Sepasang iris seindah mutiara milik seorang gadis bersurai coklat terang bergerak dengan gusar. Memperlihatkan kecemasan serta keresahan yang melanda dirinya, gadis itu berjalan mondar-mandir dilantai kamarnya sambil menggigit ujung kukunya.
Sesekali wajahnya mendongak menatap langit-langit kamarnya. Dahinya yang halus berkerut semakin dalam, pikirannya melayang jauh. Membawanya mengingat pada peristiwa yang Ia alami beberapa jam yang lalu
Flashback:
Gadis itu berjalan dalam keheningan malam, dibawah sinar bulan yang temaram. Tidak ada cahaya sama sekali, bulan memilih bersembunyi dibalik awan hitam yang gelap. Membuat suasana malam yang sunyi menjadi begitu mencekam.
Sesekali gadis berparas jelita itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, melirik kebelakang menggunakan ekor matanya. Takut bila ada orang yang berniat jahat padanya.
'Hufffttt' Gadis itu dapat menghela nafas lega, keadaan aman-aman saja dan sejauh ini masih baik-baik saja.
Gadis itu mengentikan langkahnya, wajahnya mendongak menatap langit. Awan hitam menenggelamkan sang dewi malam dan cahayanya yang terang lenyap ditelan kegelapan malam.
Tidak biasa memang. Tidak ada yang salah karena ini hanya gejala alam biasa, dan dunia belahan mana pun pasti pernah mengalaminya.
Jlederrr ... !!! ...
Petir menyambar diiringi gemuruh yang menggelegar di atas sana. Sejenak memberi terang pada dunia yang gelap namun secara bersamaan. Dan suara gelegarnya memberi rasa ketakutan yang mencekam pada setiap manusia yang masih terjaga malam ini*.
Tetesan-tetesan air hujan mulai berjatuhan, membasahi langit kota Seoul malam ini. Seakan-akan menumpahkan segala kesedihannya, membuat tubuh mungil gadis itu basah kuyup karenanya.
Tidak ingin membuat tubuhnya semakin basah kuyup. Ia segera berlari dan mencari tempat untuk berteduh. Ia berlari tanpa memperhatikan sekelilingnya, hingga Ia tidak menyadari jika ada sebuah mobil yang berkecepatan tinggi melaju cepat kearahnya.
Sampai Ia melihat sorot lampu yang terang, menyilaukan matanya saat Ia menolehkan kepalanya. Membuat kedua matanya terbelalak sempurna, ponsel yang berada di dalam genggamannya terlepas dan jatuh begitu saja. Hancur menjadi kepingan-kepingan kecil.
"AAAAHHHHH!!"
Gadis itu menjerit histeris, kedua lengannya Ia letakkan di depan wajahnya. Mobil itu dan tubuhnya hanya berjarak beberapa meter saja, sampai akhirnya..
"Seseorang menyambar tubuhnya dan meloloskannya dari maut yang hampir saja merenggut nyawanya. Gadis itu segera membuka matanya, terbelalak saat menyadari ada wajah asing terpampang jelas dihadapannya dalam jarak yang begitu dekat.
Hanya beberapa centi saja hingga Ia bisa merasakan hembusan nafas orang yang saat ini masih memeluk tubuhnya. Sampai Ia menyadari sesuatu, Ia segera mendorong tubuh orang itu dan sedikit menjauh darinya*.
"Omo!! Siapa kau?! Berani-beraninya kau memelukku, pasti kau messum ya?" Ucap gadis itu yang seakan-akan tidak punya rasa terimakasih.
"Apa kau bilang?!" Membuat orang itu yang seorang laki-laki membelalakkan mata mendengarnya. Dahinya berkerut sambil menatap gadis itu tidak percaya
"Messum!!" ucap gadis itu sekali lagi
"Apa kau bercanda, Nona? Jelas-jelas aku baru saja menyelamatkan nyawamu. Apa kau sadar, jika aku tidak datang tepat waktu. Pasti tubuhmu sudah hancur digilas oleh mobil itu. Dan bukannya ucapan terimakasih, kau malah menuduhku mesum.?" Ujarnya pada gadis itu, kekesalan terlihat jelas diraut wajahnya.
"Tapi aku kan tidak memintamu untuk menyelamatkanku." Tukasnya.
"Terserah, jika kau sudah bosan hidup. Sebaiknya segera pergi ke liang lahat saja." pemuda itu berbalik dan berlalu begitu saja, meninggalkan gadis itu.
Dan disaat itu pula Ia melihat ada darah yang mengalir dari lengan kirinya. Tidak ingin merasa bersalah dan berhutang budi pada pemuda asing itu, Ia segera menyusulnya
"Tunggu." Ditariknya lengan pemuda itu, sontak saja Ia berbalik. Kedua matanya terbelalak melihat ada cairan kental berwarna merah segar mengalir dari dahinya.
"Apa?" Ucap pemuda itu dingin.
"Hei kau terluka." Gadis itu memekik kencang. pemuda itu melirik lengannya yang dipegang oleh gadis tersebut. Merasa tidak suka Ia pun segera menepis dan menghempaskan tangan itu dengan kasar.
"Tidak usah sok baik, Nona. Aku tau dan aku sangat paham dengan tabiat gadis sepertimu. Semoga ini pertemuan dan terakhir kita, karna bertemu denganmu adalah bencana." Ujar pemuda itu dan berlalu begitu saja.
"YAKKK!!" Gadis itu berteriak namun dihiraukan begitu saja oleh pemuda tersebut.
Setelah beberapa saat, timbul kecemasan di hati kecilnya. Karena bagaimana pun juga Ia terluka karena dirinya, dan jika tidak ada pemuda itu. Entah apa yang akan terjadi padanya. Mungkin Ia hanya tinggal nama.
Flashback End:
"AARRKKKHHH!! PEMUDA ITU LAMA-LAMA MEMBUATKU GILA."
Pintu kamar gadis itu terbuka dengan paksa hingga menimbulkan dentuman yang cukup memekatkan telinga, hampir saja gadis itu terkena serangan jantung dadakan.
"YAKK!! APA KALIAN INGIN MEMBUNUHKU, EO?" Teriaknya marah. Sedangkan dua orang pria dan wanita yang masih berdiri diambang pintu hanya bisa menundukkan wajahnya.
"Maaf, Nona. Tadi kami pikir ada apa-apa dengan Anda. Karena ada berteriak begitu kencang." jelas si perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah pelayan yang bekerja di rumah gadis itu.
"Alasan, aku baik-baik saja. Sudah keluar sana." Pintanya dingin, kedua orang itu mengangguk mengerti "Ehhh tunggu." Namun langkah merela harus terhenti.
"Ada apa, Nona? Apa ada yang Anda butuhkan?" Tanya wanita berseragam layaknya seorang pelayan.
"Tidak!! Aku hanya ingin bertanya, apakah tamu kakakku yang dari Jepang telah pulang?"
"Maaf, Nona Muda. Saya rasa belum, karena pintu kerja Tuan muda masih tertutup rapat dan dijaga ketat oleh anak buahnya." Si pria memberikan penjelasan pada gadis itu yang ternyata seorang Nona Muda.
"Aku mengerti. Keluarlah." Pinta Gadis itu sekali kagi.
"Baik Nona."
Stella Jung, Memangnya siapa yang tidak mengenal gadis itu, Putri bungsu dari keluarga terpandang yang memiliki perusahaan terbesar di seluruh Asia. Ia hidup dan tinggal bersama kakak laki-lakinya yang bernama Jacky Jung, kedua orang tuanya meninggal saat Ia baru saja menginjak usia 16 tahun.
Kematian mereka sangatlah tidak wajar, orang tua Stella meninggal karena terbunuh. Dan parahnya lagi, mereka terbunuh tepat di depan mata gadis itu hingga menghantarkannya pada trauma yang berkepanjangan.
Namun sayangnya Stella tidak tau siapa orang yang dengan tega telah membunuh kedua orang tuanya. Sedangkan kakak laki-lakinya meneruskan bisnis keluarganya yang kini tumbuh dengan pesatnya, dan tanpa sepengetahuan Stella.
Jacky juga memiliki pekerjaan lain, pekerjaan yang bertentangan dengan hukum. Dan tanpa Stella sadari, Jacky menyimpan sebuah rahasia besar darinya.
Rahasia yang mungkin akan menjadi bom waktu untuk mereka berdua bisa saling membenci jika itu sampai terungkap. Jacky menyimpannya dengan sangat rapi agar Stella tidak pernah dan tidak akan pernah mengetahuinya. Bukan karna takut kehilangan adiknya, melainkan apa yang Ia miliki saat ini.
.
.
"Steven, apa yang terjadi padamu?"
Xi Jia terkejut saat melihat kepulangan adiknya dalam keadaan yang cukup berantakan. Tubuhnya basah kuyup, ada bekas darah yang telah mengering di wajah dan lengannya. Jia menghampiri Steven kemudian melepas kain putih yang melingkar di dahinya, sebuah luka tampak di pelipis kirinya
" Ahhh." Pemuda itu meringis menahan sakit saat Jia menyentuh lukanya.
" Uhh, sakit ya?"
" Tentu saja sakit, Jir. Kau sudah tau ini luka kenapa malah disentuh." Protes Steven dengan raut wajah kesal.
Jia menyikapinya dengan tersenyum tiga jari."Maaf, Jie-Jie tidak tau jika sesakit itu rasanya." Ucapnya.
Jia menuntun Steven menuju sofa, diraihnya jaket levis yang telah basah kuyup dari tubuhnya menyisakan t-shirt putih yang melekat pas ditubuh kekarnya "Tunggu disini, Jie-Jie akan segera kembali." Jia beranjak dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Steven sendiri diruang tamu yang tidak terlalu luas itu.
.
.
Bersambung.
Steven dan Jia bukanlah seseorang yang berasal dari keluarga sederhana. Mereka berasal dari keluarga terpandang, kedua orang tuanya berasal dari China. Tapi mereka dibesarkan di Korea, karena disanalah usaha keluarganya mulai dirintis.
Perusahaan yang awalnya kecil berkembang pesat menjadi perusahaan raksasa yang memiliki cabang dimana-mana. Perusahaan milik keluarga Steven menjadi perusahaan garment terbesar di Korea. Semua produk yang diluncurkan oleh perusahaannya selalu merajai dunia, sampai suatu ketika.
Ada perusahaan besar pesaingnya yang tidak suka dengan kesuksesan yang diraih oleh Ayah Steven, tidak ingin perusahaannya dikalahkan.
Akhirnya CEO dari perusahaan tersebut, menyewa pembunuh bayaran untuk menyingkirkan Ayah Steven dan menghancurkan perusahaannya. Sedangkan Ibunya berada di rumah sakit jiiwa, dia depresi karena kematian suaminya.
Dan semenjak saat itu, keluarga Steven hancur. Mereka kehilangan segalanya, harta dan seluruh asetnya diambil alih oleh orang lain. Dan hal itu memaksa Jia untuk bekerja keras membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidupnya bersama Steven juga membayar biaya rumah sakit Ibunya. Sedangkan rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah milik Ibunya.
Menyakitkan memang, namun itulah kenyataan pahit yang harus mereka terima. Dan Steven telah bersumpah, akan membalaskan dendam orang tuanya. Kemudian merebut kembali semua yang menjadi haknya dan Jia
"Kemarikan lenganmu." Jia menarik lengan Steven yang terluka dan mulai membersihkan sisa darah yang ada pada lengannya.
"Ahhh, pelan-pelan, Jie." Steven meringis, menahan sakit dan perih yang terasa diwaktu bersamaan. Sedangkan Jia hanya menggeleng diiringi dengusan ringan.
"Katanya jagoan, baru luka sedikit saja sudah merengek. Bagaimana bisa kau melindungi Jie-Jie?" Ucap Jia ditengah kesibukan.
"Kau meragukan kemampuanku, Jie? Apa kau tidak percaya jika aku bisa melindungi mu?" Steven menatap Jia dengan pandangan dingin. Aura tidak mengenakan yang Jia rasakan dari sorot mata Steven yang tajam, membuat Jia bergidik ngeri.
"Sama sekali tidak, Jie-Jie tidak pernah meragukan mu. Karena Jie-Jie sangat mempercayaimu." Bibir Jia mengukir senyum lembut.
Jia mengangkat tangan kanannya yang kemudian Ia letakkan di atas kepala Steven, mengacak rambutnya kemudian bangkit dari duduknya, melenggang meninggalkan Steven begitu saja saja
Pemuda itu menoleh, menatap punggung Jia yang semakin menjauh dengan sendu. Ada rasa sedih yang memenuhi perasaanya hingga membuat dada Steven terasa sesak seperti dihimpit dua batu besar. Membuat nafasnya tercekat.
"Bersabarlah sebentar lagi, Jie, aku pasti akan mengambil semua yang menjadi hak kita. Aku akan menghancurkan orang itu sehancur-hancurnya. Hingga dia tidak lagi mampu menghadapi dunia."
Steven mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat hingga membuat kuku-kuku jarinya memutih. Kedua matanya berkilat tajam penuh kebencian.
Dia bersumpah akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya dan Jia. Steven membiarkan orang itu berlama-lama menikmati harta keluarganya. Dan cepat atau lambat, Steven pasti akan mengambilnya kembali dan menghancurkan orang itu sehancur-hancurnya.
Pemuda itu bangkit dari duduknya, kemudian melangkah. Berjalan menuju kamarnya yang berada dilantai dua.
.
.
"Aku memiliki solusi untukmu. Saat aku masih kecil, Mama selalu mengatakan jika aku sedang sedih. Dia memintaku untuk berdiri di depan jendela sambil menutup mata selama 5 detik. Dan Mama mengatakan padaku, jika kesedihan itu akan hilang,"
Steven tersenyum tipis mengingat kenangan masa lalunya. Saat Ia bertemu seorang gadis kecil bermarga Kang.
Gadis kecil yang pernah menjadi teman baiknya saat masih anak-anak yang juga merupakan cinta masa kecilnya. Steven ingin sekali kembali dan mengulang masa itu, namun sayangnya masa-masa itu tidak mungkin bisa terulang lagi.
Pemuda itu ingin sekali bertemu dengan teman masa kecilnya itu walaupun hanya dalam mimpi, tapi sekali pun keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan.
"Mao, aku merindukan mu." lirih Steven bergumam.
Steven menggumamkan nama gadis kecil itu dengan lirih. Mencoba menyampaikan rasa rindunya pada gadis kecil itu melalui angin malam. Ya meskipun mustahil jika rindu yang Ia kirim melalui angi akan sampai pada gadis itu yang rimbanya saja tidak Steven ketahui.
Pemuda itu menundukkan wajahnya setelah mendengar sesuatu benda terjatuh dan berbenturan dengan lantai kamarnya. Suaranya lumayan pelan, namun masih bisa tertangkap oleh telinganya yang tajam.
Steven lalu membungkukkan tubuhnya agar lebih mudah mengambil benda yang berkilau itu. Rupanya itu adalah sebuah anting berlian, tinggi-tinggi Steven mengangkat anting itu dan menatapnya dengan dahi berkerut.
"Anting milik siapa ini? Mungkinkah anting ini milik gadis tidak tau terimakasih itu?" ucapnya setengah bergumam.
Anting itu sangat cantik, dan seingatnya Jia tidak memiliki anting seperti itu. Dan kemungkinan besar jika anting itu adalah milik gadis tak tau terimakasih yang telah ditolongnya tadi.
.
.
Bersambung.
.
.
T.B.C
Kai menghentikan mobil mewahnya disebuah pedesaan kecil yang terletak disebelah utara kota Busan. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan membuat kepalanya terasa pening.
Didepan sebuah bangunan sederhana yang mungkin akan Ia tempati sampai beberapa hari ke depan, terlihat puluhan orang yang merupakan penduduk asli desa itu berjajar menyambut kedatangannya.
Kai membuka pintu disamping kirinya dan lekas turun dari mobil mewahnya. "Halo." Sapa seorang gadis kecil yang langsung menghampiri Kai. Laki-laki berkulit tan itu berlutut dan mensejajarkan tubuhnya dengan gadis tersebut.
"Siapa namamu nak?" Tanya Kai sambil mengusap kepala gadis kecil itu.
"Naomi, itu namaku." Jawab gadis kecil itu yang ternyata bernama Naomi. Naomi mengeluarkan setangkai mawar merah yang sedari tadi tersimpan dibalik punggungnya dan menyerahkan bunga itu pada Kai.
"Nama yang sangat cantik."
"Benarkah kau Dokter dari Seoul itu? Jika betul, terimalah bunga ini. Anggap saja jika bunga ini adalah tanda persahabatan kita." Kai tersenyum lebar, Ia mengambil bunga itu dari tangan Naomi dan menerimanya dengan senang hati.
"Terimakasih, Naomi. Kakak Dokter akan menyimpan bunga ini."
Kai menggenggam tangan mungil Naomi, keduanya berjalan beriringan menghampiri para warga yang sejak tadi telah menunggu kedatangannya.
Kai adalah Dokter umum yang ditugaskan oleh rumah sakit pusat untuk mengatasi wabah penyakit menular yang melanda desa kecil itu.
Sebenarnya bukan Kai yang awalnya ditugaskan untuk menjadi Dokter suka relawan di sana, Dokter senior bermarga Lee-lah yang seharusnya bertugas dan menjadi suka relawan di desa itu. Namun karna alasan kesehatan, akhirnya rumah sakit pusat menunjuk Kai. Meskipun awalnya kurang yakin, namun keteguhan hatinya menghantarkan Kai sampai di sana.
"Selamat datang Dokter, bagaimana perjalanan Anda?"
Seorang laki-laki paruh baya menyapa Kai dengan segala keramahan yang Ia miliki. Laki-laki itu tersenyum ramah membuat Kai ikut tersenyum.
"Cukup melelahkan. Namun rasa lelah itu terbayar setelah bertemu dengan kalian semua," Jawab Kai dengan senyum yang sama. Menatap satu persatu semua warga yang ada disisi kiri dan kanannya.
"Pasti kau lelah Nak, masuklah. Kami para warga telah menyiapkan beberapa makanan kecil. Itu jika kau mau mencicipinya."
Kai mengangguk sopan lalu memasuki rumah yang terkesan sederhana namun terasa nyaman. Dokter muda itu memperhatikan seisi rumah itu dengan seksama, tempatnya benar-benar sangat nyaman dan jauh dari kebisingan kota. Tanpa ada polusi yang mencemari udara dan selalu menyesakkan dada. Kai benar-benar menyukai tempat itu.
Kai berjalan menuju jendela besar yang berada disamping kanannya lalu membukanya lebar-lebar. Udara segar menyambutnya, menyapa kai dengan menyentuh lembut kulit wajahnya. Selama di Seoul, Kai tidak pernah menemukan udara sesegar ini. Udaranya terlalu banyak tercemar oleh polusi yang berasal dari asap kendaraan yang selalu memadati jalanan pada setiap harinya.
"Dokter, kami permisi dulu, jika Anda membutuhkan sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk memanggil salah satu dari kami." Ucap seorang wanita yang kemudian dibalas anggukan oleh Kai.
"Tentu Nyonya."
Satu persatu warga mulai meninggalkan rumah sederhana itu, dan hanya meninggalkan Kai saja sendiri di sana. Kai kembali mengalihkan perhatiannya, kembali memfokuskan perhatiannya pada pemandangan yang terpampang didepan matanya.
"Seandainya kau berada disini, pasti rasanya akan berbeda. Sayang kau telah memutuskan tali pertunangan kita, aku merindukanmu."
Kai menutup rapat-rapat kedua matanya. Ia kembali teringat pada gadisnya, lebih tepatnya mantan tunangannya. Gadis itu memutuskan pertunangannya dengan Kai setelah hampir 1 tahun mereka bersama, apa alasannya?
Kai sendiri tidak mengetahuinya. Dan gadis itu kini menjauh darinya, memutuskan semua hubungannya dengan laki-laki Kim itu. Meskipun berat kehilangan gadis yang sangat Ia cintai, namun Kai tetap tegar dan menerimanya dengan lapang. Bahkan Kai tidak menyimpan dendam sama sekali, Ia masih berharap jika gadisnya akan kembali kedalam pelukannya lagi.
.
.
"Aaahh ,, sial. Kenapa kepalaku pusing sekali?" Keluh Steven sambil memegangi kepalanya yang berdenyut dan rasanya ingin pecah.
Efek benturan dengan aspal semalam membuat kepala Steven terasa pusing dan berat, kasa selebar 3 jari orang dewasa tampak melekat, membalut pelipis kirinya dengan bercak noda berwarna merah di permukaan kasanya. Menandakan jika luka itu masih sangat segar.
Masih sambil memegangi kepalanya yang terus berdenyut, Steven menyibakkan selimut yang Ia gunakan sebelumnya dan turun dari tempat tidurnya yang nyaman. Kedua kakinya yang tidak beralas bersentuhan dengan lantai kamarnya yang dingin.
Tubuh kekarnya hanya terbalut jeans hitam, sedangkan tubuh bagian atasnya Ia biarkan tellanjang tanpa ada 1 pun benang yang menutupinya. Untung saja di kamar itu hanya ada Steven seorang, jika ada gadis yang tiba-tiba masuk pasti Ia akan terkena serangan Jantung dadakan karena melihat Steven yang sedang tellanjang dada.
Suara decitan pada pintu di buka mengalihkan perhatiannya. Matanya yang setajam elang dan sedingin kutub utara menatap datar sosok jelita yang memasuki kamarnya "Steven, aku dengar kau sakit." Ucap gadis itu ramah.
Kedua mata Karina terbelalak sempurna dengan wajah bersemu merah melihat Steven yang sedang tellanjang dada. Karina menundukkan wajahnya, sudut bibirnya menyungging senyum tipis.
"Karina Song, Apa yang kau lakukan di kamarku?" Tanya Steven yang terdengar kurang bersahabat. Dari sikap dan ekspresinya, Steven tampak biasa saja meskipun Karina melihat Ia dalam keadaan tellanjang dada.
"Aku yang menghubunginya dan memberi taunya jika kau sedang sakit." Sahut seseorang dari arah pintu.
Sontak saja, mereka berdua menoleh dan mengalihkan pandangannya. Menoleh pada sumber suara, terlihat Jia melangkahkan kakinya. Berjalan menghampiri mereka berdua. Jia menggeleng melihat Steven tetep tidak memakai bajunya meskipun ada seorang gadis didalam kamarnya
"Astaga, Steve. Kenapa kau tetap tidak memakai pakaianmu seperti ini? Pakai kembali bajumu. Lihatlah kau membuat Karina malu." Ucap Jia sambil menggelengkan kepalanya.
Sementara itu, tatapan kurang bersahabat Steven berikan pada Jia. Seakan tuli, Steven menghiraukan nasehat dari kakaknya. Dan tetap enggan untuk memakai kembali bajunya.
"Memangnya siapa yang mengijinkannya? Bahkan aku tidak menyuruhmu melakukan itu. Aku tidak suka ada orang asing di kamarku!!"
"Ada yang salah?" Tanya Jia menyela ucapan Steven.
Tidak ada sahutan, Steven menyikapi ucapan Jia dengan tatapan datar.
"Ayolah, sampai kapan kau akan bersikap seperti ini? Sampai kapan kau akan membiarkan dirimu sendiri dalam kesepian dan kekosongan? Kau membutuhkan seseorang untuk mengisi hatimu yang hampa. Karina, adalah gadis yang baik dan Jie-Jie sangat menyukainya, jadi Jie-Jie rasa tidak ada salahnya jika kau mencobanya." Kata Jia sembari tersenyum tulus.
Apa yang kau tau tentang diriku, Jie? Siapa bilang jika aku selalu kesepian? Aku tidak pernah merasa kosong apalagi kesepian. Aku tidak butuh cinta, aku tidak butuh kehadiran mahluk yang disebut wanita. Karena mereka hanya merepotkan saja."
BLAMMM ... !!! ...
Jia menutup matanya, nyaris saja Ia terkena serangan jantung dadakan karena ulah Steven. Adiknya itu membanting pintu kamar mandi dengan kasar hingga menimbulkan dentuman suara yang sangat keras. Sementara itu, Karina menunduk sedih setelah mendengar ucapan Steven yang sangat menyakitkan.
Ia tidak pernah mengira jika Steven akan mengatakan kalimat sedingin itu padanya."Dia memang tidak pernah menyukaiku, tidak akan pernah." Karina tidak dapat membendung kesedihannya.
Baru kali ini Ia ditolak oleh yang namanya pemuda, karena sejak SMP sampai Ia masuk ke dalam perguruan tinggi. Sekali pun tidak ada yang bisa menolak pesona dan kecantikannya, banyak pria yang bertekuk lutut padanya dan berlomba untuk mendapatkan hatinya. Termasuk para sahabat Steven.
"Kau baik-baik saja?" Jia menyentuh bahu Karina sambil menatapnya sendu. Gadis itu mendongak dan menggeleng.
"Aku tidak apa-apa, Kak. Sebaiknya aku pulang sekarang." Ucap Karina dan dibalas anggukan oleh Jia.
"Hati-hati, Karina. Maaf, tidak bisa mengantarkan mu." Kata Jia penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, Kak. Aku bisa pulang sendiri."
Jia menatap sendu punggung Karina yang semakin menjauh sampai sosoknya menghilang dibalik pintu kamar Steven. Dari pintu itu, Jia mengalihkan pandangannya. Menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat itu.
"Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini, Steve? Jie-Jie, sangat sedih melihatmu seperti ini, kau tidak seperti adik kecil Jie-Jie yang dulu. Jie-Jie, merindukanmu yang dulu."
Dengan perasaan sedih, Jia melenggang meninggalkan kamar Steven.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!