Selamat Membaca, ini hanyalah kehaluan author belaka. Beberapa part ada tulisan bahasa sunda🍁 Tolong kalau tidak suka jangan memberi rate 1 dan 2 🙏
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Assalamu'alaikum, Bunda."
"Waalaikumsalam, udah pulang Neng."
"Iya Bunda, Ayah kemana?"
"Ayah lagi ketemu Pak Burhan di kebun teh, Beliau baru datang dari Jakarta," jawab Bunda.
"Neng, anterin makan atuh nya ka kebun. Jung kesana geulis," ujar sang Bunda.
"Enya Bun, sebentar atuh nya. Neng mau ganti baju dulu."
Tak lama Jamilah siap, gadis si kembang desa Margamulya, terkenal karena adab baiknya, sopan santunnya, geulis alias cantik, kulit putih dengan rambut hitam tebal panjang sepinggang. Senyum ramah, kalau si eneng Jamilah sudah tersenyum jangankan para buaya darat, buaya jadi - jadian pun bakal klepek - klepek.
Jamilah memakai sweater berlengan panjang berwarna coksu, rambut hitam terurai. Mata sebening embun pagi, hidung mancung ala wanita arab. Bibir seksoi memerah merona, semerah buah cerry. Wajah berbentuk lonjong dengan bulu mata dan alis tebal. Rok panjang hitam menutup tubuh bagian bawahnya, tubuh tinggi badan sedikit berisi alias bahenol menyempurnakan penampilan cantiknya.
Jamilah berusia 21 tahun, kerja sembari kuliah jurusan manajemen. Tinggi 165 cm dengan BB ideal. Anak pertama dari pasutri yang saling menyayangi dan mempunyai dua adik kandung.
"Bunda, mana makanan nya?"
"Ini Neng, hati - hati nya. Dijalan kalau ada laki - laki genit jangan ladenin, kudu jaga marwah eneng sebagai perempuan."
"Iya, Bun. Eneng pergi atuh ya, entar Ayah keburu lapar kasihan."
"Enya, jung. Cepat berangkat."
Jamilah menenteng wadah dan termos keluar rumah sederhana dengan teras yang terlihat oleh para tetangga dengan pagar dari bambu mengelilingi area rumah sebagai pembatas. Alhasil baru saja Jamilah keluar, suara tetangganya yang terkenal genit bernama Pak Didin menyapa Jamilah.
"Neng Jamilah geulis, bade kemana?"
"Mau ke kebun Pak, susul Ayah," dengan sopan Jamilah menjawab.
"Mau diantar bapak, nggak?"
"Hatur nuhun Pak, nggak usah. Pak, itu Bu Entin melotot di belakang," jahil Jamilah, Bapak genit satu itu sering sok sok-an menggodanya padahal susis alias suami takut istri.
Benar saja wajah Pak Didin seketika tegang, Jamilah langsung kabur.
"Neng Jamilah... Ih semakin hari semakin cuantikkk. Aa mau da nikah jeng eneng..." seorang tukang warung menggoda Jamilah saat gadis itu melewati warungnya.
"Hatur nuhun Aa, tapi eneng belum mau nikah dulu. Masih betah ngejomblo, A."
"Aduh, kalau eneng udah niat nikah jangan lupain Aa Sopian yang paling ganteng sa RW ini, ya?"
Jamilah tersenyum sopan, "InsyaAllah, A. Mangga atuh, eneng mau ke kebun nyusul Ayah."
"Mangga, mangga... Neng, aduh eyy nyaah geulis bari bahenol na," Sopian yang katanya si paling ganteng se - RW terus saja mencebik meskipun Jamilah sudah berjalan pergi.
"Eh, Neng Jamilah. Mau kemana?" tanya tukang bangunan.
"Biasa A, bade ka kebun."
"Ih atuh teu takut, Neng? Entar ada yang culik, kumaha? Genderewo, kalong wowok atau Pak kades yang sering goda eneng. Mending Aa anterin ya nyampe ke kebun..." tawar Amat si tukang bangunan yang sedang mengaduk semen dan pasir dan menghentikan pekerjaannya demi gadis cantik incarannya.
"Enggak usah A, hatur nuhun tawarannya. Hehe... Mangga Aa," sekali lagi Jamilah berpamitan.
Setiap Jamilah lewat, Ibu - ibu saling berbisik. Saling ghibah karena cemburu, atau terkadang sirik karena anak gadis mereka tidak secantik si kembang desa yang populer sampai disukai Pak Kades dari desanya bahkan Kades dari desa - desa sebelah.
Jamilah tetap tersenyum ramah, berwajah tenang dan menutup telinganya. Sudah sering dia mengelus dada karena omongan - omongan dari para Ibu - ibu dan selalu membiarkan tanpa keinginan membalas ucapan mereka.
Dengan penuh lika - liku terus saja bersikap ramah pada para lelaki yang terus berpapasan dengannya, akhirnya Jamilah sampai di kebun milik Pak Burhan seorang pengusaha kaya raya di Jakarta. Keluarganya hanya mengurus kebun - kebun Pak Burhan dan sesekali pemilik dari kebun akan datang ke Bandung.
"Assalamu'alaikum, Ayah. Pak Burhan."
"Waalaikumsalam," jawab kedua pria tua yang sedang duduk di bangku yang terbuat dari bambu.
"Neng bawa makanan sama air panas, Yah. Mau eneng bikinin kopi?"
"Enya, sok atuh. Pak Burhan suka kopi hitam karuhun ya, Pak," canda Ayah dari Jamilah.
"Pak Endang bisa aja, saya bosen minum kopi dari luar negeri yang sering dibawa istri dan anak - anak saya. Jadi, kalau kesini saya maunya minum kopi hitam pahit..."
"Alhamdulilah, anak - anak Pak Burhan sudah sukses semua. Tinggal nunggu cucu..."
"Maunya sih saya, Arjun dapat istri baik, sopan, pinter masak ngurus suami. Saya sebenarnya lagi dilema, Pak Endang..." mata Pak Burhan menerawang.
"Lho, kenapa Pak?"
Jamilah mendengarkan sembari tangannya sibuk mengaduk kopi, tapi dia tidak terlalu terlalu tertarik saat Pak Burhan bercerita tentang anak - anaknya karena dia merasa dirinya dan orang - orang kaya itu bagaikan utara dan barat saling berjauhan sejauh langit dan bumi.
"Saya sebenarnya divonis kanker stadium akhir, waktu saya tidak banyak. Tapi keluarga saya tidak ada yang tau, sebelum saya meninggal saya ingin menikahkan Arjun dengan wanita baik tidak seperti kekasihnya. Saya sudah menyuruh orang memantau kekasih putra saya, ternyata wanita itu bukan wanita baik - baik. Tapi saya bingung Pak, bagaimana berbicara dengan Arjun."
"Ya Allah, Pak Burhan. Saya ikut bersedih, Pak. Lalu, Bapak mau gimana sekarang? Apa sebaiknya Pak Burhan jujur saja pada keluarga Bapak tentang penyakit Bapak," saran Pak Endang.
"Jamilah, sini Nak," panggil Pak Burhan.
"Iya, Pak. Ini kopinya," Jamilah menaruh gelas beserta tatakan di meja kayu kecil.
"Makasih, Nak. Kamu sudah cantik, sopan lagi."
"Sama - sama, Pak. Mangga atuh diminum, mumpung suam - suam kuku, Pak."
Pak Burhan menyeruput kopi hitam pahitnya, menikmati kopi asli buatan pabrik Bandung.
"Jamilah..." panggil Pak Burhan lagi.
"Iya, Pak."
"Bapak lamar kamu untuk menikah sama Arjun, putra Bapak... mau?"
Mata cantik Jamilah terbelalak, ia sungguh tak percaya akan mendapat lamaran dadakan di siang bolong. Bahkan lamaran dari seorang Pengusaha kara raya, dengan kebun hektaran dimana - mana. Dia yang hanyalah seorang gadis desa yang bahkan belum lulus untuk menjadi sarjana dengan orang tua yang sederhana. Apakah layak untuk menjadi menantu dari seorang Pak Burhan Sudarsono yang terkenal banyak harta?
"Kenapa melamun, Nak? Mau, tidak?"
Seketika Jamilah hanya tersenyum, "Jodoh, maut. Allah yang mengatur, Pak. Saya bukannya menolak tapi sebenarnya saya masih kepengen kuliah agar bisa berbakti sama Ayah Bunda. Mengenai pinangan Pak Burhan, silahkan Bapak bicara dengan Ayah. Saya sebagai putrinya, bisa saja berbakti dengan cara menerima pinangan Bapak. Cara berbakti seorang anak itu, bukankah dengan banyak cara? Bukan hanya dengan mengangkat derajat karena saya bekerja. Meskipun saya bercita - cita ingin bisa bekerja sukses nantinya sebagai tanda bakti saya. Namun... insyaAllah, saya akan menerima keputusan Ayah saya."
Pak Burhan tersenyum, merasa yakin telah menemukan istri untuk putranya dan menantu yang baik.
"Bagaimana, Pak Endang? Lamaran untuk anak saya diterima?"
Pak Endang menelisik wajah putri pertamanya, sebenarnya semakin hari dia semakin resah karena para pemuda bahkan lelaki yang sudah beristri sering menggoda Jamilah. Alhasil gunjingan - gunjingan dari para Ibu - ibu terus terdengar. Sebagai Ayah dia diam bukan karena tak bisa bertindak tapi putrinya selalu mengatakan jika bertahan dengan diam itu lebih baik bahkan lebih baik lagi jika mendoakan orang - orang yang berhati sempit pada mereka.
"Saya berunding dulu sama istri saya, ya Pak Burhan?"
"Baik, Pak. Saya tunggu keputusan Pak Endang dan keluarga. Kalau bisa jangan lama - lama, saya takut ajal cepat menjemput saya."
Pak Endang mengangguk, "InsyaAllah, Pak."
Kepulangan Pak Burhan ke Jakarta dari Bandung disambut hangat istrinya, di bagasi mobilnya banyak sayur - sayuran dan buah hasil petikan dari kebun langsung. Supir pribadi Pak Burhan mengeluarkan semua hasil panen dari kebun, dibantu Art rumah.
"Assalamu'alaikum, Mah."
"Waalaikumsalam, Pah. Gimana Bandung, masih sejuk?"
"Alhamdulillah, penat Papa hilang setelah pulang dari desa."
Nyonya Santi tersenyum, "Alhamdulillah."
"Arjun sudah pulang dari LN?"
"Sudah semalam, sekarang lagi di ruang kerjanya."
"Papa mau samperin dulu Arjun, ada yang harus Papa katakan," Pak Burhan berjalan pergi menuju ruang kerja putra sulungnya.
Tok Tok Tok.
Pak Burhan membuka pintu, "Boleh Papa masuk?"
"Masuk aja Pah, aku nggak sibuk kok," jawab Arjun.
Pak Burhan masuk, menimang perkataannya untuk putranya.
"Ada apa, Pah? Papa kayak bingung?"
"Kemarilah, ada yang ingin Papa bicarakan."
Arjun menyimpan dokumen yang sedang dibacanya di atas meja, ia bangun dari kursi lalu menghampiri Ayah nya.
"Ada apa? Kenapa Papa terlihat tegang? Apa terjadi sesuatu saat Papa di Bandung?" tanya Arjun cemas.
Pah Burhan menggeleng, "Papa... Jun. Papa, sebenarnya..."
"Pah?"
"Papa sakit Jun... Tiga bulan lalu divonis kanker, sudah stadium akhir. Dokter bilang umur Papa tidak lama lagi," suara Pak Burhan bergetar.
"Pah!" Arjun terkejut.
"Apa maksud Papa sakit?!" histeris Nyonya Santi.
"Mah, tenang dulu. Sini, duduk," ujar Pak Burhan.
Dengan wajah tegang Nyonya Santi mendekati suaminya, duduk di sebelah Pak Burhan dengan jantung berdegup kencang menunggu penjelasan dari suaminya.
"Maafkan Papa sudah merahasiakan penyakit Papa beberapa bulan ini. Mama harus tegar saat Papa nanti dipanggil Allah, ya."
"Papa! Kenapa Papa tega sama aku, kenapa?! Hu... hu... hu..."
Pak Burhan menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan, akhirnya ia juga ikut menangis.
Arjun menatap kasihan dan tak tega pada orang tuanya, merasa sedang bermimpi Ayah yang selalu ada untuknya sejak kecil sekarang divonis oleh Dokter takkan berumur panjang.
Pak Burhan melepaskan pelukannya dari istrinya, "Jadi, sebelum Papa meninggal... Papa ada satu keinginan, Mah."
"Apa itu, Pah?" tanya Nyonya Santi sembari sesegukan.
"Papa mau Arjun menikah dengan perempuan pilihan Papa. Papa nggak setuju sama pacar kamu yang sekarang, Jun. Kalau kamu meneruskan hubunganmu, percayalah hubungan mu takkan bertahan lama karena wanita itu hanya menginginkan hartamu dan tidak tulus padamu."
Saat mendengar Papa nya membahas lagi hal yang sama tentang Diana kekasihnya, ingin rasanya Arjun kembali membela kekasihnya. Diana tidak seperti perkataan Ayah nya, justru Diana lah wanita ideal untuk menjadi istrinya.
"Pah, aku tidak ingin membahas ini. Papa lagi sakit, jadi--"
"Justru karena Papa sakit, Papa mau kamu menikah secepatnya dengan wanita pilihan Papa. Papa nggak tau kapan ajal menjemput, Jun. Penuhi permintaan Papa, anggap permintaan yang terakhir, ya?"
"Memangnya siapa perempuan nya?"
"Putri Pak Endang, pengurus kebun - kebun kita di Bandung."
"Pah, kenapa? Apa tidak ada yang lebih setara dengan kita? Diana lebih--
"Jun! Ikut Mama sebentar, kita bicara." Nyonya Santi keluar menuju kamarnya.
"Apa, Mah?" tanya Arjun setelah di dalam kamar.
"Setujui saja permintaan Papa mu, kamu tidak dengar Papamu sakit."
"Tapi, Mah... Arjun sangat mencintai Diana."
"Mama tau, tapi kamu juga tau sejak awal Papamu melarangmu berpacaran dengan seorang model apalagi sampai kalian menikah."
"Arghtt!" Arjun menarik rambutnya frustasi.
"Begini saja, ikuti dulu keinginan Papamu. Setelah menikah 'kan bisa buat alasan kalau kalian tidak cocok, tidak sepaham, tidak jodoh jadi bisa bercerai. Gimana, Jun?" ujar Ibunya.
Arjun memandang foto Ayahnya yang tersenyum di dalam foto keluarga yang tergantung di dinding kamar, akhirnya ia mengangguk lemah karena tidak tega dan mengiyakan.
Seminggu kemudian, Arjun dan keluarganya datang melamar karena pihak Pak Endang pun sudah menerima lamaran dari Pak Burhan.
Untuk pertama kalinya Arjun melihat wajah Jamilah, calon istrinya. Memang ia akui Jamilah sangat cantik, apalagi ia mendengar dari bisik - bisik tetangga yang datang melihat kalau Jamilah adalah kembang desa. Tetapi tetap saja penampilan kampungan Jamilah sangat berbeda jauh dengan Diana yang berpenampilan metropolitan dengan pakaian sexy yang sering para model pakai. Hati Arjun tetap tak tergoyahkan, bahkan melihat wajah bodoh seperti tidak berpendidikan tinggi Jamilah saja dia sangat tidak suka berbeda dengan Diana yang lulusan Oxford University seperti dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!