NovelToon NovelToon

The Big Boss For A Countess

Awal Segala Konflik

Kupersembahkan novel ini untuk Almarhum Sahabatku.

Nama panggilanmu kupinjam ya Jeng.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu dan meringankan alam kuburmu.

Al Fatihah,

Aamiin.

**

BRAKK!!

"Astaghfirullah Ya Tuhan!!" seru Contessa sambil melompat ke belakang dan memegangi tasnya berusaha berlindung.

Sementara Kepala SDI, Bu Lilyana berusaha melindungi Contessa dengan tangan kanannya yang terentang.

"Goblok kamu!! Yang begini masih tidak mengerti juga?! Harus saya juga yang selesaikan hah?!" Terdengar sebuah teriakan menggema dari dalam ruangan.

"Bu-bu-bu Lily?" sambil gemetaran Contessa memeluk tangan Bu Lily dan memandang ngeri ke ruangan di ujung lorong.

Bu Lily, yang merasa tak enak sudah menyuguhkan situasi mencekam untuk anak baru seperti Contessa hanya bisa tersenyum masam. Ia menepuk-nepuk tangan Contessa mencoba menghiburnya.

"Pak Damaskus sebenarnya baik kok Tess, kalau kamu mengikuti aturannya," desis Bu Lily dengan suara pelan.

"Hah?! Memang aturannya seperti ap-"

"Keluar kamu semua!! Manusia-manusia nggak berguna!! Percuma saya gaji kalian kalau nggak bisa kerja!!"

Terdengar teriakan lagi, lalu tak menunggu waktu lama, dari dalam pintu besar itu berhamburan belasan orang berjas rapi dan wajah kuatir mereka. Mereka berlomba-lomba berlarian menghindar dari ruangan mewah itu.

Ruangan dengan papan nama keemasan,

...'Presiden Direktur'...

...PT. Argadhing Corporation....

...Damaskus Prabasampurna....

Perusahaan mewah ini main corenya bergerak di bidang Jasa alat berat dan tambang batu, dengan beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang property dan tranportasi.

Dan dari belakang mereka, muncul pria dengan janggut putih dan tatapan mata tajam. Tubuh pria itu tegap dan kemejanya dilipat sampai siku, memperlihatkan jalinan tato dengan gambar mengerikan di sepanjang lengannya, dan otot besar yang bersembulan dihiasi urat-urat yang terukir.

Tubuh itu tinggi besar, tampak tidak sesuai dengan janggut dan rambut putihnya.

Pria itu melihat ke arah Lily dan memicingkan mata ke Contessa, "Mau apa kamu?" suaranya besar dan menggema.

Lilyana yang sudah bekerja di perusahaan itu selama hampir 20 tahun, tersenyum semanis mungkin sambil menyembunyikan rasa dongkolnya, "Tidak jadi Pak," katanya cepat sambil balik badan.

"Heh! Enak saja mau lari! Saya sudah terlanjur bertanya ini!"

"Kelihatannya bapak sedang sibuk, bisa ditunda kok Pak,"

"Kamu?" tanya Damaskus sambil memiringkan kepala menatap Contessa yang semakin menyembunyikan dirinya di punggung Bu Lily.

"Hanya sekretaris baru Pak Dam," Kata Bu Lily sambil dengan lembut menarik Contessa ke depannya untuk menemui calon Bossnya itu dengan lebih resmi. "Dia baru saja menyelesaikan masa trainingnya,"

Contessa mau tak mau maju ke depan. Hanya berjarak satu meter dari sosok tinggi itu. Perlahan ia angkat wajahnya untuk menatap atasanya. Yang ia lihat pertama kali adalah sepatu kulit buaya berwarna hitam yang menyentuh lantai granit hitam, lalu celana bahan yang tampak mahal berwarna hitam. Waist hitam dengan ornamen rantai di kantongnya, tangannya yang dipenuhi tatto diselipkan di kedua kantong celananya. Jam tangan silver yang besar terhias di salah satu tangannya, lalu kemeja biru yang tampak ketat di tubuhnya. Tatto sampai lehernya yang terbuka. Ia tidak mengenakan dasi. Kancing dibuka sampai ke pangkal leher.

Dan janggut panjang berwarna keabuan.

Berapa usia pria ini…? Begitu pikir Contessa. Mungkin lebih dari 50 tahun dilihat dari warna rambutnya. Tapi tubuh pria itu terjaga dengan baik bagaikan anak muda berusia 20an.

Jambang yang juga keabuan, dan raut wajah yang tegas menatapnya setajam elang bagaikan terganggu dengan keberadaan Contessa di sini.

Dan saat itu Contessa menyadari kenapa pria itu merasa terganggu.

Karena ia juga begitu.

Contessa kaget dan membeku di tempatnya.

Pikirannya langsung dipenuhi umpatan penyesalan.

Sial! Sial! Sial! gumamnya berulang-ulang.

Masa lalu langsung membayanginya. Ia ingat wajah itu.

Seketika kakinya langsung gemetaran menyadari kalau ia saat ini berada di dalam lorong gelap, dengan api membara mengejarnya dari belakang. Ia lari tak tentu arah dan api itu terus mengejarnya.

"Kamu…" gumam Damaskus yang menatap Contessa dengan raut wajah sulit diartikan. Antara prihatin tapi juga mengandung rasa malu.

"Contessa ini salah satu kandidat yang terpilih hanya 5 orang, Pak," kata Bu Lily.

Mengikuti ujian masuk perusahaan ini lumayan sulit. Apalagi mereka di karantina seminggu di puncak untuk mengikuti pendidikan khusus. Dari 150 orang yang mendaftar, yang lolos kualifikasi akhir hanya 5 orang ini.

Dan dari 5 orang, semua disebar untuk menempati divisi sesuai bidangnya masing-masing. Contessa yang santun, cerdas dan manis ditempatkan untuk jabatan bergengsinya. Sekretaris Presiden Direktur.

"Bawa dia ke ruangan saya," sahut Pak Damaskus sambil menerima file data diri Contessa dari Bu Lily.

"Berdoa ya," bisik Bu Lily sambil menggiring tubuh mungil Contessa untuk masuk ke dalam ruangan Damaskus, dan ia menutup pintu itu dari arah luar.

Walau pun sebenarnya Contessa ingin lari saja karena dadanya semakin terasa sesak.

**

Tinggallah di ruangan itu Contessa berdua bersama Damaskus.

Pria dengan rambut ke-abuan itu berdiri bersandar di tepian meja dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Dengan tajam ia menatap Contessa. Pandangannya menyelidik.

"Sehat kamu?" tanya pria itu tanpa basa-basi.

Kalimat yang membuat Contessa memejamkan matanya.

Dalam benaknya menari-nari adegan demi adegan yang telah ia lakukan bersama pria di depannya ini, yang menurutnya sangat memalukan kalau diingat kembali.

Saat itu Contessa hilang kendali, dan Pria ini meladeninya. Uang jadi motifnya, dan ia diberikan yang ia mau.

Karena memang ia yang menyerahkan dirinya dengan sukarela.

Kini, kakinya gemetaran dan tangannya sangat dingin.

Ia tak ingin ada di sini.

Ia ingin pergi saja.

Naif sekali aku tidak memeriksa terlebih dulu siapa orang di balik perusahaan ini! Bodoh sekali aku! Pikirnya menyesal.

"Kalau… Bapak tidak berkenan saya ada di sini, saya akan resign dan mengganti biaya ganti rugi training saya kemarin," gugup Contessa sambil mundur selangkah.

"Seperti biasa kamu berspekulasi sendiri," gumam Damaskus sambil mengelus janggutnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis.

Tapi dia bilang, 'seperti biasa'. Seakan Damaskus sudah lama mengenal Contessa. Padahal pertemuan mereka hanya 3 kali. Itupun minim percakapan.

"Ayah kamu sehat?" tanya Damaskus sambil berdiri bersandar di tepi meja kerjanya.

Contessa hanya berdiri dan tak menjawab. Ia hanya bisa menunduk.

Sekarang rasanya ia merasa sangat pusing.

"Saya lihat usaha kalian sudah berkembang lumayan pesat. Asalkan Ayah kamu tidak memakai metode lamanya dan tetap bekerja dengan jujur, saya pikir keadaan akan semakin membaik,"

"Saya pulang saj-"

"Contessa,"

Astaga! Dia bahkan ingat namaku!! Umpat Contessa dalam hati.

Contessa berhenti karena tangannya tertahan, Damaskus meraih dan menggenggamnya, bagaikan menangkap layangan yang pernah lepas dari benangnya.

"Masa lalu hanya masa lalu, kan? Seperti yang sudah kita sepakati," desis Damaskus.

"Karena itu, lebih baik saya pergi," desis Contessa sambil menepis tangan Damaskus.

"Saya butuh sekretaris, dan kamu kandidat yang dianggap mumpuni,"

"Masih banyak orang yang seperti saya,"

"Nurut saja kamu,"

Contessa menoleh ke arah Damaskus dengan mata membesar, "Sekarang bapak ini mengancam saya?! Kita sama-sama malu kalau skandal itu keluar loh Pak!"

"Saya sudah biasa dengan pemberitaan nyeleneh,"

"Tapi saya tidak terbiasa!" Contessa cukup trauma saat melihat ayahnya mengenakan seragam orange yang disematkan oleh KPK. Semua akibat gugatan PT. Praba Adidaya, Tbk.

Yang ternyata adalah anak usaha PT ini.

Semua dikendalikan oleh satu orang mantan preman jalanan. Damaskus Prabasampurna.

"Tolong, Pak… Biarkan saya pergi," desis Contessa.

"Contessa, hanya seperempat dari jumlah itu yang saya anggap lunas,"

"Kenapa baru sekarang bapak mengungkit hal itu? Tidak ada statement ini saat dulu. Saya pikir semua sudah lunas dengan saya menyerahkan diri saya,"

"Yaaa, karena itu kamu di terima di sini. Untuk melunasi semuanya,"

Contessa ternganga.

"Kamu pikir jabatan kamu yang sekarang ini sesuai dengan fresh gradute macam kamu? Walau pun nilai tes kamu tertinggi, saya masih bisa memilik kandidat nomor 1 dan 2 yang sudah berpengalaman bertahun-tahun di urusan administrasi,"

"Ayah saya bilang kalau-" Contessa pun terdiam. Lalu ia sampai pada suatu kesimpulan. "Kalian bersekongkol,"

Ia sangat marah saat ini.

Teringat saat ayahnya, Adiwilaga menyerahkan ponselnya, menyuruhnya untuk mencoba melamar pekerjaan di PT. Argadhing Corporation.

"Sejak kapan ayah saya tahu?" bibir Comtessa bergetar saat mengucapkan kalimat ini.

Damaskus menghela nafas dan menatap jendela di samping, "Dari awal…"

"Apa?!" mata bening Contessa kembali membesar. "Bagaimana kalian tega-"

"Dia bukan ayah kandung kamu, tentu saja dia tega,"

"Tapi hubungan kami selama ini baik-baik saja, saya bahkan menyerahkan diri saya supaya kalian mencabut tuntutan!"

"Kamu masih terlalu naif terhadap dunia ini, Contessa," desis Damaskus. "Kamu pikir diri kamu cukup untuk 250 miliar? Kamu menutupi seperempatnya saja sudah dianggap tinggi,"

"Nilai apa yang cukup untuk menutupi harta duniawi sejumlah itu? Tidak pernah cukup karena dikendalikan oleh orang-orang tamak seperti bapak ini,"

"Orang bisa saling membunuh untuk 1 miliar. Anak bunuh ibu, ayah bunuh anak, saudara saling menghabisi,"

"Bisnis dan masalah bertahan hidup, adalah urusan yang berbeda," geram Contessa.

"Bisnis ini saya dirikan dengan tumpah darah saya. Hidup saya di sini. Anggap saja semua itu sama. Dan dengan ringannya Ayah kamu selewengkan, ia sudah melangkahi harga diri saya. Sesuatu yang kamu tak miliki,"

"Apa…" emosi Contessa meledak-ledak. Hampir saja keluar dari mulutnya makian-makian. Ia kini sedang direndahkan. "Saya berniat menjauh dari bapak justru karena saya masih memiliki harga diri!"

"Contessa, dengan bekerja di sini, hutang Adiwilaga saya anggap lunas setengahnya. Kamu juga masih diberikan gaji sesuai standar setiap bulannya. Jadi buang anggapan kalau kami menganggapmu barang,"

"Untuk apa Bapak melakukan semua ini?!" pekik Contessa tak sabar.

Damaskus menarik nafas panjang, lalu melipat kedua lengan di depan dadanya. Dengan sendu ia menatap Contessa, "Saya suka kamu, itu saja alasannya,"

Contessa hanya bisa terdiam sambil terpana. Ia bahkan memiringkan kepalanya karena tak percaya dengan yang barusan ia dengar.

"Pokoknya, bekerja saja sebaik mungkin di sini. Tapi…" Damaskus pun merendahkan suaranya, "Kalau belum 2 tahun kamu berniat resign atau kabur, saya akan memburu keluarga kamu. Nyawa mereka berada di tangan kamu. Mengerti?"

***

Para Sekretaris Sang Big Boss

Contessa berdiri sambil menatap para laki-laki yang berada di ruangan itu.

Dan entah kenapa, semua yang ada di ruangan itu juga menatap Contessa lekat-lekat.

Terlihat dari papan nama di depan ruangan, ini adalah ruangan sekretaris pribadi Damaskus. Di sebelah ruangan itu ada jendela besar yang mengarah ke ruangan Damaskus. Kacanya bisa diatur, mau buram atau bening melalui sistem dari ruangan Damaskus.

Ini sebabnya ruangan ini tidak terlihat dari kantor Damaskus tadi.

Dan ruangan ini tidak terlihat seperti normalnya kantor. Seluruh ornamen bergaya klasik danmewah, dengan lampu kristal besar di atas plafon. Meja dan kursi berada di sisi dinding, namun masing-masingnya penuh berisi benda-benda tak jelas seperti botol minuman keras, mesin-mesin aneh, koleksi pedang, bahkan tumpukan uang.

Kalau ditemukan obat terlarang atau senjata, Contessa mungkin tak heran lagi.

Udara di sekeliling mereka tercemar asap rokok.

Ada sekitar 4 orang di dalam ruangan Sekretaris. Dan penampilan mereka tidak seperti orang-orang yang menghambur dari ruangan Damaskus tadi pagi. Yang ini sangat berbeda.

Sofa besar berderet di tengah dan layar tv raksasa menampilkan banyak gambar yang terpecah-pecah bagaikan CCTV dalam satu layar. Dan orang-orang itu sedang berkumpul di atas sofa. Dan Contessa berani bersumpah, samsak-samsak tinju yang berderet di belakang sana bergerak bagaikan ada sesuatu yang hidup di dalamnya.

“Boss?” tanya salah satunya ke Damaskus, “Cewek ini kan yang waktu itu, bukan?”

Damaskus hanya menggeram sambil maju ke depan dan duduk di salah satu sofa sambil menggunting ujung cerutunya. Dengan santai ia menatap Contessa dan berujar, “Ini rekan-rekan sesama sekretaris kamu, tapi mereka lebih banyak mengurusi masalah teknis,”

Dalam hal ini Contessa langsung berpendapat kalau mereka ini adalah... para tukang pukul Damaskus. Dan sepertinya Contessa pernah melihat mereka.

“Jadi kamu mengerti kan kenapa saya butuh sekretaris yang mengerti masalah administrasi?” ujar Damaskus lagi.

Dengan gugup, Contessa mengamati sekelilingnya.

Orang-orang ini... bagaikan preman dipakaikan kostum CEO.  Di balik kemeja mereka tergambar banyak ukiran mengerikan, banyak luka, wajah mereka penuh tindik, gaya rambut mereka aneh. Tidak ada cela untuk keanggunan.

Mereka tampak sangar, tampak jahat, dengan aura kriminal yang kuat.

“Ya Pak, karena yang bapak miliki hanya bodyguard,” gumam Contessa sambil mundur mendekat ke arah Damaskus.

Dalam hal ini, ia beranggapan lebih baik diapa-apakan Damaskus daripada harus berhadapan dengan preman-premannya.

“Heh!!” Damaskus berujar ke orang-orangnya dengan tegas, “Ini punya saya, jangan pegang-pegang ya!”

“Kehehehehehe,” kekeh mereka geli.

“Nggak lah Boss, kita belom mau mati. Paling gr3pe dikit,”

“Kamu dengar? Mereka nggak takut sama saya,” kata Damaskus ke arah Contessa, “Jadi lebih baik kamu jauh-jauh,”

“Ruangan saya?”

“Kamu kerja di dalam kantor saya,”

“Cieeee,” seru semua menggoda Damaskus, “ini sih bakal istri muda,”

Dengan sebelah kakinya Damaskus mengangkat nakas di sebelahnya dan menendangnya ke arah Si Sekretaris.

BRAKK!!

Meja itu menghantam tubuh salah satu sekretaris, lalu terpental ke dinding karena ditangkis.

“Sedikit lagi ngebacot, kamu udah di dalam sana, jadi bahan latihan golf saya,” Damaskus menunjuk ke arah samsak di ujung ruangan.

“Sori Boss, Ehem!” desis si sekretaris sambil memegangi sikutnya yang berlumuran darah karena kulitnya sobek terkena lemparan nakas.

“Saya bilang jangan pegang ya JANGAN DIPEGANG. Ngerti nggak otakmu itu? Hah?!” hardiknya.

“Ya Boss,” desis semua. Tapi tetap sambil menyeringai nakal ke arah Contessa.

Pandangan mereka yang nyalang seakan berniat melahap Contessa hidup-hidup tak peduli larangan Bossnya.

“Sambil nunggu Lily menata meja kamu, santai-santai saja di sini. Saya mau meeting,” kata Damaskus sambil beranjak.

“Hah? P-Pak??” Contessa langsung panik.

“Mereka udah jinak kok, tapi kayaknya lagi mabok aja. Ada apa-apa tembak aja, bisa pakai pistol kan?”

“Ya nggak lah Pak! Saya kan orang awam!”

“Tinggal geser kunci pinnya, kokang, tekan pelatuknya. Pastikan pistolnya mengarah ke lantai saat kamu buka kuncinya ya-“

“Bapak mau jelaskan sampai satu buku saya tetap tidak mengerti!” seru Contessa panik sambil berjalan ke arah Damaskus meminta untuk ikut dengannya.

Tapi salah satu sekretaris menghalanginya di depan pintu, sehingga mau tak mau ia harus menghentikan langkahnya secara mendadak.

Dada Contessa yang membusung menabrak perut pria di depannya. Contessa mundur sambil langsung menutupi dadanya dengan tasnya.

Tapi di belakangnya, sudah ada orang yang mengepungnya.

Contessa terjebak di tengah-tengah.

“Wah... ternyata kamu kalau dilihat dari jarak dekat cantik banget ya, waktu itu aja pas gayanya masih polos udah manis banget, sekarang udah mateng nih,” Pria di depan Contessa menunduk agar wajahnya sejajar dengan gadis itu.

Gayanya ala-ala Mafia Korea, Namanya Artemis. Tentu saja bukan nama sebenarnya. Mereka ini residivis dan orang jalanan, akan berbahaya bagi eksistensi mereka kalau nama mereka yang asli terungkap. Bisa-bisa perusahaan Damaskus dibilang kumpulan para preman dan diperiksa pemerintah.

“Pegang nggak boleh,” pria di belakang Contessa, namanya Baron, berbisik tepat di sebelah telinga Contessa. Bau alkohol yang menyengat langsung menyerang hidung Contessa. “Tapi cium boleh kan ya?” bisik Baron sambil menjilat daun telinga Contessa.

Contessa memekik sambil menghindar dan menepis dada Baron, namun sia-sia. Tenaga pria-pria di sana sekokoh dinding batu.

“Brengsek!” jeritnya ketakutan.

Pria yang lengannya robek terkena hempasan nakas tadi, dengan tubuhnya yang tinggi mendesak Contessa ke dinding, diapit tubuhnya yang menekan erat tubuh mungil Contessa. Bahkan beratnya tak lebih dari 45 kg dan tingginya hanya 155cm, bagaimana ia bisa melawan makhluk tinggi besar yang sehari-harinya berkutat dengan kekerasan.

Griffin, nama si preman, mengendus rambut Contessa dalam-dalam, “Wooh, dia lebih wangi dari yang terakhir  gue inget,” ia menunduk untuk menempelkan dahinya ke dahi Contessa agar gadis itu mendongak ke arahnya, “lo bener, kayaknya setelah diperawanin si Boss udah mateng nih, bisa lah kita garap seharian,”

“Nggak usah macem-macem bro,” desis Artemis sambil menyundut rokoknya, “Tangan lo hampir ilang. Gue nggak mau ntar harus diperintah buat ngegiring lo arena ya,”

“Ck!” decak Griffin sebal. “Sekal-kali gue pingin steak... suguhannya ayam broiler melulu,”

“Steak bekas Boss, tapi hehehehehe,” gumam Artemis.

Diringi dengan suara tawa Baron dan Griffin.

“Cuy, target udah dateng nih,” Ivander, pria yang dari tadi duduk di sofa dan serius dengan laptopnya, beranjak dan menuju ke meja yang memaparkan koleksi katana. Ia memilih salah satunya dan memeriksa isinya, “Kayaknya kurang tajem buat nyabet kuman,” ia mengernyit tak yakin.

“Harus dimatiin atau bagaimana?” tanya Artemis.

“Nggak sih, perintahnya dibuat lumpuh,”

“Ya jangan tajem-tajem dong, pakai yang tumpul aja biar lebih kerasa, hehehehe,”

Semua terkekeh dan akhirnya melepaskan Contessa yang langsung terduduk di lantai dengan lemas.

“Sayang banget dia milik Boss,” desis Griffin sambil menjilat bibirnya tanda ia sangat lapar akan wanita.

“Dorong sekali juga pingsan, apa enaknya sih, badan krempeng begitu,” Ivander menyampirkan katana di bahunya dan terkekeh sambil keluar ruangan.

“Baik-baik ya di sini, kerja yang rajin, khehehehe,” Kata Artemis sambil menyelipkan laras pendek ke pinggangnya.

Baron mengerling ke arah Contessa sambil mengiktui Artemis keluar ruangan.

“Eh, Princess,” Griffin berlutut sambil menatap Contessa, “Kamu boleh liat-liat ruangan di sini, tapi jangan sentuh samsak di sana ya. Itu isinya jaminan. Hidup mereka tergantung pembayarannya lancar atau enggak, ya? Sip!” katanya sambil mengambil tongkat baseball yang di ujungnya kehitaman, kemungkinan noda darah yang dibiarkan terlalu lama sampai warnanya berubah.

Ruangan itu tampaknya tidak benar-benar hening saat semua sudah keluar dari sana. Contessa masih bisa mendengar suara rintihan dari ujung ruangan. Tempat jajaran samsak digantung.

“Ini perusahaan apa sih?!” tangisnya sambil berusaha berdiri dan kabur dari sana, menuju ruangan SDI untuk menenangkan dirinya dan minta minum.

Salah Bicara

“Selama ini Ayah tahu?!” Contessa membuang tasnya ke depan meja ayahnya, Adiwilaga, dengan kasar sampai mengenai pipi pria berusia 35 tahun itu.

Adiwilaga adalah ayah tiri Contessa, ibu Contessa menikah lagi yang kedua kalinya dengan ‘berondong’ setelah Ayah kandung Contessa meninggal. Kini Ibu Contessa sudah meninggal juga karena sakit.

Sakit yang dideritanya akibat stress berkepanjangan menerima kenyataan kalau suami yang baru saja dinikahinya terjaring kasus penggelapan dana perusahaan dan dituntut 12 tahun penjara. Harta keluarga sudah habis untuk membayar dendanya, dan karena itu Contessa mengambil langkah pintas.

Tapi sayang sekali, ibunya tidak bisa bertahan lebih lama, tanpa sempat mendengar berita kalau tuntutan itu dibatalkan dan Adiwilaga dapat bebas lebih cepat.

Kini pria itu sedang membangun kembali bisnisnya, dan pelan-pelan mengembalikan sisa dana yang sudah lenyap tak tersisa.

Adiwilaga hanya duduk dengan ekspresi dingin dan menghela nafas.

“Tadinya tak tahu, sampai aku bertanya kenapa aku dibebaskan,” kata Adiwilaga.

“Dan kenapa Ayah malah menyodorkanku kembali ke sana?!”

“Damaskus memintaku,” Adiwilaga beranjak dari duduknya dan menatap Contessa yang matanya sembab akibat menangis sepanjang perjalanan pulang, “Ia akan membeli tanah milikku, dananya untuk melunasi sebagian kecil hutang. Tapi sebenarnya itu sepenuhnya keputusanmu, Tess. Aku hanya menawarkan,”

“Tanpa memberitahu itu perusahaan apa!”

“Seharusnya kau sudah tahu, kau training 1 bulan di sana,”

“Mana aku tahu kalau itu adalah namanya? Aku hanya tahu orangnya! Lagian dia jarang terlihat di public!”

“Kau akan digaji sesuai standar, memang apa susahnya,”

“Kenyataan kalau aku diterima di sana dengan intrik, dan apakah ayah tahu setengah dari anak buahnya mengenalku sebagai wanita nakal yang menyodorkan diri sebagai ganti hutang ayahnya, dan mereka melihatku seakan aku ini makanan!! Belum bekerja aku sudah nyaris menghadapi pelecehan!”

“Damaskus berjanji menjagamu,”

“Dia predator yang sebenarnya!”

“Contessa!” kini Adiwilaga berujar dengan tegas, “Tidak ada yang meminta kamu melunasi hutang dengan seceroboh itu! Lebih baik aku dipenjara bertahun-tahun dari pada melibatkan kamu! Kamu yang mau sendiri!! Bukannya aku nggak berterimakasih tapi kamu dalam hal ini terjun sendiri ke dalam masalahku!”

“Ibu meninggal karena sakit gara-gara ayah!”

“Ya biarlah itu jadi tanggunganku! Dosaku! Kamu nggak usah ikut-ikutan seharusnya!! Kamu mengerti nggak perasaanku saat Damaskus menghubungiku dan cerita kalau kamu menyerahkan keperawananmu sebagai ganti seperempat hutang? Hah?! Aku gagal jadi ayah kamu! Setelah awalnya aku merasa ada harapan bisa menitipkan kalian ke Tanteku sampai saatku bebas nanti, sekarang kamu mengacaukan segalanya! Hidup kamu, pendidikan kamu, ketenangan batin kamu! Semua kamu hancurkan sendiri Tess!”

Contessa hanya bisa diam menatap ayahnya sambil memekik tak percaya.

Adiwilaga mengatur nafasnya sambil kembali duduk di belakang meja kerjanya sambil memegangi kepalanya, lalu menghela nafas untuk menenangkan dirinya.

“Aku bertanya padanya kenapa dia mencabut tuntutannya. Katanya kamu sudah melunasi seperempatnya. Astaga Contessa...” Adiwilaga menunduk, “Kamu sudah menjadi miliknya sejak itu. Sekali kamu berurusan dengannya, kamu tidak akan dibiarkannya lepas lagi. Seharusnya kamu tahu dengan siapa kamu berurusan,”

“Ayah juga mencari masalah ke orang yang salah,”

“Ya, aku akui itu. Tapi setidaknya aku tidak ingin kalian, anak-anakku, terlibat. Kehilangan Yuana sudah merupakan pukulan berat bagiku. Apalagi harus ditambah dengan kamu...” Pria di depan Contessa ini, perawakannya yang tampan tidak cukup menyembunyikan kemuraman hatinya.

“Contessa, semua sudah terlanjur,” desis Adiwilaga, “Damaskus berjanji tidak menyakitimu, itu sudah merupakan suatu kelegaan bagiku. Ikuti saja permainannya. Yang kita bisa lakukan sekarang hanya berdoa...” desisnya.

Contessa jelas tidak bisa menerima alasan itu. Ia ambil tasnya yang teronggok di atas meja, lalu masuk ke kamarnya dan menangis sepuasnya.

**

“La, kenapa ya cowok yang di sekitar gue tingkahnya gini semua,” keluh Contessa sambil duduk di lantai kamarnya yang menangis. Dalam pikirannya terbayang kejadian siang tadi saat anak buah Damaskus membelai pahanya dengan lancang.

Ia menceritakan kejadian itu ke Ella, sahabatnya. Mereka berteman sejak SD, dan kini Ella sudah dikaruniai 2 orang anak, masih balita. Ella memang memutuskan untuk menikah muda dan mengabdikan hidupnya untuk menjadi IRT sehingga tak sempat menyelesaikan jenjang pendidikan SMA.

Contessa kerap membantu Ella untuk masalah keuangan, dan Ella selalu siap di sebelah Contessa di saat gadis itu butuh mencurahkan isi hatinya. Walau pun bilangnya tidak bisa membantu banyak, namun tanpa Ella sadari yang dibutuhkan Contessa memang hanya teman untuk mendengarkan.

Sayangnya, Contessa menceritakan semua hanya saat ia merasa menyesal. Ia tidak sering meminta saran Ella saat akan bertindak, dan seringkali tindakannya berujung pada penyesalan akan kebodohannya. Namun Ella dengan sabar mendengarkan, karena ia yakin Contessa perempuan kuat yang akan berdiri tegak sekuat apa pun angin menerpanya.

“Kadang gue juga pingin kayak elu La, yang hidup tenang sama laki lo dan punya anak lucu-lucu,”

Dari seberang sana Ella terkekeh, “Nggak Tess, bukan gini hidup yang lo mau. Lo bakal bosen kalo jadi gue. Tapi beginilah hidup yang gue mau Tess, nggak neko-neko,”

“Yah, lo bener juga sih,” Contessa menyibakkan rambut panjangnya ke punggung sambil mengusap air matanya. “You know, gue jijik banget sama diri gue sendiri. Apalagi pas mereka ngeliat gue dengan pandangan kayak... kayak gue ini pe***,”

“Memangnya waktu lo berduaan sama Pak Damaskus mereka ngeliat,”

“Ya nggak lah!”

“Apa Pak Damaskus ngomong-ngomong ke mereka?”

“Kayaknya si tua bangka itu bukan jenis yang begitu,”

“Hm...” terdengar Ella bergumam, “Kalau gitu ini bisa dijadikan pembelaan lo Tess. Bagaimana mereka bisa menyimpulkan kalau lo ‘bisa dipake’ kalau mereka nggak tau apa yang terjadi di dalam kamar? Serang balik aja, fitnah itu ada pasal-pasalnya kalau tanpa bukti. Walau pun kenyataannya memang beneran sih,”

“Wah, boleh juga besok gue pake ide lo,” terdengar dengusan Contessa, “Iya juga ya gue nggak kepikiran sampe situ,”

“Lagian Tess... emang lo mau punya pacar? Lo kan dari dulu menghindari cowok,”

“Gara-gara Damaskus gue takut sama cowok!” seru Contessa.

“Oh iya hehehehe, emang beneran parah ya perlakuannya?”

“Ya nggak sih, tapi itu kan saat pertama gue dan dia memperlakukan gue seakan gue udah biasa!”

“Ya wajar kalo lo trauma sih, gue aja masih sering males ngelayanin Januar soalnya walau pun luka melahirkan sudah ketutup sempurna ya tapi tetap aja yang dibayang-bayangi rasa perihnya, hehe,”

“Ya jadi lo tahu lah sebesar apa rasa trauma gue. Kalau ngeliat beliau yang kebayang cuma perih, sakit sampai otak nusuk-nusuk,”

“Ya Ampun coba gue di sana Tess, gue peluk lo seharian. Plus anak gue lah meluk lo juga, masih nge-grip kayak koala soalnya, hehe,”

“Huhu, kangen banget gue sama looo,” isak Contessa sambil kembali menangis.

“Tess, gue tutup dulu si kakak udah di atas kulkas!” seru Ella sambil serta merta menutup teleponnya.

Contessa memandangi ponselnya sambil mengernyit. “Enak banget si Ella hidupnya, pasti lucu banget liat si kakak nangkring di atas kulkas. Bisa ketawa-tawa si kakak kalo dia udah gede diceritain kenakalannya,” ia bicara sendiri ke ponselnya.

Sayup-sayup dari arah komputernya yang menyala menyajikan lagu-lagu random terdengar alunan nyanyian wanita dengan suara lembut dengan irama yang ceria. Lagu yang asalnya dari Korea Selatan, dinyanyikan dengan lirik versi inggris, Cupid dari Fifty Fifty.

Now, I'm feeling lonely

Oh, I wish I'd find a lover that could hold me

Now, I'm crying in my room

So skeptical of love

But still, I want it more, more, more

“Ya Ampun, bahkan lagu aja nyindir gue,” gumam Contessa menggerutu. Tapi ia dengarkan juga lagu itu sampai habis. Dan perlahan ia pun kembali mengalirkan air matanya.

Tak lama teleponnya berdering kembali.

“La...” gumam Contessa setelah menekan tombol ‘call’. “Kayaknya gue emang kesepian. Sepeninggal nyokap nggak ada yang bisa gue jadikan pegangan. Paling nggak, gue juga ingin punya pacar atau mungkin suami yang bisa gue jadikan sahabat seumur hidup. Berbagi suka dan duka, teman bicara, orang yang bisa melindungi gue, menghentikan gue dari berbuat bego. Dan gue nggak harus ngerepotin elo melulu,”

Dari seberang sana, Ella hanya diam, mungkin masih mendengarkan Contessa.

Jadi gadis itu kembali berbicara, “Rasanya jatuh cinta kayak gimana sih La? Gue nggak tau. Sejak di ruangan itu gue trauma sama laki-laki, apa bisa gue punya suami di masa depan nanti? Punya anak kayak elo, hidup tenang tanpa hutang milik orang lain yang gue bahkan nggak tahu awalnya gimana kejadiannya,” Contessa bisa mendengar suaranya sendiri yang gemetar.

“Contessa,” sebuah suara berat terdengar dari seberang telepon, “Saya nggak punya waktu untuk mendengarkan curhatan kamu,”

Suara yang sangat Contessa kenal.

Yang baru saja didengarkannya seharian dari pagi sampai sore tadi.

“Pak... Pak Damaskus?” desis Contessa bingung. Ia melihat layar teleponnya. Nomor yang tidak ia kenal. Bukan nomor Ella.

“Saya telepon untuk mengabari kalau besok saya harus ke tambang batu seharian. Jadi di kantor hanya ada kamu, siapkan presentasi sesuai foto yang akan saya kirim,”

“A-a-anuuuu...”

“Mengenai masalah kamu, lebih baik kamu kerja yang bener biar lupa sama hal tidak berguna seperti mencintai dan berbagi suka duka, itu hanya ada dalam dongeng,”

“Hah?”

“Cinta nggak bisa melunasi hutang kalian. Kecuali kamu jadi istri saya, memang kamu mau begitu?”

“Tidak Pak,”

Terdengar dengusan dari seberang, “Dasar cewek naif...”

Dan sambungan pun terputus.

“Mam-pus gue,” desis Contessa cepat, sambil memucat seketika.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!