku bantu membacakan pesannya? Lebih kamu fokus nyetir saja,” saran sang istri menawarkan bantuan.
“Tidak apa-apa, Sayang,” tolaknya secara halus, lalu segera mengunci tombol layar dan meletakkan kembali ke dasbor.
Raut wajahnya menampilkan sesuatu yang tak mampu dibaca oleh sang istri, sementara ini sang pria masih terdiam seperti menyimpan banyak pikiran di kepala hingga ia tidak lagi fokus pada sang istri.
“Mas? Kamu baik-baik saja?”
Pertanyaan penuh perhatian itu lenyap begitu saja tanpa ada tanggapan karena sang pria terlalu terikat pada pikirannya sendiri.
“Mas! Awas!” Panggilan terakhir yang terucap itu baru membuatnya segera sadar akan ada sebuah bahaya di depan mereka saat ini.
Tampak di depan sudah ada sebuah truk kontainer bermuatan baru berbelok dari sebuah pertigaan jalan seperti hendak memasuki jalur mobil mereka, akan tetapi sang pengendara mobil pribadi yang sempat tidak fokus berkendara terlanjur tidak sempat lagi melambatkan laju mobilnya.
Ia berusaha dengan segenap kemampuan membanting setir untuk menghindarinya akan tetapi sudah terlambat dan tabrakan keras yang saling menghantam pun tidak terelakkan lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sepasang netra bermanik coklat milik seorang wanita terbuka seketika dan nyaris terlihat terbelalak sempurna di keheningan ruangan yang hanya memperdengarkan bunyi dari monitor pemantau ala-alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Sebuah peristiwa nahas itu tergambar jelas dalam memori tak terbatas yang akhirnya membawa respon kesadaran membangunkannya dari mimpi panjang.
“Elvira!” Suara dari wanita tua menyerukan namanya dengan getaran nada penuh rasa kekhawatiran.
Mata indah dengan bulu mata lentik itu langsung mengarah untuk melihat wajah dari orang yang memanggil. Indera penglihatannya berfungsi normal masih bisa mengenali sosok wanita yang selalu memandangnnya penuh cinta dan perhatian itu.
“Oma,” lirihnya dengan suara yang masih agak berat meski napasnya terpantau normal dibalik selang oksigen yang masih menempel di area hidung.
“Nevan! Cepat panggil dokter, kakak ipar kamu sudah bangun,” titah wanita tua itu menyuruh cucunya yang juga sedang berada di ruang rawat tersebut dan langsung dikerjakan oleh pemilik nama.
Tidak berselang lama, seorang dokter yang tampak masih terlihat muda masuk ke ruangan dan segera memeriksa keadaan sang pasien. Rona wajahnya menggambarkan sebuah perasaan turut senang mengetahui betapa pasiennya ini mampu bertahan dengan baik selama beberapa hari setelah melewati masa kritis akibat kejadian itu.
“Dr. Raldy, bagaimana keadaan cucu menantu saya?”
“Ibu Dewanti tenang saja, kondisinya sudah jauh membaik setelah beberapa hari ini. Semua tanda-tanda vital yang dipantau pada tubuhnya dalam keadaan stabil. Setelah ini, kami masih akan terus memantau kondisinya secara berkala. Selama masa pemulihan, tetaplah banyak-banyak istirahat,” ujar dokter tersebut.
Lalu ia membantu melepaskan selang oksigen. “Sekarang kamu bisa bernapas tanpa alat bantu.”
Tiba-tiba pria berjas putih itu menyadari tatapan Elvira kepadanya. Tersiratkan mereka bukanlah orang yang baru pertama kali bertemu, namun menyimpan sebuah cerita sebelumnya.
“Kamu akan baik-baik saja,” ujar Raldy yang saat ini menebar energi semangat untuknya, senyumnya mengambang penuh arti.
Elvira lalu mencoba untuk bangun akan tetapi keadaan tubuhnya masih terasa sangat lemah, seperti ada magnet besar menariknya kembali ke ranjang pembaringan khusus pasien VIP tersebut.
“Sayang, tetaplah berbaring,” pinta Dewanti.
Elvira menahan posisi setengah bangun, lantas merasakan sesuatu terjadi pada salah satu kakinya yang terasa kaku disertai rasa sakit.
“Oma, kaki aku,” lirihnya mulai merasa panik takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.
“Kaki kanan kamu mengalami luka yang cukup serius karena ada tulang yang retak. Setelah tindakan operasi yang kami lakukan waktu itu, mungkin untuk sementara kaki kamu tidak bisa digunakan untuk berjalan.” Raldy menjelaskan dengan rasa sesal.
“Apa?!” Elvira merasa terkejut sekaligus merasa pilu hingga membuatnya terisak.
“Sayang.” Dewanti yang memahami perasaannya langsung memeluk untuk menenangkannya lalu segera membantunya untuk berbaring lagi.
“Setelah masa pemulihan, kamu pasti akan bisa berjalan lagi. Untuk sementara menjalani masa itu, sebaiknya menggunakan kursi roda dulu,” pungkas Raldy.
“Ini tidak akan lama kan, Dok?” tanya Dewanti mewakili perasaan Elvira.
Pria itu menghela napas lalu berkata, “Tergantung bagaimana masa pemulihannya, Bu.”
Merasa sudah selesai dengan tugasnya, Raldy pun segera pamit untuk meninggalkan ruangan.
“Oma, apa aku tidak akan bisa berjalan?” tanya Elvira yang masih tidak bisa menerima sepenuhnya kondisinya saat ini.
“Oma mengerti perasaan kamu, tapi kamu jangan panik dulu ya. Kata dokter kan ini hanya sementara. Oma akan lakukan apapun untuk percepatan kesembuhan kamu.”
“Oma, mas Daffin! Bagaimana mas Daffin?” tanya Elvira yang seketika mengingat suaminya itu.
“Dia, masih belum sadarkan diri,” jawab Dewanti terdengar lesu.
“Apa?!” Mendengar itu membuat Elvira turut lesu, badannya terasa lunglai.
Tiba-tiba ia merasakan sangat pusing di bagian kepalanya kala kembali mengingat peristiwa nahas itu.
“Oma, aku mau melihat mas Daffin,” pinta Elvira di sela masih menahan rasa di kepalanya, namun saat ini rasa khawatir yang menyeruak mampu mengalahkan rasa sakit itu.
“Lebih baik kamu istirahat dulu ya, Sayang. Kondisi kamu juga masih sangat lemah. Kamu baru sadarkan diri setelah tiga hari, loh. Kamu tenang saja ya, ada Sakti yang akan menjaga Daffin.”
“Iya, Oma.” Elvira melemaskan diri sembari berbaring walau pikirannya masih saja menyimpan kekhawatiran pada keadaan suaminya.
...----------------...
Masih dalam keadaannya yang lemah, Elvira merasa sangat gelisah karena ia merasa harus melihat langsung bagaimana keadaan Daffin. Mengalami kejadian nahas itu bersama membuat perasaan Elvira sedikit melunak untuknya.
Memang, selama menjalani pernikahan dua tahun belakangan ini, tidak ada perasaan cinta yang tercipta dari Elvira untuk suaminya. Namun pikiran tentang kondisi Daffin yang masih belum juga sadar sejak mengalami kejadian itu, membuatnya sulit untuk berbaring tenang di ranjang rawatnya.
Ia juga tidak mengerti apa yang dirasakannya, selama ini ia menutup hati untuk suaminya karena memang merasa sangat sulit untuk bisa mencintai seorang pria.
Pada saat Daffin memintanya untuk menikah dengannya pun, Elvira berkali-kali menolak. Namun kegigihan Daffin yang sangat menginginkannya, akhirnya membuat Elvira sedikit luluh karena kehadiran Daffin yang menawarkan kebahagiaan serta kehidupan penuh kemewahan dan kekuasaan untuknya yang memang sedang mengalami permasalahan pelik dalam hidup kala itu.
...----------------...
Elvira melirik ke arah luar jendela yang hanya menampakkan pekatnya malam, ini sudah beberapa jam sejak ia tiba-tiba sadarkan dari setelah beberapa hanya terpejam diam. Setelah merasa cukup mendapat asupan nutrisi dari cairan infus dan makanan, ia merasa sedikit lebih bertenaga.
Dilihatnya di salah satu sudut ruangan tampak Nevan—yang merupakan adik dari suaminya saat ini sepertinya sudah tertidur lelap di sebuah sofa panjang.
Sejak ditugaskan oleh Dewanti untuk turut menjaga Elvira, pria yang hampir seumuran dengannya itu belum juga meninggalkan ruangan ini.
Elvira tidak terlalu akrab dengannya karena Nevan selama ini memilih tinggal di luar negeri dan baru dalam seminggu ini ia kembali, itu pun atas permintaan Daffin—sang kakak yang sangat ingin bertemu dengannya dan berharap agar Nevan bisa kembali tinggal disini untuk membantu mengurus Arkatama grup yang saat ini dipimpin oleh Daffin.
Pembawaan Nevan yang kerap bersikap dingin dan cuek membuat Elvira terkadang tidak ingin terlibat dengannya, meski sesekali ia dan Nevan pernah berbincang singkat dan mencoba akrab karena terikat hubungan kekerabatan sebagai ipar.
Tanpa pikir lagi, akhirnya Elvira berinisiatif saja untuk bangkit, tetapi ia hanya bisa beralih ke posisi duduk. Ia harus mendapat bantuan seseorang jika hendak pergi kemana-mana mengingat kondisi kakinya.
Dalam situasi seperti ini, Elvira merasa ragu memanggil adik iparnya itu untuk meminta tolong. Apalagi ia sudah dalam keadaan tidur karena banyak menghabiskan waktu untuk menjaganya disini.
Elvira mencoba untuk menggerakkan kakinya, ia merasa sangat kesulitan karena masih ada rasa sakit yang dirasa. Saat perlahan kakinya hampir menyentuh lantai, ia kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh membuatnya mengaduh kesakitan.
Nevan yang terbangun karena mendengar suara Elvira langsung menoleh dan terkejut melihat kakak iparnya sudah tersungkur di lantai.
Nevan yang terlihat khawatir lalu bergegas menghampiri. "Kamu tidak apa-apa? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak apa-apa," jawab Elvira.
"Biar aku bantu." Nevan langsung mengangkat tubuh Elvira untuk membaringkan kembali ke ranjang rawat.
“Nevan, aku mohon. Izinkan aku melihat mas Daffin,” pinta Elvira memohon padanya.
Sorot mata dari pria tersebut langsung berubah dan menatapnya dingin. “Ini sudah malam, lebih baik kamu banyak istirahat.”
“Aku tidak bisa tidur, aku ingin melihatnya. Aku sangat mengkhawatirkannya, bagaimana keadaannya sekarang?” Perkataan Elvira terdengar lirih.
“Khawatir? Aku baru tahu kalau kamu juga bisa mengkhawatirkan kak Daffin selain mengabaikan perasaannya," sahut Nevan dengan nada terkesan marah.
“Apa maksud kamu?”
“Berhenti berpura-pura! Berhenti untuk mencari muka apalagi di depan oma, perasaan oma terlalu halus untuk dibohongi.” Nevan rupanya benar-benar menunjukkan kemarahannya yang sejauh ini ia simpan.
“Apa? Beraninya kamu bicara seperti ini di depan kakak ipar kamu, kamu tidak tahu apa-apa.” Elvira jadi merasa kesal karena perkataan Nevan.
“Justru karena aku tahu apa yang kamu lakukan kepada kak Daffin selama ini, aku tidak akan membiarkan kamu sedikit pun menyakitinya,” tegas Nevan, lalu ia segera kembali ke sofa dan merebahkan diri.
“Ada apa dengannya?” Elvira tampak membingung sendiri.
Bersambung ...
Flashback On
Sehari sebelum peristiwa kecelakaan.
Elvira membuka mata dan mendapati dirinya yang kini berada dalam pelukan suaminya yang masih terlelap. Seperti biasanya, mereka cukup sering melakukan rutinitas keintiman layaknya pasangan suami istri.
Masih dengan tubuh polosnya yang hanya dibaluti selimut, ia segera bangkit dengan memindahkan tangan Daffin dengan hati-hati.
Elvira melihat ke arah pakaian jenis night gown berbahan satin dihiasi sedikit renda yang saat ini berserakan di lantai, lantas mengambilnya lalu mulai mengenakan kembali pakaiannya.
Tanpa ia sadari ternyata Daffin turut bangun dan langsung ikut duduk memperhatikannya.
Dalam diamnya, Daffin memandangi punggung mulus yang selalu membuatnya berdesir, sudut bibirnya tersenyum mengingat betapa bahagianya ia karena beberapa jam yang lalu hasratnya dipuaskan oleh istrinya.
Tiba-tiba Daffin meraih baju yang hendak Elvira kenakan dan membuat Elvira terkejut.
“Sini aku bantu,” ujar Daffin memakaikan kain berwarna hitam tersebut hingga kini sudah menutupi punggung istrinya.
“Apa aku membangunkan kamu, Mas?” tanya Elvira sembari melirik sekejap sembari membenarkan pakaiannya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Terima kasih ya untuk tadi malam,” ucap Daffin.
“Kamu selalu mengucapkan kalimat yang sama, itu adalah kewajibanku,” sahut Elvira.
Tanpa ia tahu jika Daffin masih saja memandangnya dengan nanar. Meski kerap melakukan hal serupa, namun Daffin merasa hal tersebut tak lantas membuat Elvira terlihat mencintainya.
Memang dar awal, Daffin yang tergila-gila pada kecantikannya dan ia tahu betul saat itu Elvira memiliki hati yang masih beku terhadap seorang pria. Daffin hanya berkeyakinan jika seiring berjalannya waktu istrinya itu akan membuka hati untuknya.
Namun sepertinya perlakuan Elvira terasa sama saja selalu datar kepadanya , tidak ada keromantisan yang tercipta pada hubungan mereka meski Daffin selalu memperlakukannya layaknya seorang ratu. Bagi Daffin, selama ini Elvira hanya menjalankan tugasnya sebagai pendamping hidup tanpa mau memberi hatinya.
Detik berikutnya, Elvira dikejutkan oleh Daffin yang tiba-tiba memeluknya dari belakang, Daffin meletakkan dagu pada bahu Elvira sesekali menghirup aroma leher jenjang istrinya itu.
“Sayang, kamu tahu kan betapa selama ini aku sangat menginginkan kamu,” kata Daffin dengan lirih.
“Iya, aku tahu.”
“Aku selalu merasa beruntung karena memilikimu di sisiku.”
“Iya, Mas.”
“Elvira. Pernah kah, sekali saja. Aku ada dalam hati kamu?”
Elvira tertegun mendengar pertanyaan yang baru keluar dari mulut Daffin selama masa pernikahan mereka itu.
“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?” taya Elvira balik.
Daffin melepas pelukannya. “Lihat aku,” pintanya.
Elvira menurut saja dan saat ini mereka sudah dalam posisi saling berhadapan.
“Elvira, cintai aku. Entah hari ini, esok, atau lusa. Bisakah kamu mencoba untuk mencintaiku? Atau setidaknya bisakah kamu mengatakannya meski itu hanya sekedar ucapan saja?”
Elvira yang merasa jantungnya terhantam oleh pertanyaan itu langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Kesal dan marah, ia memaki dirinya sendiri dalm hati. Selama ini ia sudah menyerahkan dirinya kepada Daffin demi keluar dari kisah kehidupannya dulu yang pelik, ia hanya perlu waktu lebih lama lagi untuk bisa benar-benar menyerahkan hati dan perasaannya karena sampai saat ini ia masih takut untuk mencoba mencintai seseorang.
Elvira hanya berkeyakinan dalam diri jika lebih menggunakan hati dan perasaan, hal itu hanya akan membuatnya lemah dan tidak akan membantunya bertahan dalam hidupnya sekarang mengingat di sisi lain ada mama mertuanya yang membenci kehadirannya di keluarga ini.
“Tatap aku, aku bahkan sanggup memberikan segalanya. Tak bisakah kamu menyerahkan hati kamu untukku? Aku ingin bersama kamu bukan karena hanya ingin memiliki tubuh kamu. Aku ingin kita menjadi pasangan yang saling mencintai, mengisi hati satu sama lain,” ungkap Daffin.
Ia merasa lega karena keinginan yang selama ini sering ia tahan akhirnya bisa ungkapkan, ia hanya merasa terlalu lama menunggu Elvira.
Elvira tidak mengerti dengan perasaannya sendiri, untuk pertama kalinya ia mendengar Daffin mengatakan hal ini. Menatap mata Daffin kali ini rasanya sangat berbeda, tatapan mata yang menyiratkan penuh cinta dan ketulusan itu membuat hati Elvira mampu bergetar.
“Apa selama ini aku telah melampaui batas? Sampai aku tidak pernah menyadari ketulusannya?” benaknya.
“Maaf,” ucap Elvira dengan raut kesedihan menyiratkan ada sebuah penyesalan di hatinya.
Daffin yang merasa terlalu mencintainya bahkan tidak sanggup melihat kesedihan itu bersarang di raut wajah istrinya.
“Sudah lah, aku yang harus minta maaf atas ketidaksabaran ku. Elvira, aku tidak apa-apa. Kalau kamu maunya kita terus seperti, aku sungguh tidak apa-apa. Maaf kan aku, aku tidak bermaksud memaksa kamu, aku juga tidak ingin dengan perkataanku tadi malah jadinya akan membuat kita berjarak.” Daffin lalu memeluknya.
“Kenapa kamu harus memperlakukanku seperti ini? Kamu tidak seharusnya mencintaiku seperti ini.” Elvira berucap dalam hati seraya mempererat pelukannya pada Daffin.
“Besok aku mau ambil libur, kita ke resort milik oma, yuk. Jalan-jalan sekalian aku mau refreshing,” ajak Daffin yang saat ini sudah melepas pelukannya. Elvira hanya mengiyakan saja dengan penuh semangat.
Flashback Off
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Elvira memegang erat tangan Daffin yang lemah dengan perasaan seakan diselimuti sembilu. Melihat langsung bagaimana keadaan suaminya saat ini yang terbaring tidak berdaya dengan bantuan alat-alat medis yang terpasang ditubuh, membuat rasa khawatirnya semakin menyeruak.
Baru saja ia ingin mengungkapkan perasaannya yang sudah mulai terbuka untuk Daffin, tapi kini ia harus mendapati kenyataan yang menyedihkan ini.
“Dia bahkan bernapas dengan alat bantu. Mas Daffin, kamu harus bertahan. Tolong segera bangun, aku mau kita memulai lagi semuanya dari awal. Tolong maafkan aku,” tutur Elvira yang kini terisak sambil menempelkan tangan Daffin pada pipinya.
Berada dalam keadaan ini, rasa sesal yang berkecamuk di hati Elvira pun semakin menjadi. Elvira tak hentinya memohon kepada Daffin agar segera bangun karena saat ini Daffin telah menjadi seseorang yang sangat berarti baginya.
Merasa sudah puas menjenguk suaminya, Elvira melepaskan tangan Daffin.
“Suster, kita keluar sekarang,” pinta Elvira kepada seorang perawat yang sejak tadi menemaninya mulai dari kamar rawatnya.
“Baik, Bu.”
Segera perempuan berseragam itu membantu mendorongkan kursi roda yang saat ini membawa Elvira karena untuk sementara ia tidak bisa berjalan dengan normal. Keadan seperti ini tentu saja membuat Elvira merasa kesusahan, tapi ia masih mencoba menerima keadaan.
Sebelumnya Elvira mencuri waktu memaksakan diri pergi kesini karena saat itu tidak ada keberadaan Nevan di ruang rawatnya, meski Nevan sudah memperingatkannya untuk tidak dulu beranjak dari ranjang rawat.
Elvira bahkan memarahi dua orang pengawal yang berjaga di depan ruang rawatnya yang tadi sempat melarangnya untuk pergi kemana-mana. Yang terpenting baginya hari ini ia bisa bertemu dengan Daffin walau keadaannya sendiri masih belum pulih sepenuhnya.
...----------------...
Saat sudah di ambang pintu ruang rawat Daffin, Elvira heran sekaligus agak terkejut karena sudah ada seorang perempuan yang berdiri terpaku tidak jauh dari depan pintu menunduk dengan tatapan kosong, bahkan ia sampai tidak menyadari keberadaan Elvira.
Sedangkan Elvira masih memperhatikannya dengan lekat, sesuatu yang ia sadari bahwa perempuan muda dan berparas cantik itu nampak menitikkan air mata penuh kedukaan.
Elvira mencoba mengingat sesuatu terkait memori tentang sosok perempuan itu yang rasanya pernah ia temui beberapa kali, Elvira termasuk orang yang sulit mengingat siapa saja yang pernah ia temui karena tidak terlalu suka memperhatikan orang lain.
Detik berikutnya, ia seperti sudah mengingatnya diiringi gerakan perempuan tersebut yang buru-buru mengusap air matanya karena saat ini ia sudah melihat keberadaan Elvira.
Bersambung ...
Perempuan itu melempar senyum ke arah Elvira dan segera menambah langkah untuk menghampiri.
“Bu Elvira,” sapanya dengan ramah.
“Kamu?” Elvira ingat pernah melihatnya beberapa kali berada di kantor suaminya.
Karena jarang mau mengurusi pekerjaan Daffin, Elvira memang tidak mengetahui siapa saja orang yang bekerja dengan suaminya, kecuali Sakti si asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Daffin.
“Saya Anya, sekretarisnya pak Daffin.” Perempuan cantik yang memiliki rambut panjang itu memperkenalkan diri.
“Oh, sekretaris? Ada urusan apa?” tanya Elvira.
“Saya hanya ingin mengetahui bagaimana perkembangan kondisi pak Daffin, Bu.”
“Lalu kenapa belum masuk?”
“Saya kebetulan baru saja sampai,” jawab perempuan yang bernama Anya tersebut.
Tiba-tiba pandangan Elvira teralihkan oleh Nevan yang baru datang entah darimana.
“Ada urusan apa?” tanya Nevan kepada Anya.
“Saya Anya, sekretaris pak Daffin. Saya mau mengetahui perkembangan kondisi pak Daffin karena sejak pak Daffin kecelakaan banyak sekali pembatalan dan perubahan jadwal pertemuan dengan beberapa rekan bisnisnya,” ujar Anya menjelaskan.
"Nanti kita bahas," sahut Nevan.
Lalu ia mengalihkan pandangan kepada Elvira. “Kamu kenapa keluar? Bukan kah sudah kuingatkan untuk tidak meninggalkan ranjang rawat kamu."
“Aku hanya ingin menemui suamiku,” jawab Elvira santai.
“Suster, tolong antar Ibu Elvira kembali ke ruang rawatnya,” pinta Nevan, dan langsung diiyakan oleh perawat tersebut.
...----------------...
Sebuah pintu ruangan terbuka dan ada seorang yang masuk membuat perhatian Elvira teralihkan. Masih berada di kursi rodanya sejak tadi kembali ke kamar rawatnya, ia menoleh dan sudah ada Raldy yang datang sepertinya mau memeriksa keadaannya.
“Kamu sendirian? Bagaimana keadaan kamu hari ini? Sudah merasa jauh lebih baik?” tanya Raldy dengan ramah tanpa menghilangkan senyuman.
“Aku merasa bosan disini, Kak,” ujar Elvira menyahut dan membuat pria itu menatapnya lagi. Sungguh ia terkesan karena Elvira tidak pernah melupakan panggilan itu untuknya.
Raldy kembali melempar senyuman seraya berkata, “Lama tidak bertemu. Senang bisa bertemu kamu lagi, sepertinya kamu hidup dengan baik sejauh ini.”
“Aku juga senang bisa bertemu Kak Raldy lagi.”
Raldy berjongkok dan mensejajarkan posisi dengan Elvira. “Syukurlah kamu bisa melewati masa-masa kritis kamu setelah kecelakaan itu, kamu bertahan dengan sangat baik.”
“Bagaimana kabar Ibu dan Kak Asty?” tanya Elvira tiba-tiba, kali ini dengan raut wajah yang sendu kala mengingat dua nama itu.
Sejak mengambil keputusan untuk menikah dengan Daffin, Elvira memutuskan hubungan dengan ibu dan kakaknya itu. Elvira berpikir karena hal itu mereka mungkin akan sangat membencinya dan sudah melupakan semua tentangnya.
Raldy adalah orang yang paling dekat dengan keluarga mereka, ia menjalin pertemanan dengan Asty—kakaknya Elvira sejak bertahun lamanya dan sedikit banyaknya Raldy mengetahui tentang yang terjadi pada keluarga mereka.
Raldy bahkan mengetahui selama ini tidak pernah tercipta hubungan yang baik antara Elvira dan ibunya.
“Mereka baik-baik saja. Apa kamu tidak ada niatan untuk menjenguk ibu Widya? Sekitar satu mingguan yang lalu ibu kamu dirawat disini karena maagh akut yang dideritanya.”
“Ya ampun, ibu. Apa dia tidak pernah memperhatikan kesehatannya.” Elvira sangat terkejut sekaligus sedih mendengarnya.
Ia pergi bukan untuk melupakan mereka, tapi ada hal yang benar-benar membuatnya merasa harus meninggalkan serta hidup jauh dari mereka serta membiarkan mereka terus membencinya.
Elvira kini merasa benar-benar sangat jauh dengan keluarganya itu. Meski ia telah mengetahui sebuah kebenaran tentang mereka, ia tetap tidak bisa semudah itu menghilangkan mereka dari hidupnya. Apalagi mendengar kabar jika ibunya sempat sakit sungguh membuat batinnya merintih karena mengkhawatirkan keadaannya.
“Kalau kamu ada waktu, sesekali jenguk lah kesana. Aku yakin, mereka juga sangat merindukan kamu meski mereka tidak pernah menghubungi kamu. Aku juga yakin mereka sebenarnya hanya menahan diri sama seperti kamu.” Raldy menyarankan.
“Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih pantas memunculkan diri di hadapan mereka, aku hanya ingin mereka melupakanku,” lirih Elvira sembari menahan genangan air di sudut matanya.
Seseorang baru membuka pintu ruangan dan terlihat Nevan masuk namun ia dikejutkan dengan pemandangan di depannya antara dua insan tersebut yang tampak akrab.
Raldy segera membawa diri untuk berdiri dan menyapanya, sedangkan Elvira buru-buru menyeka air matanya sembari membuang muka. Merasa sudah cukup memeriksa pasiennya, Raldy segera permisi.
“Kamu sudah selesai dengan sekretaris itu?” tanya Elvira basa basi.
“Iya, aku kesini hanya memastikan kamu sudah berada di kamar rawat kamu. Istirahat lah, bukannya kata dokter kamu harus banyak istirahat.”
“Nevan, aku bosan berada disini. Aku ingin jalan-jalan,” ujar Elvira.
“Nanti saja.” Nevan lalu mendekat ke arahnya, ia menatap Elvira dengan penuh selidik. “Kamu mengenal dekat dokter itu?”
“Tidak juga," jawab Elvira singkat.
Namun detik ini ia melihat pandangan Nevan penuh selidik terhadapnya, Elvira berpikir akan mengaku saja. "Hanya saja aku memang mengenalnya.”
“Oh ya? Kenapa aku melihatnya agak berbeda?” Nevan masih belum puas dengan jawaban kakak iparnya itu.
“Aku memang mengenal baik dengannya. Kami sudah mengenal sejak lama sebelum aku menikah dengan kakak kamu."
“Aku tahu kamu tidak mencintai kak Daffin.” Sorot mata pria berwajah tampan itu kini menatapnya dengan tatapan sangat dingin. “Bukan berarti kamu bebas bersama pria lain.”
“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya selain hanya sebatas mengenal.” Elvira menegaskan.
Namun Nevan segera meninggalkannya tanpa peduli penegasan dari Elvira.
"Apa? Dia bicara seolah paling tahu tentang hubunganku dengan mas Daffin." Elvira menggumam sendiri sembari melirik ke arah pintu yang sudah tertutup kembali.
...----------------...
Hari kembali berganti.
Hari ini Elvira merasa kondisinya sudah jauh lebih baik. Sambil duduk di kursi roda, yang ia memperhatikan ke arah pria yang baru selesai menyimpan ponselnya sehabis menerima panggilan.
Dari yang Elvira dengar dari kejauhan, sepertinya pria itu baru saja membahas mengenai urusan pekerjaan di kantor.
Sakti, dia adalah orang kepercayaan Daffin sekaligus merupakan teman dekat Daffin karena kebersamaan mereka yang sudah lama terjalin. Sejak Daffin di rumah sakit, dia adalah orang yang paling sibuk mengurus pekerjaan di perusahaan. Dia termasuk orang yang turut dekat dengan Elvira dan paling tahu bagaimana dulu Daffin berusaha mendapatkan Elvira.
“Sakti,” panggilnya.
“Iya, Bu.”
“Kamu sudah sarapan?” tanya Elvira.
“Belum, Bu. Nanti saja.”
“Kamu saparan saja. Aku tidak apa-apa sendirian."
“Tapi Bu.”
“Tidak apa-apa, kamu bersantai saja sambil sarapan. Jangan sampai kamu sakit karena kelelahan berjaga disini, kamu kan juga masih harus mengurus beberapa urusan di perusahaan.” Ucapan Elvira nyaris terdengar sebagai bentuk perhatian.
Akan tetapi ia juga sebenarnya mencari cara agar bisa segera keluar dari ruangan ini. Karena ia sudah tahu pasti jika saat ini Sakti dalam menjalankan perintah dari Nevan yang selalu saja melarangnya keluar dari ruangan ini yang bagi Elvira sungguh membuatnya bosan.
“Baik, Bu. Tapi Bu Elvira tidak apa-apa, kan?” Sakti kembali ingin memastikan.
“Iya, Sakti. Sana, pergilah makan yang banyak.”
Elvira tersenyum lebar sesaat setelah batang hidung Sakti sudah tidak terlihat lagi oleh pandangannya. Elvira hendak menggerakkan sendiri kursi rodanya akan tetapi terasa sedikit kesusahan karena masih ada selang infus di tangannya.
Ia lalu menatap kesal ke arah tiang penyangga kantong infus di sampingnya yang sebenarnya tidak bersalah. Karena ia hendak kabur dari sini, Elvira langsung saja melepas jarum infus yang melekat ditangannya dengan penuh hati-hati, ia mendesis sakit karenanya.
...----------------...
Sementara itu Anya hari ini kembali menjenguk bosnya sedang berada di ruang perawatan, datang dengan dalih mengantarkan beberapa berkas perusahaan yang dipinta oleh Nevan kemarin.
Ia sangat senang bisa melihat Daffin bahkan saat ini ia sedang membantu menyeka wajah Daffin dengan sebuah handuk kecil untuk membuat kulitnya tetap bersih.
“Kamu tahu, Daffin. Meski hubungan kita bagi kamu hanya untuk sesaat, aku tidak bisa semudah itu melupakan apa yang pernah terjadi diantara kita. Sulit sekali melepaskan kamu begitu saja,” ungkap Anya seolah sedang bicara kepada Daffin meskipun ia sadar jika Daffin tak dapat mendengarnya.
Anya menghela napas dan menyeka air matanya yang mau menetes. Ia teringat akan manisnya senyuman Daffin ketika sedang menatapnya juga perlakuan Daffin yang sangat lembut kepadanya.Akan tetapi ia tidak menyangka jika sikapDaffin akan berubah secepat itu.
Saat bekerja pun, Daffin hanya memeperlakukannya layaknya seorang karyawan biasa hingga Daffin tidak pernah mau bicara dengannya diluar tentang pekerjaan.
Anya mengambil ponselnya dan membuka sebuah ruang obrolan pribadinya dengan Daffin, terlihat banyak sekali pesan yang di kirimkannya selama ini namun seakan tidak berarti apapun bagi Daffin, bahkan lelaki itu tidak pernah mau untuk membalasnya setelah memutuskan hubungan mereka secara sepihak.
Anya tersenyum sinis melihat rentetan pesan miliknya yang tak berbalas di ruang obrolan pesan tersebut, ia tak ubahnya seperti seorang peneror yang mengganggu Daffin.
Namun ia baru menyadari sesuatu, mengingat jika hari itu berdasarkan info adalah hari di mana Daffin dan Elvira mengalami kecelakaan, Anya tertegun sejenak melihat isi pesannya yang terkirim pada jam yang berdekatan dengan kejadian itu.
Anya lalu memandang lagi ke arah Daffin dan menyesali tindakannya, ia benar-benar tidak tahu jika saat itu Daffin sedang dalam perjalanan. Ia hanya dapat kabar jika Daffin mengambil cuti dua hari untuk pergi berlibur dengan istrinya dan itu membuat Anya sangat kesal.
Anya kembali menyimpan ponselnya, ia berharap jika teror telepon dan pesan darinya waktu itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyebab kecelakaan Daffin. Anya lalu menghela napas sejenak untuk menenangkan diri dan meneruskan untuk menyeka wajah Daffin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Tak berselang lama Elvira sudah tiba di kamar Daffin. Ya, tujuan awalnya ketika keluar dari kamarnya hanyalah pergi melihat suaminya.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!