NovelToon NovelToon

My Beloved Cowboy

Bab 1. Putus!

Langkah kaki Maharani Putri ringan, seringan hatinya sore itu ketika melangkahkan kaki menuju ruang kerja kekasihnya Andre Hutama sang direktur muda di perusahaan Hutama Abadi.

Semua karyawan yang berpapasan dengannya, tersenyum seraya menganggukkan kepala padanya. Mereka semua mengenalnya sebagai tunangan sang direktur di tempat mereka bekerja.

Ditatapnya cincin yang melingkar di jari manisnya itu dengan perasaan bahagia, di depan pintu ruang direktur Rani berhenti. Sejenak Rani merapikan rambutnya, lalu tangannya terulur hendak mengetuk pintu. Keningnya berkerut menatap celah yang terbuka.

“Tumben gak dikunci?”

Rani tersenyum dan membuka lebar pintu di depannya itu, “Sayang, Aku dat ...”

Rani berdiri mematung, senyumnya sirna seketika. Pemandangan di depannya membuatnya tak bisa melanjutkan bicaranya.

Dadanya tiba-tiba sesak, seperti ada seribu jarum yang menusuk jantungnya. Sakit sekali. “Sepertinya Aku datang di saat yang kurang tepat!”

Dan sebelum kedua orang di depannya itu menyadari kehadirannya, Rani sudah berbalik dan berlari meninggalkan tempat itu.

“Rani?” ujar Andre terkejut melihat kedatangan Rani yang tiba-tiba.

Andre segera melepaskan pagutannya pada bibir wanita di pelukannya itu, terkejut melihat kehadiran Rani yang tiba-tiba. “Rani?”

Ia menyugar rambutnya kasar dan segera berlari keluar mengejar Rani, tanpa menyadari penampilan dirinya yang acak-acakan ulah tangan kreatif teman wanitanya.

Tentu saja ulahnya itu menarik perhatian semua karyawan, terlebih lagi ketika mereka melihat Rani yang berlari dengan wajah memerah dan Indah yang berjalan santai di belakang Andre. Sepertinya mereka bisa menebak apa yang sudah terjadi pada ketiga orang itu.

“Rani, tunggu. Dengar dulu penjelasanku!” Andre berhasil mengejar Rani, sayang wanita itu tak menghiraukan panggilannya.

Rani mempercepat langkahnya menuruni titian anak tangga gedung kantor Hutama Abadi menuju mobilnya diparkir. Dua anak tangga sekaligus berhasil ia lewati, tak peduli pada celana kain yang dikenakannya basah terkena percikan genangan air hujan yang dilewatinya.

Tak dihiraukannya suara teriakan lantang Andre di belakangnya. Cukup sudah, ia tidak ingin mendengar alasan laki-laki itu lagi.

Selama ini ia menutup mata dan telinganya setiap kali ada yang membicarakan tentang kedekatan Andre dengan Indah, sekretarisnya di perusahaan. Tak hanya sekali, tapi berulang-ulang kali.

Apa Rani merasa terganggu? Jawabnya ya, ia sedikit terganggu. Sebelumnya ia percaya sepenuhnya pada laki-laki itu, tak mungkin Andre akan mengkhianati dirinya. Terlebih lagi ia juga sudah mengenal Indah sejak lama. Bahkan saat dirinya belum menjadi kekasih Andre, dan wanita itu yang mengenalkan Andre padanya.

Tapi setelah hari ini, ia harus mengakui kebenaran ucapan orang-orang padanya. Saat ia melihat sendiri di depan matanya, bagaimana keduanya berciuman mesra di dalam ruang kerja Andre yang tak sengaja dibukanya.

Tega! Mengaku mencintainya tapi tega berbuat seperti itu padanya. Rani tak akan pernah memaafkan laki-laki itu lagi!

Dasar laki-laki buaya, otak mesyum, semudah itu berkhianat. Rani mengangkat jemarinya, menatap pada cincin yang melingkar di jari manisnya.

Air matanya mengalir lagi, dengan marah Rani menghapus pipinya yang basah. Dasar bodoh! Rani memarahi dirinya sendiri, terlalu percaya pada laki-laki buaya macam Andre.

“Rani!” Andre menyambar lengan Rani. Tiba-tiba saja lelaki itu sudah berada di depannya, menghalangi jalannya untuk membuka pintu mobilnya.

“Rani, please. Dengarkan dulu penjelasanku,” ucap Andre dengan suara bergetar, menatap Rani dengan rasa bersalah yang kentara.

“Lepaskan tanganmu dari tubuhku!” Rani menyentak keras cekalan tangan Andre di lengannya, “Aku tidak ingin mendengar penjelasan apa pun darimu!”

“Aku khilaf! Semua terjadi begitu cepat, dan Aku menyesalinya. Aku tidak mampu menolak rayuan Indah dan ...”

“Cukup!” Rani menutup kedua telinganya, tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari mulut Andre. Baginya pengkhianatan bukan masalah kecil, dan lelaki itu sudah merusak kepercayaan dirinya selama ini.

Rani melepaskan cincin di jari manisnya dan menaruhnya ke dalam genggaman tangan Andre. “Aku tidak bisa memakainya lagi, berikan saja pada wanita itu karena dia lebih pantas memakainya ketimbang diriku.”

“Rani,” desis Andre, termangu menatap cincin di dalam genggaman tangannya. “Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?”

“Kita PUTUS, dan pertunangan ini BATAL! Mulai hari ini dan seterusnya, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Hubungan kita sudah TAMAT!” tegas Rani.

Rani membuka pintu mobilnya cepat dan bergegas masuk, dinyalakannya mesin mobilnya dan segera berlalu dari hadapan laki-laki itu.

Andre masih terpaku di tempatnya berdiri saat itu, meski mobil Rani sudah tak terlihat lagi. Ia baru tersentak dan segera menyingkir dari sana, ketika terdengar suara klakson kendaraan yang lewat di sampingnya.

Ia berjalan gontai memasuki gedung kantornya lagi. Di depan pintu ruang kerjanya yang terbuka, seorang wanita cantik dengan penampilan modis dan seksieh berdiri menyambutnya sembari merentangkan kedua tangan lebar.

• • • • •

“Aaaarrghkk!”

Rani berdiri di atas batu karang besar, menjerit keras meluapkan emosinya. Di hadapannya ombak bergulung-gulung lalu terhempas dan menghantam batu karang di dekatnya.

Rani memejamkan matanya, percikan air pantai mengenai wajahnya dan membasahi baju yang dikenakannya. Tapi Rani tak peduli, dan ia kembali berteriak lantang.

“Lo kalau mau nyemplung ya nyemplung aja, Ran. Gak usah pakai tereak-tereak segala kayak gitu, kuping Gue sakit dengernya!” Maya yang duduk di bangku panjang di atas dermaga pantai terlihat mengusap-usap telinganya.

“Gue belum mau mati, dan Gue belum balas sakit hati Gue sama dia!” sahut Rani tanpa menoleh pada Maya.

“Beruntung aja Lo gak jadi nikah sama itu cowok, udah tahu duluan kelakuan doi.”

“Aaarrghk!”

“Berisik, Ran!”

Rani tertawa lepas sampai matanya berair, dan Maya berdecak sembari menggelengkan kepalanya. “Ck, stres Lo!”

“Gue lagi ngetawain kebodohan diri Gue sendiri, terlalu percaya sama mulut manis Andre.”

“Mending Lo balik sini, gih. Duduk samping Gue, kita makan bakso.” Sahut Maya enteng, di sampingnya sudah siap sedia dua mangkuk bakso yang masih mengepul plus dua gelas minuman segar.

“Gue lagi marah, Lo malah ngajak makan!”

“Marah kan juga butuh tenaga, Ran.” Maya meringis. “Udah, buruan sini!”

Kali ini Rani menurut, ia berjalan mendekati Maya dan duduk di sampingnya. Bajunya basah dan Rani tak peduli.

“Lo gak merasa dari tadi diperhatiin sama orang-orang yang ada di pantai ini?”

Rani menggeleng, “Gak. Orang Gue lagi emosi, mana sempat perhatiin orang lain.”

“Apa Lo sudah kasih tahu keluarga Lo, kalau pertunangan kalian sudah putus?” Tanya Maya sebelum menyuapkan bakso ke dalam mulutnya.

Rani menghela napas, “Belum. Gue gak tahu harus bicara apa sama mama, beliau pasti kecewa.”

“Lo cerita aja kejadian yang sebenarnya, apa yang Lo lihat. Gue percaya, mama Lo pasti ngerti.”

Rani mengesah pelan, memalukan rasanya harus mengakui kalau dirinya gagal mempertahankan komitmen dari lelaki yang seharusnya dalam hitungan bulan saja akan menjadi pendamping hidupnya itu.

“Gue juga berharap begitu,” sahut Rani kemudian. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan manisnya dengan Andre selama dua tahun ini harus berakhir begitu saja.

Bayangan wajah mama berkelebat di benaknya, raut bahagia tampak jelas di sana ketika melihat si bungsu di keluarga mereka akhirnya menemukan jodohnya. Sayangnya kebahagiaan mama tidak berlangsung lama, karena ulah calon menantunya semuanya harus berakhir!

▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎

Bab 2. Ma, Rescue Me

“Ran, bukannya Lo sudah ngajuin cuti buat acara nikah Lo dan sudah disetujui sama kantor?” tanya Maya sambil menyeruput minumannya.

Rani mengangguk, “Dua Minggu, dan Gue gak tahu harus ngapain selama waktu itu. Sementara rencana pernikahan yang sudah tersusun rapi, harus batal begitu saja.”

Rani mendorong mangkuk baksonya yang masih penuh, selera makannya menguap entah ke mana. “Gue jadi pengen ngilang, pergi jauh ke tempat di mana gak ada satu pun orang yang kenal Gue di sana.”

“No no no!" Maya menggerak-gerakkan telunjuknya di depan Rani.

"Gue harus gimana, May? Tunangan Gue selingkuh, dan rencana pernikahan Gue berantakan!" ucap Rani gusar.

"Menghindar bukan cara untuk menyelesaikan masalah, Ran. Lo harus bicara sama mama juga calon mertua Lo. Biar kalian gak jadi nikah, tapi alangkah baiknya hubungan persahabatan di antara keluarga kalian tetap terjalin.”

“Gue gak mau ketemu dia lagi!"

"Ran, mereka juga berhak tahu alasan kallian putus."

"Aku yakin, mereka pasti sudah mendengar semuanya dari Andre kenapa kami putus."

“Gue cuma kasih saran, tapi semua keputusan ada di tangan Lo. Pasti ada hikmah dibalik kejadian ini. Dan Gue percaya, Tuhan punya rencana yang lebih indah buat hidup Lo nanti.” Maya berusaha memberikan semangat pada sahabatnya itu.

Bersamaan dengan ucapannya itu, ponsel milik Rani berbunyi. Mata indah itu mengerjap, menatap Maya sesaat lalu beralih menatap benda pipih di tangannya yang menampilkan nama mamanya. “Mama telpon!”

“Ya udah, angkat!”

Rani berdeham sejenak, “Ya, Ma.”

Rani menjauhkan ponsel dari telinganya, sambil memiringkan wajahnya. Maya tersenyum melihatnya, ia bisa menebak apa yang sedang mamanya bicarakan. Ia pun kembali melanjutkan makannya yang tertunda.

Sedetik kemudian wajah Rani berubah, ia menutup sambungan telepon dan menyambar tasnya lalu berlari cepat menuju mobilnya.

“Ada apa, Ran?” Maya berlari menyusul Rani.

Rani menghidupkan mesin mobilnya, menoleh sekilas pada Maya sebelum melajukan mobilnya. “Gue harus secepatnya sampai di rumah sebelum laki-laki breng sek itu bicara terlalu banyak pada mama!”

“Andre datang ke rumah, Lo?”

“Iya!” teriak Rani.

Maya menggelengkan kepala, “Drama drama drama,” gumamnya pelan.

Rani melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang, sambil melirik ke kiri dan kanan berharap macet di depannya itu akan segera terurai dan jalanan kembali lancar.

Bibirnya terus saja komat-kamit, merapal doa agar mama tidak mudah percaya pada ucapan dan wajah mengiba yang ditunjukkan Andre padanya.

Rani sampai dua jam kemudian, terseok melangkah masuk ke dalam rumahnya. Dilihatnya halaman rumah kosong, hanya ada satu mobil warna putih dan itu milik Wilda si sulung dalam keluarga. Itu artinya Andre sudah pergi dari rumahnya.

Mama duduk manis diapit kedua kakak perempuannya di sofa ruang keluarga, sementara suami-suami dan anak-anak mereka lebih memilih duduk di meja makan sambil menikmati camilan.

Tersisa satu kursi kosong di sebelah mereka. Sepertinya kursi itu untuknya, dan saat ini mereka memang sedang menanti kedatangannya.

“Andre datang dan memohon pada kami untuk membujukmu agar tetap mau melanjutkan rencana pernikahan kalian,” ucap Yola, kakak keduanya angkat bicara.

“Dia mengaku khilaf dan sudah meminta maaf pada kami,” timpal Wilda.

Mama menatapnya tajam. Kedua kakak perempuannya itu lalu mengusap tangan dan punggung mama menenangkan, sambil melotot padanya.

“Sekarang, ceritakan semuanya.” Suara tenang mama membuat Rani bimbang, ia bergerak gelisah di kursinya.

“Kami semua ingin dengar langsung darimu, apa sebenarnya yang terjadi sampai Kau memutuskan pertunanganmu dan membatalkan rencana pernikahan kalian.”

Rani menatap wajah-wajah di hadapannya itu. Kedua kakaknya memiliki rumah tangga yang bahagia, suami-suami yang begitu memuja dan mencintai mereka juga anak-anak yang lucu dan menggemaskan.

Memalukan rasanya harus mengakui pada mereka kalau dia diselingkuhi tunangannya dengan sahabatnya sendiri, yang mengaku hanya mencintai dirinya seorang. Tapi Rani tahu, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus menghadapi kenyataan dan melanjutkan hidupnya.

Rani menceritakan semuanya, dan mama menyimak sambil menyeruput teh di tangannya tanpa menyela sedikit pun.

“Begitulah kejadian yang sebenarnya, Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dan mengembalikan cincin pertunangan padanya.” Pungkas Rani mengakhiri ceritanya sambil memperlihatkan jari manisnya yang kosong. Rasanya begitu lega setelah melakukannya.

“Apa wanita itu begitu cantik dan menggairahkan hingga lelaki breng sek itu tergoda padanya ...” Wilda mengangkat tangan dan menggerakkan dua telunjuknya. “Lalu mengkhianati dirimu?” lanjutnya kemudian.

Tatapan Rani jatuh ke lantai, ibu jarinya bergerak-gerak melukis bulatan-bulatan besar dan membuat titik di bagian tengahnya. “Ukuran dadanya 36 B!”

“Uhuk!” Mama tersedak dan menumpahkan tehnya, wajah kedua kakaknya memerah dan Rani hanya mengangkat bahunya.

“Aku sedang menjawab pertanyaan kalian, dan Aku bicara apa adanya. Indah memang molek, dia menjadi incaran banyak pria.”

“Dan Kau biarkan wanita itu merebut calon suamimu!” sembur mama, matanya berkilat-kilat tajam.

“Apa lelaki seperti itu pantas untuk dipertahankan?” balas Rani dengan senyum getir.

Sakit hati Rani bila mengingat kejadian sore tadi. Andai ia tak pergi menemui laki-laki itu di tempat kerjanya, mungkin Rani tak akan pernah tahu pengkhianatan yang dilakukan Andre di belakangnya.

Dua tahun menjalin hubungan, dan Rani begitu senang saat Andre melamarnya. Namun dua bulan sebelum hari pernikahan mereka, laki-laki itu mengkhianatinya.

“Sebenarnya Kamu ini cantik, tapi Kamu sendiri yang membuat dirimu tampak suram dan tak menarik. Lihat penampilanmu, membosankan!” cela Wilda seraya mengamati penampilan Rani, “Pakaian yang Kamu kenakan selalu saja sama modelnya, dan Kamu terlalu sibuk bekerja.”

“Kamu harusnya lebih memperhatikan penampilanmu, bila perlu mengubah dirimu menjadi lebih menarik. Buat laki-laki itu menyesal karena lebih memilih 36 B ketimbang dirimu yang manis!” ujar Yola berapi-api.

Rani tak membantah ucapan Yola, ia memang jarang memanjakan dirinya ke salon atau melakukan perawatan tubuh lainnya. Ia benar-benar sibuk bekerja dan waktunya lebih banyak dihabiskan di tempat kerja.

“Aku setuju!” kata Wilda menyetujui ide Yola.

“Mama juga sudah mengusirnya dari sini, dan melarangnya untuk datang ke rumah ini lagi.” Tegas mama.

Mau tak mau Rani tertawa mendengar ucapan mama, dan mama mengernyitkan keningnya. “Kenapa Kamu tertawa?”

Rani menghela napas sebelum menjawab pertanyaan mama. “Rani lega, Ma. Setidaknya Rani tidak perlu repot-repot lagi memikirkan cara untuk membeli gaun pengantin.”

“Apa Kau baik-baik saja?”

Pertanyaan mama menggoyahkan pertahanan diri Rani, rasanya ia ingin menangis lagi.

Rani melorotkan tubuhnya dan merangkak mendekati kursi mama. Ia merebahkan kepalanya di pangkuan mama, dan wanita tersayang itu mengusap kepalanya lembut. “Mama, please rescue Me.”

“Mama sangat mengerti perasaanmu saat ini. Sepertinya Kau butuh tempat untuk menjauh dari sini, agar bisa berpikir lebih tenang dan melupakan semua kejadian tidak menyenangkan ini.”

“Kamu punya waktu cuti dua Minggu, kenapa tidak Kamu gunakan untuk berlibur saja.” Ucap Wilda mengingatkan.

“Kamu bisa datang ke peternakan oma di desa. Bukankah sebentar lagi waktunya pengumpulan ternak di sana, akan banyak orang yang bisa Kau temui di sana nanti. Oma pasti sangat sibuk dan dia butuh orang untuk membantunya,” sela Yola dengan ide briliannya yang membuat Rani menjadi bersemangat tiba-tiba. Sepertinya ide berlibur di peternakan oma bukanlah ide yang buruk.

“Mama akan menelepon oma, dan menanyakan apakah beliau butuh asisten untuk membantunya di peternakan bulan depan.”

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Bab 3. Kingstone Hardy

Harusnya malam itu Yola dan Wilda menginap di rumahnya, tapi mendadak harus pulang. Si kecil Leo menangis kencang karena boneka dinosaurusnya tertinggal di rumah.

Sementara Yola harus menyiapkan keberangkatan sang suami ke luar kota pagi-pagi sekali, setelah mendapat telepon dadakan dari atasannya.

Rumah yang tadinya ramai mendadak sepi, hanya tinggal Rani dan mama saja. Asisten rumah tangga mereka sudah pulang, karena hanya bekerja sampai sore hari.

“Rani ke kamar dulu ya, Ma. Mau istirahat,” pamit Rani hendak beranjak ke kamarnya.

“Eits, nanti dulu. Temani Mama sebentar, Mama mau telpon nenekmu sekarang.” Mama menahan lengan Rani, memaksa anak gadisnya itu untuk tetap duduk di sampingnya.

“Sudah malam, Ma. Kasihan nenek, besok pagi saja.”

“Di tempat nenek masih jam delapan malam, nenekmu masih belum tidur.”

Rani menurut, meski dengan bibir cemberut. Ia duduk sambil melipat kaki, lalu merebahkan punggungnya ke sandaran sofa.

“Halo.”

Senyum mengembang di wajah mama ketika mendengar sahutan dari seberang telepon. “Selamat malam Neneknya anak-anakku yang cantik dan baik hati.”

Mama terkekeh kemudian. Rani senyum-senyum sendiri mendengar ucapan mamanya saat menyapa neneknya.

Awalnya keduanya saling bertukar kabar, di tengah-tengah percakapan terdengar keluhan neneknya. Dan hal itu menarik perhatian Rani, ia mendengar kesedihan dari nada suara neneknya.

“Aku butuh seseorang yang bisa membantu kami mengatur pembukuan, dan Aku belum mendapatkannya sampai sekarang. Aku juga butuh tenaga tambahan untuk membantu King di peternakan.”

“Bagaimana dengan Gaby, bukankah dia yang selama ini membantu mengatur pembukuan kalian di sana. Pekerjaannya bagus. Terakhir kali bertemu dengannya, para koboi menyukainya dan senang bekerja dengannya.”

Mama sengaja mengaktifkan pengeras suara ponselnya agar Rani ikut mendengarnya. Rani yang duduk di sebelahnya terlihat serius mendengarkan.

“King mengusir mereka, dan Gaby lari ketakutan!”

“Apa sebenarnya yang terjadi?”

“Mereka menggoda Gaby di depan King, salah satu pekerja membelai pinggul Gaby dengan sangat kurang ajar dan memaksa mencium wanita itu.”

Rani membulatkan bibirnya dan berdeham, ia bisa mengerti kemarahan King.

“King marah, ia merobohkan pekerja itu dengan tinjunya dan mengancamnya dengan sekop di lehernya. Gaby ketakutan, ia langsung minta berhenti kerja dan King langsung memecat pekerja itu.”

Cerita neneknya membuat Rani berpikir keras, teringat pada kisah cintanya yang kandas. “Harusnya Aku melakukan hal yang sama pada Andre, memberinya pelajaran dan mengusirnya keluar bersama wanitanya dengan sekop di leher!”

“Maaf, seharusnya Aku tidak menceritakan masalahku pada kalian. Tapi, Aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa membantuku di sini.”

Mama melirik Rani, perhatiannya terpecah mendengar suara lain di sebelahnya. Kerutan di keningnya semakin dalam melihat tingkah putrinya yang berlagak seperti orang yang sedang berkelahi, mengayunkan tangannya ke sembarang arah.

“Rani?!”

Rani tersadar, tersenyum dan kembali duduk manis.

“Helen, apa Kau masih mendengarku. Kau sedang bicara dengan siapa tadi?”

“Ekhem!” mama berdeham, memberi kode pada Rani untuk menjawab pertanyaan neneknya.

“Nenek, apa kabar? Ini Rani, putri bungsu mama Helen.” Rani mematikan pengeras suara dan mendekatkan ponsel mama ke telinganya.

“Baik, Nek. Mereka semua baik, hanya Rani saja yang sedang tidak baik.” Rani memasang wajah nelangsa meski ia tahu neneknya tidak akan bisa melihatnya, dan mama hanya menggeleng saja melihat tingkah putri bungsunya itu.

Percakapan selanjutnya mengalir lancar antara Rani dan neneknya. Seperti anak kecil yang baru kehilangan benda kesayangannya, Rani mengadukan nasibnya pada sang nenek.

“Apa Nenek mengundangku ke peternakan?” Rani menegakkan punggungnya, suaranya terdengar serius. Hal itu memancing rasa ingin tahu mama yang duduk di sebelahnya, sedari tadi mengawasi tingkahnya.

“Aku bisa membantu Nenek dalam hal pembukuan, kapan Nenek akan ke mari?”

Mama semakin penasaran, ia merapat dan memasang telinga baik-baik.

“Hem, baiklah. Biar Aku berangkat sendiri ke sana. Nenek harus memastikan keamanan diriku di sana dari lelaki bernama King itu, jangan sampai ia mengalungkan sekopnya di leherku.”

Mendengar hal itu, mama langsung menarik dirinya dan menatap tajam Rani yang masih belum selesai bicara pada neneknya.

“Hahaha, oke Nek. Bye, Rani sayang Nenek.” Rani mengakhiri teleponnya dan menaruh kembali ponsel mama ke atas meja.

Plak!

“Astaga, Mama?” Rani kaget, mama mengeplak lengannya dan melotot padanya.

“Kalian bicara apa saja tadi, kenapa speakernya dimatikan. Mama kan jadi gak bisa dengar nenekmu bicara apa?”

“Nenek mengundang Rani ke peternakan, sekalian mengisi liburan dan membantu pembukuan di sana.”

“Dan Kamu setuju?”

“Iya, Rani setuju. Lusa Rani berangkat!”

“Mama akan meminta bibi Imas untuk tinggal di rumah ini sementara Kamu pergi,” balas Mama, dan hal itu membuat Rani lega karena ada yang menemani mamanya selama ia tidak ada di rumah.

Malam itu juga Rani menelepon atasannya dan meminta pengajuan cutinya dimajukan tanggalnya. Tanpa banyak bertanya, atasannya pun langsung menyetujuinya.

Sebagai salah seorang pekerja yang memiliki jabatan cukup penting di kantornya, Rani memiliki anak buah yang bisa membantu menggantikan pekerjaannya. Dan Ia memiliki waktu satu hari penuh untuk menyelesaikan semua sisa pekerjaannya.

Mama membantunya berkemas, dan ikut mengantar Rani ke bandara. Mama memeluknya erat dan berpesan padanya, “Jaga diri baik-baik, jaga kehormatanmu sebagai seorang wanita karena itu satu-satunya milik kita yang paling berharga.”

Dua jam perjalanan udara, Rani menjejakkan kakinya kembali di kota kelahiran almarhum papanya. Seperti pesan neneknya, di depan sudah ada seseorang yang akan menjemputnya.

Rani menutup wajahnya ketika keluar pintu bandara, hawa panas langsung menyengat kulitnya. Ia berjalan menuju mobil bak terbuka yang akan menjemputnya.

Tangannya kesusahan menyeret kopernya, sepatu hak tinggi yang dipakainya menghambat gerakannya. Rani celingukan sembari mencocokkan tulisan di layar ponselnya.

“Sepertinya itu mobilnya.” Rani tersenyum lega, ia menunggu sejenak sampai seseorang keluar dari mobil itu dan datang menghampiri dirinya.

Rani terpaku untuk beberapa saat lamanya, menatap ke arah lelaki yang berjalan menyeberang ke arahnya.

Lelaki itu jangkung, bertubuh ramping dan gagah. Ia mengenakan topi koboi warna hitam dan mantel Western yang melapisi kemeja polos navy yang dikenakannya. Celana jeans ketat membungkus kakinya yang panjang. Ia berjalan angkuh dan berhenti di hadapan Rani.

“Nona Maharani Putri?” Lelaki itu menurunkan topi koboinya dan menaruhnya di depan dada, sembari matanya menatap wanita di hadapannya.

Mata itu tajam dan seolah menembus kulit tubuhnya, warnanya kebiruan. Tapi bukan itu yang membuat Rani sulit bernapas, sinar mata itu tampak dingin dan wajah tampan di hadapannya itu datar dan tanpa senyum.

Rani memaksakan senyum dan mengulurkan tangannya. “iy-ya, Saya Maharani Putri. Panggil saja Rani.”

Lelaki itu menjabat uluran tangan Rani dan melepasnya cepat, dan Rani menyadari itu. “Halo Rani, Aku Kingstone Hardy. Panggil saja King.”

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!