Seorang wanita muda berjalan dengan tergesa menuju ruangan CEO yang ada di perusahaan yang baru ia datangi, tanpa mengetuk pintu perempuan tersebut membuka kasar pintu ruangan CEO.
Dia berjalan menghampiri pria paruh baya yang tengah duduk di meja kerjanya yang kini melihat ke arah pintu yang terbuka dengan seorang wanita yang dia kenali.
Wanita tersebut duduk di kursi yang berada tepat di depan meja pria yang kini menatapnya. “Maksud Papa apa?” Wajah wanita itu merah menahan amarah, bagaimana tidak pria di hadapannya mendaftarkan dirinya di fakultas Bisnis.
Pria yang masih duduk dengan tenang di meja kerjanya adalah Kuswanto, CEO di perusahaan itu. Pria itu memperhatikan anaknya yang mulai protes atas keputusannya. Wanita di hadapannya adalah putri semata wayangnya bernama Inari.
“Jawab Pa!” bentak Inari, kesabarannya sudah habis. Inari mengatur nafasnya, mencoba menenangkan emosinya.
Kuswanto merasa Inari sudah sangat keterlaluan, sifatnya tidak mencerminkan anak seorang CEO. Selama ini Kuswanto menuruti semua keinginan anaknya, tapi kali ini Inari harus mau mengikuti keinginannya.
“Tidak sopan kamu!”
Inari berdecap kesal, “Inari sudah bahas ini, Inari mau ambil seni, kenapa Papa malah mendaftarkan Inari di kelas bisnis.”
“Kamu harus masuk bisnis, dan menggantikan kedudukan Papa!”
Helaan nafas keluar dari mulut Inari, “Kalau Papa masih memaksa Inari untuk menggantikan Papa, lebih baik Inari pergi dari rumah!” Inari mencoba memberi ancaman.
Dia tidak suka bisnis, Inari lebih suka bermain musik atau kesenian lainnya.
Kuswanto bangkit dari duduknya, matanya menatap Inari dengan tatapan tajamnya. Kuswanto ingin tahu seberapa nekat Inari, selama ini Inari selalu di manjakan dengan berbagai fasilitas yang di sediakan nya.
“Oke, silahkan pergi!” tegas Kuswanto.
Mata Inari terbelalak mendengar ucapan tegas yang keluar dari mulut papanya. Tapi dia tidak boleh lemah, Inari tidak ingin duduk dan membaca berkas seperti Papanya karena itu adalah kegiatan yang sangat membosankan menurutnya.
Inari bangkit dari duduknya, memberi tatapan permusuhan pada Kuswanto. “Oke, Inari akan pergi!”
Inari memalingkan wajahnya, dia berjalan hendak melangkah untuk keluar dari ruangan Papanya. Kuswanto tersenyum tipis melihat Inari yang bersemangat untuk keluar dari ruangannya.
“Berhenti!”
Inari menghentikan langkahnya, dia membalikkan tubuhnya menatap Papanya. Dalam hati Inari bersorak gembira ternyata Papa bisa dengan mudah membatalkan keinginannya hanya karena Inari akan kabur dari rumah.
“Kartu ATM, kunci mobil, dan ponselmu kembalikan. Itu semua milik Papa, kalau kamu mau pergi silakan dengan tangan kosong.”
Mulut Inari menganga, mendengar rentetan kalimat yang di ucapkan Papanya. Sorak gembira di hatinya musnah seketika, Inari mulai berdebat dengan pikirannya. Dia tidak mungkin meninggalkan rumah tanpa membawa benda berharga miliknya.
“Kenapa, kau takut jadi gelandangan?” ucap Kuswanto dengan tenang sambil menunggu reaksi Anaknya.
Inari mengepalkan tangannya, dia merasa di remehkan oleh Papanya. “Enggak, Inari enggak takut.” Ucap Inari penuh keyakinan untuk membuktikan pada Papanya kalau dia bisa hidup tanpa bantuan fasilitas Papanya.
Dia berjalan mendekati Papanya, mengeluarkan kunci mobil dari saku jaketnya lalu menyimpannya di atas meja kerja Kuswanto.
“Oke Inari kamu pasti bisa,” ucap Inari di dalam hatinya untuk menyemangati dirinya.
Inari mengeluarkan dompet yang ada di dalam tasnya, memberikan semua kartu ATM yang dia pegang. Inari tersenyum gembira, karena dewi keberuntungan berpihak padanya. Sebelum datang ke ruangan Papanya Inari sempat menarik uang sebesar satu juta rupiah.
Kuswanto memperhatikan dompet Inari yang sedikit membengkak karena ada uang lembaran yang sedikit menonjol. “Uang tunainya juga, itu milik Papa.”
Inari membelalakkan matanya, Papanya ini benar-benar tidak memiliki belas kasihan padanya. Inari mengeluarkan uang tunainya juga tapi tidak semua, dia sengaja menyisihkan nya.
“Semua!”
Inari mengerucutkan bibirnya, dengan berat hati Inari mengeluarkan semua uang tunai miliknya tanpa menyisakannya satu pun. Lalu meletakkannya dengan kasar di meja kerja Papanya, “Ini sudah semua.”
“Ponsel.”
Inari mencoba mencari Alasan, jika semua uang dan ATM di sita oleh Papanya bagaimana caranya Inari bisa meminta bantuan pada teman-temannya. “Ponselku ketinggalan di rumah Ajeng,” ucap Inari memberi Alasan.
Kuswanto mengeluarkan ponselnya lalu menekan nomor ponsel Inari. Dia tersenyum mendapati nada ponsel milik Inari yang berdering di tengah keheningan.
Inari melirik sebal pada Papanya, kali ini dia tidak ingin mengakui pria menyebalkan yang ada di depannya ini adalah papa kandungnya. “Dasar Papa tiri,” gerutu Inari di dalam hatinya.
Dengan berat hati Inari mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, lalu menyimpannya di atas meja kerja Papanya.
“Silakan pergi,” ucap Kuswanto mengusir Inari dengan nada sombongnya.
Inari membalikkan tubuhnya dia berjalan dengan mengentak-entakkan kakinya. Dia benar-benar kesal dengan sikap yang di tunjukan Papanya, Inari membuka pintu ruangan Papanya dan berjalan ke luar ruangan CEO.
Kuswanto tersenyum melihat tingkah yang di tunjukan Inari, dia yakin Inari akan kembali ke ruangannya dalam hitungan menit. Kuswanto benar-benar mengenal sifat anak semata wayangnya itu, Inari tidak akan pernah bisa hidup tanpa kemewahan.
Bahkan Kuswanto tidak pernah merasa sayang dalam mengeluarkan uang berapa pun demi membuat Inari bahagia. Saat ulang tahun Inari yang ke dua puluh saja Kuswanto mengeluarkan uang miliaran untuk menggelar pesta mewah untuk Inari.
Inari berjalan menuju lift, lalu masuk ke dalam lift dan turun di lobi. Inari berjalan keluar menuju parkiran, di tatapnya mobil lamborgini kesayangannya dengan perasaan sedih.
Bahkan air mata Inari berhasil menetes, namun dengan cepat Inari menghapusnya. “Dadah Cici, Inari harus pergi dulu,” ucap Inari sambil melambaikan tangannya ke arah mobil berwarna merah muda di hadapannya. Cici adalah nama mobil kesayangan Inari, ini adalah hadiah ulang tahun dari Papanya yang baru beberapa bulan dia pakai.
Inari berjalan meninggalkan area tempat parkir dengan tubuh lesunya. Namun dia paksakan untuk berjalan tanpa arah tujuan. Langkah Inari sangat pelan, dia memikirkan beberapa kemungkinan yang harus dia lakukan untuk menjalani hidupnya.
Inari tidak pernah bekerja sama sekali, untuk apa harus bekerja jika Papanya bisa menyediakan semua keinginannya. Inari mengerucutkan bibirnya, dia bingung harus pergi ke mana. Semua rumah teman-temannya memiliki jarak yang cukup jauh dari kantor Papanya.
Andai saja Kuswanto menyisakan sedikit uang untuk Inari membayar ongkos taksi mungkin Inari tidak akan kelelahan seperti ini.
Di bawah terik mata hari yang menyengat, Inari sudah merasa sangat kepanasan. Dia tidak bisa pergi seperti ini, dia memutar balik langkahnya. Dia merasa tidak sanggup untuk menghidupi dirinya sendiri, Inari memilih menyerah.
Tidak ada ide sama sekali di kepalanya, dengan langkah tergesa-gesa Inari berjalan menuju perusahaan Papanya. Namun setelah sampai di area parkir Inari menatap gedung tinggi di depannya. Inari tidak ingin duduk di belakang meja hanya membaca berkas-berkas yang harus di pelajarinya.
Inari menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin menjadi CEO seperti papanya. Yang setiap pagi berangkat dan pulang malam hanya untuk menghadapi berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya.
Sementara di ruangan kerja pria paru baya bernama Kuswanto sedang tersenyum melihat tubuh anaknya yang kembali menghampiri perusahaannya. “Kamu tidak akan bisa melepas kemewahan ini Inari,” ucap Kuswanto dengan senyum merekah.
Inari menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin kembali ke sana. Setelah memantapkan hatinya, Inari kembali meninggalkan perusahaan Papanya.
Siang itu sinar mentari cukup menyengat, dan untuk pertama kalinya Inari berada di bawah sinar matahari lebih dari sepuluh menit.
Tubuhnya terasa gerah luar biasa, keringat bercucuran dari kepala hingga kakinya. Dengan pelan Inari menghapus keringat di dahinya menggunakan punggung tangan.
“Haduh aku harus ke mana?” gumam Inari. Dia sangat bingung, tidak ada teman atau saudara yang rumahnya dekat dengan perusahaan Papanya.
Inari mengusap wajahnya kasar, kakinya sudah lelah. Ia sudah tidak punya tenaga untuk berjalan. Helaan nafas sudah beberapa kali keluar dari mulutnya.
Inari menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali, dia benar-benar kebingungan. Kakinya terasa pegal, dia merasa benar-benar menjadi gelandangan yang duduk di trotoar.
Satu butir bening turun dari pelupuk matanya, namun dengan cepat Inari menghapusnya. Pandangannya tertunduk ke kakinya. “Papa jahat banget,” batin Inari.
Sekelebat angin membawa sampah bekas makanan ke hadapannya, “Iya aku tahu, sekarang aku sudah jadi sampah masyarakat. Tak usah menyindir kaya begitu,” gerutu Inari.
Inari menopang dagunya, ia membayangkan ada pangeran tampan yang mengulurkan tangan untuk membantunya. “Oppa saranghae ,” ucap Inari dengan wajah memlelas.
“Permisi nona, kakinya menghalangi pelanggan saya yang mau parkir.”
Inari mengarahkan wajahnya ke arah kanan, ternyata bukan oppa seperti dalam bayangannya. Ia mengerucutkan bibirnya, semua bayangannya sirna sudah.
Tiiiiin
Suara klakson panjang membuat Inari terlonjak dari tempatnya, karena terkejut.
“Minggir sana!” ketus seorang pria yang ingin memarkirkan motor sport yang sedang ia naiki.
Dengan wajah kesalnya Inari bangkit dan memberikan tatapan permusuhan pada pria yang menyebalkan bagi Inari.
“Sombong banget jadi orang,” gerutu Inari di dalam hatinya. Ia berjalan menjauh dari sana. Sampai di persimpangan jalan, Inari menunggu lampu penyebrangan berubah menjadi hijau.
Saat menunggu pandangannya tertuju pada sebuah bangunan berlantai dua di seberang jalan yang tampak ramai.
“Yayasan penyalur asisten rumah tangga Cinta Kasih,” ucap Inai membaca papan yang terdapat di area bangunan itu.
Lampu penyebrangan sudah hijau Inari masih bergulat dengan hatinya, dia tidak sudi menjadi seorang pelayan. Tapi dia juga tidak tahu harus tinggal di mana, Inari tidak ingin tinggal di jalanan dan menjadi gelandangan sungguhan.
Inari turun tanpa melihat bahwa lampu penyebrangan sudah berubah merah, dia hampir saja tertabrak oleh pengendara mobil papan kelas atas yang kini hampir menabrak tubuhnya.
Nafas lega keluar dari mulut Inari melihat tubuhnya serta bagian depan mobil itu hanya berjarak lima centimeter. “Hah selamat,” ucap Inari sambil mengusap dadanya yang berdebar.
“Kamu baik-baik saja?”
Inari menoleh ke asal suara. Ternyata pria yang membawa mobil itu sangat tampan, rambutnya rapi wajahnya mirip oppa korea. Inari benar-benar speacles melihatnya, bagaikan air segar di gurun sahara yang membasahi tubuhnya yang kepanasan.
“Hey!”
Inari terlonjak kaget saat pria itu menepuk bahunya. “Iya kenapa?” tanya Inari.
“Apa ada yang luka?” Pria itu kini memperhatikan tubuh Inari.
Inari menggelengkan kepalanya, “Aku enggak papa,” jawab Inari sambil tersenyum.
Tanpa bersuara pria itu kini masuk kembali ke dalam mobilnya. Inari naik ke atas trotoar agar tidak menghalangi jalan pria itu. Inari memperhatikan bagian belakang mobil pria itu yang kini melaju dan hilang dari pandangannya.
Inari menunggu lampu penyebrangan kembali hijau. Setelah lampu berubah ia berjalan menuju rumah yayasan yang ada di ujung jalan.
Sebelum masuk Inari di sapa oleh sang penjaga, “Ada perlu apa nona?”
“Saya ingin melamar pekerjaan pak,” Jawab Inari sambil tersenyum ramah.
“Mari saya antar.”
Inari mengikuti penjaga tersebut hingga masuk ke meja resepsionis.
“Ada yang mau melamar pekerjaan.”
“Baik Pak. Silakan di isi datanya dulu.” Resepsionis memberikan lembaran data diri yang harus di isi.
Inari menerima dan mulai mengisinya, dia hanya menyematkan pendidikan terakhirnya SMA.
Resepsionis itu memperhatikan baju yang Inari pakai, terlihat baju dari desainer ternama. Tapi ia menghiraukan, ‘mana ada orang kaya mau menjadi pelayanan. Mungkin hanya mirip saja bajunya, atau barang kw’ begitu pendapatnya.
“Ini Bu.” Inari memberikan formulir tersebut pada resepsionis.
Resepsionis tersebut membaca formulir yang sudah di isi Inari. Namun perhatian wanita itu terkalihkan saat seorang wanita paru baya menghampiri meja resepsionis.
“Wita bagaimana ini, kenapa Siti tidak bisa di hubungi. Harusnya hari ini dia sudah mulai bekerja di rumah majikannya.”
Perempuan resepsionis yang di panggil dengan nama Wita tampak berpikir. “Bagaimana Bu, semua kan sudah mendapatkan tempatnya masing-masing. Ada penganti pun tidak mungkin bisa hari ini sampai, karena pengganti ini berada di luar kota.”
“Saya saja Bu, yang bekerja di sana. Saya siap.” Inari mencoba peruntungan, dengan menjadi pelayanan setidaknya dia memiliki tempat tinggal. Dia tidak ingin tidur di kolong jembatan atau di depan ruko-ruko yang sudah tutup.
“Memangnya kamu sudah memiliki pengalaman?”
“Saya sudah 2 tahun bekerja menjadi pelayanan.” Inari memberikan jawaban palsu, selama ini bukan ia menjadi pelayan tapi Inari menjadi nona dengan beberapa pelayanan yang membantu aktivitasnya.
Setidaknya Inari sedikit tahu bagaimana memperlakukan majikan, jika dia benar-benar menjadi pelayanan sungguhan.
“Kamu ikut saya!”
Di dalam hati Inari bersorak gembira ternyata dewi keberuntungan sedang berpihak padanya. Meskipun jadi hanya bekerja menjadi pelayan, setidaknya dia tidak menjadi gelandangan dan sampah masyarakat.
Inari di antara oleh supir kantor untuk sampai di rumah majikannya. Inari tersenyum pada pria penjaga keamanan rumah.
Inari memberikan senyum ramahnya, “Permisi pak, saya pelayan yang di akan bekerja di rumah ini.”
“Surat tugasnya?“
Inari mengeluarkan amplop yang di berikan oleh perempuan paruh baya yang menjadi malaikat penolongnya.
Penjaga tersebut melirik ke arah perempuan yang sedang menyiram tanaman. “Minah”
Merasa namanya di panggil perempuan bernama Minah itu menghampiri Supri penjaga gerbang.
“Ada apa?”
“Ini pelayan baru untuk tuan Arzan dan tuan Bara.”
“Ayo mbak ikut saya,” ucap Minah dengan senyuman gembira, dia memiliki teman baru dan tidak sendirian lagi.
Inari mengikuti perempuan bernama Minah yang masuk ke rumah besar yang ada di hadapannya. Tidak terlalu besar, hampir sama dengan rumah milik Papa Inari.
Inari menghentikan langkahnya karena terkejut melihat dua orang yang dia temui di jalanan tadi ternyata majikannya.
“Tuan Arzan ini pelayanan dari yayasan.”
Melihat dua tatapan pria itu kini mengarah padanya, Inari membungkuk memberi hormat kepada tuannya.
Inari refleks melakukan itu, instingnya yang berbicara untuk melakukan itu, mungkin karena selama ini pelayannya selalu melakukan hal seperti itu jika bertemu dengan Inari dan tanpa sadar ingatannya merekam itu semua.
“Perkenalkan dirimu!”
Suara tuan Arzan terdengar tegas dan jelas di telinga Inari. Dia cukup terkejut perubahan Arzan saat bertemu di simpang jalan, tapi Inari berusaha menutupinya dengan tersenyum ramah.
“Nama saya Inari.”
Pria yang sedang duduk tertarik menimpali ucapan pelayanan barunya. “Terlalu sulit memanggil namamu, mungkin akan lebih baik jika namamu di panggil Riri. Bagaimana bagus tidak ka?”
Di balik senyumnya rasanya Inari ingin mengumpat kesal pada pria songong yang sedang duduk santai di tempatnya. Bagaimana tidak kesal pria itu yang seenak jidat mengusir Inari di tempat parkir saat duduk.
Arzan tidak ingin memberikan pendapat yang tidak penting baginya. Ia berjalan masuk ke ruangan yang tidak jauh dari sana.
Bara yang mengerti sikap kakaknya memilih diam, dia fokus padan ponselnya membalas pesan kekasihnya.
Inari kembali menundukkan kepala saat Arzan kembali menghampirinya. “Tugas kamu sudah tercatat di sini, semuanya. Untuk hari ini kamu boleh istirahat, besok pagi lakukan semua tugasmu dengan baik.”
“Baik tuan,” Jawab Inari.
Lewat tatapan matanya Arzan meminta Minah untuk mengantarkan Inari ke kamar yang di sediakan untuk semua orang yang bekerja di rumah ini.
“Saya permisi tuan,” Minah pamit sebelum menjalankan perintah tuannya.
Inari membungkuk tanda hormat kepada Arzan, sebelum berjalan mengikuti Minah.
Setelah sampai di kamarnya, Inari langsung tidur karena kelelahan. Ia terbangun saat jam di kamarnya menunjukkan pukul tiga dini hari.
Ia melirik nakas yang adan di sebelah tempat tidurnya, Inari mengambil map yang di berikan Arzan.
Ternyata tidur lama tidak serta merta membuat kantuknya hilang, ia mengucek matanya. Di bukanya lembaran berkas itu yang berisi tugas yang harus di lakukannya selama menjadi pelayanan.
Satu persatu tugas itu Inari baca dengan suara pelan.
Menyiapkan sarapan.
“Apa aku yang memasak? ... yang ada mereka keracunan kalau aku yang masak. “ Inari tertawa kecil karena ucapan sendiri. Ia lanjut membaca poin berikutnya.
Menyiapkan baju tuan muda, beserta perlengkapan kantor untuk tuan Arzan dan perlengkapan kuliah untuk tuan Bara.
Inari mulai mengingat-ingat kebiasaan pada pelayannya. Inari tahu semuanya beres dan rapi tertata di lemari. “Tapi kenapa ini harus menyiapkan baju tuan muda, maksudnya aku yang memilih baju yang mereka pakai?"
Inari juga tidak mengerti, karena dirinya tidak pernah tahu apa saja yang di lakukan pelayan Papanya. Kalau dirinya jelas lebih senang memilih baju yang akan ia kenakan. “Apa pria tidak suka memilih baju sendiri?”
Inari mencoba memikirkan pertanyaannya sendiri, tapi tidak menemukan jawaban. “Ah hanya memilihkan baju untuk pria tidak akan merepotkan,” tutur Inari.
Memastikan kamar tuan dalam keadaan bersih dan rapi setiap saat.
“Oke, ini cukup mudah.”
Memperhatikan jam makan tuan muda supaya tidak terlambat makan.
“Mungkin mengingatkan jadwal makan seperti yang di lakukan Surti.” Inari mengangguk-angguk mengerti.
Selalu siap siaga jika tuan membutuhkan sesuatu.
Setelah membaca poin kelima, Inari menghela nafasnya. “Hemm, bagian paling melelahkan di taruh di poin terakhir.”
Setelah kelima poin tersebut, isi dalam map itu berisi informasi mengenai kegemaran atau ke tidak sukaan majikannya.
Inari jadi penasaran apa Surti di berikan berkas seperti ini juga sebelum bekerja menjadi pelayannya. Tapi ia menepis rasa penasaran yang tidak akan pernah ia dapatkan jawabannya dalam waktu dekat, lagian rasa penasaran itu tidak penting.
Setelah membaca sampai akhir Inari memilih membersihkan tubuhnya yang terasa sangat lengket.
Pukul lima pagi Inari berjalan keluar kamarnya, dia masih ingat dapur yang sempat ia lewati sebelum masuk ke kamarnya.
Dari kejauhan sudah tercium aroma masakan yang membuat cacing di perutnya meronta, apalagi semalam Inari tidak makan malam karena tertidur pulas.
Inari masuk ke bagian dapur yang menyatu dengan ruang makan, di sana ada meja makan yang mampu menampung delapan orang.
Inari melihat Minah yang sedang memasak dengan menggunakan apron yang di pakainya. Dia tampak lihai dalam memasak.
Karena selama ini Inari tidak pernah sama sekali berkutat dengan peralatan dapur yang tidak Inari mengerti fungsi dan cara memakainya.
Bagaikan pemilik rumah Inari mendekati meja makan lalu duduk di salah satu kursi, mengambil beberapa buah anggur yang ia masukan ke dalam mulutnya.
“Ehmmm."
Tubuh Inari membeku seketika mendengar deheman seseorang, “Mampus,” batin Inari.
Ia bangkit dari duduknya, lalu membungkuk memberi hormat tanpa berani menatap siapa pemilik suara itu, yang jelas pria yang kini di hadapannya adalah majikannya.
“Maaf tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Inari dengan posisi menunduk.
“Kau pelayan di sini, aku sudah menunggumu untuk menyiapkan baju kerja.”
Dari suaranya ia tahu siapa pemiliknya, iya betul itu suara Arzan. Tegas dan dingin ciri khas dari tuan Arzan.
“Maaf tuan, perut saya ba-“ Ucapan Inari di potong oleh Arzan.
“Cepat!”
Inari mengerucutkan bibirnya melihat punggung Arzan yang mulai menjauh darinya. Tidak enak memang di perlakukan semena-mena, sepertinya saat kembali nanti Inari harus meminta maaf pada pelayan yang selalu ia repotkan.
Tidak ingin membuang waktu, Inari berjalan mengekor di belakang Arzan hingga di dalam kamarnya. Saat memasuki kamar tuannya wangi segar menyeruak ke Indra penciumannya.
Ia pikir kamar pria hanya memiliki aroma maskulin, tapi selera Arzan berbeda ternyata.
Inari memasuki ruang ganti pakaian, dia memilih satu kemeja biru langit. Untuk blazer Inari memilih warna navy yang cukup gelap serasi dengan celananya.
Inari keluar dari ruang ganti, matanya langsung menangkap pemandangan indah. Untuk kedua kalinya Inari bisa melihat wajah tampan Arzan, kini Arzan lebih seksi dengan rambut basah. Wajahnya fokus pada ponsel di dalam genggamannya.
Inari tidak langsung memanggil tuannya, ia menikmati wajah Arzan yang mirip dengan selebriti Korea.
Sadar tengah di perhatikan Arzan memberikan tatapan tajam pada sang pelayan yang terlihat sedang memuja ketampanannya.
“Kenapa masih di sini, kau harus menyiapkan perlengkapan Bara.”
Inari cukup terkejut saat menyadari Arzan sedang menatapnya.
Inari mengangguk pelan, “Baik tuan, saya permisi.” Dengan langkah tergesa Inari meninggalkan kamar Arzan.
Di balik pintu ia mengelus dadanya yang berdetak tidak karuan. Inari merasa benar-benar bodoh karena memperhatikan tuannya, sebelumnya ia tidak pernah tertarik seperti ini kepada pria.
Namun Inari menggelengkan kepalanya. “Jangan mencari masalah Inari, dia majikanmu,” ucap Inari pada dirinya sendiri.
“Inari.”
Teriakan itu terdengar jelas di telinganya, suaranya berasal dari pintu di samping kamar Arzan.
Inari mengetuk pintu kamar Bara, setelah mendapat izin dari sang pemilik. Inari membuka pintu dengan perlahan, matanya di suguhkan dengan perut dan dada bidang Bara. Karena pria itu hanya memakai handuk di bawah perutnya.
Ia memilih menundukkan kepalanya, “Ada yang bisa saya bantu tuan.”
“Kenapa masih bertanya, apa kamu ingin lebih lama memandangi tubuhku.”
“Tidak tuan.”
“Cepat siapkan bajuku,” perintah Bara dengan suara sedikit kesal. Pelayanannya kali ini terlihat tidak gesit seperti pelayan sebelumnya, tanpa ia perintah pelayanannya dulu sudah mampu menyiapkan semua kebutuhannya.
Inari masuk ke dalam ruang ganti pakaian, lemari Bara kali ini sangat beraneka ragam. Dari kemeja, kaos, sweater serta beberapa pakaian formal ada di dalam ruang gantinya.
Bara menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, tersenyum melihat pelayanannya kebingungan.
Inari menengok ke arah pintu tempat Bara berada. “Tuan ingin memakai style yang seperti apa?”
Bara tersenyum tipis, “Untuk hari ini kamu bebas memilih baju yang mana saja untuk aku pakai.”
Inari menggigit kecil bibirnya, dia tidak tahu style seperti apa yang sedang di gandrungi para pria.
Inari memilih sweater berwarna coklat tua, dengan celana Chino. Ia tidak perduli dengan pendapat Bara, toh majikannya membebaskan ia untuk memilih.
“Kamu ingin membuat ku kepanasan dengan memakai sweater seperti itu?”
Inari tersenyum, “Tidak tuan, saya hanya ingin melindungi kulit putih tuan dari sinar matahari saat tuan membawa motor.”
“Oke, kali ini alasannya aku terima.” Bara sengaja mengalah dia ingin tahu sebenarnya siapa wanita itu, dari tingkahnya memang terlihat sangat kaku. Tapi melihat wajah wanita itu yang terlihat glowing seperti kekasihnya muncul tanda tanya di hatinya.
Pelayanannya itu tidak mungkin memiliki uang untuk melakukan perawatan di harga yang cukup fantastis, jelas kalau di lihat dari gaji sebagai pelayan wanita itu tidak mungkin melakukan perawatan hingga wajahnya mulus.
Bara memberikan jalan untuk Inari melewatinya yang sedang berdiri di dekat pintu. Senyum bara merekah mendengar pintu kamarnya terbuka.
“Pakaian dalamku, belum kamu siapkan.”
Ucapan Bara membuat Inari menghentikan langkahnya, “Apa katanya, pakaian dalam?” ucap Inari di dalam hatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!