"Astagfirullah, setan!" pekik Ayana secara reflek setelah menutup pintu kulkas. Tadi saat ia sampai di dapur, kedua matanya masih terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan sang Abang, yang ternyata kini sedang duduk di kursi dekat meja bar.
"Sembarangan! Ganteng begini lo bilang setan? Katarak lo?" decak Tama sambil melotot tajam ke arah Ayana, "baru bangun lo?" tanyanya kemudian. Saat menyadari wajah sang adik terlihat khas seperti orang yang baru bangun tidur.
Perempuan itu mengangguk sambil membuka tutup botol air mineral dan langsung menegaknya. Setelah menuntaskan dahaganya, ia kembali menutup botol itu dan menghampiri sang Abang.
"Anak gadis kok jam segini baru bangun," cibir Tama sambil geleng-geleng kepala.
"Gue abis jaga malam, Bang," balas Ayana tidak terima, "Kak Fira sama Gandhi mana?" Ia celingukan mencari keberadaan sang Kakak ipar dan keponakan yang tak terlihat batang hidungnya.
"Di rumah. Gue dateng sendiri ke sini."
"Dih, kayak jomblo aja lo, Bang. Mainnya sendiri," cibir Ayana.
Tama mendengus. "Bukannya lo yang jomblo? Gue sih pria beristri yang hampir punya dua anak."
Kedua bola mata Ayana membulat secara reflek. Hampir punya dua anak? Kan ponakannya baru satu.
"Lo abis ngehamili siapa lagi, Bang, sampai mau punya dua anak?"
Ekspresi wajah Tama terlihat tidak percaya. Ia mendorong dahi sang adik diiringi decakan kesal. Terkadang Tama heran bagaimana cara Ayana masuk kedokteran dengan otaknya yang begitu.
"Ya, bini gue lah."
Kedua mata Ayana membulat secara spontan. "Kak Fira hamil lagi?"
Tama tersenyum tipis seraya mengangguk. Bukannya senang, ekspresi Ayana malah terlihat murung. Hal ini membuat Tama heran.
"Kenapa lo keliatan nggak seneng gitu?"
"Ya, gimana mau seneng, punya ponakan satu aja gue suka diporotin. Gimana dua? Ah, tambah miskin pasti gue abis ini."
Tama terkekeh. "Makanya, buka praktek sendiri juga, Na. Pagi sama sore doang gitu, siangnya lo shift di RS. Biar cepet kaya, katanya mau ambil spesialis pake duit sendiri."
"Bang, gue shift di RS doang aja putus mulu. Apa kabar kalau sama buka praktek?" dengus Ayana lalu mengigit buah pisang, "enggak bisa ngerasain pacaran kali gue, Bang."
"Hussh, nggak boleh ngomong gitu," tegur Tama terdengar tidak suka, "lagian selama ini lo diputusin mulu bukan karena profesi lo, tapi karena lo-nya yang bego kalau milih pacar. Makanya diputusin mulu."
"Enak aja, gue pernah mutusin juga kali, Bang," sahut Ayana tidak terima.
Dengan wajah malasnya Tama hanya mangguk-mangguk dan mengiyakan.
"Coba deh, Na, cari yang seprofesi gitu. Emang di RS tempat praktek nggak ada cowok available?" tanya Tama heran. Menurutnya adiknya ini cantik dan juga menarik, tubuhnya juga bagus. Masa tidak ada yang tertarik dengan adiknya ini?
"Ada. Cuma mereka nggak mau sama gue."
Tama kembali terkekeh dan tidak percaya. "Masa? Adek gue secakep ini, tapi nggak ada yang mau? Lo yang pemilih kali!"
Ayana mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.
"Jadi kali ini diputusin apa yang mutusin?" tanya Tama mengubah pembicaraan mereka ke topik tujuan awalnya.
"Diputusin atau yang mutusin itu nggak penting. Toh, intinya tetep sama, hubungannya berakhir."
Tama ber'oh'ria sambil manggut-manggut. "Oh, diputusin lagi. Kali ini gegara apa?
"Enggak jauh beda dari yang sebelum-sebelumnya," balas Ayana cuek.
Tama mendesah lalu melirik sang adik. "Ya ampun, kasian banget sih adek gue. Berarti fix, Na, lo harus cari yang seprofesi."
"Dih, kok situ yang ngatur? Suka-suka gue lah mau sama yang seprofesi apa beda profesi."
Tama langsung berdecak kesal sambil menjitak kepala Ayana. "Heh, selama ini lo selalu cari pacar suka-suka lo sendiri, apa endingnya yang paling sering? Ya, elo ditinggalin, Na. Nggak nyadar lo?"
Ayana hanya diam dan memilih tidak menjawab.
"Gue cariin aja ya, sama temen gue mau?"
"Ogah! Gue masih bisa cari sendiri tanpa harus dijodoh-jodohin gini."
"Gue nggak jodohin, cuma kenalan. Kalau cocok lanjut kalau enggak, ya udah. Jalan masing-masing."
Ayana kembali menggeleng cepat. Ia belum merasa tertarik dengan tawaran Tama. Toh, ia belum lama putus. Jadi menurutnya ia tidak perlu terburu-buru dalam mencari pengganti.
"Beneran nggak mau lo?"
Ayana terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya menoleh ke arah sang Abang. "Ganteng, Bang?"
"Jelas lah, kalau nggak ganteng mana mungkin gue kenalin ke lo, Na. Udah jelas ganteng lah," sahut Tama dengan semangat 45-nya.
Di luar dugaan, Ayana justru malah menggeleng. "Lagi capek sama yang ganteng gue, Bang, mau sama yang biasa aja."
Jawaban sang adik sukses membuat Tama melongo. Ini maksudnya Ayana lagi mau cari pasangan yang jelek gitu?
"Kenapa ekspresi lo gitu, Bang?" tanya Ayana heran.
"Mikir."
"Mikir apaan?"
"Tadi maksud lo, lo mau dicariin pasangan yang jelek aja gitu nggak sih?" Kini giliran Tama yang bertanya dengan ekspresi herannya. Ia bingung sekaligus tidak paham.
"Yang nggak gitu juga maksud gue, Abang. Gue nggak mau sama yang ganteng banget gitu loh, ngerti nggak sih lo? Biasa aja gitu, yang penting enak lah dilihat. Udah cukup. Nggak harus ganteng banget."
"Oh," Tama mengangguk paham, "kalau soal itu lo jangan khawatir, temen gue ini nggak seganteng itu kok, ya masih gantengan gue lah ke mana-mana."
"Enggak percaya gue, lo kan narsis," sahut Ayana tidak percaya.
"Tapi buktinya gue laku lebih cepet, Na," balas Tama jumawa.
Ayana menghela napas panjang dan menatap Tama serius. "Bang, barang mewah yang limited edition tuh lakunya lebih lama ketimbang barang murah."
"Apaan, kemarin Kakak lo ngincer barang, katanya limited edition, mahal dan dia tetep nggak kebagian dan berujung misuh-misuh mulu tuh. Pake acara nyalahin gue juga lagi," curcol Tama kemudian.
Ayana hanya mampu memasang wajah datarnya, karena bingung juga hendak membalas apa.
"Tapi, Na, yang paling penting dia dokter juga kayak kamu. Dan temen gue ini udah spesialis," ucap Tama tiba-tiba mengajak Ayana kembali ke topik awal.
Menurut Tama, temannya ini cukup berpotensial untuk dijadikan calon adik ipar atau bahkan calon mantu kedua orang tuanya. Karena ia sendiri sudah mengenal pria itu selama bertahun-tahun dan mereka cukup akrab sampai sekarang, meski keduanya sama-sama sibuk.
"Ya terus kenapa?"
Sebenarnya Ayana tidak begitu tertarik dengan yang seprofesi. Meski Tama maupun keluarganya mencoba menyarankan dirinya untuk mencari pasangan yang seprofesi, karena mengingat pengalaman sebelum-sebelumnya, mantan pacar Ayana kurang bisa memahami profesinya.
"Seprofesi sama lo lah."
Ayana menghela napas sambil melirik sang Abang dengan ekspresi malasnya. "Lo pengen banget gue sama yang seprofesi, Bang?"
Tama mengangguk. "Lumayan."
Sambil mendesah panjang, Ayana menggeleng. "Enggak dulu deh, Bang, gue belum tertarik begituan. Masih capek." Ia benar-benar sedang malas melewati fase kenalan-dekat-pacaran-
dan berujung diputusin, "nanti. Kasih gue waktu sendiri dulu."
Ah, Ayana benar-benar tidak mood untuk mengalami itu semua.
Tidak ingin memaksakan sang adik, Tama kemudian mengangguk paham. "Ya udah, gue cuma nawarin kali aja lo mau. Kalau emang lo belum siap buat jalin hubungan lagi, ya udah, lo nikmati aja dulu yang sekarang. Cuma pesen gue jangan kelamaan. Inget, umur lo bentar lagi 28 tahun." Ia kemudian menepuk pundak Ayana, "ya udah, kalau gitu gue langsung pamit. Titip salam buat Mama, ya."
Dengan ekspresi bingungnya Ayana malah bertanya, "Emang Mama ke mana?"
Tama menghentikan niatnya untuk berdiri dan menatap sang adik dengan tatapan datarnya. "Ya, mana gue tahu, Na, gue aja nyampe sini rumah udah sepi. Emang tadi nggak pamit mau ke mana gitu?"
Ayana menggeleng. "Oh, paling juga arisan sama temen-temen sosialitanya."
Tama terkekeh. "Masih aktif ikut?"
Ayana mengangguk. "Bulan lalu malah di sini arisannya. Jadi bulan-bulanan gue waktu itu, gegara pulang praktek sendirian dan nggak dianter cowok gue."
"Ya, gimana mau dianter, kan lo diputusin," ledek Tama diiringi kekehan kecil.
Ayana mendelik tidak terima. "Enak aja, belum putus ya, kalau bulan lalu."
"Oh, belum. Emang kapan diputusinnya?"
"Seminggu yang lalu."
Bukannya iba, Tama malah terbahak. "Oh, pantesan belum mau dikenalin. Baru banget toh ternyata diputusinnya."
"Udah lah, balik aja sono lu! Nggak usah ngeledek gue," usir Ayana kesal dengan sang Abang.
Sambil terbahak, Tama mangguk-mangguk lalu meninggalkan dapur.
"Enggak usah nganter gue!" seru Tama tiba-tiba, tepat saat Ayana tiba-tiba berdiri.
"Pede banget, anjir, gue mau makan!"
"Haha, gue kirain."
"Yana! Bangun kamu! Jangan molor terus! Udah jam sepuluh ini."
Ayana berdecak kesal saat mendengar teriakan sang Mama. Bukannya bangun, ia malah menutup kedua telinganya menggunakan bantal, agar tidurnya tidak diusik lebih jauh lagi.
"Astaga, punya anak gadis satu pemalasnya minta ampun. Di luar sana ada nggak sih jasa yang bisa tukar tambah ganti anak, kalau ada Mama pengen banget ganti anak aja deh. Bosen tahu Mama lihat kelakuan kamu tiap hari begini," gerutu Kartika sambil membuka gorden kamar Ayana, "pulang tengah malem lah, pulang pagi lah. Duh, capek Mama lihatnya, Na."
"Tuh, lihat anaknya Ibu Mayang, berangkat pagi, pulang sore tahu-tahu dilamar. Nggak pernah bawa cowok ke rumah padahal, nggak pernah juga pulang malem. Beda banget sama kamu, bawa pulang cowok terus tapi nggak pernah ada yang ngelamar. Kamu itu sebenernya bisa nggak sih cari pacar? Kalau nggak bisa bilang, Na, biar dicariin sama Papa-mu atau nggak Abangmu. Atau kalau perlu Mama sendiri yang turun tangan buat cariin kamu suami?"
Kesal tidak dihiraukan, Kartika langsung memukul pantat Ayana dengan keras. Dan tentu saja hal ini sukses membuat perempuan itu menjerit kesakitan.
"Mama, iiih, nggak bisa banget lihat anaknya istirahat apa gimana sih? Sakit tau!" protes Ayana kesal.
Emosinya sampai di ubun-ubun. Semalam IGD penuh, alhasil susah untuknya mencuri waktu tidur dan sekarang kesempatan yang bagus untuknya beristirahat, tapi dengan seenaknya sang Mama malah mengacaukan jam istirahatnya. Sungguh menyebalkan.
"Udah siang, Na, bangun! Kamu nggak capek apa tidur terus?" omel Kartika sambil memukul pantat putri bungsunya sekali lagi.
"Astagfirullah, Ma, aku baru aja tidur tadi jam setengah delapan, kan aku abis jaga malam, wajar dong kalau aku bangunnya ntaran. Yang nggak wajar itu kalau Mama udah bangunin aku."
"Kalau kelakuan kamu begini terus-terusan gimana kamu bisa kasih Mama mantu dan juga cucu?" Kartika mendesah lalu duduk di tepi ranjang Ayana, "kamu tadi dengerin Mama ngomong nggak sih?"
"Yang mana?" Ayana masih terlihat mengantuk dan seperti bersiap kembali masuk ke dalam mimpi, namun, gagal karena Kartika kembali menepuknya.
"Astaga, punya anak gadis kerjaannya kalau di rumah kalau nggak makan ya tidur doang, jangan tidur dulu, Na!" omel Kartika, "itu loh, tadi Mama cerita kalau anaknya Ibu Mayang udah dilamar. Kamu kapan sih dilamar?"
Ayana mengucek kedua matanya yang masih mengantuk sambil mengingat siapa itu Ibu Mayang yang Mama-nya maksud. "Yang mana orangnya sih, Ma?" tanyanya menyerah saat ia tidak berhasil mengingat.
"Itu loh, yang rumahnya paling ujung, deket rumah Pak RT, Na."
Ayana ber'oh'ria sambil mengangguk paham, saat bayangan yang Mama-nya maksud sudah terbayang di otaknya.
"Pras? Maksud Mama?"
"Mama bilang dilamar, Na, bukan ngelamar. Ya kali Pras dilamar? Kamu ini ada-ada aja," omel Kartika sambil menepuk paha Ayana, "lagian Pras kan udah nikah akhir tahun kemarin, Na, bahkan anaknya udah lahir. Kan kemarin kita udah dapet gulai kambingnya, itu loh yang kamu makan kemarin masa lupa."
Ayana menghitung jarinya secara reflek, menghitung usia pernikahan mereka. "Lah, nikah akhir tahun kemarin tapi ini udah lahir? Lahir prematur apa gimana, Ma?"
"Normal. Ya, denger-denger emang pas resepsi kemarin udah hamil 3 bulan. Tahu sendiri kan kemarin nikahnya mendadak, tahu-tahu lamaran, tahu-tahu nikah, terus tahu-tahu anaknya lahir. Kita bantu doa aja, Na, biar nanti nggak tahu-tahu cerai aja."
"Astagfirullah, Mama, iiih, mulutnya pagi-pagi udah julid aja."
"Iiiih, julid apaan? Mama doain yang baik-baik loh, Na. Kamu itu kali yang julid," sahut Kartika tidak terima.
"Lah, kenapa jadi aku?"
"Ya, soalnya Perempuan selalu benar, dan ibu selalu benar. Udah jelas dong Mama yang benar?"
"Iya, terserah Mama deh, aku mau tidur lagi. Plis, jangan gangguin aku istirahat bisa dong, Ma?"
Mama-nya ini memang punya kebiasaan kalau ia sedang tidak ada shift pagi pasti selalu digangguin. Heran, kalau bosan kan bisa main ke rumah tetangga kenapa harus gangguin anaknya sih? Batin Ayana tidak habis pikir.
"Enggak bisa."
"Ma, anaknya kecapekan loh abis ngurusin pasien semalaman masa jam istirahat malah digangguin? Enggak kasian emang? Nanti kalau anak gadisnya sakit gimana?"
"Enggak usah khawatir, anak gadis Mama kan dokter dan tahan banting dari segala penyakit."
Kantuk Ayana benar-benar nyaris lenyap. "Ma, dokter juga manusia kali, bisa sakit juga."
"Iya, Mama tahu, tapi kan kamu nggak gampang sakit, Na, jadi ngapain Mama khawatir? Mending Mama kasih tahu gosip baru deh, eh, bukan gosip deh, Na, ini fakta kok, kalau rumah kosong yang di depan rumah kita sekarang udah ada yang nempati loh," ucap Kartika tiba-tiba.
"Bagus tuh, Mama jadi punya temen yang buat diajak ngegosip kan?"
"Enggak bisa, Na."
"Kenapa nggak bisa? Nggak suka ngegosip kayak Mama ya? Lebih bagus lagi tuh, biar Mama tobat."
Merasa kesal dengan ucapan yang putri, Kartika langsung memukul Ayana. "Sembarangan! Orang tetangga kita itu cowok, belum berkeluarga dan yang paling penting ganteng, Na. Mama udah ngintip tadi, ya ampun Mama mau deh mantu kayak dia. Keliatannya kalem dan dewasa banget, Na. Mama rasa kamu butuh suami yang modelan kayak tetangga baru kita deh."
"Dih, apaan sih Mama ngintip-ngintip bintitan ntar baru tahu rasa."
"Sembarangan kamu sama Mama-nya sendiri kok nyumpahin gitu. Nggak sopan banget, disekolahin mahal-mahal juga."
"Ya abis Mama ngeselin gitu, anaknya mau istirahat tapi malah digangguin terus."
Mendesah pasrah Kartika kemudian bangkit berdiri. "Ya udah, tidur lagi kamu, nanti mau dibangunin jam berapa?"
"Aku pasang alarm," balas Ayana dengan nada malas. Ia paling malas kalau dibangunkan sang Mama. Karena saat ia pesan ingin dibangunkan jam 12, maka dari jam 11 ia pasti sudah dibangunkan. Jelas saja ia tidak suka.
Kartika mengangguk paham dan bergegas keluar dari kamar Ayana. Belum sampai ia menutup pintu, tiba-tiba ia masuk ke dalam kamar lagi.
"Na," panggil Kartika sambil menggoyangkan lengan Ayana.
"Apa lagi sih, Ma?" decak Ayana sebal, matanya barusan sudah terasa kembali memberat dan siap masuk ke dalam mimpi. Tapi kenapa sang Mama malah kembali merecoki?
"Mama mau ngintip tetangga baru kita lagi loh, yakin kamu nggak mau ikutan?"
"ASTAGFIRULLAH, MAMA!!"
______________________________________
Tin Tin
Ayana terpaksa membunyikan klaskonnya karena malas turun dan harus membuka gerbang sendiri. Beruntung tak lama setelahnya Sari, asisten rumah tangga mereka keluar dari rumah dan segera membukakan pintu gerbang. Ayana tersenyum tipis saat menyapa sang ART-nya, tak lupa ia mengucapkan terima kasih setelahnya. Sambil menyampirkan jas putihnya, ia kemudian turun dari mobil.
"Papa nggak ngantor ya, Mbak? Tumben Mas Joko belum keluarin mobil?" tanya Ayana sambil menutup pintu mobil.
"Joko lagi ke belakang, Mbak, lagi di kamar mandi. Kayaknya sih keburu kebelet makanya belum sempet keluarin mobil."
Ayana manggut-manggut sambil ber'oh'ria. Ia kemudian pamit pada ART-nya dan masuk ke dalam rumah.
Bukannya langsung ke kamar untuk mandi atau sekedar membersihkan diri, Ayana malah melipir ke ruang makan. Perutnya meronta ingin diisi.
"Pagi, Pa," sapa Ayana pada sang Papa yang nampak sibuk dengan koran beritanya.
Hari membalas sapaan sang putri lalu melipat korannya. "Perasaan Papa lama banget nggak lihat kamu, Na?" tanyanya sambil meraih cangkir kopinya.
Ayana meringis. Dalam hati ia membenarkan ucapan sang Papa, ia sendiri juga merasakan hal demikian.
"Ngelayap mulu sih," sambar Kartika dengan wajah juteknya. Ia kemudian meletakkan sepiring roti panggang di hadapan sang suami, "punya anak gadis kok rasanya kayak nggak punya anak."
Ayana merengut sambil beristigfar. Mamanya kalau sedang mode nyinyir memang semenyebalkan ini. Tangannya kemudian berniat mengambil piring, tapi malah dipukul Kartika.
"Mau ngapain kamu?" tanya Kartika galak.
"Sarapan."
"Baru pulang juga masa mau langsung makan. Cuci tangan dulu kek minimal." Kartika berdecak, "kamu itu udah gede, udah tua, dokter lagi, masa kayak ginian aja perlu diingetin Mama? Gimana kamu mau ngatur suami dan anak kamu nantinya kalau hal sepele gini aja masih Mama juga yang ingetin?"
Hari kemudian langsung mengkode sang putri agar segera meletakkan piringnya kembali.
Pasrah. Ayana kemudian meletakkan piringnya dan bergerak menuju wastafel untuk mencuci tangan.
Suara Kartika kembali terdengar. "Kenapa nggak sekalian mandi sih?"
"Nanti, Ma."
"Kenapa nanti kalau bisa sekarang?"
Ayana tidak mau kalah. "Ya, kenapa harus sekarang kalau bisa nanti?"
"Masih bisa ngejawab?" Kartika hampir terlihat seperti kehilangan kata-katanya.
"Ma, sudah, mungkin Yana udah keburu laper makanya mau makan dulu baru mandi. Udah lah, biarin aja kenapa sih? Putrimu kan baru pulang kerja, habis ngurusin pasien semalaman. Capek, Ma, jangan kamu tambah-tambahin, kasian," ucap Hari mencoba menengahi.
"Belain aja terus, mentang-mentang anaknya sendiri," gerutu Kartika.
"Loh, kalau nggak mau belain anak sendiri, emang mau ngebelain anak siapa lagi?"
Itu suara Ayana jelas. Hari mana berani bilang begitu kepada istrinya. Kalau kata Ayana sih, Papanya ini tipekal suami yang takut istri.
"Na, sudah," ucap Hari memperingatkan sang putri, "kalau laper langsung sarapan. Berantemnya diskip dulu, nunggu Papa berangkat ngantor."
"Iya, Pa," ucap Ayana pasrah.
"Na, gimana tadi kamu udah lihat tetangga baru kita?"
Seperti ibu pada umumnya, sekesal-kesanya mereka pada sang anak biasanya memang cepat lupa.
Sambil mengunyah nasi gorengnya Ayana menggeleng.
"Tadi belum lihat?"
"Belum kalau orangnya, baru mobilnya doang. Bagus sih, Ma, bukan orang sembarangan kayaknya."
Kartika mengangguk semangat. "Iya, dokter juga, Na. Tapi udah spesialis. Denger-denger emang belum punya calon loh, Na."
Ayana memelankan kunyahannya dan menatap sang Mama dengan tatapan herannya. "Mama tahu dari mana?"
"Tadi pas Mama sama Sari pergi beli sayuran di depan, ibu-ibu komplek pada ngomongin. Duh, Mama jadi pengen jodohin sama kamu deh, Na."
"Mama jangan mulai lagi deh," keluh Ayana dengan wajah kesalnya.
"Loh, Mama bahkan belum mulai, Na. Mama yakin kamu juga bakal suka kok, orang ganteng, tipe kamu banget."
Ayana kemudian menoleh ke arah Hari. "Pa, istrinya itu loh."
Hari terkekeh geli. "Mama-mu cuma bercanda, Na, jangan dianggep serius. Papa udah selesai sarapannya, mau berangkat dulu." Ia kemudian menyodorkan tangan kanannya pada sang putri. Dengan sigap Ayana langsung mencium punggung tangan sang Papa.
"Hati-hati, Pa!"
"Iya, kamu jangan terus-terusan bikin pusing istri Papa ya, Na. Papa sampai ikut pusing loh tiap pulang dengerin keluhan Mama tentang kamu terus," pesan Hari sebelum meninggalkan ruang makan.
Ayana hanya merengut saat mendengar candaan sang Papa, lalu kembali melanjutkan sarapannya.
"Na, barusan Mama lihat tetangga baru kita lagi," cerita Kartika setelah kembali dari mengantar suami sampai teras depan.
"Terus?" tanya Ayana pura-pura tertarik.
"Ternyata pas pake stelan kerjanya, gantengnya bertambah kali lipat." Kartika kemudian terkikik geli, "ganteng, dokter spesialis, udah punya rumah sendiri, kalem dan berwibawa. Yakin nggak mau jadiin dia mantu Mama, Na?"
Ayana mengerutkan dahinya heran. Emang seganteng apa sih tetangganya itu sampai Mamanya bersikap seberlebihan ini? Batinnya bertanya-tanya
"Na, tadi mama bikin kue bolu pandan. Kamu anterin ke tetangga baru kita ya, sekalian kenalan."
Ayana menghentikan kunyahan dan menatap sang Mama dengan tatapan horor. Minggu ini ia tidak dapat jatah jaga malam, alhasil ia bisa bersantai disore hari. Tapi apa yang barusan ia dengar? Kenalan dengan tetangga baru? Jangan bilang Mama-nya ini menganggap serius ucapan ngawurnya, yang ingin mendekati tetangga baru mereka waktu itu?
"Yana," seru Kartika dengan nada jengkel, karena sang putri tak kunjung membalas ucapannya, "kamu itu kalau diajak ngomong sama orang tua tuh dijawab dong, Na, masa diem aja?" protesnya kesal.
"Mama pengen aku jawab apaan?" tanya Ayana kembali mengunyah cemilannya.
"Iya Allah, Yana, beginian aja musti diajarin juga? Kamu ini bisanya apa sih?" decak Kartika kesal.
Ayana menghela napas berat. "Ya udah mana kue-nya."
"Nah, gitu kek dari tadi. Masa harus pake disindir-sindir dulu biar paham." Kartika melirik Ayana sinis, "Mama jadi curiga deh sama kamu."
"Astagfirullah, sama anak sendiri kok curigaan terus." Ayana geleng-geleng sambil melirik sang Mama dengan tatapan tidak percayanya.
"Kamu diputusin terus karena kurang peka ya, Na," tuduh Kartika tiba-tiba.
Ayana menghela napas. "Ma, jadi suruh nganter kue-nya nggak sih?" tanyanya dengan tatapan datarnya.
"Jadi lah, tunggu sebentar, kamu ganti baju sama dandan dulu sana! Biar kamu nanti nggak dikira pembantu baru Mama."
Ucapan Kartika sukses membuat Ayana melongo. Kepalanya secara reflek menunduk, memperhatikan pakaian yang dipakai. Perasaan celana jeans dan kaosnya belum terlihat lusuh apalagi buluk, lalu kenapa sang Mama tega menyamakan dengan pembantu?
Cepat-cepat Ayana menyambar ponselnya untuk berkaca pada layar hapenya. Penampilannya masih oke kok, masih terlihat segar dan cantik seperti biasa.
"Ganti dress sekalian, Na, terus touch up tipis-tipis, masa mau nemuin gebetan pake celana jeans sih, mana ada yang mau ngelirik?" ucap Kartika tiba-tiba muncul dari dapur sambil membawa tapperware berukuran sedang.
Gebetan? Beo Ayana dalam hati dengan ekspresi bingung.
"Gebetan siapa?"
"Ya gebetan kamu lah, masa gebetan Mama. Mau di kemanain ntar Papa-mu?"
"Tapi aku lagi nggak ada gebetan loh, Ma."
Kartika berdecak sambil menyerahkan tupperware-nya pada Ayana. "Itu tetangga baru kita, Na."
Ayana geleng-geleng kepala. "Apaan sih, ngaco aja." Ia kemudian memilih untuk segera pamit dan mengantarkan kue-nya sebelum maghrib.
Ayana langsung masuk ke halaman tetangga barunya--yang kebetulan gerbangnya tidak ditutup--.
"Assalamualaikum!" teriak Ayana di depan pintu, "permisi! Asalamuallaikum!"
"Wa'allaikumsalam. Ada apa ya, Mbak?" balas seorang perempuan dengan daster batiknya membukakan pintu.
"Emm, saya Yana, Mbak, anaknya Tante Tika yang rumahnya di depan itu," ucap Ayana sambil menunjuk ke arah rumahnya, "Mama saya abis bikin kue bolu pandan, terus minta saya bagiin sama tetangga baru. Ya, anggap aja seperti ucapan selamat datang di komplek ini."
"Oh, saya Darti, Mbak, ART di rumah ini. Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya panggilkan Bapak dulu, mari Mbak silahkan masuk."
Ayana terkesiap. "Eh? Anu... enggak usah, Mbak, nitip ini saja. Saya mau langsung pulang saja, Mbak."
"Enggak papa, mari masuk dulu, Mbak, sekalian kenalan sama Bapak. Mbaknya belum sempet kenalan kan sama majikan saya?"
Ayana meringis. Jangan kan berkenalan, lihat orangnya yang mana saja ia belum pernah.
"Enggak usah, Mbak, saya di sini saja kalau gitu. Saya kalau dipersilahkan masuk suka lupa pulang," canda Ayana diiringi cengiran khasnya.
"Ya sudah kalau begitu, tunggu sebentar ya, Mbak, saya panggilkan Bapak dulu."
Sambil tersenyum canggung, Ayana mengangguk, mempersilahkan ART yang bernama Darti itu masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama seorang pria dengan tubuh lumayan tinggi tegap berjalan mendekat ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Alamak. Jerit Ayana dalam hati. Jadi ini pria yang Mama-nya bangga-banggakan selama ini?
Buset beneran ganteng banget, anjir.
Pembawaan pria ini memang bukan tipe yang kelihatan ramah, lebih ke arah datar seolah tanpa ekspresi sebenarnya. Tapi meski demikian tatapan matanya justru terlihat lembut dan sama sekali tidak mengitimidasi. Selain itu, pria ini memiliki mata yang indah. Coba aja kalau tersenyum, nambah berpuluh kali lipat nih pasti gantengnya. Pantas saja Mama-nya bersikap seberlebihan itu. Ternyata modelannya begini.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Lamunan Ayana buyar. Ia menggeleng cepat lalu menyerahkan tapperware yang ia bawa tadi. Bukannya langsung menerima, pria itu malah menaikkan sebelah alisnya heran.
"Maaf?"
"Oh, itu... anu... ini ada kue bolu pandan buatan Mama saya buat Masnya. Rumah saya di situ," ucap Ayana sambil menunjuk ke arah rumahnya, "kita tetanggaan."
Berhubung pria ini terlihat lebih tua darinya, Ayana memutuskan untuk memanggilnya 'Mas' demi menjaga sopan santun yang diajarkan oleh kedua orang tuanya.
"Terima kasih." Saga kemudian menerima tapperware yang Ayana sodorkan.
"Sama-sama. Kalau gitu saya langsung permisi pulang, Mas," pamit Ayana.
"Tunggu sebentar," cegah Saga. Ia kembali masuk dan tak lama setelahnya ia membawa piring ukuran sedang berisi rendang dan menyerahkannya pada Ayana.
Gadis itu mengerutkan dahinya tidak paham.
"Maaf ini apa?"
Saga menaikkan sebelah alisnya heran. Ekspresi wajahnya seolah sedang bertanya 'kamu tidak tahu ini apa?'
"Rendang," jawab Saga pada akhirnya.
Ayana menggeleng cepat. "Bukan, maksud saya untuk apa?"
"Dimakan."
Ayana berdecak kesal. "Ya, tahu rendang emang untuk dimakan. Tapi..."
"Buat Mama kamu. Buat kamu juga. Terima kasih untuk kuenya," ucap Saga lalu masuk ke dalam rumah begitu saja. Meninggalkan Ayana sendiri dengan ekspresi bingungnya.
Ayana melongo. "Anjir, masa gue langsung ditinggalin gitu aja? Sopankah begitu?" decaknya tak suka.
Ganteng sih ya, emang ganteng tapi kelakuan begitu ya buat apa wajah gantengnya? Enggak guna. Gerutu Ayana dalam hati.
Tak selang berapa lama Darti muncul kembali. "Duh, maafin Bapak ya, Mbak. Bapak emang begitu orangnya, tapi sebenernya baik kok. Mungkin Bapak lagi buru-buru makanya masuk gitu aja. Maafin ya, Mbak."
Buru-buru sih, buru-buru tapi masa iya langsung masuk ke dalam rumah tanpa permisi lebih dahulu. Sopankah begitu?
Ayana mengerutkan dahinya heran. Kenapa jadi ART-nya yang meminta maaf, kan yang salah majikannya.
"Duh, ngapain Mbak Darti minta maaf? Kan yang salah bukan Mbak Darti, udah nggak usah minta maaf, Mbak, ntar jadi saya yang nggak enak."
Darti tersenyum. "Enggak papa, Mbak, saya cuma nggak mau Mbak Yana salah paham dengan Pak Saga."
Oh. Jadi namanya Saga. Batin Ayana.
"Pak Saga itu sebenernya baik, cuma ya emang begitu, irit banget ngomongnya, Mbak. Biasanya emang suka bikin salah paham orang, kalau ngomong suka setengah-setengah, pokoknya kayak mahal gitu suaranya. Kadang emang bikin gemes, Mbak, saya aja kadang juga suka gemes sendiri, tapi ya bagaimana, karakter Bapak emang begitu, jadi saya minta Mbak Ayana sedikit maklum dan tidak membenci majikan saya."
Ayana meringis canggung. Bingung harus bereaksi bagaimana. Tadi sebenarnya ia memang merasa kesal sekali dengan sikap Saga, tapi mendengar penjelasan Darti, membuat kekesalan Ayana perlahan memudar, meski hanya sedikit.
"Ya sudah, kalau gitu saya langsung pamit ya, Mbak. Sampaikan terima kasih saya untuk Pak Saga kalau begitu, soalnya tadi saya belum sempat bilang makasih."
"Baik, Mbak, nanti saya sampaikan."
Ayana mengangguk. "Permisi ya, Mbak!" lalu undur diri.
Darti mengangguk, mempersilahkan. "Sering-sering main ke sini, Mbak!" serunya kemudian.
Ayana menoleh sambil meringis. Dalam hati ia menggerutu 'sering-sering main ke sini? Ogah. Kecuali kalau dirinya sedang ingin menaikkan tekanan darahnya. Baru ia akan main ke rumah ini dan mengajak pria itu mengobrol.'
______________________________________
"Ada acara apaan nih, tumbenan ada rendang di meja makan?" tanya Hari heran saat menarik kursi yang hendak ia duduki, kedua matanya menangkap sepiring daging rendang tersaji di atas meja bersandingan dengan beberapa lauk pauk dan lainnya.
"Dari calon mantu-mu, Pa," ucap Kartika sambil terkikik geli.
Tadi saat Ayana pulang dari rumah Saga, ia heran saat melihat wajah bete sang putri. Namun, di balik perasaan herannya, ia mendadak senang bukan main karena Ayana membawa sepiring penuh daging rendang. Menurut Kartika itu suatu permulaan yang bagus.
Hari mengerutkan dahi heran. "Calon mantu? Bukannya kita udah punya mantu, Ma?"
Kartika berdecak sambil menatap sang suami dengan kesal. "Kan putri bungsu-mu belum kasih calon mantu, Papa."
"Oh," respon Hari, "jadi ini dari calonnya Yana?" tanyanya sambil menunjuk ke arah piring yang berisi daging rendang.
Dengan wajah sumringahnya, Kartika mengangguk cepat.
"Na, kamu punya pacar baru?"
Ayana langsung mendengus saat menarik kursi dan sudah mendapat pertanyaan aneh. "Dapet gosip dari mana tuh?"
"Tuh," ucap Hari sambil menunjuk sang istri, "katanya rendang itu dari pacarmu."
"Astagfirullah, Mama!" Ayana langsung melotot kesal ke arah sang Mama.
"Aamiin, Na," koreksi Kartika, "ucapan itu adalah doa, apalagi yang ngucapin orang tua kamu sendiri. Masa nggak pinter-pinter, dulu Mama keluarin banyak uang ya, buat bayar guru ngaji kamu."
Ayana mendesah lelah. Semenjak diputusin Tio, kelakuan sang Mama memang ada saja. Ayana benar-benar capek menghadapinya.
"Papa! Tolong dong istrinya diurus, Yana capek loh tiap hari diginiin."
"Loh, emang Mama ngapain?" protes Kartika tidak terima.
Ayana berdecak. "Ya, itu mau jodoh-jodohin aku sama tetangga baru kita."
"Loh, ya nggak papa kan kalian sama-sama single. Mana orangnya baik dan dapat dipercaya, ya Mama semangat lah jodohinnya. Lagian kamu udah umurnya buat nikah, punya hubungan harusnya diseriusi malah bubaran. Gimana sih?"
"Oh, jadi rendang ini dari tetangga baru kita?" tanya Hari, "tapi nggak papa sih, Na, kalau semisal Mama-mu mau jodohin kamu sama tetangga baru kita. Papa sih seneng-seneng aja asal dia beneran masih single dan mau sama kamu. Papa perhatikan dia anaknya baik, kalem dan sopan kok. Kayaknya juga nggak neko-neko."
"Tuh, dengerin Papa kamu aja ngomong gitu. Penilaian yang lebih berpengalaman itu penting, Na, lihat kan selama ini yang kamu ajak ke rumah pasti nggak ada yang bener. Buktinya gagal terus."
"Ma, hubungan kami gagal bukan berarti dia nggak bener. Mama jangan ngomong begitu," balas Ayana tidak terima.
"Belain aja terus, jelas-jelas mereka ninggalin kamu."
"Sudah-sudah! Ngobrolnya dilanjut lagi nanti, sekarang kita makan, nanti keburu dingin makanannya enggak enak," ucap Hari menengahi perdebatan antara putri dan istrinya yang terlihat seperti hampir mulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!