"Surprise! Pertunanganmu dengan Ezra akan diselenggarakan minggu depan," ujar Belinda setelah pulang dari dinner bersama keluarga besar Ezra Abraham.
"What?" pekik Jizelle Merrivale.
Jizelle adalah anak tunggal dari pasangan Belinda dan Henry. Kedatangan orang tuanya setelah pergi makan malam bersama keluarga Ezra nyatanya membawa kabar buruk untuk gadis yang berusia 25 tahun itu.
"Kenapa terkejut begitu? Harusnya kau senang. Mama dan Papa sudah sepakat dengan keluarganya."
"Kenapa kalian mengambil keputusan sepihak? Aku sama sekali tidak menyukai Ezra. Jangankan untuk menikah, bahkan bertunangan pun tidak ada di dalam benakku!" ujar Jizelle menunjukkan rasa kesalnya.
"Itu bukan sepihak, Sayang. Ezra juga ada di sana. Dia setuju menerimamu menjadi calon istrinya," sahut Henry.
"Aku tidak, Pa! Sampai kapan pun aku tidak akan mau bertunangan dengan Ezra!"
"Jizelle, tolong jangan permalukan keluarga kita. Semua persiapan pertunangan sudah disiapkan. Jadi, kau harus datang pada akhir pekan nanti," tegas Belinda tidak bisa dibantah.
Jizelle memutuskan meninggalkan kedua orang tuanya untuk masuk ke kamar. Kabar yang dibawa mereka bukan kabar yang baik. Terlebih Jizelle hanya mengenal Ezra sebatas anak dari sahabat orang tuanya. Tidak pernah terbersit rencana konyol itu.
"Ma, bagaimana cara kita menghadapi Jizelle? Sudah papa katakan sejak awal kalau anak itu pasti menolaknya," ujar Henry cemas.
"Papa jangan khawatir. Kita sudah sepakat dengan keluarga Ezra. Veronica dan Evan pun sudah setuju. Lalu, apalagi sekarang? Aku cuma tinggal memastikan kalau Jizelle datang di hari pertunangannya. Itu saja," ujar Belinda tetap tenang.
Sementara Jizelle sendiri sudah melemparkan beberapa bantal dari ranjangnya. Kamar yang semula rapi mendadak seperti telah terjadi perang di sana. Ya, perang batin dalam diri Jizelle sendiri.
"Ini tidak benar! Aku sama sekali tidak suka dengan Ezra. Walaupun aku belum memiliki pasangan, bukan berarti Ezra menjadi pilihan terakhirku."
Mau menolak pun sudah tidak bisa. Semua seakan sudah dikendalikan oleh keluarga Ezra. Gaun pertunangan sudah dikirim ke rumah keluarga Jizelle. Tidak hanya itu, undangan sudah disebar kepada beberapa keluarga dan koleganya.
Seperti waktu yang sudah dijanjikan, saat ini Jizelle duduk di depan meja riasnya. Dia sedang di-make up oleh profesional make up artist yang sudah disiapkan oleh mamanya, Belinda.
Sebelum mereka pergi ke hotel yang menjadi tempat pertunangan itu, Belinda menyempatkan diri untuk melihat putrinya. Dia hanya ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik.
"Oh, anak mama cantik sekali," puji Belinda.
"Harusnya aku kabur saja," gerutu Jizelle yang ternyata masih bisa didengar oleh mamanya.
"Jangan seperti itu, Sayang. Kau kan sudah lama tidak bertemu dengan Ezra. Hari ini kau pasti akan langsung jatuh cinta padanya."
Bulshit! Sampai kapan pun Jizelle tidak akan jatuh cinta pada Ezra. Alasannya karena Ezra bukan tipe pria yang diharapkan Jizelle.
Suasana hotel yang akan menjadi pertunangan dua keluarga berada itu sudah dipenuhi dengan beberapa bunga di bagian depan. Sebenarnya ini baru pertunangan, tetapi sudah seperti acara pernikahan saja.
Seorang pria muda dengan rambut yang agak panjang diikat dengan rapi. Hidung mancung dengan rahang kokohnya memperlihatkan betapa tampannya dia. Dialah Ezra yang baru saja keluar dari mobil ditemani oleh kedua orang tuanya, Evan dan Veronica.
"Ini akan menjadi pertunangan yang luar biasa, Ma," ucap Ezra saat menggandeng tangan mamanya untuk masuk ke ballroom.
"Tentu saja, Ezra. Jizelle adalah satu-satunya gadis yang menjadi pilihan mama. Sudah lama kan kalian tidak bertemu. Dia semakin cantik saja. Mama berharap kalian selalu bahagia."
"Iya, Ma. Sudah sejak lama aku suka padanya. Saat aku tahu kalau tante Belinda datang dan Mama membahasa pertunangan itu, Ezra rasanya sudah tidak sabar bertunangan lalu menikah."
Tinggal beberapa menit lagi untuk menunggu kedatangan Jizelle dan keluarganya. Tidak ada raut kekhawatiran di wajah Veronica karena dia sudah berhasil memastikan pada Belinda kalau Jizelle akan datang.
Saat Jizelle dan keluarganya datang, sambutan keluarga Ezra sangat luar biasa. Ezra yang melihat lagi wajah Jizelle semakin yakin kalau pilihannya tidak pernah salah.
"Hai, Jizelle. Apa kabar?" sapa Ezra saat berhadapan dengan calon tunangannya.
Jizelle tidak menjawab. Dia masih belum bisa terima menjadi korban pertunangan paksa yang dilakukan kedua orang tuanya. Walaupun Jizelle berada di sini, tetapi pikirannya ke mana-mana.
"Sayang, balas sapaan Ezra," tegur Belinda pelan.
"Jizelle tidak mau, Ma!" tolak Jizelle dengan nada suara yang sengaja diperdengarkan pada semua orang terdekatnya.
"Maafkan Jizelle, Ezra. Sepertinya dia sangat gugup sekali. Bukan begitu, Veronica?" ujar Belinda mencairkan suasana.
"Ah, iya. Seperti kita dulu, Belinda. Aku dulu juga malu-malu menerima Evan. Namun, setelah menikah ternyata aku baru sadar kalau Evan adalah pria sempurna," ujar Veronica membanggakan suaminya.
Acara pertunangan itu pun segera digelar. Tidak hanya pertunangan saja, tetapi Veronica sempat mengumumkan bahwa pernikahan mereka tidak akan lama. Cuma waktunya masih memerlukan kesepakatan dari kedua keluarga.
"Ezra, pasangkan cincin pada jari manis Jizelle, Sayang," perintah Belinda yang sudah tidak sabar.
Jizelle yang menyembunyikan tangannya di balik gaun itu sebenarnya enggan untuk melanjutkan pertunangan ini. Namun, Belinda tidak tinggal diam. Dialah yang menarik tangan Jizelle dan memposisikan agar Ezra mudah memasang cincinnya.
Setelah berhasil memasang cincin di jari manis Jizelle, semua orang bertepuk tangan. Sekarang giliran Jizelle yang harus memasang cincin pada jari Ezra. Sebenarnya dia tidak mau, tetapi Belinda terus saja mengancamnya.
"Jangan permalukan Mama dan Papa! Di sini banyak rekan bisnis keluarga besar kita. Kau tidak mau kan kehilangan semua fasilitasmu itu? Jika tidak, maka segera lakukan apa yang seharusnya!" bisik Belinda.
Perlahan Jizelle memasang cincin itu di jari Ezra. Setelah itu, Ezra berniat memberikan kecupan di punggung tangan Jizelle. Namun, Jizelle segera menepisnya.
"Jangan kurang ajar!" tegur Jizelle.
Ezra pun menarik mundur tangannya. Ternyata bertunangan dengan Jizelle menjadi tantangan terbesarnya. Gadis itu terus saja menjaga jarak sampai pada acara foto bersama. Jizelle dipaksa berdekatan oleh fotografer.
"Terima kasih karena kau tidak kabur dari pertunangan ini," bisik Ezra saat melakukan foto bersama.
"Jangan mimpi kalau kau bisa memiliki aku, Ezra. Pertunangan ini hanya formalitas. Aku bisa saja kabur kapan pun. Kita lihat saja siapa yang akan menang di sini," ujar Jizelle berusaha mematahkan niat Ezra.
"Silakan saja, Calon istriku. Keluarga kita sudah sepakat dan kau tidak akan pernah bisa lari dari kenyataan ini, bukan? Aku beruntung bisa memiliki gadis secantik dirimu."
Sejujurnya Jizelle sangat muak. Jika bukan karena orang tuanya, Jizelle pasti sudah kabur. Dia tetap berusaha bertahan dan memikirkan cara lain untuk lepas dari jeratan Ezra.
"Kita lihat saja, Ezra. Mungkin aku belum memiliki keberanian untuk melawanmu. Saat aku memilikinya, kau pasti akan menyerah," gumam Jizelle.
Jika kabur dari pertunangan tidak bisa, maka solusinya adalah kabur di hari pernikahannya. Namun, dia tidak tahu harus ke mana dan pada siapa Jizelle bisa mencurahkan kegundahan hatinya. Dia pun melepaskan cincin pertunangan yang baru beberapa hari dipakai.
Tujuan Jizelle kali ini untuk membahagiakan dirinya sendiri. Dia tidak tahu hari esok akan berpihak padanya atau tidak. Justru di saat seperti ini, dia harus memikirkan rencananya di masa depan.
Jizelle memilih duduk di sebuah restoran. Berharap mendapatkan keajaiban di sana. Saat melihat sekelilingnya terlalu sibuk, dia pun sibuk dengan makanannya. Namun, sebuah kejadian mengejutkan. Tiba-tiba seorang pria marah pada pelayan.
"Kau ini bagaimana? Bisa bekerja atau tidak? Aku memesan menu makanan A, tetapi kenapa kau hidangkan makanan B? Kalau kau tidak bisa profesional bekerja, lebih baik kau keluar saja. Jika tidak, maka aku yang akan meminta pemilik restoran ini memecatmu secara tidak hormat!" maki pria itu.
Jizelle pun terpaku melihat kejadian itu. Seandainya posisi Jizelle sebagai konsumennya, dia tidak perlu marah seperti itu. Cukup menyampaikan kalau pesanannya tertukar. Biarkan pelayan yang akan menyelesaikan segalanya.
"Maaf, Tuan. Kami tidak bermaksud menukar makanannya. Mungkin tertukar dengan meja yang ada di sebelah sana." Pelayan menunjuk meja yang tidak jauh dari tempat duduk Jizelle.
Tiba-tiba seorang pria berkacamata hitam bangkit dari tempat duduknya. Dia menghampiri pria yang sedang memaki pelayan itu.
"Kalau begitu segera bawa makanan ini ke sana. Aku sudah tidak ingin lagi makan di restoran ini. Pelayanannya saja payah seperti ini!" ungkap pria itu lagi.
"Baik, Tuan. Maaf, kami yang salah," ujar pelayan yang terus meminta maaf.
"Kau harus ganti rugi!"
Sontak pelayan itu terkejut. Sudah dimaki, dia yang harus mengganti rugi. Saat pria berkacamata hitam itu mendekat, pelayan semakin takut lantaran pria itu terlihat sangat menakutkan.
"Tuan, kalau pelayan salah jangan dimaki seperti itu. Dia tidak hanya melayanimu saja, tetapi hampir seluruh pengunjung restoran ini. Kalau memang dia salah mengantarkan pesananmu, tinggal kau katakan bahwa ini bukan pesananku. Tolong dicek lagi barangkali tertukar," ujar pria berkacamata.
Fokus Jizelle saat ini pada pria berkacamata. Tubuhnya tegap, kekar, rahangnya kokoh, dan potongan rambutnya begitu rapi. Sangat mewakili seluruh tipe pria idaman Jizelle selama ini. Yang membuatnya semakin tertarik adalah kehangatan sikapnya yang bisa menjadi penengah keributan itu.
"Anda siapa? Kenapa ikut campur urusanku?" bentak pria itu.
"Aku juga sama seperti Anda, Tuan. Aku konsumen di sini. Aku pun sama memesan makanan sepertimu, tetapi aku tidak arogan!" ujar pria berkacamata mengeraskan suaranya.
"Oh, Anda mau membela pelayan yang tidak becus itu rupanya. Kalau semua orang dibiarkan dengan kecerobohannya, semakin lama restoran ini akan bangkrut!" maki pria itu.
"Maka aku akan membuat restoran baru dan menampung orang-orang seperti mereka. Setidaknya dia sudah meminta maaf pada Anda. Harusnya cara Anda menyikapi tidak seperti itu. Pelayan, tolong bawa makanan itu ke mejaku yang ada di sana!"
Pria berkacamata itu sebenarnya menunjuk tempat duduknya, tetapi karena posisinya rancu dengan tempat duduk seorang gadis cantik. Maka pelayan itu meletakkan makanan di hadapan gadis itu.
Kesalahan pelayan meletakkan makanan membuat pria berkacamata itu duduk di depan Jizelle. Dia juga meminta maaf atas kesalahan pelayan padanya.
"Nona, maafkan pelayan restoran ini. Tempat dudukku dan Anda memang sekilas berada di arah yang sama," ujar pria itu yang kemudian duduk lalu menikmati makanannya.
Jizelle gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah, apa yang terjadi pada dirinya saat ini? Sejujurnya Jizelle mengagumi pria di hadapannya dari sudut pandang berbeda.
"Tidak masalah, Tuan. Senang bisa bertemu denganmu. Aku Jizelle," ujar Jizelle mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan pria berkacamata.
"Shane. Shane Carolyn," ujar pria berkacamata membalas jabatan tangan Jizelle.
"Nama yang indah," puji Jizelle.
"Namamu juga. Agaknya keributan barusan membawa kita untuk saling mengenal seperti ini. Apa kau sering makan di sini?"
Jizelle tidak merespon. Justru dia penasaran dengan mata di balik kacamata hitam itu. Rasanya ingin melepasnya dan menatap lekat.
"Nona, kenapa Anda diam saja?" Shane mengangkat tangannya untuk melambai pada Jizelle agar lamunan gadis itu berakhir
"Oh, maaf. Aku hanya penasaran dengan matamu, Tuan. Mengapa kau sembunyikan di balik kacamata hitam itu?"
Shane tersenyum. "Aku hanya takut saat kau memandang mataku, kau pun tidak bisa berpaling dariku."
"Benarkah? Bisakah aku mencobanya?" Rasa penasaran Jizelle melebihi apa pun.
Shane melepaskan kacamata. Sorot matanya yang hangat, lembut, teduh, dan langsung menjadi candu bagi Jizelle. Dia sama sekali tidak berkedip melihat keindahan mata itu.
Dari mata turun ke hati. Itu adalah ungkapan yang tepat disematkan pada Jizelle. Mata, hati, dan jantungnya merespon hal yang berbeda. Getarannya sungguh kuat. Bahkan Jizelle tidak mampu memprediksi perasaannya saat ini.
"Rasanya aku tidak kuat melihat matanya. Dia sempurna. Apakah aku jatuh cinta?" gumam Jizelle.
"Bagaimana? Apakah aku sangat menarik?" ujar Shane dengan bangga.
"Sangat menarik, Shane. Apakah kau baru pertama kali di kota ini?"
Wajar kalau Jizelle bertanya demikian. Pasalnya baru kali ini bertemu dengan pria yang mampu menarik hati dan memporak-porandakan perasaannya.
"Aku baru pindah ke sini. Ada bisnis yang harus kau kerjakan. Kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa, Shane. Aku hanya ingin tahu saja."
Shane lagi-lagi tersenyum. Dia tahu kalau Jizelle mulai salah tingkah padanya. Namun, Shane tetap mencoba tenang.
"Ini pertemuan pertama kita. Adakah yang bisa kulakukan untukmu?"
Jizelle langsung terpikirkan pada satu kata, yaitu komunikasi. Ya, dia menginginkan Shane di pertemuan selanjutnya.
"Aku ingin nomor ponselmu dan berharap bahwa ini bukan pertemuan terakhir kita. Aku ingin bertemu lagi di lain kesempatan," ujar Jizelle seperti sedang mengutarakan permohonannya.
Shane berdiri. Dia meninggalkan uang untuk membayar bill di meja Jizelle saat ini. Bahkan nominalnya pun digunakan untuk membayar pesanan Jizelle.
Shane kemudian pergi. Tidak lupa meninggalkan kartu nama untuk Jizelle. Gadis itu menerimanya dengan senang hati.
"Shane Carolyn. Nama yang indah dan wajah yang menentramkan. Sepertinya aku sudah jatuh cinta padanya. Ah, rasanya aku tidak ingin mengakhiri semuanya begitu cepat," gumam Jizelle setelah mengecup kartu nama pemberian Shane.
Jizelle segera meninggalkan restoran itu. Dia tidak sabar untuk bertemu Shane lagi. Mungkin saat itu Jizelle akan mengungkapkan betapa cintanya pada pria yang baru dikenalnya dan melupakan pertunangannya dengan Ezra.
"Ah, sial! Kenapa aku jatuh cinta setelah pertunangan ini terjadi? Apakah Shane bisa menerimaku dengan baik bila nantinya aku dipertemukan kembali?" Tentu saja Jizelle cemas karena cintanya terhalang ikatan pertunangan pria lain.
Tidak ada kata mustahil untuk bertemu kembali. Terlebih Jizelle memiliki perasaan pada Shane. Shane pun merespon pertemuan keduanya dengan sangat baik. Jika biasanya dia menggunakan kacamata hitamnya, tidak untuk hari ini.
Shane sengaja karena ingin memandang lekat wajah Jizelle yang menurutnya sangat menarik. Terlebih pertemuan pertamanya sangat berkesan di hati Shane.
"Hai, Shane. Kita bertemu lagi," sapa Jizelle.
"Hai, Jizelle. Apa kabar? Apa kau merindukanku?"
Sungguh pertanyaan Shane membuat jantung Jizelle tidak aman. Semakin Shane memandangnya, Jizelle semakin gugup.
"Apakah kau gugup?" tanya Shane lagi.
"Iya, Shane. Sejak pertemuan pertama kita, aku–"
"Kau pasti jatuh cinta padaku, kan?"
Jizelle tersenyum. Rasanya senang sekali saat tahu kalau Shane bisa membaca pikirannya.
"Dari mana kau bisa tahu?" Selidik Jizelle.
"Kemarilah!" pinta Shane menarik tangan Jizelle dengan lembut.
Saat ini keduanya berada di kantor Shane. Dialah yang meminta Jizelle untuk datang ke sana karena di kantor, Shane masih memiliki beberapa pekerjaan. Lagi pula dia tidak terbiasa jalan berduaan dengan lawan jenisnya.
Sofa yang menjadi tempat duduk keduanya yang semula berjarak, sekarang sudah begitu dekat. Shane meletakkan tangan Jizelle tepat di dadanya. Debaran jantung Shane sangat keras. Seperti yang dirasakan Jizelle saat pertama kalinya bertemu.
"Shane? Kau?" Jizelle tidak percaya. Cintanya berbalas. Ini seperti sebuah kebahagiaan yang perlu diraih.
"Ya, aku jatuh cinta padamu, Jizelle."
"Jadi?"
"Apakah kita saling mencintai?" tanya Shane.
Semula tangan Jizelle masih berada di dada bidang Shane. Namun, perlahan Jizelle menarik mundur tangan itu. Tangan yang sebenarnya di salah satu jarinya sudah menjadi milik orang lain.
Ada rasa bingung yang mendera Jizelle. Bila dia menerima Shane sebagai pasangannya, maka sudah bisa dipastikan kalau Jizelle lah yang mengkhianati Ezra. Terlebih pria itu kini sudah menjadi tunangannya.
"Kenapa kau menghindariku seperti itu? Apa perasaan kita ini salah? Apakah kau sudah memiliki pasangan?" tanya Shane yang semakin penasaran dengan Jizelle.
Pertama kalinya Shane mengenal wanita dan langsung jatuh cinta hanya pada Jizelle. Cuma dia yang bisa membuat Shane melepaskan kacamatanya dan beradu pandang.
"Kau datang terlambat, Shane." Jizelle berdiri melihat keluar jendela kantor itu.
"Apa maksudmu?" Shane mengikuti Jizelle dan berdiri di sebelahnya.
"Aku sudah bertunangan." Jizelle memandang lekat wajah Shane yang ada di sampingnya.
Tanpa banyak bicara, Shane memposisikan dirinya menghadap Jizelle. Dia mengambil tangan Jizelle dan meletakkan di atas tangannya. Dia tidak melihat di jari Jizelle ada cincin pertunangan. Lebih tepatnya Jizelle tidak memakai apa pun. Cuma gelang yang melingkar di kedua pergelangan tangannya.
"Mana mungkin aku percaya, Jizelle. Di jarimu tidak ada cincin pertunangan. Apakah kau ingin mengujiku? Ini pertama kalinya aku mengenalmu dan aku memiliki perasaan lebih jauh. Aku jatuh cinta, Jizelle. Tolong jangan patahkan perasaanku."
Tentu saja Shane tidak percaya. Cincin tunangan itu hanya dipakai satu kali kemudian disimpan di kamarnya. Jizelle malas sekali karena tidak suka dengan Ezra.
"Aku sengaja melepaskannya, Shane. Aku takut kalau kau tidak bisa menerima aku yang sebentar lagi menikah dengan pria lain. Masalahnya aku bertunangan dengannya karena keluargaku yang memaksa. Aku tidak cinta."
Shane mengajak Jizelle kembali duduk ke sofa. Mungkin perlu bicara dari hati ke hati agar duduk perkaranya terlihat jelas. Dia pun memberikan minum pada Jizelle supaya dia lebih tenang dari sebelumnya.
"Terima kasih, Shane."
"Sama-sama. Jadi, apa yang ingin kau ceritakan?"
Jizelle menyandarkan kepalanya di dada bidang Shane. Pria itu merasa sangat nyaman sekali. Begitu pula dengan Jizelle.
"Saat kau tahu kalau aku sudah bertunangan dengan pria lain, bagaimana? Apakah tidak ada kesempatan kita untuk menjalin hubungan yang lebih serius?"
"Aku tidak tahu, Jizelle. Cuma aku berharap ucapanmu itu hanyalah kebohongan belaka. Namun, setelah mengetahui semua ceritamu, aku jadi paham kalau kenyataannya kau akan menjadi milik pria lain. Sayangnya aku tidak akan mudah menyerah. Aku ingin menjalani hubungan ini denganmu. Ya, tanpa sepengetahuan calon suamimu tentunya."
Jizelle senang, tetapi dia merasa berada di persimpangan yang sulit. Bagaimana dengan orang tuanya? Bagaimana hubungan persahabatan yang sudah terjalin di antara dua keluarga itu?
"Aku dipaksa menikah, tetapi aku tidak cinta. Bagaimana aku bisa lepas darinya? Apakah kau bisa membantuku?"
"Tentu saja, tetapi aku meminta syarat padamu. Maukah kau memelukku sebentar?"
Shane merentangkan kedua tangannya. Jizelle langsung memberikan pelukan itu. Terasa nyaman dan tidak ingin dilepas lagi. Jika tidak ingat kalau mereka sedang berada di kantor, mungkin Jizelle akan terus seperti itu.
"Terima kasih, Shane."
"Harusnya aku yang berterima kasih. Oh ya, jadi kita resmi menjadi sepasang kekasih, ya?"
"Hemm, iya."
Shane senang sekali. Lagi pula hubungan ini bukan kesalahan. Keduanya saling cinta. Mengenai calon suami Jizelle, Shane siap membantu kapan pun untuk terlepas dari pria itu.
Mengingat hubungan ini adalah skandal cinta yang terjadi setelah Jizelle bertunangan. Shane juga tidak mau melepaskan kesempatan yang sangat luar biasa ini. Terlebih Jizelle merupakan wanita yang dicintainya.
Sejak pertemuannya di kantor kala itu, Jizelle seringkali bertemu dengan Shane. Tentunya tidak di sembarang tempat. Shane sudah menyiapkan tempat khusus, yaitu apartemennya. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Sayang, aku merindukanmu," ujar Shane saat bisa memeluk Jizelle.
"Aku juga merindukanmu, Shane. Sungguh hubungan ini harus sangat rapi sekali. Aku tidak mau pihak keluargaku ataupun Ezra mengetahui hubungan kita. Kau selalu bisa membantuku, kan? Mengenai rencana menggagalkan pernikahan, apakah sudah kau pikirkan? Jujur aku ingin kabur saja dari mereka."
"Larilah kepadaku, Sayang. Aku pun tidak akan rela melepaskanmu menikah dengan pria lain. Walaupun kalian sudah lebih dulu menjalani pertunangan, tetapi aku yang lebih berhak atas dirimu."
Shane selalu memberikan kenyamanan pada Jizelle. Gadis itu pun lebih banyak berinteraksi dengan Shane ketimbang Ezra. Padahal seringkali Ezra mengirimkan pesan untuk mengajak pergi berkencan, tetapi Jizelle terus saja mengabaikannya.
Setelah puas berpelukan, Shane dan Jizelle duduk di kursi yang sama. Jizelle berharap Shane bisa menemukan cara untuk melepaskan ikatannya dengan Ezra sebelum hari pernikahan ditentukan. Menurut kabar yang didapatkan dari orang tuanya, tidak lama lagi pernikahan akan digelar. Hal itu membuat Jizelle semakin panik. Dia tidak mau terjebak seumur hidup bersama Ezra.
"Setiap bertemu denganku, kau selalu cemas. Masih memikirkan hal yang sama?"
"Tentu saja, Shane. Selama aku belum lepas dari Ezra dan keluarganya, hubungan kita akan tetap seperti ini. Kita menyembunyikannya seolah aku yang bersalah, bukan? Padahal merekalah yang bersalah padaku. Mereka tidak membiarkan aku bahagia dengan cinta rahasiaku ini," ujar Jizelle.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!