"Mel!" Bapak mengajakku duduk mengobrol malam itu. Aku selalu takut saat seperti ini. Bapakku bukan orang yang galak, tapi beliau sangat berwibawa, membuatku senam jantung tiap kali diajak ngobrol berdua seperti ini. Pasti ada masalah serius yang akan beliau katakan.
"Ya, Pak? Ada apa?"
"Begini, kamu kan sudah lulus kuliah, sudah mengajar juga, jadi sudah pantas untuk berumah tangga. Lagipula teman-temanmu juga banyak yang sudah menikah. Kamu bagaimana? Apa sudah ada calon? Kenapa belum pernah kamu kenalkan sama Bapak?" Bapak bertanya hati-hati. Umurku baru 25 tahun, sebenarnya belum terlalu tua. Tapi entah kenapa, Bapak seperti sangat khawatir kalau aku akan jadi perawan tua.
Aku menggeleng pelan.
"Mela belum punya calon, Pak. Jangankan calon, orang yang Mela incar juga belum ada. Belum ada gambaran sama sekali." Aku tertunduk. Jujur saja, aku takut menaruh hati pada orang yang salah. Aku juga tidak mau membuat nama baik orang tuaku jadi buruk kalau aku memiliki hubungan dengan lawan jenis, sebelum halal.
"Bagaimana kalau kamu menikah dengan putra dari Pak Yusuf? Mantan kaum rois desa sebelah. Dia tengah mencari calon istri. Kebetulan kemarin kakaknya ke sini dan melihat kamu menjemur baju, jadi beliau menanyakan kamu pada Bapak."
"Menanyakan bagaimana, Pak?" Aku masih belum paham dengan maksud ucapan Bapak.
"Menanyakan, kamu mau atau tidak kalau jadi istrinya. Dia sudah lama mencari calon istri, tapi belum ketemu juga. Jadi kakaknya berharap, kamu mau jadi istri putra bungsu Pak Yusuf."
Deg!
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kenapa harus secepat ini? Bahkan kami berdua tidak saling mengenal satu sama lain. Yang saling kenal hanyalah Bapak dan putra sulung dari Pak Yusuf. Bukan aku dan putra bungsu Pak Yusuf yang namanya saja aku bahkan tidak tau. Apa bisa, menikah dengan cara seperti ini?
"Tapi, Pak. Kami tidak saling mengenal, bagaimana bisa tiba-tiba menikah?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Besok kan pasti kenalan, kalau kamu memang setuju. Minimal berkenalanlah dulu, siapa tau, dia memang jodoh kamu, kan? Lagi pula dia putra dari Pak Yusuf, Bapak yakin kalau dia pasti sebaik dan sealim bapaknya. Putra sulungnya juga baik dan alim, jadi kemungkinan besar adik-adiknya juga menuruni sifat dari Pak Yusuf." Bapak berusaha meyakinkanku, dengan membawa-bawa nama Pak Yusuf yang memang cukup terkenal di desaku.
"Jadi, Bapak setuju dengan perjodohan ini?" Aku bertanya dengan hati-hati, tidak mau kalau sampai membuat Bapak sakit hati.
"Bapak setuju, kalau melihat dari profil keluarganya, dia pasti anak baik-baik. Tapi semua tetap terserah sama kamu. Bapak tidak memaksa, karena yang akan menjalani pernikahan itu adalah kalian."
"Apa putra bungsu Pak Yusuf juga sudah tau, kalau mau dikenalkan sama Mela, Pak?" Aku hanya ingin tau saja, karena akan aneh kalau aku mau, tapi dia tidak mau, kan?
"Sedang ditanyakan, kalau kamu mau, nanti Bapak akan ke rumah beliau, untuk bertanya langsung, mau bagaimana dan seperti apa kelanjutannya."
"Ya sudah, Pak. Mela ikut apa kata Bapak saja." Aku menunduk pasrah.
Aku sebenarnya bingung harus bagaimana, ingin menolak, tapi takut kalau aku akan jadi perawan tua seperti kata orang-orang dulu. Tidak baik menolak lamaran. Siapa tau beliau memang jodohku, kan? Dan ini memang cara untuk kami bertemu.
Lagi pula, aku sudah selalu merepotkan Bapak, sejak kecil sampai saat ini aku sudah mengajar pun masih tetap merepotkan Bapak. Mungkin ini caraku agar bisa membuat Bapak bahagia, dengan menjadikannya besan dari orang yang terpandang, kan?
Bapak sudah berumur, aku juga masih punya dua adik yang harus dibiayai Bapak. Mungkin dengan aku menikah, aku bisa mengurangi beban Bapak, karena aku akan sepenuhnya ditanggung oleh suami, kan?
"Tapi kamu tidak terpaksa, kan?" Bapak bertanya sekali lagi.
Aku menggeleng.
"Bismillah, Pak. Aku mau mencoba berkenalan dengan beliau. Semoga kami berdua memang cocok." Akhirnya aku berkata dengan mantap, dengan berbagai pertimbangan yang tadi kupikirkan.
"Syukurlah. Kalau begitu, besok Bapak akan bertamu ke rumah Pak Yusuf, untuk membahas hal ini." Aku melihat raut wajah Bapak yang tersenyum bahagia. Mungkin memang ini yang Bapak inginkan.
"Baik, Pak. Besok biar kami bertukar CV saja, untuk mengenal satu sama lain. Tidak perlu bertemu dan lain sebagainya. Aku takut akan terjadi fitnah dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Pak. Kalau mau menghubungiku, bisa diwakilkan ke keluarganya yang perempuan saja, supaya kami tidak berkirim pesan ke arah yang negatif, sebelum kami benar-benar halal." Aku berpesan pada Bapak, untuk menyamakan persepsi.
Bapak memang bukan orang kota yang berpengetahuan luas, bukan juga seorang pemuka agama yang paham banyak tentang aturan dalam agama. Tapi beliau berusaha menjaga sholat lima waktu di masjid dan juga suka mendengarkan ceramah-ceramah di radio atau di pengajian umum yang bisa dijangkau. Aku yakin, Bapak bisa memahami prinsip dasar yang juga baru kuketahui setelah aku kuliah dulu. Hal-hal terkait dengan ta'aruf untuk mendapatkan jodoh.
"Baik, besok akan Bapak sampaikan ke beliau." Bapak mengangguk paham.
***
Bapak segera melancarkan rencananya setelah mendapat persetujuanku. Sepertinya beliau memang benar-benar menginginkan pria tersebut untuk menjadi suamiku kelak. Aku tidak bisa menolak, aku sadar diri, sudah terlalu merepotkan Bapak selama ini. Mungkin ini saatnya aku untuk berbakti, dengan mengikuti apa yang beliau inginkan. Aku memantapkan hatiku, semoga memang seperti ini jalan yang harus kutempuh dalam menemukan jodoh.
Aku mengirimkan CV-ku terlebih dahulu pada lelaki yang belum ku ketahui nama lengkapnya itu. Aku baru tau nama panggilannya saja, "Aak". Itu juga saat Bapak memberiku secarik kertas berisi deretan nomer telepon juga nama panggilannya. Tidak ada nomer lain selain itu, aku pikir tidak apa-apalah, toh kami tidak berkirim pesan yang macam-macam. Hanya berniat ta'aruf saja.
Selang satu hari kemudian, aku baru mendapatkan balasan CV, seperti yang kuminta. Aku membacanya saat jam istirahat sekolah di kantor. Aku membaca satu persatu kata yang ditulis oleh Mas Aak.
"Ada apa s, Bu Mela? Serius banget?" Bi Lina, teman akrabku sejak sekolah, yang kebetulan mengajar di tempat yang sama denganku tiba-tiba menepuk pundakku. Meskipun akrab, tapi kami tetap menghormati satu sama lain dan semenjak jadi guru, kami memang terbiasa memanggil dengan sebutan Bu, untuk membiasakan pada murid-murid kami.
"Eh, enggak." Aku tersenyum, ternyata dia sudah memperhatikanku sejak tadi.
"Jangan bohong de, Bu! Kelihatan kok, kalau ada yang sedang dipikirkan."
"Ini, Bu. Aku sedang berkirim CV sama seorang laki-laki, aku menerima perjodohan dari Bapakku." Aku mengatakan apa yang sebenarnya. Aku memang tidak terbiasa berbohong.
"Wah! Ada yang mau melepas masa lajangnya, nih!" Bu Lina justru meledekku.
"Iya, Bu. Tapi aku ragu." Aku tidak seyakin kemarin setelah membaca CV yang Mas Aak kirimkan padaku.
"Kenapa ragu?"
Aku memperlihatkan CV yang kulihat melalui laptop itu, supaya bisa terlihat dengan jelas. Termasuk juga fotonya.
"Apa yang salah sih, Bu? Orangnya gendut ya? Dekil dan nggak tampan? Juga nggak rapi?" Bu Lina hanya memperhatikan fotonya saja.
"Bukan itu, Bu. Aku nggak masalah sama fotonya kok. Seperti apapun, itu tetap ciptaan Allah, tidak boleh kita cela."
"Trus, apa yang jadi masalah? Nggak sesuai kriteria?" Bu Lina menebak apa yang aku pikirkan.
Aku mengangguk pelan.
"Emangnya seperti apa kriteria pria idamanmu, sih?"
"Ya pengennya yang seprofesi, Bu. Guru atau yang lainnya. Pokoknya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, seorang ustadz juga boleh. Yang berpenampilan rapi, nggak merokok, nggak neko-neko, suka membaca, pinter, pokoknya yang begitu-begitu deh." Aku tersenyum karena berangan-angan, membayangkan pria idamanku, sepertinya akan menyenangkan, kalau punya suami yang seprofesi. Pasti akan saling mengerti dan saling membantu dalam segala hal, termasuk dalam pekerjaan di luar.
"Nah itu, yang kirim CV seperti apa orangnya?" Bu Lina bertanya lebih lanjut. Sepertinya dia belum membaca isi dari CV yang dia kirimkan padaku tadi.
"Nggak suka membaca, merokok, ikut komunitas pecinta vespa, tadarus juga jarang. Untungnya sih masih punya nilai tambah, dia selalu sembahyang lima waktu tanpa bolong." Aku memberikan sedikit gambaran dari apa yang tertulis dalam CV itu.
"Jauh banget dari kriteria idamanmu berarti ya?" Bu Lina manggut-manggut, sepertinya dia paham dengan apa yang kurasakan.
"Ya begitulah, tapi gimana ya, Bu? Aku terlanjur setuju dijodohkan dengan dia. Aku nggak mau membuat Bapak kecewa, juga membuat nama baik Bapak jadi buruk, karena dianggap perkataannya tidak bisa dipercaya." Aku kembali dalam kebimbangan, antara menuruti egoku, atau menjaga nama baik bapakku.
"Kalau pihak sananya gimana? Dia pasti mau sama kamu?"
"Katanya sih begitu, dia mau menerima siapapun, yang penting mau sama dia. Soalnya udah lama nggak nikah-nikah, dicarikan sana sini, cari sendiri, belum ada yang mau sampai saat ini. Jadi, dia nggak punya syarat macem-macem, yang penting mau aja. Nggak perlu yang lain-lain." Aku mengingat-ingat apa kata Bapak tempo hari, kasian juga kalau aku juga menolak lamarannya. Mungkin aku sama saja seperti perempuan lainnya, yang tidak bisa menerima dirinya.
"Wah, ya berat ya. Nggak ada kesempatan buat membatalkan perjodohan itu. Kalau sananya nggak bakalan menolak gitu."
"Iya, aku juga nggak enak mau bilang sama Bapak. Jadi aku lebih baik gimana ya?" Aku meminta pendapat pada Bu Lina, berharap mendapat jalan keluar.
"Coba dibicarakan aja dulu, Bu. Apa yang tidak disukai, mau nggak kalau dia merubahnya, gitu. Jadi kan ada komunikasi, nggak cuma dipendam sendiri, Bu. Takutnya akan jadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Nggak baik juga untuk kelangsungan hubungan. Karena yang namanya pernikahan itu bukan hal yang main-main, Bu. Pernikahan itu akan berjalan terus seumur hidup, kan? Jadi ya harapannya kita bersama dengan orang yang cocok sama kita. Bisa saling melengkapi dan menghargai." Bu Lina memberikan nasehat terbaiknya padaku. Aku juga setuju dengan hal itu. Menikah memang harapannya hanya sekali seumur hidup. Tapi, apa aku siap, hidup bersama dengan orang yang karakternya tidak sesuai dengan harapanku?
"Ada apa ini, kok sepertinya serius sekali?" Bu Laras, guru pendidikan agama di sekolahku ikut nimbrung.
"Hehe, enggak, Bu." Aku hanya tersenyum, aku belum bisa menceritakan ini pada orang lain. Meskipun sesama teman di sekolah, tapi aku masih sungkan dengan beliau yang lebih senior.
"Ini, Bu. Bu Mela dijodohkan sama laki-laki yang belum dia kenal, dan dari CV yang dikirimkan, ternyata Bu Mela kurang suka dengan beliau. Jadi ini Bu Mela lagi bingung, mau melanjutkan, atau tidak. Karena ini menyangkut nama baik bapaknya, Bu." Bu Lina justru membeberkan apa yang seharusnya ingin kurahasiakan. Dasar ember memang! Aku hanya melirik sekilas pada Bu Lina, lirikan tajam penuh ancaman, kalau memang dia bisa memahami.
"Wah, alhamdulillah, Bu Mela. Akhirnya akan menikah juga. Saya turut bahagia ya." Bu Laras tersenyum sumringah, khas beliau yang kalem tapi tegas.
"Hehe, iya, Bu. Tapi masih bingung itu. Karena ada beberapa hal yang tidak saya sukai dari beliau. Saya tau, kalau cinta, mungkin bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi kalau masalah kebiasaan yang buruk, apa saya bisa memakluminya, Bu?" Aku mencoba mencari solusi dari Bu Laras yang memang sudah senior, mungkin saja beliau bisa memberikan petunjuk pembuka hatiku.
"Begini, Bu Mela. Namanya manusia, itu memang tidak ada yang sempurna. Semua pasti memiliki kelebiha dan kekurangan. Begitu juga dengan diri kita. Kita sebagai perempuan, boleh memiliki kriteria untuk calon pendamping kita. Tapi kita juga harus ingat, mereka juga pasti punya kriteria untuk calon pendampingnya kelak, kan? Nah, pertanyaannya, apakah kita juga sudah seperti apa yang mereka inginkan? Jadi jangan hanya menuntut tanpa berkaca ya." Ucapan Bu Laras benar-benar menusuk hatiku. Beliau benar, aku tidak boleh terlalu sombong, merasa pantas mendapatkan lelaki seperti apa yang kuinginkan. Padahal bisa saja, lelaki yang memiliki kriteria itu, justru tidak mau denganku yang biasa-biasa saja ini kan?
"Betul juga, Bu." Aku manggut-manggut, menanggapi ucapan Bu Laras.
"Nah begitu, Bu. Siapa tau, memang Bu Mela adalah jodoh yang dituliskan untuk beliau. Dan besok, setelah bersama Bu Mela, bisa saja, beliau mau merubah semua kebiasaan buruknya, karena rasa cintanya pada Bu Mela, kan? Kebiasaan buruk itu, bisa dilawan, yang penting ada kemauan, Bu. Jadi, tetap ada harapan bisa berubah." Bu Laras melanjutkan.
"Semoga saja seperti itu ya, Bu."
"Nah iya, kalau Bu Mela bisa merubah semua kebiasaan buruk dari beliau, kan akan jadi pahala yang luar biasa? Apa tidak kepengen seperti itu?" Bu Laras tersenyum, ucapannya benar-benar membuatku jadi yakin, keren sekali kalau bisa membuat kebiasaan buruk jadi baik.
"Baiklah, Bu. Terimakasih banyak sarannya." Aku membalas senyum Bu Laras.
"Kalau memang masih tetap ragu, lebih baik sholat istkhoroh dulu saja, Bu. Minta petunjuk pada Sang Maha Kuasa, apakah memang beliau jodoh terbaik untuk Bu Mela?" Bu Laras menambahkan.
"Tapi kalau misalnya tidak kunjung bermimpi, bagaimana, Bu?"
"Petunjuk tidak selalu dalam bentuk mimpi, Bu. Tapi bisa juga berupa kemantapan hati. Hati menjadi lebih yakin dan mantap untuk mengambil keputusan, itu juga merupakan sebuah petunjuk. Jangan lupa, coba dikomunikasikan juga, buat semacam perjanjian tidak tertulis, supaya beliau tidak kaget, kalau tiba-tiba saat jadi istrinya kelak, Bu Mela jadi banyak mengatur dan banyak maunya, misalnya."
"Baik, Bu. Nanti akan saya tanyakan. Terimakasih banyak ya, Bu." Aku tersenyum.
Aku segera mengetikkan balasan untuk Mas Aak.
[Maaf, Mas. Ada beberapa hal yang saya kurang suka dari kebiasaan Mas Aak. Apa nanti jika sudah menikah, Mas Aak bersedia untuk merubahnya?]
Aku menutup mataku dengan telapak tangan kananku, "Ya ampun, formal banget bahasaku," batinku. Tapi tidak apa-apalah, namanya juga belum saling mengenal, wajar kan kalau pakai bahasan formal? Supaya ada kesan menghormati.
Tak lama kemudian, sebuah balasan masuk. Aku segera membacanya, aku takut kalau pesanku tadi menyinggung perasaannya. Ternyata benar saja, jawabannya sangat singkat, tapi lumayan positif.
[Akan ku coba.]
Itu saja yang tertulis. Aku bingung harus menjawab apa lagi, karena aku memang tidak terbiasa berbalas pesan dengan laki-laki. Apalagi ini memang dengan tujuan yang sangat sensitif. Aku takut kalau kebablasan, jadi hubungan yang tidak baik sebelum halal.
[Trimakasih, Mas.]
Akhirnya hanya itu saja yang kutulis. Aku saudah tidak berharap balasan lagi. Tapi ternyata, Mas Aak masih membalas lagi, aku segera membacanya.
[Minggu depan aku datang bersama rombongan, untuk melamarmu.]
Deg!
Wajahku seketika memanas, darahku seperti mendidih. Secepat ini? Langsung lamaran? Kami bahkan belum pernah bertemu! Apa ini mungkin?
Aku memilih untuk tidak membalasnya, akan kutanyakan pada Bapak nanti di rumah.
***
Malam hari setelah Bapak sedang bersantai, aku memberanikan diri untuk membicarakan tentang lamaran itu.
"Pak!" Aku memanggil dengan lembut.
"Ya, ada apa,Mel?" Bapak melepas kacamatanya, dan meletakkan HP yang sedang beliau gunakan tadi di atas meja.
"Katanya Mas Aak, minggu depan rombongannya mau ke sini untuk melamarku. Apa Bapak Ibu sudah tau?" Aku langsung mengatakan pada intinya.
"Iya, Bapak Ibu sudah tau. Pak Imroni, kakak sulungnya Aak sudah kasih tau. Kamu siap kan? Kamu akan menerima lamarannya, kan?" Bapak bertanya, wajahnya menunjukkan wajah penuh harap. Ya Tuhan, aku tidak bisa menolak kalau Bapak sudah bersikap seperti ini. Apa ini memang sebuah petunjuk, kalau memang Mas Aak adalah jodoh untukku?
"Apa ini tidak terlalu cepat, Pak?" Aku mencoba bernego, siapa tau bisa mengulur sedikit waktu, sampai aku merasa siap.
"Tidak baik menunda kebaikan, Mel. Untuk urusan kebaikan, lebih cepat lebih baik. Lagi pula, mau menunggu apa lagi? Kalau kedua belah pihak sudah setuju, kan lebih baik disegerakan? Daripada jadi fitnah, kan? kalian berdua juga sudah sama-sama cukup umur, jadi lebih baik segera saja."
"Baiklah, Pak." Aku menunduk, tidak bisa membantah lagi.
"Besok kamu bantu ibumu siapkan semuanya, hidangan dan lain sebagainya, ya! Biar Bapak yang mengundang saksi untuk lamaran kamu." Bapak mulai membagi tugas.
"Baik, Pak." Sekali lagi, aku hanya bisa menerima, tidak bisa menolak sedikitpun.
"Mbak! Mbak Mela mau menikah ya?" Singgih, adikku yang masih umur 5 tahun itu tiba-tiba ikut nimbrung.
"Kok kamu tau?" Aku heran juga, adikku yang masih kecil ini, pemikirannya memang sudah seperti orang tua. Gaya bicaranya juga seperti itu, sudah seperti orang yang paham dengan apa yang dia katakan.
"Bapak sama Ibu yang bilang. Katanya Mbak Mela mau menikah, terus nggak tinggal di sini lagi. Besok mau ikut di rumah suaminya." Jawabannya yang polos membuat dadaku terasa sesak. Benar juga apa yang Singgih katakan, kalau aku menikah, otomatis aku akan pergi dari rumah ini. Apa aku siap? Pasti sangat menyedihkan. Aku merasakan mataku tiba-tiba perih, pasti sebentar lagi air mata akan jatuh. Tahan, tahan, sekuat tenaga aku menahan agar air mata tidak jadi jatuh menetes.
"Mbak, kok diem aja sih?" Singgih menagih jawaban dariku.
"Hehe, iya. Mbak sebentar lagi mau menikah." Aku mencoba tersenyum, berharap air mataku tidak jadi menetes, meskipun yang terjadi justru sebaliknya. Sudut mata yang menyipit membuat calon-calon air mata berkumpul jadi satu dan menetes begitu saja.
"Mbak, kok nangis sih?" Singgih kembali bertanya, dia segera mendekatiku dan minta untuk duduk di pangkuanku.
"Eh, enggak kok." Aku mengusap air mataku yang sudah terlanjur menetes.
"Apa Mbak Mela nggak bahagia? Kok menangis?"
Ya ampun, Singgih. Pertanyaanmu benar-benar sulit untuk ku jawab.
"Mbak Mela bahagia, kok. Ini air mata bahagia." Aku sengaja berbohong, aku tidak bisa membuat Bapakku terluka.
"Bahagia mau pergi dari rumah ini ya? Apa Mbak Mela udah nggak sayang sama Singgih? Besok, Singgih main sama siapa dong? Mas Sigit suka jail, dia juga lebih suka main sama temen-temennya."
Deg!
Lagi-lagi ucapan Singgih membuat hatiku terasa teriris. Aku mengedip-ngedipkan mataku, berusaha menahan air mataku kembali jatuh.
"Singgih, jangan ngomong gitu! Nanti Mbak Mela jadi sedih. Kan sekolahnya Mbak Mela cuma deket situ, jadi Mbak Mela masih tetep bisa ke sini setiap hari, kalau mau berangkat sekolah, atau sepulang sekolah. Jadi, Singgih masih tetep bisa bermain sama Mbak Mela." Bapak mewakili aku yang tak kunjung menjawab pertanyaan Singgih.
"Asyik! Yaudah deh kalau gitu, Mbak Mela menikah aja nggak papa. Yang penting setiap hari tetep main ke sini, ya!" Singgih memelukku dengan erat. Meskipun dia laki-laki, dia memang lebih dekat denganku daripada dengan adikku yang pertama, si Sigit yang masih SMP itu.
"Iya, besok Mbak tetep mampir dan main sama Singgih. Yang penting Singgih jangan nakal dan bikin Mbak Mela kesel. Oke?" Aku mencoba tersenyum, melihat wajah bocahnya yang polos itu.
"Oke, Mbak. Janji!" Dia menunjukkan jari kelingkingnya, mengajakku untuk janji kelingking. Aku heran juga, kenapa dia tau hal itu? Dari mana? Padahal aku tidak merasa mengajrkannya, apa lagi bapak dan ibuku yang sehari-hari berkeja di sawah. Tidak mungkin mereka yang mengajarkan itu pada Singgih, kan?
Tapi aku tetap menyambut kelingkingnya, supaya tidak membuatnya kecewa.
***
Hari-hari berikutnya, aku cukup sibuk menyiapkan acara lamaranku. Aku tidak mau membuat nama baik Bapak menjadi buruk, kalau tidak memberikan hidangan dan tempat yang pantas untuk para tamu nanti. Meskipun tidak mewah, setidaknya semua harus pantas, jadi tidak akan menjadi buah bibir siapa saja yang berada di dumah kami besok saat lamaran berlangsung.
Sampai hari yang ditentukan, rombongan Mas Aak sudah sampai. Hatiku berdebar tidak karuan. Meskipun menunduk, aku mencoba curi-curi pandang, mencari mana yang namanya Mas Aak. Mengingat-ingat wajahnya yang dikirimkan melalui foto tempo hari. Sampai aku yakin, kalau dia orangnya.
Badannya cukup tinggi, sedikit gemuk, bibir menghitam, pasti karena sering merokok, memakai baju koko longgar dengan bawahan celana jeans longgar. Aku geleng-geleng kepala, sambil menutup mataku.
"Kenapa benar-benar tidak rapi? Padahal yang lainnya berdandan sangat pantas. Apa dia memang tidak peduli pada penampilan? Sangat jauh dari pria yang kuidamkan. Apa aku bisa tetap menerimanya?" Aku hanya bisa membatin. Karena tidak mungkin juga aku menolak lamarannya, semua sudah terlanjur. Yang bisa kulakukan hanya menerima dan berharap semua akan baik-baik saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!