NovelToon NovelToon

Rumah Untuk Hatiku

Janji Kita

"Janji?" Harvey mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janjiii!" Maura menautkan jari kelingkingnya pada jari kekasihnya, diiringi dengan tawa lepas.

Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat bagi mereka untuk saling mengenal satu sama lain. Bahkan mereka bertemu jauh sebelum itu. Harvey dan Maura satu kelas sejak di bangku SMU. Keduanya mulai saling mengikat janji saat duduk di bangku kuliah.

Harvey dan Maura sama-sama berasal dari keluarga yang lebih dari cukup, dari segi sosial dan ekonomi tidak ada masalah jika cinta mereka bersatu. Tak ada yang dapat menghalangi kisah cinta mereka yang mulus dan hampir tanpa pertikaian. Keduanya sangat yakin, jika suatu saat mereka akan bertemu di pelaminan.

"Kalau aku wisuda duluan gimana?" tanya Maura sembari mencabuti rumput yang ia duduki.

"Mana mungkin, kamu malas buat tugas akhir." Harvey mencubit gemas hidung Maura, "Begitu aku lulus lalu wisuda, aku akan melamar kamu. Tidak peduli apakah kamu sudah lulus atau belum, kita akan tetap menikah," ucap Harvey tegas.

Maura tertunduk dengan wajah memerah. Sepanjang hubungannya dengan Harvey, baru kali ini pria itu berbicara serius dengan rencana jauh ke depan. Wanita mana yang tidak bahagia jika ada pria yang dicintai, ingin mengajak mengarungi bahtera rumah tangga bersama.

"Sayang, kalau aku kerja dan menetap di luar kota atau bahkan di luar negeri sekalipun, apakah kamu mau ikut denganku?" Harvey menggenggam erat tangan Maura.

"Kemanapun kamu pergi aku pasti ikut." Maura bersandar di bahu Harvey.

"Hmm, nanti nangis kangen sama Mama."

"Kamu tuh mungkin yang ditangisi Mama sama Papamu. Kamu calon penerus satu-satunya yang menggantikan Om Bramantyo nanti. Mana boleh pergi jauh."

"Iya juga sih. Aku harap kamu tidak bosan dan tertekan jika nanti menjadi bagian keluargaku." Harvey menerawang jauh ke tengah kota yang ada di bawah mereka.

Tempat favorit mereka adalah bukit kecil di belakang kampus. Letak kampus yang memang sudah tinggi dari bangunan lainnya, memungkinkan dapat melihat hampir seluruh daerah di sekitar kampus mereka.

Sebagai anak tunggal, tak ada pilihan baginya selain menjadi tumpuan dan harapan orangtuanya meneruskan usaha yang sudah dirintis bahkan sebelum ia lahir.

"Aku sudah akrab banget sama Papa dan Mama kamu, apa yang harus dikhawatirkan?"

"Barangkali kamu bosan dengan rutinitas pekerjaanku lalu kesepian terus selingkuh?"

"Idiiih, kamu tuh yang nanti punya sekretaris cantik, pasti kegoda."

"Benar juga ya." Harvey mengerutkan kening seolah berpikir keras.

"Tuuh 'kan!" Maura mengejar Harvey yang berlari menghindari cubitan serta pukulan sayang Maura.

Lelah berlarian, Harvey menangkap tubuh Maura dan membawanya ke dalam dekapannya.

"Sayang, janji padaku. Tolong jaga mata ini hanya melihat kearahku." Harvey menangkup pipi Maura agar tak berpaling ke arah yang lainnya, "Tangan ini hanya boleh memegang aku." Harvey meraih tangan Maura dan menempelkannya pada pipinya.

"Dari dulu aku tidak pernah menatap pria lain selain kamu, tapi apakah kamu selama ini juga melakukan yang sama?"

"Menurutmu bagaimana?" Harvey menatap lurus pada netra  bening milik Maura. Gadis itu membalas tatapan Harvey, lalu mengembangkan senyum lebar.

Maura sangat yakin dengan kesetiaan Harvey. Selama tiga tahun mereka menjalani hubungan, tak ada konflik besar yang terjadi. Bahkan cemburu kecil yang disebabkan oleh lawan jenis lain, tak pernah mereka alami. Meski banyak pria maupun wanita mencoba masuk ke dalam kisah percintaan mereka, tak satupun di hiraukan Harvey dan Maura.

"Aku percaya padamu, Harvey. I love you."

"I love you more." Harvey mengecup lembut kening Maura. Sebatas itu yang berani mereka lalukan. Ia sangat menjaga kesucian tubuh kekasihnya dan sangat berharap ia juga yang akan menyentuh untuk pertama kalinya.

"Pulang yuk." Tangan Maura menggelayut manja pada leher Harvey.

"Niat mau pulang atau ga sih, kok malah tambah nempel? Aku langsung bawa kamu pulang ke rumah kalau seperti ini," ancam Harvey menggoda.

"Ayo, siapa takut."

"Hmm, mana berani aku. Sabar ya Sayang, tunggu aku selesai skripsi dulu setelah itu kamu boleh ikut kemana saja aku pergi." Harvey mengusap rambut panjang Maura lalu menggiringnya masuk ke dalam mobil.

...❤️...

"Harvey," Pak Bramantyo melepas kacamatanya dan menatap putranya dengan mata lelah, "Bagaimana kuliahmu?"

"Lagi nyusun tugas akhir. Doakan tahun ini bisa wisuda ya, Pa." Harvey tersenyum bangga.

"Syukurlah. Lalu bagimana hubunganmu dengan Maura?"

"Sangat baik, Pa. Aku berencana melamarnya saat aku wisuda nanti." Senyum Harvey semakin mengembang.

Pak Bramantyo menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan berat. Tak ada senyum di wajahnya.

"Kamu ingat Reva?"

Harvey mengerutkan kening lalu menganggukan kepalanya. Reva adalah teman saat di sekolah dasar hingga SMP sekaligus juga tetangga lama, sebelum gadis itu beserta keluarganya pindah ke luar negeri. Cinta monyet pada jamannya.

"Dia mencarimu," lanjut Papa.

"Papa ketemu di mana sama dia?" Harvey tersenyum antusias. Siapa yang tidak bahagia bisa bertemu dengan orang masa lalu yang menyimpan banyak kenangan.

"Kemarin. Papanya Reva 'kan sudah satu tahun ini kerjasama dengan perusahaan kita. Reva juga baru selesai kuliah di luar negeri dan dia sudah kembali ke Indonesia.

"Kapan-kapan nanti aku mau ketemu sama dia. Nanti aku kenalkan juga pada Maura."

"Harvey ...." Pak Bramantyo memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua lengannya di atas meja. Kedua telapak tangannya saling meremas gelisah.

"Kamu masih cinta sama Reva?" tanya Pak Bramantyo pelan.

"Astaga Papa, itu hanya cinta monyet dulu." Harvey tergelak kencang.

"Papa berharap kalian melanjutkan hubungan yang dulu."

"Maksud Papa?" Tawa Harvey menghilang.

"Papa ingin Reva menjadi menantu Papa."

"Anak Papa hanya satu dan itu aku. Aku akan menikahi Maura, Pa. Papa jangan mengada-ada deh." Harvey mengibaskan tangannya.

"Papa berhutang pada Papa Reva dan tidak sanggup membayar. Papa bangkrut, Harvey." Suara pria setengah baya bergetar pilu.

"Mana mungkin? Papa masih punya banyak asset! Jual saja semua, tapi jangan aku dong yang Papa jual!"

"Semua sudah habis, yang tersisa hanya rumah ini. Kantor dan semua isinya 80% sekarang milik Papa Reva. Hanya dengan cara seperti ini, kamu akan memiliki kembali apa yang sudah Papa bangun dari dulu.”

"Pa, meskipun aku mau pun, Reva belum tentu mau!"

"Dia masih menyimpan rasa sama kamu. Terlihat sekali dari matanya saat membicarakanmu. Pak Maryono, Papa Reva juga ingin segera bertemu denganmu.”

"Aku punya Maura, Pa. Aku mencintainya!"

"Kamu tidak mencintai Papa dan Mamamu?"

“Pa!” Harvey mengeluh frustasi. Pilihan yang terlampau sulit baginya. Memilih antara cinta dan keluarganya, jelas tidak mungkin, “Apa tidak ada cara lain?” Harvey memandang Papanya lesu.

“Andaikan ada, Papa tidak akan memohon padamu seperti ini.”

...❤️🤍...

 

 

 

Undangan

"Harvey," panggil Maura ketika pemuda gagah itu baru saja turun dari mobilnya, tapi pria itu hanya melirik sekilas lalu melanjutkan langkahnya seperti tak melihatnya ada di sana.

"Kalian bertengkar?" Hera sahabatnya, ikut memandang heran punggung Harvey yang semakin jauh.

"Tidak, kemarin kita masih becandaan." Maura masih tak percaya jika pria yang ia panggil tadi itu, kekasihnya yang selalu tersenyum hangat.

Maura mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu mengirimkan pesan pada kekasihnya itu. Barulah terlihat pesan terakhirnya semalam sama sekali belum dibaca apalagi di balas oleh Harvey.

"Mungkin lagi ada tugas atau makalahnya ditolak sama dosen pembimbing. Nanti coba kamu temui dia." Hera merangkul pundak dan menghiburnya. Ia masih diam terpaku melihat pesan yang baru ia kirimkan juga bernasib sama dengan pesan sebelumnya.

Sore harinya di tempat biasa dan jam yang sama, Maura menanti Harvey di tempat biasa mereka bertemu. Bukit belakang kampus, di bawah pohon besar dan rindang. Namun sampai hampir matahari terbenam, batang hidung Harvey sama sekali tak nampak. Pesan yang ia kirimkan semalam pun masih belum terbaca. Di puncak rasa kesal dan penasaran, Maura memutuskan langsung menghubungi kekasihnya itu.

"Sayang, kamu kenapa tidak balas pesanku?" Sembur Maura begitu Harvey menjawab panggilannya.

"Maaf, aku sibuk." Suara Harvey terdengar datar dan tak bersemangat.

"Kamu kenapa sih, Yang? Ada masalah? Ke bukit harapan yuk, aku nungguin kamu dari tadi loh. Buruan sudah hampir gelap," rengek Maura.

"Maaf, aku sudah di rumah sejak siang."

"Hah, kamu kok kamu tinggalin aku? Kamu kenapa sih hari ini?" Maura terlonjak berdiri. Baru kali ini Harvey pulang tanpa menunggunya.

"Maaf, aku tutup dulu ya, Mama memanggilku." Tak menjawab pertanyaan kekasihnya, Harvey memutus sambungan telepon begitu saja.

"Harvey?" Maura menatap nanar layar ponselnya yang telah mati. Sepanjang perkenalannya dengan Harvey, tak pernah pria itu memutus sambungan telepon secara sepihak.

Berapa kali kata maaf diucapkan kekasihnya, ada apa dengan Harvey? Apa telinganya tadi salah mendengar, seperti ada suara wanita memanggil nama kekasihnya?

Harvey selingkuh? atau ia yang terlalu jauh berpikiran buruk karena sikap kekasihnya yang tiba-tiba berubah?

Maura pulang ke rumah dengan banyak pertanyaan berputar dikepalanya. Ia masuk ke dalam kamar lalu naik ke atas ranjang tanpa melepas bajunya sama sekali. Pikirannya terlalu berat hanya untuk sekedar berganti pakaian.

Tepat tengah malam saat ia sudah terlelap, alarm ponselnya berdering. Hari ini tepat Harvey mengungkapkan perasaanya saat pengumuman kelulusan SMU di depan teman-teman dan gurunya.

"Aah, pasti dia lagi ngerjain aku. Mau buat sandiwara cuekin aku, terus mau kasih kejutan." Senyum Maura mengembang lebar.

Di benaknya sudah tergambar bagaimana besok Harvey memberinya kejutan yang romantis. Apalagi beberapa hari yang lalu, mereka sempat membicarakan hal yang mengarah ke masa depan. Larut dengan khayalannya, Maura berguling-guling di atas ranjang kegirangan.

"Senang banget kelihatannya, Sudah baikan?" Hera menggoda Maura yang sedang mengamati layar ponsel, menantikan pesan atau telepon dari Harvey di hari jadi mereka.

"Hari ini ternyata, hari jadi kami yang kelima," bisik Maura senang.

"Lalu?"

"Sepertinya aksi diamnya kemarin, mau kasih kejutan. Mau berusaha bikin aku marah ceritanya," ujar Maura yakin.

"Masuk akal." Hera menganggukan kepala setuju.

"Kalau Harvey nanti ngelamar, aku jawab apa ya?"

"Emang dia mau ngelamar kamu?"

"Maunya sih seperti itu." Maura terkikik senang, "Harvey bilang, setelah dia lulus kita segera menikah tidak peduli aku sudah selesai kuliah atau belum." Maura tersipu mengingat pembicaraan mereka di atas bukit harapan.

"Kalau dilamar ya tinggal bilang aku terima, Sayang."

"Nah, nah tuh bener aku bilang." Mata Maura berbinar melihat nama Harvey memanggil di layar ponselnya.

"Ya, Har." Lama tak mendengar suara kekasihnya, dada Maura berdegub kencang seperti saat Harvey masih melakukan pendekatan di bangku SMU.

"Besok malam ulangtahun pernikahan Mama dan Papa."

"Kamu mengundangku, Harvey?" Maura tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

"Aku hanya memberitahu saja, kamu tak harus datang. Ini hanya acara keluarga sederhana saja."

"Bisa. Aku pasti hadir." sahut Maura cepat. Ia menahan laju suaranya agar tak terdengar terlalu bersemangat.

"Tapi maaf, aku tidak bisa menjemputmu karena ada yang harus aku siapkan. Kalau kamu kesulitan, tak perlu datang." Harvey masih berusaha melarangnya untuk hadir.

"Tidak apa-apa, nanti aku bisa naik taxi online."

Maura menahan senyumnya mendengar Harvey sedang mempersiapkan sesuatu. Dalam benaknya, pria itu akan berlutut melamarnya dan menyematkan cincin di jari manisnya.

"Kamu yakin? tempatnya jauh, tidak masalah kalau kamu tidak datang."

"Aku yakin, Har. Kirimkan saja alamatnya."

"Baiklah, nanti aku kirim lewat pesan." Terdengar helaan nafas berat di seberang sana.

"Oke, Sayang. Sampai ketemu besok I Love you."

" ... Sampai ketemu besok, Maura. "

Ada denyut tak nyaman dengan ucapan Harvey sebelum memutus percakapan. Tak ada balasan ungkapan cinta yang ia lontarkan sebelum mengakhiri pembicaraan.

Maura menimang-nimang ponsel di tangannya. Sejak kemarin Harvey mengundangnya lalu mengirimkan alamat diadakan acara keluarga mereka, kekasihnya itu tak lagi menghubunginya.

"Molaaa, itu taxi online mu sudah dataang." Mamanya berteriak dari lantai satu.

"Ya, Maaa." Setelah memastikan penampilannya tidak ada yang kurang, ia bergegas keluar dari kamar.

"Duuh, cantiknya anak gadis Mama. Kamu yakin tidak mau diantar Papi atau kakakmu?" Mama menangkup pipi Maura.

"Kak Willi 'kan lagi pergi sama ceweknya. Mama tahu sendiri kalau Papi tidak terlalu suka sama Papanya Harvey."

"Ya, Mama tahu mereka memang selalu bersebrangan dalam bisnis. Lagipula ini memang acaramu dengan keluarga Harvey. Hati-hati, ya. Ingat, jangan pulang sendiri. Tunggu Harvey mengantarmu pulang!" Mama mengacungkan jari telunjuk sebelum putrinya menutup pintu mobil.

Taxi online yang ditumpangi Maura membawanya ke hotel berbintang, di mana ballroom terbesarnya sudah di sewa oleh orangtua Harvey.

'Bilangnya pesta keluarga sederhana, tapi tempatnya mewah yang diundang juga para pejabat.' Maura mengedarkan pandangannya. Ia berdiri di antara pria dan wanita dewasa yang terlihat terhormat.

Tak ada yang menyambutnya. Harvey dan keluarganya pun sama sekali tak terlihat. Persiapan di ruang acara semua ditangani oleh event organizer. Maura mengambil posisi di sudut kanan dekat pemain musik. Setidaknya ia tidak merasa kesepian di sana.

Hingga pembawa acara naik ke atas panggung membawakan sepatah dua patah kata penyambutan, Maura masih tak mengenal seorangpun di antara undangan yang masuk ke dalam ruangan bersamanya.

"Apa aku salah tempat?" Maura kembali melihat pesan yang dikirimkan Harvey padanya semalam. Tepat saat itu pembawa acara mempersilahkan para undangan berdiri, untuk menyambut tuan rumah yang akan segera memasuki ruangan.

...❤️🤍...

Kenyatan pahit

"Bapak dan Ibu, dimohon berdiri mari kita sambut yang sedang berbahagia, keluarga besar Bapak Bramantyo Aditomo beserta Ibu diiringi putra tunggal mereka Harvey Aditomo."

Senyum Maura terkembang lepas, ia menghela nafas lega mendengar nama yang akrab di telinga disebut oleh pembawa acara. Setidaknya ia tidak salah memasuki gedung.

Dari kejauhan ia dapat melihat kedua orangtua Harvey saling berjalan berdampingan dan sesekali melambai pada para undangan yang mereka lewati.

"Selamat datang juga Bapak Maryono beserta Ibu dan putrinya yang cantik. Wah, sulit dibayangkan bagaimana kuat dan besarnya perusahaan keduanya jika putra dan putri mereka menikah nanti."

Maura mengerutkan kening mendengar nama asing yang disebutkan pembawa acara. Ia memanjangkan lehernya berusaha melampaui pandangannya yang terhalang bahu yang lebih tinggi darinya.

Di belakang Harvey dan kedua orangtuanya, tampak sepasang suami istri lain yang saling bergandengan tangan. Di belakang pasangan suami istri itu, tampak seorang gadis cantik berambut sebahu tersenyum tersipu.

'Siapa mereka? Mengapa memakai baju senada dengan keluarga Harvey? Apakah mereka keluarga Harvey? Tapi mengapa pembawa acara itu mengatakan tentang pernikahan? Apa aku tidak salah dengar?'

Beribu pertanyaan menghujani isi kepala Maura. Berbagai dugaan menakutkan muncul, tapi hatinya menolak. Namun begitu sepasang suami istri itu naik ke atas panggung bersama putrinya dan berdiri sejajar dengan keluarga Harvey, Maura semakin resah.

Sambutan dan ucapan terima kasih disampaikan oleh Papa Harvey dilanjut dengan pemotongan kue ulangtahun yang tinggi menjulang. Semua wajah di atas panggung tersenyum lebar, hanya Harvey yang tampak tertekan. Bola matanya liar menyapu di antara para undangan.

Begitu pandangan keduanya bertemu, Harvey membesarkan matanya lalu menunduk seketika. Ponsel dalam tas Maura bergetar, ia mengambil benda pipih dalam tasnya tanpa mengalihkan pandangannya dari pria yang berdiri di atas panggung.

'Kenapa kamu datang? Pulanglah, aku mohon.' Pesan singkat dari Harvey.

Pesan yang secara tidak langsung mengusirnya, namun tambah membuatnya semakin penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi?

Isi kepalanya seolah berteriak memerintahkan agar ia lari dari sana, tapi kaki dan matanya terpaku tak mau pergi. Maura tak melewatkan sedikitpun hal kecil yang terjadi di atas panggung.

Gadis di sisi Harvey berulangkali berusaha mengadakan interaksi dengan kekasihnya itu, tapi Harvey terus menunduk dengan kedua tangan di dalam saku celana.

"Di malam yang istimewa ini, ada kabar bahagia lainnya. Selain perayaan ulangtahun pernikahan Bapak Bramantyo serta Ibu, malam ini kita semua menjadi saksi atas bersatunya dua perusahaan mega karya di bidang pertambangan. PT. Aditama serta PT. Maryoga menjadi PT. Marditama yang akan rencananya kedepan akan dipimpin oleh anak-anak beliau."

Tepuk tangan serta gaung musik membahana mengiringi kabar yang disampaikan pembawa acara. Kedua keluarga di atas panggung tersebut saling bersalaman.

'Rupanya penggabungan dua perusahaan besar.' Maura tersenyum tipis, 'Tapi kenapa Harvey seperti tak senang seperti orangtuanya? Kenapa juga tadi ia memintaku pergi dari sini?'

"Dan malam ini juga, selain dua perusahaan mega yang bersatu, kita semua akan menjadi saksi penting bagaimana dua insan calon pemimpin PT. Marditama akan mengikat janji pertunangan mereka."

'Pertunangan?'

Darah di tubuh Maura seolah berhenti mengalir. Semua tampak bergerak lambat di sekelilingnya. Suara tepuk tangan yang menggema di telinganya terdengar semakin jauh dan samar.

Seorang karyawan naik ke atas panggung, membawakan sebuah nampan yang diatasnya terdapat dua kotak kecil berwarna merah.

"Harvey, saya selaku orangtua Reva meminta padamu untuk menjaga hubungan ini hingga kalian menikah nanti." Harvey mengangguk samar.

"Ada sepatah dua patah kata yang ingin Mas Harvey sampaikan pada Mba Reva?" Pembawa acara menyodorkan pengeras suara ke hadapan wajah Harvey. Tak memberikan kesempatan pria itu untuk menolak apalagi menghindar.

"Re-reva maukah kamu menerima aku menjadi suamimu kelak?" Tangan Harvey meremas cincin dalam genggamannya.

"Aku mau, Harvey." Reva mengulurkan telapak tangannya. Tepuk tangan kembali terdengar dari para undangan ketika kekasih Maura itu, menyematkan cincin pertunangan di jari manis wanita lain.

Mulut Maura terbuka lebar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia masih duduk di tempatnya menanti kalimat dari pembawa acara bahwa ini adalah drama atau gurauan belaka.

Namun raut wajah dua keluarga yang bergembira dan saling berpelukan di atas panggung, mematahkan harapannya. Gadis yang disebut Reva itu tersenyum bahagia sembari memutar-mutar cincin yang baru saja dipasang Harvey di jarinya. Sedangkan pria yang masih berstatus kekasihnya itu, masih terus menunduk seperti menghindar dari pandangan Maura.

'Lihat aku, Harvey, tolong lihatlah aku di sini!' Maura menjerit dalam hati.

Seolah pesan dalam hatinya tersampaikan, Harvey melirik ke arah Maura yang berada di sudut ruangan. Ia berharap Harvey turun dari panggung dan meminta maaf lalu mengatakan semua ini ia rancang hanya untuk memberi kejutan padanya. Bahwa wanita yang seharusnya Harvey lamar adalah dia.

Dari atas panggung, Harvey dapat melihat sorot mata kecewa dan sedih di mata Maura. Ingin ia berteriak dari atas panggung, 'keluar dari sini! Sudah ku katakan kamu tak perlu datang kemari!'

Kalau bukan karena Papanya yang memintanya mengundang Maura, ia tidak menginjinkan kekasihnya itu tahu acara malam ini.

"Sekarang atau tidak, Harvey. Jauh lebih baik ia tahu sendiri lalu menghilang dari kehidupanmu."

"Tapi aku masih cinta, Pa. Ini terlalu cepat, tolong beri aku waktu. Aku akan minta pengertian Maura." Harvey mengusap wajahnya kasar.

Papanya menekannya agar mengundang Maura di malam pertunangannya dengan Reva, karena dengan cara itulah kekasih putranya tahu jika Harvey bukan miliknya lagi. Dengan begitu putranya tak perlu repot-repot memutuskan hubungan mereka.

"Terlalu beresiko, Harvey. Bagaimana jika Reva dan orangtuanya tahu kamu punya pacar?"

"Aku memang punya pacar, Pa! Papa juga tahu dan merestui hubungan kami. Kenapa juga Papa tidak meminta pendapatku dulu sebelum menawarkan aku seperti barang dagangan?" Harvey meluapkan emosinya.

"Papa kira kita sudah sepakat soal ini, Harvey." Papa memandangnya lelah, "Kalau kamu lebih senang Papa masuk penjara dan kuliahmu putus sebelum wisuda, lakukan saja keinginanmu. Papa juga tidak yakin kekasihmu itu dan keluarganya masih mau menerimamu setelah kamu jatuh  miskin dan punya orangtua narapidana." Papa melepas kacamatanya lalu berdiri dan meninggalkannya sendiri di ruang kerja.

Setelah cukup lama menimbang situasi, Harvey mengirimkan pesan pada Maura. Ia berharap kekasihnya itu masih marah padanya karena telah mengabaikannya beberapa hari ini dan tidak menerima undangannya. Sampai malam acara pun, ia masih berharap Maura tidak datang dan melihatnya berdiri di sisi wanita lain.

Namun harapannya sirna ketika ia melihat mata yang selalu bersinar jika melihatnya ada diantara ratusan pasang mata di bawah panggung. Namun sekarang mata itu juga berkilau melihatnya, tapi bukan karena cinta melainkan air mata yang menggenang.

...❤️🤍...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!