*Perampok Budiman (PB)*
“Ayo, tarik terus!” teriak Bendong mengomandoi kelima rekannya yang lain dalam rangka menarik tubuh Rugi Sabuntel.
Rugi Sabuntel adalah seorang anak bertubuh gemuk dan pastinya berperut gendut. Usianya sekitar dua belas tahun. Air mata kemalangan sejak tadi membanjir di wajah bakpaonya, ditemani oleh ingus yang juga encer.
Ada enam anak yang usianya sepantaran dengan dirinya, kecuali Bendong yang tiga tahun lebih tua, menarik paksa dirinya seperti karung buah jengkol. Bokongnya menggesek tanah dengan keras, sampai-sampai bokong celanannya pun robek.
“Tolooong! Jangan sakiti akuuu! Huuu…!” ratap Rugi Sabuntel yang tidak berdaya.
“Diam kau, Ikan Hamil!” bentak anak yang bernama Blikik sambil memukul kepala Rugi Sabuntel.
“Tolooong! Huuu…! Kalian jangan jahati aku! Emaaak!” ratap Rugi Sabuntel lagi.
“Hahaha! Emakmu tidak akan ada di sini. Emakmu sedang menghitung butiran jagung di gudang Gusti Demang!” kata Bendong sambil menertawakan. Anak bertubuh dan berusia paling besar itu adalah pemimpin dari kelima temannya.
“Kami hanya ingin membuktikan, kau bisa berenang atau tidak. Hahaha!” kata Buarat, lalu tertawa.
Meski Rugi Sabuntel bertubuh berat, tetapi menariknya menjadi ringan karena ditarik ramai-ramai. Rupanya keenam anak itu menganut semboyan “berat tarik bersama, ringan jangan dibawa”.
Bendong dan rekan-rekannya yang memang sering mem-bully Rugi Sabuntel, membawa anak gendut itu ke pinggir Sungai Buangsetan.
Sungai itu tergolong kecil, karena orang besar pun bisa menyeberang dengan cara berjalan. Kelebarannya rata-rata hanya tiga sampai empat tombak.
Menurut buku sejarah, nama Buangsetan lebih dulu melekat pada sungai itu dibandingkan sebagai nama desa tersebut. Mungkin desanya tidak punya pendirian sendiri sehingga namanya tinggal ikut nama sungainya.
“Lempar! Lempar!” teriak Bendong bersemangat ketika mereka sudah sampai di salah satu titik di pinggir sungai.
“Jangan! Jangaaan! Emaaak! Emaaak! Huuu…!” teriak Rugi Sabuntel sambil mencoba meronta. Namun, meski badannya besar, tapi tenaganya tidak lebih kuat dari tenaga keenam orang yang mencekalnya seperti memegang tangan pacar.
“Lempaaar!” teriak Bendong dan kelima rekannya bersama-sama, sambil mengayun jauh melepas pegangan mereka di tubuh Rugi Sabuntel.
“Emaaablupr!” teriak Rugi Sabuntel yang kemudian ditutup oleh sumpalan air sungai.
Tubuh Rugi Sabuntel jatuh ke air sungai yang berada setengah tombak dari ketinggian tanah.
Rugi Sabuntel sempat tenggelam lalu timbul lagi ke permukaan dan bergerak gelagapan, seperti kecoa terbalik di dalam kegelapan.
“Ikan Hamil, Ikan Hamil! Ikan Hamil tidak bisa berenang! Hahaha!” ucap keenam anak itu gembira lalu tertawa puas melihat Rugi Sabuntel berontak kewalahan menghadapi air.
“Maklep! Maaaklep!” teriak Rugi Sabuntel di sela-sela kelelepnya dengan tangan menggapai-gapai ingin tenggelam.
Arus sungai memang tidak deras, tapi kedalaman air yang cukup dalam bagi kaum anak membuatnya panik tidak beraturan.
“Ikan Hamil benar-benar tidak bisa berenang! Hahaha!” ejek Bendong lalu tertawa berjemaah lagi.
Tiba-tiba ….
“Hei!”
Keenam anak itu terkejut seperti dibentak setan, ketika mereka mendengar teriakan yang keras menggelegar dan sepertinya ditujukan kepada Bendong dan rekan-rekannya. Mereka sontak menengok ke sumber suara untuk memastikan apakah itu suara orang atau setan sungai.
Mereka melihat sesosok lelaki tua berpakaian gelap dan usang. Rambutnya sudah putih hitam. Kakek berkumis dan berjenggot itu berjalan tergesa-gesa, tapi langkahnya pincang. Ia berjalan dengan bantuan tongkat yang sebenarnya tidak begitu membantu, karena tanpa tongkat pun dia bisa berjalan. Wajahnya menunduk, tapi sorot matanya begitu tajam.
Sebenarnya ia menunduk untuk menyembunyikan wajah rusaknya. Pada wajah tuanya itu ada bekas beberapa luka robekan yang cukup dalam, seperti garukan cakaran binatang buas. Namun, konon katanya itu cakaran empat besi tajam. Karena luka besar itulah dia disebut Ki Robek.
“Ada Ki Robek! Ada Ki Robek! Lariii!” teriak Bendong panik kepada teman-temannya. Lalu dia yang lebih dulu lari menjauhi sungai dan Ki Robek.
“Anak nakal! Pergi!” bentak Ki Robek sambil mengangkat tinggi tongkat kayunya.
“Lariii!” teriak Blikik dan keempat rekannya yang lain sambil lari tunggang tanggung.
Ki Robek yang sudah tiba di pinggir sungai segera mengulurkan tongkatnya kepada Rugi Sabuntel yang nyaris tenggelam.
“Pegang tongkatku, Rugi!” kata Ki Robek sambil menyentuhkan tongkatnya ke tangan si bocah.
Rugi Sabuntel yang terus menggapai-gapai tidak jelas juntrungannya, akhirnya bisa memegang ujung tongkat Ki Robek.
Ki Robek menarik tongkatnya dan membawa Rugi Sabuntel yang sebenarnya sangat dekat dengan tepian. Namun, karena terlalu panik dan tidak bisa berenang, Rugi tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Ki Robek menarik tangan si bocah naik ke darat.
“Emaaak! Emaaak!” teriak Rugi Sabuntel sambil menangis.
“Hei diam! Kau sudah tidak tenggelam!” bentak Ki Robek.
“Emaaak! Emaaak! Huuu…!” Rugi Sabuntel tetap menangis sambil memanggil emaknya.
“Hei! Aku bilang diam, kenapa kau terus menangis, hah?!” bentak Ki Robek lagi.
“Aku sedih, Kek. Aku takut, Kek,” jawab Rugi Sabuntel yang sesegukan begitu mengibakan. Lalu mengusap ingusnya dengan punggung tangannya sehingga ingusnya berbelok ke pipi.
“Kenapa kau sedih?” tanya Ki Robek, bentakannya sudah memelan.
“Aku selalu diejek karena aku gendut,” jawab si bocah.
“Apakah gendut itu jelek sehingga kau sedih jika disebut gendut?”
“Gendut itu tidak bisa berenang, Kek.”
Rugi Sabuntel sudah berhenti menangis, tapi masih sedih dan sesegukan.
“Kata siapa? Itu karena kau tidak mau belajar berenang,” kata Ki Robek. Lalu tanyanya lagi, “Lalu kenapa kau takut?”
“Aku takut kepada Kakek yang seram.”
“Kau takut melihatku, tapi kau tidak takut melihat tikus. Aku tidak pernah menggigit anak kecil, tapi tikus yang menggigit isi celanamu tidak kau takuti. Bukan aku yang membuatmu takut, tapi pikiranmu sendiri yang membuatmu takut. Lihat, apakah aku akan memangsamu!”
“Ti-ti-tidak, Kek.”
“Sekarang turun ke air. Kau harus belajar berenang!”
“Aku takut, Kek. Aku takut tenggelam.”
“Bahkan jika kau diam saja di air, kau tidak akan tenggelam. Air sungainya pun tidak deras. Kau tidak akan tenggelam. Kau mau diejek Ikan Hamil terus oleh teman-temanmu itu? Ayo turun! Atau aku akan menendangmu ke air!”
“I-i-iya, Kek.”
“Kakek yang akan menyelamatkanmu jika kau tenggelam. Kau tidak boleh pulang sebelum kau bisa berenang.”
“I-i-iya, Kek.”
Rugi Sabuntel lalu bergerak turun ke air sungai lagi dengan perasaan yang dag dig dug.
Ki Robek mengajarinya dari pinggir sungai. Sesekali ujung tongkatnya dia sodokkan ke tubuh si bocah karena takut. Sodokan itu membuat Rugi Sabuntel mau tidak mau harus memasukkan kepalanya ke dalam air.
Dengan terpaksa, Rugi Sabuntel belajar dengan gigih. Ternyata, tidak sesulit yang dia bayangkan.
“Hahaha! Aku bisa berenang, Kek!” teriak Rugi Sabuntel ketika dia sudah bisa meluncur di air sejauh tiga kayuhan tangan.
“Giliran kau bisa, kau tertawa,” dumel Ki Robek. (RH)
*Perampok Budiman (PB)*
Rugi Sabuntel berjalan dalam kondisi kuyup. Ia harus sesekali menarik celananya yang kedodoran karena berubah menjadi berat oleh massa air yang tersimpan dalam seratnya. Sesekali belahan bokongnya mengintip di belakang, ingin melihat dunia luas.
Bocah gemuk gendut itu berjalan mengikuti langkah Ki Robek yang telah menolongnya dan juga mengajarinya bisa berenang seperti bebek dalam kurang dari satu hari. Untung kursus renangnya gratis.
“Kita mau ke mana, Kek?” tanya Rugi Sabuntel yang sudah tidak punya rasa takut kepada Ki Robek yang berwajah rusak.
“Ke rumahku,” jawab Ki Robek yang berjalan terpincang-pincang bersama tongkatnya.
“Kakek Robek tidak bermaksud memotongku lalu memasakku, kan?” tanya Rugi Sabuntel berubah takut. Takut karena memikirkan tubuhnya akan menjadi potongan-potongan daging lalu direbus di kuali besar bercampur daun bawang dan daun jeruk.
“Maksudmu memotongmu seperti ini?” tanya Ki Robek, lalu ia mengibaskan tangan kirinya ke samping.
Set!
Sebatang pohon kecil yang tumbuh sejauh lima kali lompatan kodok, tiba-tiba tumbang dengan batang terpotong-potong rapi.
“Wuaaah!” teriak Rugi Sabuntel terkejut bukan main, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa wajahnya saat itu begitu komedi. “Ki Robek orang sakti?”
“Aku memang orang sakti. Anak-anak Desa Buangsetan saja yang menganggapku setan!” gerutu Ki Robek. “Jika kau menjadi orang sakti, nanti kau tidak perlu lagi menangis jika diejek oleh teman-teman nakalmu itu. Kau bisa marah kepada mereka dan melawan mereka.”
“Benarkah, Kek?”
“Tampangku memang menyeramkan, tapi bukan tampang pembohong.”
“Jika aku berguru kepadamu, apakah aku akan dipukuli olehmu, Kek?” tanya Rugi Sabuntel berubah agak bersemangat, seolah-olah dia melihat bayangan ayam panggang di dalam otaknya.
“Iya, aku akan memukulimu, tetapi itu jika kau malas berlatih. Badan gendutmu tidak akan menghalangimu menjadi pendekar hebat. Justru badan gendutmu bisa kau jadikan sebagai senjata hebat. Kau sebenarnya anak berbakat, Rugi. Lihat saja, dalam waktu singkat kau sudah bisa berenang.”
“Hehehe!” kekeh Rugi Sabuntel karena dipuji-puji, tapi tidak membuatnya lupa menarik celananya yang kembali melorot. Ia berjalan sambil memegangi celananya agar tidak melorot diam-diam seperti cinta pandangan pertama.
“Kecerdasanmu tertutupi oleh rasa rendahmu karena diejek terus-terusan oleh teman-teman jahatmu itu.”
“Hehehe!” kekeh Rugi Sabuntel lagi, kali ini karena merasa malu. Rupanya gendut-gendut dia punya rasa malu juga.
“Maukah kau menjadi muridku, Rugi?” tanya Ki Robek, seperti seorang lelaki memberi tawaran status “kekasih” kepada seorang wanita.
“Mau sekali, Kek. Tapi, aku harus minta izin dulu kepada Emak dan Kakek Sambo.”
“Aku mengajakmu dulu ke rumahku, agar kau tahu di mana rumahku berada. Hari ini, aku akan mengajarimu cara berkelahi, agar kau bisa membuat teman-temanmu itu berhenti mengejek gendutmu dan kau bisa tetap bangga memiliki badan gemuk dan gendut,” kata Ki Robek.
“Iya, Kek.”
“Besok aku akan pergi menemui ibu dan kakekmu untuk minta izin mengangkatmu menjadi muridku,” kata Ki Robek.
“Iya, Kek. Aku akan giat berlatih,” kata Rugi Sabuntel bersemangat. “Tapi, Kek. Setelah aku menjadi pendekar, apakah aku akan menjadi kurus?”
“Itu bisa diatur. Jika kau memilih menjadi kurus, kau harus rajin tidak makan tapi banyak berlatih. Namun, jika kau tetap ingin gendut, kau tetap boleh makan banyak tapi tetap banyak berlatih pula.”
“Aku tidak bisa jika tidak makan banyak, Kek.”
“Tenang saja. Selama kau menjadi muridku, kau boleh makan banyak. Aku tidak akan mempersoalkan kau jadi kurus atau tetap gemuk saat besar nanti.”
*****
Bendong dan kelima rekannya seperti biasa kongkow-kongkow di sebatang pohon tumbang yang tidak pernah terlihat bangun-bangun lagi. Sepertinya pohon itu sudah purnatugas di dunia fana ini.
Bendong dan rekan-rekannya memiliki beberapa tempat tongkrongan di Desa Buangsetan. Kadang mereka nongkrong di pasar sekedar mencari-cari kesempatan mencuri kecil-kecilan dagangan para pedagang. Terkadang mereka juga nongkrong di pinggir sungai di bagian yang sudah menjadi toilet umum terbuka bagi warga. Laki-laki dan wanita suka buka celana di sana semata-mata buang hajat.
Terkadang Bendong suka pura-pura buang hajat, padahal tujuan utamanya menunggu ada warga perempuan yang datang buang hajat, lumayan bisa untuk cuci mata.
Termasuk di pinggiran sawah pinggiran Desa Buangsetan itu. Itu spot bagus untuk nongkrong.
“Itu dia si Ikan Hamil!” teriak Bendong sambil menunjuk kepada Rugi Sabuntel yang berjalan seorang diri dari arah hutan.
Teriakan Bendong yang terdengar, membuat Rugi Sabuntel terkejut. Seolah ingin copot jantung hatinya. Bayangan kesulitan langsung terbayang di dalam kepalanya.
“Aku pasti akan dikerjai lagi oleh mereka,” batin Rugi Sabuntel yang berjalan sambil memikul akar yang adalah ubi kayu nan besar-besar.
“Wah, rupanya dia selamat dari sungai,” kata Supil, rekan Bendong.
“Ayo ambil singkongnya!” seru Bendong berkomando.
“Ayo, ayo!” teriak rekan-rekan Bendong.
Bendong dan kelima rekannya lalu berlari kecil menghadang Rugi Sabuntel, kemudian mengepungnya.
“Hei, Ikan Hamil!” bentak Bendong.
“Serahkan singkongmu!” bentak Buarat sambil merampas paksa singkong bawaan Rugi Sabuntel.
“Hei! Itu milikku!” teriak Rugi Sabuntel.
“Setahuku kau tidak punya kebun singkong. Kau pasti mencurinya, Ikan Hamil!” tukas Bendong.
“Aku diberi Ki Robek. Jangan sembarangan menuduh!” bantah Rugi Sabuntel.
“Hahaha! Penakut sepertimu tidak mungkin diberi singkong oleh Ki Robek,” kata Wiro.
Wiro lalu mendorong bahu Rugi Sabuntel, membuat anak gemuk itu nyaris jatuh ke belakang.
“Wah, hebat. Sepertinya sekarang kau sudah tidak takut kepada kami,” kata Bendong sembari tersenyum satu sudut bibir.
“Iya, sepertinya begitu,” timpal Buarat, lalu ikut mendorong dada Rugi Sabuntel, membuat anak gemuk itu terdorong dan jatuh terduduk.
“Hahaha!” tawa Bendong dan rekan-rekannya.
Kondisi itu memuat Rugi Sabuntel hendak menangis, tapi tidak menangis.
“Kenapa kalian selalu menganiaya aku?”
“Hahaha! Ikan Hamil mulai menangis!” teriak Bojo sambil menunjuk wajah lucu Rugi Sabuntel.
“Hahaha! Ikan Hamil menangis! Ikan Hamil menangis! Hahaha!” ejek anak-anak itu sambil menertawakan Rugi Sabuntel.
“Ikan Hamil tiada guna. Mati saja kau!” bentak Blikik.
Dia lalu menjulurkan jari tangan kanannya hendak mendorong jidat Rugi Sabuntel.
Tiba-tiba Rugi Sabuntel yang mewek ingin menangis menggeser wajahnya sambil membuka mulutnya menggigit jari Blikik.
Krek!
“Aakk!” pekik Blikik kesakitan.
Blikik cepat menarik jari tangannya dari gigi Rugi Sabuntel.
“Ikan Hamil setan! Aku tendang kepalamu sampai ke laut!” teriak Blikik marah yang tidak terima jarinya digigit. Sudah biasa, anak-anak kalau berkelahi omongannya suka tidak masuk akal.
Dia ingin membalas dengan cara buru-buru menendangkan kaki kanannya kepada Rugi Sabuntel yang masih terduduk di tanah.
Rugi Sabuntel yang baru saja sudah dilatih secara kilat oleh Ki Robek, segera menangkap tendangan Blikik.
“Tangkap! Tarik! Aw!” teriak Rugi Sabuntel dengan wajah memendam takut, tapi kedua tangannya menangkap pergelangan kaki Blikik, lalu menariknya dan berteriak untuk mengusir kegentaran.
Kaki Blikik pun tertarik ke depan seperti gaya split.
Breet!
“Aaak! Pantatku robek! Pantatku robek!” teriak Blikik kesakitan.
“Hahaha!” Bendong dan keempat rekan lainnya justru menertawakan Blikik yang celananya robek dan kedua otot pahanya tertarik kencang.
“Kenapa kalian tertawa? Hajar Ikan Hamil ini!” teriak Blikik sambil menahan sakit.
Bendong selaku pimpinan di antara mereka, cepat memberi perintah, “Hajar Ikan Hamil!” (RH)
*Perampok Budiman (PB)*
Setelah membuat Blikik robek celananya dan kesakitan, Rugi Sabuntel segera ingin bangun dari duduknya di tanah.
Namun, Bendong cepat mengomandoi keempat rekannya yang lain.
“Tendang ramai-ramai! Jangan biarkan Ikan Hamil berdiri!”
Tendangan dari Bendong, Supil dan Bojo datang menyerang badan berlemak Rugi Sabuntel.
“Aww! Akk! Aduh!” jerit Rugi Sabuntel kesakitan dengan beberapa versi.
Rugi Sabuntel kesulitan untuk berdiri karena tendangan datang bertubi-tubi kepadanya.
Sambil menjerit-jerit, Rugi Sabuntel nekat melawan. Dia ingat pesan Ki Robek yang kini menjadi gurunya.
“Jika diam juga membuatmu bisa mati, lebih baik kau mati dalam keadaan melawan.”
Itulah sekalimat pesan Ki Robek kepada Rugi Sabuntel.
“Hiaaat! Dorong! Dorong! Aww!” teriak Rugi Sabuntel kencang.
Dengan membabi buta, Rugi Sabuntel berusaha bangun sambil mendorongkan tubuh gendutnya ke tubuh Supil. Supil pun terdorong dan hilang keseimbangan.
“Aww!” pekik Supil yang jatuh terjengkang.
“Duduk di kakus! Aww!” teriak Rugi Sabuntel sambil menjatuhkan pantatnya menduduki wajah Supil.
“Hmmmk!” pekik Supil yang gelagapan karena sulit bernapas.
“Rasakan ini, Ikan Hamil!” teriak Bojo sambil mengayunkan tendangannya kepada Rugi Sabuntel.
“Tangkis! Tabrak! Aww!” pekik Rugi Sabuntel sambil menamengi wajahnya dengan kedua batang tangannya, lalu balas menabrakkan tubuhnya ke kaki Bojo yang berdiri sendirian.
Tubuh gendut Rugi Sabuntel menindih kaki Bojo dari arah depan, memaksa Bojo jatuh juga.
“Aaak! Kakiku pataaah! Kakiku pataaah! Aaak!” jerit Bojo kesakitan campur takut karena dia menduga kakinya benar-benar patah.
Kali ini yang datang adalah tendangan Bendong kepada Rugi Sabuntel.
“Tangkap! Dorong! Aww!” teriak Rugi Sabuntel sambil menangkap batang kaki Bendong dengan ketiaknya, lalu mendorong kaki itu.
“Eh eh eh! Aaak! Emaaak!” pekik Bendong panik karena dia tidak bisa menguasai dirinya ketika satu kakinya ditangkap.
Bendong terdorong jatuh terjengkang, ditambah timpaan tubuh berat Rugi Sabuntel.
Rugi Sabuntel cepat bergerak bangun dari atas tubuh Bendong. Namun, ketika hampir berdiri, dia sengaja menjatuhkan lagi tubuhnya menimpa Bendong dengan sikut menghantam wajah.
“Adduh! Aaak! Emaaak!” jerit Bendong sambil menangis.
Ternyata hantaman sikut Rugi Sabuntel membuat wajah Bendong berdarah.
Sementara itu, Wiro dan Buarat hanya menonton dengan wajah meringis sendiri.
“Tarik! Tarik! Tarik!” teriak Rugi Sabuntel sambil menarik kedua kaki Bendong dan membawanya lari mundur.
“Tolooong! Wiro, tolooong! Buarat, tolooong! Emaaak, tolooong! Huuu...!” teriak Bendong gelagapan sambil menangis panik.
“Ayo kabur! Ikan Hamil sudah pandai berkelahi!” teriak Buarat lalu berlari kabur.
“Kabuuur!” teriak Wiro sambil lari terbirit-birit mengikuti Buarat.
“Tunggu, Wirooo!” teriak Supil.
Supil, Bojo, dan Blikik cepat berlari menyusul Buarat dan Wiro, meninggalkan Bendong seorang diri.
Tinggallah Rugi Sabuntel dan Bendong. Namun, Rugi Sabuntel memutuskan untuk berlari meninggalkan Bendong yang menangis sendirian. Tidak lupa dia membawa singkongnya.
Ketika meninggalkan Bendong, awalnya Rugi Sabuntel tidak menangis. Namun setelah jauh, dia menangis juga sambil berlari pulang.
Warga desa yang dilalui oleh anak gendut itu hanya memandangi heran, bahkan yang bertanya pun tidak dijawabnya, maklum dia sedang sibuk menangis.
Singkat cerita.
Rugi Sabuntel kini berbaring di balai-balai bambu di teras rumahnya yang berlantai tanah keras. Dia masih menangis di saat kakeknya yang bernama Sambo sedang membaluri tubuhnya yang lebam-lebam dengan obat dari dedaunan yang ditumbuk halus.
“Huuu! Sakit, Keeek!” ratap Rugi Sabuntel.
“Haduh, kenapa sampai berkelahi, Rugi?” tanya Kakek Sambo.
“Kata Ki Robek, jika tidak melawan, aku akan terus dipukuli oleh Bendong dan teman-temannya. Aduh! Pelan-pelan, Kek!” kata Rugi Sabuntel.
“Ki Robek?” ucap ulang Kakek Sambo heran.
“Ki Robek menolong aku waktu aku diceburkan ke sungai oleh Bendong. Ki Robek lalu mengajakku ke rumahnya di hutan, lalu mengajari aku cara berkelahi,” jelas Rugi Sabuntel. “Kakek kenal dengan Ki Robek?”
“Tidak. Hanya tahu saja.”
“Ternyata Ki Robek orang baik, Kek, walaupun suka membentak-bentak.”
“Dia memang orang baik dan orang sakti.”
“Kakek Sambo tahu?”
Rugi Sabuntel mendadak berhenti menangis. Dia jadi antusias karena kakeknya ternyata tahu tentang Ki Robek.
“Dulu sekali, waktu Kakek masih muda, Ki Robek adalah pendekar hebat yang gagah dan tampan di Desa Buangsetan ini. Dia selalu membantu dan menolong orang yang kesusahan. Dulu Kakek juga pernah ditolong olehnya....”
“Tapi, kenapa wajah Ki Robek jadi menyeramkan seperti itu, Kek?” tanya Rugi Sabuntel memotong.
“Dengarkan Kakek dulu bercerita!” hardik Kakek Sambo.
“Iya, Kek.”
“Ki Robek bahkan menikah dengan putri demang yang cantik dan memiliki beberapa anak dari pernikahannya. Namun, pada suatu hari, Kerajaan mengangkat seorang adipati baru yang kejam dan suka membunuh. Adipati itu suka memeras rakyat, termasuk warga desa ini juga diperas dengan pajak yang tinggi. Banyak rakyat biasa yang dibunuh karena tidak bisa bayar pajak. Ki Robek kemudian tergerak hatinya untuk membela rakyat. Banyak rakyat yang ditolong dari kekejaman pasukan adipati jahat itu. Adipati lalu memfitnah Ki Robek dengan menyebutnya anggota pemberontak. Ki Robek dilaporkan ke Kerajaan sehingga Kerajaan memburu Ki Robek. Istri dan anak-anaknya dibunuh semua oleh orang-orangnya adipati. Sehebat apa pun Ki Robek, Kerajaan terlalu kuat. Ki Robek ditangkap dan disiksa di penjara. Apa yang kau lihat sekarang pada Ki Robek adalah bekas siksaan di penjara Kerajaan.”
“Kasihan sekali Ki Robek. Tapi, sekarang Ki Robek bukan musuh Kerajaan lagi, Kek?” tanya Rugi Sabuntel.
“Setelah dipenjara selama sepuluh tahun, Ki Robek akhirnya dibebaskan, karena tidak ada bukti bahwa dia adalah seorang pemberontak. Sejak itu, Ki Robek tinggal menyepi di dalam hutan,” jawab Kakek Sambo.
“Lalu, bagaimana dengan adipati kejam itu, Kek?” tanya Rugi Sabuntel kritis.
“Kerajaan telah menghukumnya karena kejahatannya.”
“Kasihan sekali Ki Robek,” ucap Rugi Sabuntel. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!