Rosa berlari dengan tergesa-gesa. Hari sudah malam, gadis itu baru pulang dari kerja paruh waktunya. Padahal pekerjaan itu tak mendapatkan bayaran walau dia bekerja lembur, tapi bosnya selalu saja membuat para karyawan seperti mereka tak bisa pulang tepat waktu dengan berbagai alasan.
"Sebentar lagi! Semangat, Rosa!" ucapnya memberi semangat pada dirinya sendiri.
Dari gang di depannya, samar gadis itu mendengar suara lenguhan. Terdengar seseorang yang sepertinya sedang kesakitan. Rosa menggelengkan kepalanya setelah beberapa saat ragu. "Bukan urusanku, aku harus pulang lebih cepat!" katanya terus melangkah setelah sejenak berhenti di muara gang gelap tadi.
Baru beberapa langkah gadis itu berjalan, dia pun menghentikan langkahnya dan segera berbalik kembali menuju gang yang tadi dia lewati. "Hati nurani ku rasanya hilang kalau aku tak memastikan orang itu baik-baik saja!" katanya terdengar seperti gumaman atau mungkin umpatan. "Ibu, kumohon, semoga orang itu bukan orang jahat dan aku tak terlibat masalah yang serius!" ucap gadis itu mendongak ke atas, menatap langit yang gelap tanpa satu pun bintang yang menggantung di atasnya.
Gang yang gelap menyambut penglihatan Rosa, gadis itu segera menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya dari ponselnya cukup untuk melihat kalau pemilik suara yang tadi didengarnya merintih terluka sangat parah. "Astaga!!!" pekik gadis itu hampir menjatuhkan ponselnya saking terkejutnya dia melihat pria di depannya yang masih setengah sadar dengan banyak luka terbuka di sana-sini.
"Ugh, apa yang harus aku lakukan?" gumam gadis itu panik. "Polisi? Rumah sakit? Yang mana yang harus aku hubungi duluan?" katanya bingung.
"Ja ..., ngan ...!" ucap orang itu dengan susah payah. Dari suaranya, Rosa yakin kalau orang itu adalah seorang pria muda.
"Lalu aku harus apa?" tanya gadis itu menatap tak berdaya pada tangan yang memegang ujung celananya. Pemilik tangan itu berusaha untuk menghentikan dia menelepon siapa pun.
"Ugh, kuharap aku tak mendapat masalah karena tak bisa meninggalkan hati nurani ku di laci tua satu-satunya yang aku miliki," kata gadis itu menarik napas panjang.
"Kamu harus berterimakasih padaku, tuan!" katanya sebelum membopong pria yang penuh luka tadi. Tak ada pilihan lain, kalau orang yang bersangkutan tak ingin dibawa ke rumah sakit, dia hanya bisa membawanya ke rumahnya dan merawatnya seadanya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. "Jangan mengeluh karena rumahku kecil nanti, ya!" lanjut gadis itu.
Pria yang dibopongnya membuka matanya sedikit sambil tersenyum tipis sebelum dirinya hilang kesadaran. Dia tak merasakan adanya niat buruk dari manusia yang menolongnya saat ini, makanya dia bisa dengan tenang beristirahat untuk memulihkan tenaganya. "A ... kan, ku ... ingat ...," ucap pemuda itu sebelum benar-benar kehilangan kesadaran.
"Huh, kuharap kamu tak melupakan kata-kata yang kamu ucapkan barusan!" timpal Rosa terus membopong pria tak dikenalnya itu dengan susah payah.
Tak berapa lama, sampailah keduanya di rumah Rosa. Rumah susun di lantai teratas yang terlihat sudah sangat lusuh dan tua. Beruntung lift di sini masih berfungsi dengan normal walau terkadang mengalami kerusakan di saat-saat tertentu. "Untung benda tua ini masih bisa berfungsi dengan baik saat aku sangat kelelahan seperti ini!" keluh sang gadis sebelum masih ke dalam lift. Lift tersebut membawa mereka berdua ke lantai paling atas, gadis itu mengeluarkan kunci dan segera membaringkan pria tadi di lantai. Rosa menarik napas panjang beberapa kali, dia lelah, sungguh. Dan kini dia tak bisa langsung istirahat hanya karena hati nuraninya sebagai manusia yang tak bisa membiarkan seseorang berada dalam kesusahan.
"Dasar hati nurani yang tak berguna!" keluhnya sambil memaksakan diri melangkah ke kamar mandi. Dia harus mandi meski hanya mengguyurkan air ke tubuhnya beberapa kali. Setelahnya, baru Rosa bisa mengobati pria tak dikenal yang dia tolong tadi.
Tak sampai satu menit, Rosa keluar dari kamar mandi. Gadis itu terlihat lebih segar setelah mendapat siraman air yang dingin beberapa gayung. Meski lelah masih menggantung, tapi gadis itu tak terlihat selelah tadi. "Mari sedikit oleskan obat pada pria itu dan mencari sesuatu untuk dimakan. Setelahnya baru kita tidur!" tukas gadis itu berbicara pada dirinya sendiri.
"Ya, dewa. Engkau pasti tahu kalau hamba-Mu ini tak memiliki niat buruk, bukan?!" kata Rosa menyatukan kedua tangannya. "Hamba tak memiliki niat aneh juga! Hamba hanya ingin membersihkan luka pria ini, makanya hamba harus membuka sedikit pakaian yang dia kenakan meski tak mau sebenarnya!" lanjut gadis itu terus mengoceh.
Tangan Rosa gemetar tak karuan saat membuka kancing kemeja pria yang tak sadarkan diri itu. Saat satu kancing terlepas, gadis itu menyeka keringat yang membanjiri dahinya, dia juga menghela napas panjang seolah sedang melewati ujian yang teramat berat. "Kumohon jangan terbangun dulu, oke! Aku tak ingin dikira melakukan hal mesum, padahal aku hanya ingin menolong!" gumam Rosa untuk mengurangi kegugupan yang dirasakannya.
"Lalu? Apa aku harus pingsan lagi kalau diriku sudah sadar?" sebuah suara yang terdengar dingin dan tajam masuk ke pendengaran Rosa.
"Ha-ha-ha, aku tak bermaksud seperti itu," balas Rosa tertawa canggung. "Dengar, aku hanya ingin membantu dan tak ada niat lain! Sungguh!" ucap gadis itu menarik tangannya menjauh, tak jadi membuka kemeja pria tak dikenalnya itu.
Tangan Rosa ditangkap dengan cepat, dia di depannya ini membuka matanya. Sepasang mata berwarna emas menatap angkuh ke arah Rosa. Rosa meneguk ludah kasar, apa dia membuat keputusan yang salah menolong orang hanya karena tak tega tadi. "Hai, tolong lepas! Ini sedikit menyakitkan," ucap Rosa tak suka dirinya diperlakukan seperti penjahat.
"Siapa yang mengutus mu?" suara pria itu masih terdengar dingin seperti sebelumnya. "Apa kamu akan meracuni aku hanya karena aku terlihat lemah?" tanyanya lagi menatap curiga.
Ah, Rosa tak tahan lagi. Dia sudah merelakan waktu istirahatnya untuk menolong orang yang tak dikenal. Dia juga sudah susah payah membawa orang ini. Dan sekarang yang dia dapatkan malah dirinya dicurigai sebagai komplotan penjahat. Wah, memang rasa kemanusiaan dan kebaikan itu tak ada artinya di dunia ini. Kenapa dia dengan bodohnya malah menolong orang sombong seperti ini. "Heh, dengar ya!" ketus Rosa tak bisa bersabar lebih lama lagi mendengar ocehan tak bermutu dari pria di depannya ini. "Aku hanya ingin menolong! Persetan dengan hati nurani, andai saja aku bisa membunuh hati nurani ku, aku tak akan menolong orang kasar dan angkuh sepertimu!" lanjut Rosa mengomel. Dia bahkan memaki saking kesalnya dia dituduh yang bukan-bukan.
Pria itu masih menatap tak percaya, tapi beberapa menit kemudian dia malah tertawa kecil. Wajah gadis di depannya sangat lucu menurutnya, apa ini gaya pembunuhan yang baru. Tak buruk juga kalau dia bermain sebentar untuk menikmati waktu ini walau hasil akhirnya akan tetap sama.
"Kenapa tertawa?" hardik Rosa kesal. "Apa menurut anda, saya ini lucu?" ucapnya lagi.
Pria itu berdehem pelan. "Maaf, aku hanya terbiasa bersikap waspada. Kuharap nona mau mengerti," katanya tersenyum dengan lembut. Senyum yang biasanya akan membuat seribu wanita rela mati saat itu juga hanya dengan melihatnya meski untuk sesaat.
"Oke, tapi lepas ini!" tukas Rosa dengan nada ketus. Hal itu membuat pria ini semakin tersenyum senang, sepertinya permainan kali ini akan lebih menyenangkan dari biasanya.
Rosa yang sudah susah payah menolong seseorang malah dituduh sebagai kaki tangan yang diutus untuk membunuh orang yang ditolongnya. Mana wajah orang itu sangat mengesalkan saat mengatakan semua hal tak masuk akal itu, sungguh menyia-nyiakan rupa tampang itu karena akhlaknya yang minus dalam berbicara.
Bahkan saat orang itu meminta maaf pun, Rosa masih kesal dibuatnya. Wajah tampan itu sungguh ingin Rosa pukul meski hanya sekali saking kesalnya dia saat ini.
"Karena anda sudah sadar, obati saja luka anda sendiri!" tukas Rosa tak bersahabat. Tau sendirilah bagaimana kalau perempuan sedang kesal, akan memakan waktu lama untuk menghilangkan kekesalannya. "Aku mau makan terus tidur! Anda boleh memakai kamar mandi, handuk baru ada di lemari kecil di sana. Anda bisa menginap di sini atau pergi, terserah!" tukasnya lagi.
Rosa melenggang pergi. Begitu sampai di kamar mandi, gadis itu memegangi dadanya. Jantungnya berdetak kencang saking kagetnya dia, tatapan pria itu sungguh berbahaya menurutnya. "Semoga aku tak salah memilih untuk menolong dia!" gumamnya penuh harap. "Atau sebaiknya aku tinggal saja tadi, ya?" katanya bertanya-tanya.
Berpikir terlalu lama bukan lah gaya Rosa, jadi gadis itu berteriak kecil sebelum mulai membasuh tubuhnya. Tak peduli dengan apa yang akan terjadi. Lagi pula semua sudah dia lakukan, dia tak mungkin mengembalikan waktu dan membatalkan niatnya untuk menolong pria tadi.
Tak berapa lama, Rosa pun keluar dari kamar mandi. Dia merasa lebih segar dari sebelumnya. Gadis itu berdehem pelan melirik ke arah pria yang sejak tadi tak mengubah posisi duduknya. "Ekhem, apa anda ingin menggunakan kamar mandi?" tanya gadis itu dengan pipi bersemu merah. Dia takut dikira gadis aneh yang kurang ajar dan ingin melakukan hal yang tidak-tidak. "Selagi anda mandi, saya akan membuat makanan sederhana," katanya lagi memecah keheningan yang menggantung.
"Oke," hanya satu kata itu yang dia dapat sebagai balasan. Pria itu lalu masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Wah, irit kata sekali!" dengus Rosa. "Dasar tak tahu terima kasih?!" ucapnya lagi.
"Maaf, kalau saya tak tahu terima kasih, nona!" tukas suara yang dikenal Rosa menyahut dari dalam kamar mandi.
Rosa terbelalak kaget, bagaimana bisa pria itu mendengar apa yang dia katakan. Padahal dia hanya bergumam pelan saja, apa pria itu mempunyai pendengaran super sonik seperti di novel-novel atau film terkenal.
"Apa pun yang anda pikirkan saat ini, saya bisa mengatakan kalau itu hanya imajinasi anda, nona!" lagi, Rosa hampir menjatuhkan sendok yang dia pegang karena pria itu tahu apa yang dia pikirkan. Apa dia memiliki kekuatan super untuk mengetahui apa yang ada dalam benak seseorang tanpa perlu orang itu mengatakan apa-apa. Wah, pasti pria itu akan menjadi karyawan teladan karena bisa mengetahui dengan pasti apa yang diinginkan atasannya tanpa perlu sang atasan memerintahkan sama sekali. Andai saja kekuatan seperti itu bisa dibagikan pada dirinya yang tidak beruntung ini, Rosa pasti dengan senang hati akan menerimanya dan berterima kasih sebagai gantinya.
Seperempat jam berlalu, pria itu sudah duduk di meja makan sambil menatap lurus ke arah Rosa. "Ada apa? Apa anda ingin mengatakan sesuatu?" tanya gadis itu jengah diawasi.
"Tidak!" balasnya datar dengan nada arogan. Seolah semua orang di dunia ini tak ada yang berharga selain dirinya.
"Lalu? Kenapa anda terus menatap saya seperti itu?" tukas Rosa dengan berani.
"Saya hanya memperhatikan gerak-gerik anda. Tolong dimaklumi, nona!" katanya lagi.
"Bisakah tolong jangan menatap saya seperti itu lagi?" kata Rosa tak nyaman. "Saya tak suka!" katanya menekankan kata tak suka.
"Anda tak ingin bertanya apa pun?" ucap pria itu seakan menawarkan untuk mengobrol lebih lama.
"Tidak, terima kasih!" kata Rosa menolak. "Saya tak mau terlibat dengan hal merepotkan!" tukasnya tak mau tahu kenapa atau apa alasan pria ini terluka seperti tadi.
"Saat anda memutuskan untuk menolong saya, anda sudah memasukkan kaki anda dengan sendirinya ke liang masalah, nona!" kata pria itu datar dan acuh.
Rosa memegang dahinya yang berdenyut nyeri gara-gara mendengar ucapan pria ini. Oh, mungkin dia memang salah memilih sepertinya. "Bisakah aku batalkan saja?" kata Rosa mendesah lelah. Dia bahkan berbicara informal pada pria tak dikenalnya ini. "Aku sungguh hanya ingin hidup damai tanpa terlibat masalah apa pun sampai hari kematian menjemputku!" katanya lagi seolah hanya itu satu-satunya harapan hidup yang dia miliki dalam hidupnya.
"Mari kita mulai dengan perkenalan, nona!" kata pria itu malah tersenyum sangat tipis melihat Rosa yang frustasi.
"Bisa lewatkan?" tanggap Rosa malas. "Anggap saja kita tak pernah bertemu dan hanya dua orang asing yang pernah sekali berpapasan di jalan!" katanya lagi.
"Sayangnya tidak bisa," timpal pria itu lagi. "Sepertinya akan banyak mata yang mengamati anda karena anda menolong saya!" lanjutnya memberi tahu kebenaran pada Rosa.
"Oh, si*l! Andai waktu bisa diputar?!" keluh gadis itu memaki kesal.
"Sayangnya itu tak mungkin!" kata pria itu menimpali.
"Aku juga tahu! Jadi tak perlu kamu repot memberitahukan hal seperti itu padaku!!!" dengus Rosa jengkel.
"Namaku Richard Vladimir de Lazarus! Panggil saja senyamanmu!" tukas pria itu tersenyum senang melihat wajah kesal gadis di depannya ini.
"Rosa!" tukasnya membalas. "Sebelum pagi saya harap anda bisa meninggalkan tempat ini!" kata gadis itu lagi berbicara dengan sopan.
"Sepertinya itu mustahil," kata Richard membantah santai.
"Kenapa?" tanya Rosa cepat. "Kamu lupa ingatan? Atau kamu gak mau pulang?" katanya kesal sekaligus khawatir. Hidup sendirian saja dia susah, ini masa dia harus menanggung satu nyawa lagi untuk diberi makan.
"Bukan," balas Richard datar. Bangsawan seperti dia bisa-bisanya dikira tak punya tempat tinggal. Imajinasi wanita ini sungguh luar biasa sekali.
"Lalu?" desak Rosa tak sabar.
"Aku harus memastikan kamu aman sebelum kembali ke kediamanku!" katanya membalas.
"Aku pasti akan baik-baik saja meski kamu pergi sekarang juga!" kekeuh Rosa. Lebih berbahaya kalau dia harus hidup bersama dengan orang lain. Penghasilannya pas-pasan dia tak akan sanggup memberi makan satu orang lagi dalam keadaannya yang seperti sekarang.
"Siapa yang menjamin hal tersebut?" Richard mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab.
"Aku, mungkin?" tukas Rosa tak yakin. Dia bukan peramal yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Dia hanya warga biasa yang hidup dengan keras.
"Kalau kamu tak yakin, biarkan aku tetap di sisimu untuk sementara waktu!" tukas Richard jelas tak ingin dibantah.
Mata rosa menyipit tajam, dia tak bisa percaya begitu saja dengan kebaikan yang di berikan oleh orang ini. "Ini bukan taktik penipuan baru, kan?" tanyanya waspada.
Richard menyeringai mengejek mendengar pertanyaan Rosa, sungguh gadis manusia satu ini tak membuatnya bosan barang sedetik pun.
Rosa meminta Richard untuk pergi sebelum pagi menjelang. Sayangnya, Richard menolak dan mengatakan akan memastikan keselamatan dari penyelamatnya sebelum dia bisa kembali ke kediamannya sendiri. Rosa kekeuh pada pendiriannya, dia merasa akan baik-baik saja meski ditinggal sendiri. Namun, Richard malah bersikap acuh dan tetap pada pendiriannya juga. Dia akan pergi setelah memastikan semuanya aman dan tak akan ada gangguan yang menimpa Rosa.
Rosa yang keberadaannya selalu dimanfaatkan dan tak pernah menerima kebaikan yang tulus pun, mau tak mau menjadi curiga. Gadis itu menatap tajam Richard dan menuduh kalau pria itu sedang melakukan trik baru untuk menipu korbannya. Richard yang mendengar itu malah tersenyum mengejek, dia selalu merasa terhibur dengan pemikiran Rosa yang di luar nalar dan tak seperti manusia lainnya.
"Jangan tertawa!" tukas Rosa kesal ditertawakan.
"Kenapa? Kamu terpesona, ya?" tukas Richard yang sangat tahu kalau tampangnya sangat-sangat rupawan.
"Tidak! Aku kesal!" dengus Rosa memalingkan wajah.
"Cobalah berbohong dengan lebih yakin, nona!" kata Richard percaya diri.
"Buat apa aku berbohong, bodoh!" umpat Rosa kesal sekaligus malu. "Katakan saja kalau kamu sedang menjalankan tugas untuk menipu, kan? Ayo, ngaku!" desak gadis itu berani.
Richard menopang dagunya sambil menatap lekat Rosa. "Lalu? Apa yang bisa kudapatkan dari itu?" tanyanya tak tertarik sama sekali.
Rosa sedikit ragu, tapi dia tak ingin mundur bahkan setelah dia tak bisa membuat pria itu mengaku. "Mungkin penjualan organ dalam? Perbudakan? Atau korban yang dibutuhkan untuk digunakan sebagai kelinci percobaan?" tebak Rosa aneh-aneh.
"Kamu kebanyakan nonton film, nona!" kata Richard mendengus.
"Aku tak peduli, aku mau tidur! Jadi berhenti mengawasiku!" ucap Rosa segera berdiri meninggalkan pria menyebalkan di depannya ini.
"Biarkan aku ikut!" kata Richard dengan wajah datar.
"Kau bercanda, kan?" mata Rosa melotot tak percaya. Apa pria ini benar-benar ada masalah di otaknya. Mengapa pria ini selalu membuat dirinya kesal setiap dia membuka mulutnya.
"Hanya memastikan kalau penyelamat ku aman," ucapnya enteng dengan wajah datar.
"Aku aman! Sangat-sangat aman tanpa perlu ada yang dikhawatirkan, mengerti!!!" tukas Rosa kepalang emosi. Dia sangat lelah dan butuh istirahat, tapi kini yang ada dia malah harus menanggapi mulut busuk tak tertata dari pria gila di depannya ini.
"Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, nona," katanya menimpali.
"Tolong biarkan aku istirahat, oke?" tukas Rosa lelah. "Aku akan teriak kalau ada masalah atau bahaya!" lanjutnya mencari jalan tengah. Kalau terus berdebat yang ada dia tak akan bisa tidur malam ini.
Pria di depannya mengangguk kaku. "Lalu aku akan berada di depan pintu kamarmu!" katanya setuju.
"Lakukan! Asal jangan mengawasi diriku, aku tak peduli dengan apa yang kamu mau lakukan!" ucap gadis itu kemudian pergi ke kamarnya. Tak lupa pintu kamar yang tak berdosa dibanting dengan keras untuk melampiaskan kekesalan yang dia rasakan. Baru kali ini dia menyesal menolong orang dalam hidupnya. Apa nasib buruknya akan tercipta dari kejadian ini. Semoga saja tidak seperti yang dia bayangkan sekarang. Tak berapa lama, Rosa pun telah jatuh tertidur dengan lelapnya. Lampu di kamarnya berkedip beberapa kali. Setelah beberapa waktu tak ada cahaya sama sekali, sesosok bayangan terlihat tepat saat lampu kembali menyala. Dia adalah Richard, pria itu menatap sekitar kamar Rosa sebelum kembali menghilang.
Rupanya Richard melakukan itu karena tak tenang membiarkan gadis yang menolongnya tanpa penjagaan. Makanya dia memindai keamanan kamar gadis itu sebelum kembali ke posisinya semula, yaitu menunggu di depan kamar Rosa.
...ೋ❀❀ೋ═══ • ═══ೋ❀❀ೋ...
Pagi menjelang, Rosa sudah selesai mandi dan merapikan tempat tidurnya. Dia tertidur dengan sangat nyenyak semalam.
"Mari sarapan lalu berangkat kerja!" kata Rosa penuh semangat memulai harinya.
Baru saja membuka pintu kamarnya, Rosa sudah disambut oleh wajah tampan yang menjengkelkan. Ekspresi sombong itu sungguh ingin Rosa hilangkan kalau dia bisa. "Saya kira anda sudah pergi?" tukas Rosa mendengus pelan.
"Saya merasa perlu untuk memastikan anda baik-baik saja," balas Richard mengekori langkah Rosa.
"Aku baik! Bahkan akan lebih baik kalau kamu menghilang!!!" dengus gadis itu mengejek.
"Seperti yang saya katakan tadi malam, tak ada yang tahu kejadian buruk apa yang akan menimpa anda nantinya," balas Richard tak peka kalau Rosa sangat tidak suka akan kehadirannya.
"Apa kamu memiliki banyak musuh?" mata Rosa memicing menunggu jawaban dari pria di depannya ini. "Makanya aku akan terlibat masalah atau mengalami hal yang tak diinginkan hanya karena menolong kamu?!" lanjut gadis itu.
Richard diam dengan wajah poker andalannya, pria itu menatap lurus Rosa, seolah tatapannya memberi tahukan kalau apa yang gadis itu katakan merupakan suatu kebenaran. "Jangan bilang ...?" Rosa terkesiap begitu menyadari kalau yang dia katakan benar adanya. "Bagaimana ini? Bagaimana?" katanya panik.
"Te–"
"Oke, tenang Rosa,. tenang!" kata gadis itu menarik napas lalu membuang napasnya secara beraturan. "Tapi apa ini waktunya untuk tenang?" sedetik kemudian Rosa kembali panik.
"Makanya kan aku ada di sin–"
"Semua masalah pasti ada solusinya! Aku hanya harus berpikir lebih keras untuk keluar dari masalah kali ini!" lagi-lagi Rosa memotong ucapan Richard. Sepertinya gadis itu tak mendengarkan apa yang ingin pria itu sampaikan saking paniknya dirinya.
"Hei! Dengarkan kalau orang bicara! Jangan panik sendiri dan bergumam seperti orang bodoh!" tukas Richard tajam sambil menepuk pelan bahu Rosa.
Rosa menepis tangan Richard dengan kesal. "Ini semua gara-gara kamu!" hardik gadis itu emosi. "Kenapa kamu harus terluka dan aku melihatnya?" lanjut gadis itu terus menyalahkan Richard tentang apa saja yang dia alami semalam. Kenapa dari banyaknya tempat, pria ini malah tak sadarkan diri di jalan yang Rosa lewati saat pulang.
"Aku tak ingat pernah meminta tolong," ujar Richard malah menambah bensin ke dalam api kemarahan Rosa.
"Oh, maaf karena sudah menolong anda yang tak tahu terima kasih!!!" dengus Rosa memalingkan wajah, malas menatap wajah menjengkelkan yang minta ditonjok itu.
"Tak perlu meminta maaf, aku tak mengharapkan itu," tukas Richard membalas dengan santai dan tak berperasaan.
Malas berdebat lebih lanjut, Rosa pun menggoreng dua telur dan mengambil empat lembar roti. Sarapan sederhana yang cukup ramah untuk kantongnya yang selalu tiris tiap bulannya. "Tak perlu berterimakasih! Aku membuat sekalian tadi," tukas Rosa menyodorkan dua lembar roti dan satu telur goreng kepada Richard.
"Buat apa?" tanya pria itu seolah tak tahu kalau makanan di depannya itu ya untuk dimakan.
"Sarapan," balas Rosa singkat.
"Aku tak makan," aku pria itu dengan mimik muka yang tak berubah.
"Jangan malu, meski tak enak, isi saja perut anda dulu," kata Rosa lagi. Dia tahu kalau pria ini tak mengisi perutnya sejak semalam, masa iya pagi ini dia juga akan melewatkan sarapan.
"Tapi aku benar-benar tak pernah makan," tukas Richard jujur.
Rosa memutar bola matanya kesal, dasar orang kaya pemilih yang tak bisa makan makanan seperti ini. Ingin marah, tapi gadis itu malas buang tenaga. Akhirnya dia menghabiskan semuanya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!