Jauh sebelum ilmu silat merambah dunia, manusia dan monster pernah hidup berdampingan.
Di Benua Wuci, setiap manusia dipercaya memiliki satu roh pelindung. Roh pelindung yang dimaksud tidak hanya makhluk berkaki seperti hewan tetapi ada juga yang berasal dari artefak, tanaman bahkan elemen.
Kehidupan manusia dan monster mulai tidak harmonis setelah pengetahuan tentang kebangkitan kekuatan roh tersampaikan ke indra manusia.
Dikatakan kekuatan roh dalam diri manusia dapat bangkit bahkan meningkat dengan cara menyerap inti kehidupan monster yang sesuai dengan jenis roh pelindungnya. Semenjak itu eksistensi monster mulai diburu. Manusia lalu memberi julukan baru untuk makhluk malang itu, monster roh. Sedangkan mereka, mereka yang telah berhasil membangkitkan kekuatan roh menyebut dirinya shiivu.
Hanya dengan membunuh monster roh barulah inti kehidupannya dapat diambil. Namun, sekuat apa pun kekuatan roh yang bangkit, seorang shiivu masih memiliki batasan untuk setiap inti kehidupan yang bisa mereka serap.
Seperti yang dikatakan bahwa ada sebuah batasan, maka ada pula konsekuensi jika melanggarnya.
Dikisahkan pada masa leluhur pertama di mana para shiivu belum sebanyak sekarang. Seorang leluhur di masa itu telah membuat kekacauan dengan menciptakan kekuatan baru. Kekuatan itu kuat, tetapi terlalu kelam dan mampu menenggelamkan. Xiee, begitu mereka menyebutnya. Kekuatan Xiee tidak lain berasal dari tubuh sang leluhur yang menyerap inti kehidupan melampaui batas yang bisa ditampung tubuhnya. Akibatnya sang leluhur ditelan oleh kekuatannya sendiri.
Tidak terbayangkan akibat dari tindakan itu. Bahkan sang leluhur tersebut yang mana telah mencapai tingkat grandmaster—sebentar lagi akan mencapai spirit emperor; gelar teratas yang dapat dicapai seorang shiivu, tetapi ia masih juga kesulitan menghalau kekuatan gelap yang bangkit di tubuhnya.
Adalah hal yang lebih buruk jika itu terjadi pada seorang shiivu yang masih di tingkat dasar. Kekuatan xiee bersifat ganas dan menguasai. Jadi ketika tubuh yang ia naungi tidak lebih kuat maka kekuatan itu mampu mengambil alih kendali tubuh bahkan menyebabkan sang induk kehilangan kesadaran juga ingatannya.
Hal yang dialami sang leluhur tidak jauh berbeda. Walaupun ia seorang grandmaster, tetapi inti kehidupan yang ia serap berasal dari monster roh berumur seratus tahun, itu telah menjadi masalah karena ia menyerapnya tepat setelah gelar grandmaster belum lama ia dapat.
Karena tindakannya, gelar grandmaster yang ia peroleh tidak dapat menolong terlalu banyak. Ia masih mengingat namanya tetapi yang ada dalam hati dan pikirannya hanya tentang keinginan membunuh dan membinasakan.
Penaklukan kekuatan xiee disaksikan langsung oleh seorang wanita paruh baya dengan seorang balita dalam gendongannya.
Saat itu, noda darah menghiasi sebagian permukaan pakaiannya juga kain tipis yang menutupi setengah wajahnya. Melihat dari warna pakaian yang ia kenakan, itu tampak seragam dengan beberapa orang yang kini masih berjuang menaklukkan sang pemilik kekuatan xiee. Wanita itu berlari menjauhi kekacauan sembari memeluk erat balita yang digendongnya. Kecemasan sangat jelas tergambar di matanya.
Rupanya sosok itu tidak berlari hanya karena melindungi anaknya dari amukan sang pemilik kekuatan xiee, tetapi ia tengah diburu. Empat orang menyusul di belakang membuat wanita itu harus mengabaikan napas terengah juga rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya.
Dalam pelariannya, wanita itu membatinkan dua kata lalu sejurus kemudian, iris pada bola matanya berubah warna. Bersamaan dengan itu, pemandangan hutan yang sedang dilihatnya kini berganti dengan ujung pulau yang di depannya membentang lautan luas.
Wanita itu tidak menampilkan reaksi berarti, hanya warna matanya yang kembali berubah lalu wanita itu semakin mempercepat larinya. Setelah beberapa saat, seperti yang ia lihat sebelumnya, kini wanita itu telah mencapai ujung pulau dan berhenti tepat di bibir pantai. Susah payah ia mengatur napas, tetapi ia hanya abai dan dengan cepat beralih pada sosok dalam gendongan.
Balita itu terpejam, sangat tenang tidak terusik sama sekali padahal sang ibu tengah menantang bahaya.
Tanpa menunggu lagi wanita itu segera mengeluarkan sang anak dari gendongan, mengangkat tubuh anak itu hingga posisinya sampai pada memeluk. Air mata lolos membasahi kain tipis yang kembang kempis di wajah sang wanita. Ia lalu menarik posisi sang balita hingga beralih mengecup kening anak di tangannya. Tidak lama tetapi penuh penghayatan, seolah itu akan menjadi kecupan terakhirnya.
"Maafkan ibu," lirihnya. Sekali lagi, bulir bening meluruh dari sela kain dan kulit putih pucat itu.
Sang wanita memejamkan matanya. Setelah membatinkan beberapa kata, pusaran angin transparan mengangkat tubuh sang balita membawanya pada posisi berbaring. Itu tidak menggangu sama sekali sehingga sang balita tetap tenang tanpa terusik sedikit pun.
Wanita itu memandang ke depan. Raut keengganan tampak jelas ia perlihatkan namun segera ia tepis. Setelah meyakinkan hati, wanita itu mengangkat tangan lalu pijar kehijauan menguar dari benda yang ia pegang. Benda itu terangkat mengikuti arah tangan yang mendorong benda itu bergerak maju hingga menembus pusaran angin yang melingkupi sang balita, sebelum akhirnya menghilang masuk ke dalam tubuhnya.
Melihat itu, sang wanita menghela napas gusar sebelum kemudian bergumam, "Semoga benda itu akan melindungimu di mana pun kau berada."
Setelah mengucapkan kalimatnya, sang wanita segera berbalik berlari mengambil arah berlawanan. Langkahnya tampak berat tetapi ia tidak ingin berbalik seolah sudah mengetahui kalau pusaran angin itu telah membawa anaknya pergi menyeberangi lautan yang tidak ia tahu di mana akan sampai. Ia menyeka cepat air mata di balik kain tipis yang lagi-lagi turun. Ia sadar tidak ada yang bisa ia perbuat selain menerima ketentuan takdir.
Kuharap kau baik-baik saja, batinnya.
Dari balik tebing yang curam, daratan seputih kapas membentang cukup luas. Pohon di bawah sana hanya ada ranting berbalut serbuk beku juga spesies konifer yang tumbuh satu-satu membuat pemandangan di bawah terekspos jelas. Siapa pun akan mengira daratan berbalut salju itu tidaklah berpenghuni. Namun, puluhan atap jerami yang selalu memutih adalah jawaban bagi siapa pun yang tidak tahu. Desa Es Abadi, satu-satunya desa di daratan itu telah menjadi saksi bahwa penghuninya telah mendiami tempat itu sejak lama.
Salah satu ujung daratan putih; bagian paling utara tempat itu, langit mendung selalu terlihat di sana. Spesies pohon yang ada memiliki perawakan sama dengan yang tumbuh di desa, tetapi tempat yang seharusnya mudah ditembus mata malah menjadi sulit untuk diterawang karena adanya kabut aneh yang melingkupi.
Kejanggalan tersebut membuat tempat itu tak terjamah. Penduduk desa percaya bahwa di sana banyak monster roh yang tinggal. Bahkan bisa merubah atmosfer sekitar menjadi mengerikan, asumsi tentang monster roh dengan kekuatan tinggi tidak dapat dihindari. Karenanya, hanya para shiivu atau mereka yang cukup berani yang mau memasuki tempat itu. Hutan Lembah Mati, begitu mereka menyebutnya.
Hal yang hampir tidak pernah terjadi, sebuah siluet tipis terlihat bergerak di lantai hutan yang kontras. Itu bukan monster roh jika kalian menebak, tetapi seorang lelaki
berusia dua puluhan terlihat menikmati aktivitasnya. Ia baru saja mengayunkan benda panjang, rambut hitamnya yang hampir sesiku—sebagian diikat ke atas—ikut bergerak mengikuti pergerakan ujung benda lentur yang ia mainkan dengan lihai. Cambuk adalah satu-satunya senjata yang ia pilih dari sekian banyaknya artefak jiwa yang mampu ia buat. Benda berbahan kulit hewan itu telah ia jadikan senjata andalan semenjak keharusan melindungi diri telah terbit di benaknya.
Jubah tebal yang dikenakan tidak menganggu sama sekali. Melihat pergerakannya yang tampak lihai sepertinya ini bukan kali pertama ia berlatih. Sosok itu baru saja akan mengarahkan cambuknya untuk menghantam sebuah batu di depan ketika pendengarannya mendeteksi sebuah pergerakan yang mendekat, ia refleks menutup mata.
Indranya semakin peka saat netranya tertutup. Ia segera mengubah arah serangannya begitu menyadari dari mana asal suara. Serangannya yang selalu tepat sasaran telah sempurna mengarah pada target, tetapi ia segera menarik diri begitu mendengar suara familier. Bola mata hitamnya dengan cepat melirik ke asal suara.
"Kak Yu! Ini aku!" Sosok yang baru tiba menutup wajahnya ketakutan, ia mengira cambuk itu benar-benar akan menancap di kulitnya. Itu seorang lelaki muda, mengenakan jenis pakaian yang sama dengan orang di depannya. Sebuah jubah tebal dengan tambahan bulu lebat yang melingkar di sekitar leher. Kulitnya yang sedikit lebih gelap tampak menyatu dengan warna karamel rambutnya yang hanya sebahu.
Pemuda yang dipanggil Kak Yu mengangkat sebelah alisnya lalu kemudian menyeringai. Setelah sepersekian detik terdiam ia mengurungkan semua pergerakannya lalu beralih membersihkan pakaian dari serbuk salju yang berjatuhan. Ia tiba-tiba terkekeh.
"Kukira aku akan menangkap satu monster roh lagi." Tawa itu seketika berubah pandangan curiga. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Kau bercanda Kak?!"
Pihak lain merespons pertanyaan itu dengan tatapan menuntut.
"Lihatlah betapa santainya saat kau mengucapkan kalimatmu itu, kau kira kau sedang berada di mana? Kau tidak takut dimakan monster roh?!"
Pria bernama lengkap Yu Chen itu mengabaikan omelan adiknya. Ia menekan tombol kecil yang ada pada cambuknya hingga benda itu berubah seperti potongan kayu kecil yang segera ia masukan ke dalam saku. Yu Chen melangkah menuju batu besar lalu berbaring di atasnya. Tangannya ia tekuk ke belakang sebagai sandaran.
"Kau sendiri kenapa masuk ke sini?"
"Masih bertanya?!" Xiahuan berdecak kesal, ia segera menghampiri dan tidak segan memukul perut sang kakak. "Aku melihatmu masuk ke Hutan Lembah Mati dan tidak kunjung keluar, apa lagi kalau bukan khawatir?" Xiahuan ingin mengumpat rasanya. Ia sudah bersusah payah melawan rasa takutnya hanya untuk melihat sikap kakaknya yang acuh tak acuh.
"Kau tidak mengkhawatirkan dirimu sendiri?" Seringai Yu Chen semakin dalam membuat Xiahuan mengepalkan tangannya.
"Kau—" Jika Xiahua tidak menahan diri sebuah bogem mentah akan mendarat di wajah Yu Chen yang mulus. Sayangnya ia masih memiliki rasa hormat. Xiahuan memutuskan menarik tangan sang kakak, memaksanya untuk pulang.
"Kalau kau tidak mendengarku akan kulaporkan pada ayah!"
Yu Chen bisa saja mempertahankan posisinya bahkan jika Xiahuan mengeluarkan seluruh tenaganya. Namun, mendengar kata 'ayah' yang Xiahuan sebutkan, Yu Chen langsung bereaksi dan memutuskan untuk bangun.
Melihat itu, Xiahuan tersenyum. Ia segera menyusul begitu Yu Chen melangkah pergi.
"Esensi roh di cambukmu mulai berkurang?" Xiahuan bertanya setelah tebakan tentang tujuan kakaknya memasuki Hutan Lembah Mati berkelindan di kepala.
"Tidak."
"Lalu? Untuk apa kau repot-repot memasuki hutan kalau bukan untuk menyerap kekuatan roh lagi?" Xiahuan dibuat mengernyit.
Benda yang mereka bahas itu adalah salah satu artefak jiwa. Hampir seluruh penghuni Desa Es Abadi memilikinya. Artefak jiwa; benda yang dapat menyerap kekuatan roh. Tidak seperti seorang shiivu yang mengklaim kekuatan roh sebagai kekuatan kekal yang menyatu dalam diri, walaupun sama-sama dapat menyerap kekuatan roh, artefak jiwa masih memiliki kekurangan di mana esensi roh masih bisa habis ketika terus digunakan.
Yu Chen melirik sekilas pada sang adik. Ia enggan mengatakan apa tujuan sebenarnya tetapi ia juga tidak ingin berbohong.
"Kau terlalu banyak bertanya."
Yu Chen jujur saat mengatakan kalau ia memasuki hutan bukan untuk berburu monster roh. Karena ia memang melakukan hal lain; melatih seni bela diri. Di Benua Wuci, ilmu bela diri tanpa kekuatan roh adalah mustahil. Mereka menyerang dan bertahan hanya mengandalkan kekuatan roh pelindung. Di sini, seni bela diri seseorang akan muncul mengikuti bagaimana pertahanan dari roh pelindung itu sendiri.
Yu Chen tahu kenyataan itu. Ia juga kebingungan pada awalnya. Ia tidak yakin sejak kapan, tetapi seiring usianya semakin bertambah kemampuan yang ia sebut 'aneh' mulai bermunculan. Ia bisa membuat artefak jiwa bahkan dapat berlatih ilmu bela diri padahal ia belum tahu apa roh pelindungnya.
Ya. Yu Chen belum membangkitkan roh pelindung. Tidak hanya ia, seluruh penghuni Desa Es Abadi belum memiliki roh pelindung. Belum? Atau memang tidak punya?
Yu Chen kembali mengamati adiknya. Xiahuan pasti ketakutan. Ia bisa langsung tahu dari raut wajahnya yang tampak jelas.
Kenapa juga kau ikut masuk?
Yu Chen tersenyum. Ia tidak tahu harus tertawa atau terharu.
"Kak Yu? Kenapa hawa di sini sangat aneh? A-aku merinding."
Yu Chen mengamati sekitar, pemandangan di hutan ini memang selalu temaram walaupun siang hari.
"Kau tidak bertemu monster roh saat kemari?"
Pertanyaan itu sukses membuat Xiahuan melotot.
"Saat itu aku mungkin sudah mati!"
Yu Chen lagi-lagi terkekeh. Seperti biasa pancingannya tepat sasaran. Ia kembali mengendarkan pandangannya. Melihat Xiahuan yang akan kembali bersuara, ia segera memberi isyarat agar tetap diam. Pergerakan keduanya pun tertahan. Itu terlalu tiba-tiba membuat sang adik langsung waspada bahkan tidak berani bernapas.
"Ada apa Kak?" bisik Xiahuan. Melihat Yu Chen yang mengambil cambuk di sakunya, pikiran Xiahuan semakin memburuk.
Yu Chen tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat untuk tetap diam.
"Keluarkan tombakmu."
Xiahuan kembali melotot. Kali ini ia meraih jubah Yu Chen, menggenggamnya erat. "Aku tidak membawanya."
Xiahuan menatap awas ke sekitar. Pikirannya diliputi bayang-bayang monster roh yang mengerikan. Melihat wajah Yu Chen yang serius, ia hanya menjadi semakin khawatir. "Kenapa kau diam saja Kak. Kalau kita tetap di sini kita akan dikeroyok. Ayo jalan." Xiahuan menggigit bibir bawahnya.
"Ayo kalau begitu," ucap Yu Chen santai. Ia berjalan meninggalkan sang adik yang dilanda kekalutan. Setelah menciptakan suasana tegang, kini pria itu malah berjalan dengan santai?
"Ka-kakak." Xiahuan segera menahan langkah sang kakak. "Mereka--"
"Mereka siapa?" Kening Yu Chen membentuk kerutan tetapi bibirnya malah mengulum senyum.
"Monster roh!"
Yu Chen terkekeh. "Kapan aku bilang ada monster roh?" Ia bergerak mmeninggalkan Xiahuan yang kebingungan.
"Eh? Jadi itu tadi .... " sang adik berdecak setelah menyadari ia baru saja dibodohi.
"Kakak!"
Pria tanpa bersalah yang lebih dulu berjalan hanya abai, ia mengibaskan tangan tanpa berbalik. "Cepat kemari nanti mereka benar-benar datang!"
...•••••...
Jarak antara Hutan Lembah Mati dan Desa Es Abadi berkisar dua puluh meter. Hanya ada sekitar lima puluh rumah yang berdiri di daratan putih itu. Walaupun jauh dari dunia luar, keadaan ini tidak serta merta berarti bahwa mereka terisolasi ataupun bermusuhan. Mungkin hubungan sosial antar individu tidak terlalu baik, tetapi masih ada beberapa orang dari desa itu yang menyambangi daratan luar guna kepentingan niaga.
Walaupun terbilang desa kecil, tetapi desa ini memiliki sektor pendukung ekonomi yang menjanjikan: pertanian rumput laut es dan hasil laut lain salah satunya ikan beku.
Rumput laut es sangat dibutuhkan oleh kota-kota di daratan luar. Rumput laut es biasa dijadikan salah satu dari bahan makanan utama juga biasa digunakan sebagai bahan obat-obatan. Ikan beku sendiri banyak di kirim ke kota-kota pelosok yang jauh dari laut. Kedua jenis bahan makanan ini sangat dibutuhkan karena dapat awet hingga empat bulan.
Setiap dua bulan sekali, ekspor barang mentah tersebut akan berlangsung. Ada lima kapal kargo yang membantu pengiriman. Selain kapal-kapal itu, ada pula kapal kecil seperti kelotok yang beroperasi di lautan. Ini merupakan kendaraan utama yang menghubungkan kelima daratan.
Selain rumput laut beku, penduduk Desa Es Abadi juga membudidayakan rotan beku. Tidak seperti rumput laut es, rotan beku ini tidak diperjualbelikan secara terbuka. Alasan utamanya karena waktu tumbuh rotan beku terbilang cukup lama dan hanya menghasilkan sedikit di tiap tahunnya. Rotan beku memiliki kekerasan seperti besi. Karena itulah, tanaman ini telah menjadi bahan utama pembuatan artefak. Selain karena kelangkaannya yang hanya ada di daratan es, alasan lain penduduk desa tidak berbagi karena mereka memang lebih membutuhkan.
Bayaran dari ekspor bahan yang mereka berikan tidak hanya diperoleh berupa koin, tetapi ada juga yang membayar secara barter. Kota Guangdong yang merupakan daratan paling dekat dengan daratan putih adalah tempat para penduduk Desa Es Abadi memperoleh kebutuhan hidup—sandang, pangan dan papan—yang tidak dapat mereka temukan di daratan berbalut es. Dengan cara itulah mereka saling membayar. Dari hubungan ini dapat telihat bahwa Desa Es Abadi tidak benar-benar terputus dari dunia luar.
Posisi Desa Es Abadi yang lebih tinggi menyebabkan setiap penduduk dapat melihat laut dari kejauhan. Dua lelaki berjalan sejajar dengan tinggi yang hampir sama dapat melihat dengan jelas saat ini ada sebuah kapal kargo yang melintas. Keduanya berbincang sambil berjalan pelan.
"Kapal itu tidak singgah di pulau kita?" Xiahuan berkata setelah memastikan kalau kapal itu hanya lewat.
Yu Chen yang ikut menoleh lantas menjawab, "Tidak. Barang bulan ini sudah masuk tiga hari lalu."
Xiahuan mengangguk. Pandangannya belum lepas dari lautan ketika ia memikirkan sesuatu yang langsung ia katakan.
"Ah, Kak Yu, kau tidak ingin naik kapal?"
"Tidak."
Xiahuan memutar bola matanya. "Ish! Setidaknya berpikir dulu sebelum menjawab. Pertanyaanku sebenarnya apa Kakak tidak ingin ke kota lain? Kakak tidak ingin menyeberangi laut yang luas itu?"
"Tidak."
Mendengar kata yang sama, Xiahuan melotot dan menghentikan langkahnya sejenak.
Benar-benar pendirian yang teguh!
"Aku pergi!" ucap Xiahuan kesal sembari melangkah lebih cepat.
Berbeda dengan Yu Chen yang tampak sangat tidak peduli dengan dunia luar. Xiahuan sangat ingin mengarungi samudera. Ia bahkan pernah berpikir untuk menjadi pekerja kapal agar bisa berkeliling. Namun, itu jelas hanya angan-angan. Ayahnya tidak akan mengizinkan.
Hanya Yu Chen, Xiahuan pernah mendengar sang ayah dengan terbuka memberi jalan jika kakanya itu ingin bergabung dengan biro pemburu montser yang berada di Kota Fangsu. Jika ia ikut dengan Yu Chen, sang ayah pasti mengizinkan. Namun faktanya, sang kakak lebih tidak dapat diharapkan. Yu Chen bahkan menolak semua undangan akademi yang memintanya bergabung bersama.
Yu Chen tahu jika saat ini adiknya sedang kesal. Namun, ia tidak peduli bahkan hanya santai menikmati pemandangan sambil bersenandung.
"Apa bagusnya dunia luar? Terlalu banyak orang hanya membuat berisik."
Yu Chen menatap ke depan. Ada sebuah belokan di sana, di mana itu menunju ke arah rumah mereka. Xiahuan sudah tidak terlihat semenjak berbelok. Namun, kening Yu Chen
segera mengerut saat melihat sang adik tiba-tiba muncul dengan ekspresi tegang sembari berlari.
"Ka-kakak! Orang dari biro pemburu montser datang lagi!"
...••••••...
Salah satu rumah dengan halaman cukup luas tampak berdiri sendiri berada agak jauh dari rumah lainnya. Itu adalah milik tetua desa bernama Jing Sen yang tidak lain adalah ayah dari Xiahuan dan Yu Chen.
Jing Sen berdiri di depan rumah. Beberapa penduduk lain ikut membersamai di kedua sisi. Masih ada yang berdatangan. Mereka memandang ke depan, menatap ke satu arah pada dua orang yang mereka sebut tamu tak diundang.
"Apa kiranya yang membuat orang biro pemburu montser datang lagi? Jika masih dengan tujuan yang sama. Aku khawatir Tuan-tuan ini akan pulang kosong." Suara berat Jing Sen terdengar jernih tidak menggambarkan usianya. Senyum simpul yang ia perlihatkan tidak meninggalkan jejak keriput. Jika bukan karena rambut panjangnya yang telah didominasi warna putih, orang-orang yang baru kenal akan meragukan usianya.
"Sudah sejak tahun lalu terakhir kami berkunjung. Tidak disangka, ingatan Tetua Jing Sen masih sangat kuat." Salah satu dari tamu yang ada menjawab.
Berbeda dengan rekannya yang masih tersenyum, sosok di sampingnya tampak tidak bersahabat. Tidak peduli usianya jauh lebih muda, ia bahkan tidak segan meninggikan suara.
"Begini cara Desa Es Abadi menyambut tamu?" Itu jelas sindiran tetapi ia mengatakan dengan intonasi yang lebih memperjelas.
Penduduk desa berdatangan semakin banyak, tidak ada dari mereka yang berani berbicara. Hanya terdengar kasak-kusuk bisikan samar di antara kumpulan orang-orang itu.
"Tuan Wang dan rekannya tidak perlu tersinggung. Aku hanya ingin memastikan bagaimana tujuan Tuan. Jika nantinya tidak dapat kami penuhi, apakah jamuan baik kami masih tetap diterima?"
Mendengar penuturan Jing Sen, pria yang bernama lengkap Wang Peng terkekeh. Ia jelas paham maksud Jing Sen ini. Tetapi mereka sudah di sini, maka tidak ada salahnya mengusahakan tujuannya.
"Tetua Jing terlalu jujur. Kalau begitu, bolehkah kami bertemu langsung dengan Yu Chen? Di usia yang telah bertambah bukankah dia seharusnya sudah memiliki pandangannya sendiri?"
"Ah ... aku ragu Tuan Wang akan kecewa." Jing Sen kembali meyakinkan, tetapi ia masih menurut dengan berbicara pada salah satu remaja di sampingnya untuk pergi mencari Yu Chen. Sang tetua desa akan kembali berbicara ketika sebuah suara sudah lebih dulu menyela.
"Sepertinya Tuan hanya membuang-buang waktu." Itu Yu Chen yang baru saja datang. Ia menyeringai saat mengenali salah satu dari orang yang datang. Yu Chen langsung masuk ke tengah sementara Xiahuan yang datang bersamanya pergi menghampiri sang ayah.
"Lama tidak bertemu, Yu Chen." Wang Peng mencoba bersikap ramah walau ia sadar kehadirannya tak disambut.
"Tuan Wang. Seandainya kau datang untuk mengumpulkan ikan beku atau rumput laut es. Mungkin Desa Es Abadi dan biro pemburu montser akan menjadi akrab." Yu Chen terlalu malas untuk berbasa-basi. Ia sudah tahu tujuan mereka hanya dengan melihat lencana biro pemburu yang tersemat di dada keduanya.
Mendengar ucapan Yu Chen itu, pemuda di sebelah Wang Peng mengepalkan tangannya sementara Wang Peng sendiri ekspresinya berubah serius.
"Kau benar-benar tidak ingin mempertimbangkan tawaran kami? Kau akan menjadi terpandang jika kemampuanmu itu dikembangkan di biro pemburu—"
"Kemampuan?" Yu Chen menyela. Ia mengangkat tangannya ke depan memperlihatkan telapak tangannya yang polos. "Kau tidak lihat ini, aku bahkan belum memiliki roh pelindung."
"Kami bisa membantumu." Wang Peng berucap tegas. "Di biro pemburu montser kau akan dibimbing dengan baik. Kau tidak hanya mendapatkan fasilitas untuk mengembangkan penciptaan artefak jiwa. Kau akan dibantu untuk memperoleh roh pelindungmu. Kita akan bekerja sama."
Manusia serakah. Bekerja sama? Tck! Kalian hanya ingin mengambil keuntungan dari artefak jiwa!
Yu Chen tahu niat semua orang yang memintanya untuk bergabung. Tidak terkecuali orang-orang dari biro pemburu montser ini. Mereka hanya ingin memiliki lebih banyak artefak jiwa. Yu Chen sempat berpikir apa yang membuat orang-orang itu begitu menginginkan artefak jiwa. Bukankah mereka memiliki roh pelindung?
Yu Chen tidak jelas apa tujuan mereka sebenarnya memintanya bergabung yang tidak lain demi dapat memiliki artefak tersebut, tetapi ia memiliki pemikiran orang-orang itu membutuhkan kekuatan penopang dari benda tersebut. Walaupun artefak jiwa masih memiliki kekurangan, tetapi keberadaan artefak jiwa bagi seorang shiifu sebenarnya sangat menguntungkan. Penggunaan kekuatan roh memakan energi tubuh lebih banyak, sehingga hal tersebut masih menjadi batasan.
Namun, dengan keberadaan artefak jiwa, bukankah ini adalah kombinasi yang sempurna? Yu Chen bahkan berani bertaruh, seorang shiivu tingkat rendah masih bisa menang melawan dua tingkat di atasnya jika memiliki artefak jiwa. Akan tetapi, ambisi apa yang membuat mereka begitu serakah untuk memiliki kekuatan lebih?
Setelah terdiam sesaat, Yu Chen segera memasang raut sedih tetapi sudut bibirnya sedikit ditarik. "Hm ... sayang sekali aku tidak berminat."
"Pikirkan lagi, kami akan memberimu waktu." Wang Peng masih berusaha meyakinkan.
"Ah aku mulai kesal," Yu Chen bergumam pelan. Ia menoleh pada Xiahuan di belakang. Ia memberi tatapan yang seolah berbicara 'bagaimana cara mengusir mereka?' tetapi adiknya itu hanya terkekeh di tempat. Ia juga melirik ke arah Jing Sen, tetapi sang ayah hanya mengangkat bahu.
Yu Chen kembali berbalik, lantas berbicara dengan putus asa. "Kalian tidak perlu datang lagi. Sungguh. Sia-sia saja. Aku tidak tertarik."
"Bocah sombong! Kami sudah jauh-jauh datang kemari. Tidak semua anak bisa menerima kesempatan emas sepertimu tapi malah kau sia-siakan!" Kali ini pemuda di sebelah Wang Peng yang menjawab. Tampaknya sosok itu memiliki temperamen buruk. Rahangnya sudah mengeras sejak tadi, ia hampir kehilangan kesabaran melihat respons Yu Chen yang abai.
Sebaliknya, Yu Chen tidak gentar sama sekali. Ia mengangkat bahu dan menjawab dengan santai, "Aku tidak meminta kalian datang."
Mendengar itu rekan Wang Peng hanya menjadi semakin murka. Jika saja Wang Peng tidak menahanya, pria itu sudah akan menerjang Yu Chen sejak tadi.
"Sudahlah Gu Bai, kita pergi saja." Wang Peng berbisik pada rekannya. Ia akhirnya menyerah.
"Kupastikan kau akan menyesal!" teriak Gu Bai masih tak terima.
Yu Chen mendengar apa yang dikatakan Gu Bai, tetapi ia hanya tersenyum seolah yang didengarnya bukanlah sebuah ancaman. Melihat dua orang itu sudah berbalik dan hendak pergi, Yu Chen segera melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan." Tidak lupa senyuman penuh makna selalu ia sematkan.
Yu Chen sudah berbalik hendak bergabung bersama Xiahuan dan ayahnya tetapi mengingat ucapan Gu Bai lagi, ia tidak tahan untuk tidak berkata, "Dasar manusia-manusia serakah."
Tidak disangka, ucapannya itu masih tersampaikan hingga ke indra pendengaran Gu Bai. Ia langsung naik pitam. Gu Bai berbalik dan tanpa ragu meluncurkan sebuah serangan. Cahaya merah kekuningan keluar dari telapak tangannya diikuti bergeraknya sebuah benda lengkung yang bagian sisi luarnya sangat tajam dan mengilap; sebuah belati bulan sabit bergerak cepat langsung menjadikan Yu Chen sebagai target.
Mendeteksi adanya bahaya, Yu Chen lantas memejamkan mata. Dalam gerakan cepat ia segera meraih cambuk di sakunya. Yu Chen selalu mengandalkan indra pendengaran untuk mengetahui di mana pergerakan yang harus ia tangkap.
Dalam sekali ayunan, tumbukan antara dua benda itu bertemu. Itu terlalu cepat, saat semua orang menyadari, ujung cambuk Yu Chen telah menangkap senjata pihak lawan yang tanpa menunggu lagi langsung ia lempar ke arah lain membuat semua orang merasakan getaran saat benda itu mendarat pada dasar beku di kejauhan.
Yu Chen menyeringai, Roh pelindung tipe artefak?
Sesaat semua orang menahan napas.
"Apa yang kau lakukan?!" Wang Peng membentak.
Gu Bai tidak langsung menjawab, ada pancaran emosi tertahan yang berkilat di matanya.
"Dia sudah keterlaluan!" Gu Bai berkata, sorot matanya menatap tegas pada Yu Chen di depan. Kebencian tergambar jelas tanpa ia utarakan.
"Tahan amarahmu! Kita tidak datang untuk itu!"
Yu Chen berdecak tiga kali, menatap sekilas pada tempat senjata tadi mendarat lalu kembali beralih pada dua orang tamu itu sembari menggoyangkan kepalanya; mendramatisir apa yang baru terjadi.
"Kalian membuatku takut. Jangan seperti itu pada kaum lemah. Kalian lupa kami tidak punya roh pelindung?"
Wang Peng terlihat menyesal. Ia menatap Yu Chen lalu beralih pada Jing Sen di belakang.
"Maaf, kami tidak bermaksud."
Semua orang seketika melupakan pertikaian itu saat getaran kembali terasa namun kali ini dalam skala lebih besar. Dari kejauhan suara retakan terdengar, semua langsung menyadari dari mana sumber suara saat melihat bagian dasar es perlahan terangkat akibat retakan yang lebih besar. Itu tempat sebelumnya senjata Gu Bai mendarat.
Wang Peng dan Gu Bai refleks menoleh. Suara retakan terdengar semakin keras. Bagian dasar es yang terangkat juga semakin melebar. Semua orang terbelalak saat menyadari adanya makhluk besar yang muncul dari sana. Sosok besar-panjang dengan sayap membentang dengan lebar. Saat mulutnya membuka, badai salju seketika melanda sekitar.
"Dewa binatang?"
Hujan salju melanda sekitar, meliuk bak badai dengan moncong besar yang menganga sebagai sumbernya. Teriakan para penduduk ikut memenuhi udara, saling bersahutan. Raungan besar sesekali terdengar masih mendominasi juga telah menjadi momok; asal ketakutan semua orang. Seekor naga putih dengan kaki kokoh berdiri tegak di depan. Sayap lebarnya bergerak menyapu sekitar mengiringi pergerakannya yang mengirim serbuk-serbuk salju tanpa pilih-pilih.
Daratan putih yang tadinya sudah lebih dulu beku kini berubah semakin putih lantaran hawa dingin yang terus-terusan dikirim oleh sang naga. Apakah pertikaian yang baru saja terjadi telah tidak sengaja mengusik ketenangan makhluk buas itu? Sehingga sang naga tak segan meluncurkan serangan bahkan mengamuk seperti induk kehilangan anak!
"Dewa binatang!"
Ucapan tetua Jing Sen telah mengkonfirmasi pendapat beberapa orang tentang siapa makhluk besar yang muncul ini. Sementara para penduduk berlarian menyelamatkan diri, Yu Chen mematung di tempat bersama pemikiran yang mengusik kepala.
"Naga beku perak?" gumamnya.
"Kakak! Apa yang kau lakukan?! Cepat pergi dari sana!"
Melamun di tengah badai yang menghantam bukanlah ide bagus. Makhluk besar yang mengamuk adalah alasan nyata untuk segera angkat kaki. Tak terkecuali Yu Chen, pria itu bukannya tidak ingin pergi. Pemandangan langka bahkan mustahil yang baru ia lihat ini terlalu menyentak. Yu Chen bahkan hampir lupa untuk mengatup rahang, ia terlalu terkejut.
Rumor tentang keberadaan monster roh paling kuat bukan tidak pernah ia dengar. Sepanjang ia menelusuri Hutan Lembah Mati, hutan misterius itu tidak benar-benar menyimpan monster roh berbahaya. Tentu Itu hanya pendapat yang ia simpan sendiri. Yu Chen bukan orang yang mau merepotkan diri bahkan hanya untuk berbagi sebuah informasi.
Tidak disangka, mereka tidak perlu menyulitkan diri untuk memasuki hutan itu agar melihat salah satu dari monster terkuat. Bahaya itu ternyata berada lebih dekat. Naga beku perak, sang dewa binatang, telah tinggal lama di bawah tanah pijakan mereka?!
Belati bulan sabit milik Gu Bai baru saja kembali ke tangan pemiliknya, terpaksa diluncurkan kembali. Bersama dengan Wang Peng, keduanya berada di titik depan menghalau serangan.
Yu Chen tidak turut membantu. Ia memilih mengamankan para penduduk. Melihat isyarat Jing Sen barusan, ia paham mereka tidak akan menang. Selagi ia membantu para penduduk, Yu Chen melirik sesekali pada dua tamu yang kewalahan. Ia berdecak. Dua tamu itu bahkan belum menyentuh kulit sang naga tetapi badai sudah hampir menelan seluruh daratan!
"Kakak! Ayo pergi!" Xiahuan memapah seorang remaja seusianya. Ada bercak merah kering di betis laki-laki itu. Adik Yu Chen itu tampak frustasi memikirkan kakaknya yang pergi memasuki badai. Xiahuan hanya bisa kembali, badai terlalu beresiko untuk mereka tetap di sana.
"Pergilah lebih dulu! Aku harus membantu orang!"
Teriakan Yu Chen terdengar sayup membuat bibir Xiahuan semakin merapat.
Laki-laki keras kepala itu!
Yu Chen tidak tahu apakah semua penduduk sudah benar-benar pergi atau masih ada yang tersisa. Badai terlalu mengganggu penglihatan, sementara telinga dipenuhi riuh angin.
"Ah sial! Kami akan segera berkerabat dengan ikan beku!"
Yu Chen memukul mundur serpihan besar balok es yang terbang ke arahnya. Tangan pria itu mulai mati rasa. Material logam keras yang menghiasi sebagian ganggang cambuknya telah menjadi masalah. Bukan salahnya menyematkan lapisan besi tipis sebagai hiasan. Salahkan suhu sekitar yang terlalu rendah!
Naga sialan itu! Kurang dingin apa daratan ini hingga dia masih harus mendatangkan badai?!
"Harusnya aku membuat satu artefak jiwa berbentuk payung! Ini benar-benar merepotkan!"
Yu Chen berjuang melawan badai. Setelah mengantar dua anak kecil ke dermaga; tempat semua orang mengungsi saat ini, ia masih harus kembali untuk memeriksa. Oh jangan lupakan dua tamu yang tengah berjuang melawan nasip. Orang-orang penghuni desa begitu tidak tahu diri jika membiarkan tamu mereka menghadapi masalah sendirian.
Sebenarnya Yu Chen datang tidak benar-benar ingin membantu. Ia hanya mau memastikan, jika belum menjadi balok es ia berniat membawa pergi tamu-tamu kurang beruntung itu.
"To-tolong—"
Suara lirih mengambil atensinya. Itu berasal dari depan, ada sebuah rumah di sana. Seseorang telah terjebak.
Yu Chen yang berniat menghampiri tampak agak kewalahan. Jalanan bagian ini sedikit menanjak. Kakinya terus terseok lantaran pijakan yang licin.
"Paman kau dengar aku?!" Yu Chen sudah mengkonfirmasi itu seorang pria dari suara yang ia dengar. Bermodal pegangan pada cambuk yang mengait sesuatu di atas, Yu Chen akhirnya berhasil mencapai teras rumah. Ia cukup lega tetapi sedikit menyayangkan usahanya yang sia-sia. Di depan ini, paman yang hendak ia tolong sudah diapit oleh Wang Peng dan Gu Bai.
"Setidaknya kalian selamat." Yu Chen merapatkan tangannya ke jubah. Saat itu ia baru menyadari dua tamunya memakai pakaian tipis.
Luar biasa, kenapa mereka belum membeku? Sorot matanya memberi tatapan iba. Sungguh ia hanya bingung, tidak berniat menyumpahi.
"Cepat pergi dari sini! Naga beku perak tidak bisa ditaklukkan."
Oh astaga! Yu Chen datang bukan untuk mendengar sebuah ceramah.
"Aku tahu, kalian pergilah."
Aku tidak ingin melihat orang membeku hari ini.
" ... Hati-hati, jalannya licin."
Baiklah salahnya karena mengkhawatirkan seorang shiivu. Wang Peng dan dua orang itu bahkan mendarat dengan mulus di bawah sana. Kening Yu Chen hampir mengerut andai tidak mengingat apa status mereka.
"Yah, paman itu dibantu dua orang shiivu yang sudah naik tingkat. Jelas tidak akan kesulitan ... hiss dingin sekali!"
Yu Chen membuang keluhan, sesegera mungkin bergerak turun. Pikirnya, dengan posisinya berada di atas, akan mudah untuk meluncur. Jadi tanpa ragu ia mulai mendorong diri ke bawah. Semua tampak baik-baik saja tadinya, sebelum tubuhnya tiba-tiba memutar arah.
Ia semakin jauh memasuki badai.
"Aaaa ... sial!"
Tubuhnya masih meluncur dengan mulus. Yu Chen tidak dapat melihat jelas, badai telah menutup pandangannya. Ia meringis merasakan sesuatu yang keras mengikis kulitnya. Bagus sekali, bokongnya sudah menjadi apa sekarang? Dihantam rasa sakit dan dingin yang menusuk!
"Jadi aku yang akan membeku? Hissss!"
Benar-benar kesialan yang tidak elegan, pikir Yu Chen. Ia belum siap menjadi kerabat ikan beku!
Hentikan!
Seolah teramini. Pergerakan Yu Chen mulai melambat hingga benar-benar berhenti.
Di sekitar, badai yang meliuk telah berkurang. Yu Chen tahu ada benda keras di depannya yang sudah menahan tubuhnya. Pria itu baru akan bersyukur tetapi menjadi urung begitu menyadari 'sesuatu' apa yang berada di bawah tangannya.
Sebuah cakar.
Yu Chen mendongak pelan-pelan hanya untuk melihat moncong besar kini mengarah kepadanya. Susah payah ia menelan saliva, embusan napas sang naga membuat seluruh permukaan kulit Yu Chen meremang.
"Demi tebing es! Kenapa aku berada di sini!"
Teriakan itu disambut oleh raungan yang lebih besar. Napas dingin sang naga tak ubahnya badai, menerbangkan seluruh juntai rambut hitam itu ke belakang. Ia hanya bisa terpejam meratapi badai yang menimpa wajahnya. Yu Chen tidak yakin apakah pipinya masih di tempat. Seluruh wajahnya terasa kaku. Sungguh, apakah ia masih harus bersyukur karna belum membeku?!
Ketegangan ini memaksa Yu Chen menutup mata. Barangkali kelopak mata tidak sanggup menahan arus angin yang tiba-tiba menyerang. Namun, ketika merasakan sekitar berubah tenang. Mata itu kembali membuka.
Sesaat Yu Chen melupakan kehadiran makhluk besar. Pendar hijau yang baru saja menghilang sempat ditangkap oleh indranya. Ketika itu, tatapan Yu Chen kembali bertemu dengan mata bulat besar yang tengah mengintimidasi. Berwarna hijau, terlalu dekat sampai Yu Chen dapat melihat wajah ketakutannya sendiri di sana.
Tubuhnya serasa membeku.
Di saat yang sama Yu Chen merasakan sensasi lain. Sebuah perasaan asing yang entah kenapa terasa menenangkan. Sama halnya dengan sang naga, dewa binatang itu tidak bereaksi. Hanya terus menatap. Sebuah geraman rendah ia keluarkan, terdengar seperti mengendus.
Dengan jarak yang hampir menipis Yu Chen sempat menilik fisik lain sang naga. Ada gradasi warna biru safir yang menghias beberapa bagian permukaan sisiknya. Itu senada dengan lingkar garis yang memenuhi pinggiran matanya. Sosok di depannya ini indah andai Yu Chen bisa mengesampingkan kenyataan kalau makhluk ini terlalu buas untuk mendapat pujian.
Naga beku perak menarik kepala besarnya dari sana ketika warna hijau pada matanya telah berubah abu. Yu Chen juga menangkap perubahan itu. Ia tersadar saat rasa dingin kembali menjalari seluruh tubuh.
"Jangan makan ak—"
Yu Chen tidak berharap sang naga mengerti ucapannya. Ia hanya sedang mencari celah untuk kabur ketika sebuah suara rendah nan dingin mengisi indra pendengarnya.
"Aku tidak ingin melihat satu pun manusia di tanah ini. Enyahlah."
Yu Chen tahu ia harus bersyukur sekarang. Keterkejutan membuat ia menikmati sedikit saat-saat terakhirnya, tidak langsung pergi. Air muka jelas kebingungan. Namun, apa itu perlu? Apa ia harus mempertanyakan mengapa ia tidak langsung dimakan?!
Sang naga lebih bertanya-tanya, ia menyimpan sesuatu kebingungan lain tetapi melihat anak manusia ini yang tidak langsung pergi, itu menyeret semua atensinya. Sang naga menggeram. Perlu sedikit tekanan untuk menyadarkan seseorang yang terlalu lalai menempatkan keberanian!
Seperti yang diinginkan, Yu Chen menumpuk semua tenaganya di kaki lantas segera beranjak. Benar-benar telah ditakuti oleh peringatan barusan. Ia mempercepat langkah bahkan tidak sekali pun menoleh.
Yu Chen tidak sempat melihat keadaan desa. Membutuhkan waktu lebih untuk ke dermaga jika ia memutar arah. Yu Chen tidak menganggap peringatan sang naga hanyalah sebuah ancaman. Ia akan kehilangan kesempatan berjalan jika menguji dengan tetap berada di sana. Pemuda itu merasa belum berjalan jauh ketika mendengar pergerakan di sisi kanan.
Tak ada apa pun sebelum ia benar-benar mengamati.
Seekor hewan putih dengan bulu lebat meringkuk di atas salju. Warnanya menyatu dengan sekitar hingga nyaris tak terlihat. Ukurannya sebesar anak anjing. Begitu mendekat, Yu Chen menyadari telinga pendek itu melengkung dengan ujung lancip.
Moncongnya tidak panjang, ada bulatan hitam di ujungnya. Dua lingkaran bagian atas yang lebih menarik perhatian. Ada iris biru mengelilingi bola hitam di matanya. Sementara bagian luar mata, garis hitam tebal menyisir setiap sisian dengan kedua ujung membentuk sudut tajam. Mata itu tampak mengintimidasi. Terlepas dari jejak kesakitan yang tidak mampu tergambar di sana, pesona cantik yang tidak biasa tidak bisa Yu Chen elakkan.
Rubah salju? Xiao Zhan membatin tidak yakin.
Hewan itu bergerak, mengeluarkan suara rintihan tiap kali tubuhnya menggeliat. Saat tidak melihat sebelah kaki lainnya, Yu Chen menyadari hewan itu sedang terimpit batang pohon.
Yu Chen tidak terlihat waspada. Netranya berbinar sementara tangan itu mulai mengelus bulu lebat yang lembut. Ia berkata, "Rubah manis, kau juga harus pergi dari sini. Biarkan aku menyelematkanmu."
Begitu batang terangkat, usaha bergerak sang rubah membuat ia dengan cepat menabrak tangan Yu Chen. Sang rubah putih menggoyangkan kepalanya seolah bulu cantiknya baru tersiram sesuatu.
"Mari kulihat apa kau terluka." Tangan Yu Chen sudah bergerak menyentuh tubuh sang rubah. Tidak menyambut baik, hewan itu mundur ke belakang. Yu Chen masih berusaha menggapai ketika hewan itu dengan cepat mendaratkan sebuah gigitan.
Yu Chen meringis, menarik tangannya kembali. Itu terasa sedikit perih, tidak heran setitik darah mengepul di ujung jarinya yang memerah.
Kendati kesakitan, tidak ada keluhan yang terdengar. Matanya hanya memincing, menatap sang rubah dengan sedikit penyesalan.
"Aku menyelamatkanmu! Kau tidak lihat?"
Yu Chen menyeka titik merah itu lalu membawa tangannya, bersedekap.
"Sudahlah kau tidak akan mengerti." Ia terdiam sejenak, memandang ke arah sebelumnya ia berasal.
Ketika ia kembali menatap sang rubah, ia berkata penuh peringatan. "Tapi aku akan tetap memberitahumu, sebaiknya kau cepat cari tempat tinggal lain. Di sini tidak aman—"
Ketika sensasi menakutkan kembali menjalari oleh raungan yang tiba-tiba terdengar, Yu Chen mengehentikan ucapannya lalu kembali berjalan. Ia tidak lagi menoleh bahkan sekadar menyadari jika rubah itu masih menatapnya tak berkedip.
...•••••...
Yu Chen tidak akan menduga jika rubah yang ia temui sebenarnya tidak sesederhana yang ia pikirkan. Yu Chen tidak salah, tidak ada energi spiritual yang terpancar di tubuh rubah itu. Tidak ada sensasi yang ia rasakan seperti saat bertemu naga beku perak atau monster roh lainnya. Alasan itu cukup kuat untuk mengatakan jika sang rubah hanya hewan biasa.
Kenapa dia cepat sekali menghilang? Aroma tubuhnya juga mulai memudar.
Kaki kecil rubah melompat di sela jejak kaki Yu Chen. Ia mengendus aroma yang ia kenali sebagai sesuatu yang mirip dengan naga beku perak. Namun, rubah itu sepenuhnya sadar aroma ini berasal dari pria yang baru saja pergi. Bahkan jika itu bukan kemiripan dari sang naga, rubah itu akan tetap mengikuti. Darah yang tidak sengaja ia cicipi telah mengundang ketertarikan lain. Tekad sang rubah kuat. Ini adalah kesempatan baik untuk lepas dari cengkraman sang naga.
Aku harus menemukannya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!