Luna
"Kamu tuh yang tidak pernah peduli dengan rumah tangga ini! Apa kamu pernah peduli dengan anak kita Luna?" Suara Papa terdengar kencang sampai menembus dinding kamarku.
"Loh, aku pergi kerja, Mas. Cari uang untuk biaya anak kita sekolah. Mas lupa, Luna sudah semester akhir kuliah? Siapa yang akan membayar biaya semesternya kalau aku tidak bekerja?" balas Mama yang tak mau kalah.
"Kamu pikir aku tak mampu membiayai anakku? Jangan sok kamu jadi perempuan, mentang-mentang punya karir bagus, sok merasa paling hebat. Kamu tuh harus nurut sama suami, bukan malah bekerja sampai lupa waktu!" Papa makin marah saat Mama menjawab perkataannya.
"Ya, kamu memang mampu. Bahkan kamu mampu membiayai simpanan kamu. Kalau bukan aku yang bekerja sampai lupa waktu, bagaimana nasib kuliah anak kamu? Mau dia putus sekolah? Setidaknya aku keluar rumah untuk bekerja, bukan untuk mencari janda kampung sebelah yang mau dinikahi siri!" balas Mama lagi.
Aku menghela nafas dalam. Tugas kuliahku menumpuk. Aku butuh ketenangan namun bukan ketenangan yang kudapat, aku malah mendengar kedua orang tuaku bertengkar hebat.
Kuambil earphone dan menutup telingaku dengan musik kencang. Berpura-pura tak tahu pertengkaran yang terjadi di rumah mungil kami. Suara Mama dan Papa saling adu argumen yang berujung dengan suara piring pecah dan barang jatuh lainnya.
Hatiku pilu mendengarnya. Mama nanti akan menangis lama dan Papa akan pergi. Ya, pergi.
Semua masalah dalam keluargaku bermula saat Papa mulai berulah. Papa hobby menggoda para janda di kampung sebelah. Pekerjaan Papa yang lebih sering berada di lapangan membuat jiwa centilnya mudah tersalurkan.
Papa mulai lupa dengan keluarga. Ia asyik dengan istri yang dinikahinya secara siri. Terpaksa Mama yang bekerja lebih keras untuk membiayaiku.
Aku menaruh earphone saat suara bertengkar kedua orang tuaku sudah tak terdengar lagi. Aku berjalan keluar kamar dan melihat rumah sudah bak kapal pecah. Papa sepertinya habis menendang meja ruang tamu. Serpihan kaca dari vas bunga yang pecah kini berantakan di lantai, sudah menjadi tugasku untuk membereskannya.
Aku pergi ke dapur dan mengambil sapu. Kubersihkan kekacauan yang dibuat Papa lalu mengambilkan segelas air hangat untuk Mama. Yang dibutuhkan Mamaku adalah waktu sendiri untuk menangis, jadi saat tangis Mama sudah tak terdengar aku baru masuk ke dalam kamarnya dan membawakannya minum.
"Ma, Luna masuk ya!" kataku setelah mengetuk pintu kamar Mama.
"Iya," jawab Mama dengan suara serak.
Kamar Mama gelap, sengaja Mama menangis dalam gelap agar tak ada yang melihatnya dalam keadaan lemah. Aku menyalakan lampu kamar dan melihat Mama sedang duduk di lantai bersandarkan tempat tidurnya yang terbuat dari kayu jati. Salah satu pemberian Papa saat mereka menikah dulu. Tempat tidur itu masih terlihat kokoh, meski rumah tangga Mama dan Papa kini rapuh.
Tisu bekas menyeka air mata dan ingus Mama bertebaran di lantai. Ini juga tugasku untuk membersihkannya. Kuberikan air minum yang kubawa untuk Mama. "Minum dulu, Ma."
Mama menerima air minum yang kuberikan dengan tangan gemetar. Mata Mama bengkak karena menangis lama.
Kupunguti tisu bekas Mama dan memasukkannya dalam kantong plastik yang kubawa dari dapur. Aku sudah hafal adegan ini. Sudah bosan malah karena terus menerus terulang lagi.
"Kenapa Mama tidak bercerai saja sih dengan Papa? Memangnya Mama bahagia hidup dengan status pernikahan tapi hanya status semata? Mama tidak lelah dengan semua ini?" Aku beranikan diri mengatakan hal yang selama ini aku pendam.
Aku lelah. Aku capek. Aku bosan melihat adegan seperti ini terus. Aku iri melihat teman-temanku yang dengan bangga menceritakan kisah kedua orang tuanya yang sedang liburan bareng. Aku sebal saat teman-temanku menunjukkan foto bersama kedua orang tuanya sambil tersenyum lebar.
Keluargaku tidak utuh. Mereka masih bersama padahal terus saling menyakiti. Semua hanya topeng. Aku muak dengan semua ini.
"Andai Mama bisa melakukannya, Luna," jawab Mama dengan tatapan mata yang kosong.
"Kenapa Mama tak bisa? Mama takut diomongin sama keluarga Eyang? Ma, percaya deh, sekarang juga mereka suka membicarakan Mama dan Papa di belakang kalian. Jangan pura-pura seakan semua ini baik-baik saja, Ma," kataku dengan kesal.
"Mama juga ingin tapi tak bisa, Luna. Tak ada satu pun anak Eyang yang bercerai. Kalau sampai Mama melakukan hal itu, bukan hanya mencoreng nama Eyang, Mama juga bisa membuat Eyang jatuh sakit!" kata Mama penuh emosi.
Aku menghembuskan nafas kesal. Mama sama saja dengan Papa. Sudah tahu saling menyakiti tapi tak mau melepas. Bodoh. Toxic sekali hubungan mereka.
"Terserah Mama saja deh. Aku capek nasehatin Mama terus. Aku tak bisa konsentrasi belajar kalau Mama dan Papa selalu bertengkar seperti ini. Aku mau kost saja. Kebetulan di dekat kampus ada kostan kosong. Aku mau fokus kuliah, Ma. Aku sudah semester akhir. Aku mau cepat selesai kuliah dan bekerja agar Mama tidak pulang malam terus dan diomeli Papa." Keputusan untuk kost memang sudah lama aku pikirkan namun aku masih memikirkan keadaan Mama. Siapa yang menjaga Mama kalau aku tinggal?
Saat Mama masih keras kepala mempertahankan rumah tangganya setelah Papa melakukan semua ini padanya, aku bisa apa? Sama saja Mama dan Papa. Biar mereka yang selesaikan masalah mereka, tugasku hanya menyelesaikan kuliahku dan berhenti jadi beban Mama.
"Kenapa harus kost sih, Luna? Kamu tak mau menemani Mama tinggal di rumah ini? Papa kamu saja tak mau tinggal di sini, kenapa kamu jadi ikut-ikutan meninggalkan Mama?" Mama memegang lenganku, berusaha membujukku agar mengurungkan niatku untuk kost.
"Aku sudah bilang, Ma. Aku mau fokus kuliah. Papa tadi transfer aku untuk uang jajan. Aku rasa cukup untuk biaya kost selama enam bulan. Uang jajan dari Mama bisa aku pakai untuk uang makan. Biarkan aku menyelesaikan kuliahku dengan cepat, Ma. Aku tak mau jadi benalu terus dalam rumah tangga kalian," kataku dengan pedas.
"Kamu tak pernah jadi benalu, Nak. Kamu anak Mama. Mama akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai kamu. Kalau kamu kost, siapa yang mengawasi kamu?"
Cih, mengawasi. Alasan macam apa itu?
"Memangnya selama ini Mama mengawasiku? Bukankah Mama selalu pulang lewat dari tengah malam dan tertidur di saat aku sudah berangkat kuliah? Ma, kita saja satu rumah jarang bertemu, bagaimana cara Mama mengawasiku? Sudahlah, Ma, aku bisa jaga diri. Aku sudah besar. Pokoknya Luna mau kost. Besok, Luna akan berkemas untuk pindah ke kostan." Aku berdiri dan meninggalkan Mama yang masih ingin berdiskusi denganku. Tak perlu. Untuk apa?
Aku pergi ke kamar dan mengunci pintu. Kurapikan barang-barangku untuk kubawa pindah besok. Ya, untuk apa tinggal di rumah yang selalu terdengar suara ribut dan tak ada ketenangan? Setidaknya aku bisa fokus belajar jika aku tinggal di kostan.
Kuambil ponsel milikku dan mengirimkan pesan pada kekasihku, Noah. "Sayang, aku jadi pindah ke kostan. Besok bantu aku bawa barang-barang ya?"
****
Hi semua! Ketemu lagi dengan karyaku yang kesekian. Kali ini aku mau mengangkat kisah yang terinspirasi dari kisah nyata. Kisah yang terjadi di sekitar kita. Banyak adegan dewasa, mohon bijak menyikapinya, yang baik dijadikan pelajaran dan yang buruk jangan ditiru ya. Selamat menikmati karyaku, selalu dukung aku dengan like, komen, vote, add favorit dan kopi yang banyak 🥰🥰🥰
Luna
Pagi-pagi sekali aku sudah siap berangkat ke kampus. Barang-barang yang aku packing semalam juga aku bawa. Rencananya, kekasihku Noah, akan datang menjemput dengan mobil miliknya.
Noah adalah kekasih yang sudah setahun ini aku pacari. Mama dan Papa juga sudah kenal karena Noah sering mengantar jemputku kuliah. Noah berasal dari keluarga dengan perekonomian yang lumayan mapan. Keluarganya harmonis tidak seperti keluargaku yang selalu ribut.
Sambil menunggu kedatangan Noah, aku menyeret koper milikku keluar dari kamar. Pemandangan berbeda kulihat di meja makan. Mama yang biasanya masih tertidur lelap kini sudah terbangun dan bahkan sudah menyiapkan sarapan untukku. Hal yang sangat langka sekali. Basanya aku hanya sarapan dengan roti tawar yang terkadang satu bungkus pun tak habis aku makan sendiri selama beberapa hari.
"Sarapan dulu, Luna!" kata Mama.
Mau tak mau aku menurut. Aku menghargai usaha Mama yang sudah membuatkanku nasi goreng. Kutinggalkan koper milikku di depan kamar dan duduk di kursi makan.
Mama menuangkan nasi goreng untukku di atas piring putih. Salah satu piring di antara beberapa piring yang masih tersisa, yang lain sudah pecah akibat pertengkaran Mama dan Papa.
Mama juga menuangkan nasi goreng untuk dirinya sendiri. Kami duduk dan makan dalam diam. Aku tahu Mama menunggu waktu yang pas untuk memulai percakapan denganku. Pasti ingin membujukku agar mengubah keputusanku yang ingin kost.
"Mama tahu selama ini Mama terlalu sibuk. Mama bahkan jarang bertemu kamu. Saat kamu tidur, Mama baru pulang kerja, begitu pun sebaliknya, saat kamu berangkat kuliah, Mama masih tidur. Mau bagaimana lagi, Papa sudah lama tidak rutin memberi Mama nafkah. Semua uangnya untuk istri sirinya. Kamu masih beruntung, kadang kamu dikasih uang sama Papa karena hanya kamu anak Papa satu-satunya, namun tidak dengan Mama,"
"Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Mama terpaksa harus bekerja sampai larut malam. Mama sudah tidak muda lagi, daya saing di kantor semakin ketat. Kalau Mama tidak bekerja lebih loyal, Mama akan kalah dengan yang lebih muda dan pintar. Karena itulah Mama bekerja sampai malam terus."
Mama menyudahi makannya. Beliau menaruh alat makannya lalu menggenggam tanganku dengan tatapan penuh harap. "Luna, maukah kamu merubah pikiran kamu untuk kost? Temani Mama di rumah ini. Hanya kamu penyemangat Mama dalam bekerja. Meski Mama hanya melihat kamu tertidur saat Mama pulang kerja, itu sudah cukup bagi Mama."
Aku menarik tanganku sambil menggelengkan kepala dengan tegas. "Maaf, Ma, keputusan Luna sudah bulat. Ma, Luna sudah lama memutuskan ini. Luna lelah terus melihat Mama dan Papa bertengkar tiap hari. Luna capek dengan sikap Mama yang tak mau bercerai dari Papa dan membiarkan Papa bersenang-senang di atas penderitaan Mama. Belum lagi Luna harus mendengar barang-barang kita yang pecah karena sikap tempramen Papa. Luna mau hidup Luna tenang, Ma. Biarkan Luna tinggal di kostan. Luna mau fokus belajar, Ma."
Mata Mama mulai berkaca-kaca. Mama menggunakan senjatanya andalannya untuk membuatku berubah pikiran. Percuma saja, keputusanku sudah bulat tak akan bisa digoyahkan lagi. "Please, Lun ..."
"Maaf, Ma. Aku tak akan berubah pikiran lagi. Mama tenang saja, aku akan sering menengok Mama kok. Ya ... tidak sering sih tapi aku usahakan pulang sebulan sekali." Aku tahu ucapanku semakin menyakiti hati Mama. Aku egois dan hanya mementingkan perasaanku saja. Mau bagaimana lagi, aku capek dengan keluargaku.
Mama menghapus air mata yang tak kuasa ia bendung. Beliau berusaha menegarkan dirinya. Kulihat Mama menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Baiklah jika itu keputusanmu. Ingat Lun, kamu harus jaga diri baik-baik. Jangan lupa sholat, karena sholat yang melindungi kamu dari segala perbuatan keji dan godaan dunia," nasehat Mama.
Aku memutar bola mataku dengan malas. Mama yang rajin sholat saja tidak membuat hidupnya bahagia, malah ditinggalkan Papa. Apa sholat menjamin hidupku jadi lebih baik?
Suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah membuatku menoleh ke arah pintu. Ya, Noah kekasih hatiku sudah datang. Ia menjemputku dan akan membawaku pergi dari rumah yang gersang ini. "Noah sudah jemput, Ma. Aku pergi dulu."
"Noah tidak turun dulu, Lun? Ajak dia sarapan," kata Mama.
"Tak perlu, Ma. Kami ada kuliah pagi. Takut jalanan macet nanti malah telat masuk kelasnya." Kuulurkan tanganku untuk salim pada Mama yang terlihat berat melepasku. "Aku pergi, Ma."
Aku menyeret koperku sampai ke depan. Mama terus mengikutiku dalam diam. Tatapan matanya terus membuatku luluh dan berharap aku mengurungkan niatku untuk meninggalkannya.
Noah turun dari mobil dan salim pada Mama. Kekasihku itu sangat sopan dan hormat sama Mama. Itu yang membuatku sangat mencintainya dan beruntung bisa memiliki kekasih sebaik Noah.
"Noah, Tante titip Luna ya. Jaga dia!" pesan Mama.
Aku memanyunkan bibirku. Aku sudah besar namun Mama masih memperlakukanku layaknya anak kecil.
"Iya, Tante. Kami berangkat dulu ya, Tante." Noah pamit pada Mama lalu membukakan pintu mobil untukku.
Koperku sudah Noah taruh di bagasi mobilnya. Saat aku hendak naik ke mobil, kurasakan tatapan Mama terus tertuju padaku. Aku tak berbalik badan, takut berubah pikiran melihat Mama yang pasti sedang menangis.
"Lun," ucap Mama pelan.
Aku memejamkan mataku sejenak lalu akhirya terpaksa berbalik badan dan melihat ke arah Mama.
"Jaga diri baik-baik!"
Aku menjawab dengan anggukan. Kututup pintu mobil dan kami pun pergi meninggalkan Mama. Kulirik dari kaca spion dan melihat Mama sedang menghapus air matanya. "Maaf, Ma. Luna tak berniat menyakiti Mama. Luna hanya ingin hidup dengan tenang," kataku dalam hati.
"Sudah, jangan nangis terus. Kamu sudah dewasa, Sayang. Kamu bebas menentukan hidup kamu. Toh kamu bukan kabur dari rumah dan tak akan kembali. Kamu hanya kost dekat kampus saja. Kalau Mama kamu mau menengok kamu, tak sampai dua jam sudah sampai. Jangan terlalu mendramatisir keadaan," kata Noah.
Kutatap kekasih hatiku yang tampan. Ya, Noah memang tampan. Aku tak menyangka kalau lelaki tampan ini bisa jatuh hati pada gadis sepertiku. Salah satu keberuntungan dalam hidupku adalah memiliki Noah, lelaki baik dan tampan yang banyak disukai para mahasiswa di kampusku.
"Iya. Kamu benar. Aku kost karena ingin hidupku tenang. Semoga aku betah ya di kostan baru."
Noah tersenyum dan mengusap rambutku dengan lembut. "Betah, pasti betah. Aku akan temani kalau kamu bosan. Oh iya, kamu ambil kostan yang memperbolehkan laki-laki untuk main bukan?"
Aku mengangguk, kemarin memang hanya kostan ini yang kosong, sisanya penuh. "Iya. Tak apa lebih mahal sedikit tapi kostannya nyaman dan tidak terlalu ketat."
"Bagus. Nanti kita bisa kerjakan tugas kampus bareng ya!" Noah tersenyum senang.
"Iya." Aku tersenyum senang membayangkan kehidupanku yang baru. Kehidupan yang bebas dari pertengkaran kedua orang tuaku. Aku pasti akan lebih bahagia nanti, iya 'kan?
****
Luna
Kamar kost yang aku sewa terletak tak jauh dari kampus. Cukup 5 menit jalan kaki sudah sampai. Saat kemarin aku survey, aku langsung jatuh cinta dengan tempat kostku ini.
Kamarku terletak di lantai 2 paling pojok. Tetangga sebelah kamarku adalah karyawati kantor yang pulang kerja di atas jam 11 malam. Tak akan mengganggu dengan kebawelannya. Pas sekali.
Sebuah kasur di atas lantai berkarpet menjadi pilihanku. Tak perlu divan, malah membuat kamar sempit jadi lebih luas. Ada sebuah lemari pakaian yang disediakan pemilik kost dan sebuah rak sepatu di bagian luar kamar.
Aku memilih kamar kost dengan kamar mandi di dalam. Aku tak suka berbagi kamar mandi dengan banyak orang. Tak apa lebih mahal sedikit yang penting aku nyaman. Untuk dapur, aku bisa sharing bersama yang lain, ada di setiap lantai.
Aku sudah membayar kostanku selama 3 bulan. Uang dari Papa cukup untuk membayar kostan selama 6 bulan. Sepertinya Papa baru saja mendapat proyek yang lumayan besar, transferan masuk darinya membuat senyum di wajahku merekah. Jarang-jarang Papa memberiku uang sebanyak ini.
"Lumayan juga kostannya, Sayang." Noah memasukkan koperku ke dalam kamar.
"Iya. Bagus. Yang terpenting, aku suka ketenangan di kostan ini," jawabku.
Noah lalu merebahkan tubuhnya di atas kasurku. "Enak juga. Aku boleh menginap 'kan, Sayang?"
"Me-nginap?" tanyaku agak terbata. Aku takut salah dengar. Masa sih Noah mau menginap di kostanku? Apa kata orang nanti.
"Iya. Kenapa? Tidak boleh? Aku ada kegiatan senat. Kamu tahu sendiri kalau rapat dengan anggota senat yang lain suka lama dan pulang malam, daripada aku pulang ke rumah, lebih baik aku menginap bukan?" Noah menatapku penuh harap.
Aku memaksakan senyum di wajahku. Bagaimana ini? Aku tak mungkin menolak Noah. Kekasihku ini sudah banyak membantuku, mulai dari mengantarku mencari kostan sampai membawakan barang-barangku. Kalau aku melarangnya, apa Noah akan berpikir kalau aku pelit?
"Itu ... eh, kita masuk jam berapa sih? Nanti kita telat loh! Ayo kita ke kampus!" Aku terpaksa mengalihkan pembicaraan yang tak bisa aku jawab dan mengajak Noah masuk kelas.
Aku mengambil tas milikku yang belum lama aku taruh, aku tak mau lebih lama di dalam kostan ini dengan Noah. Takut Noah bertanya apakah boleh menginap atau tidak lagi.
Noah bangun dengan malas. Ia berjalan lebih dulu ke arah pintu namun bukan untuk keluar kamar, ia malah menutup pintu kamarku dan menahannya dengan tubuhnya.
"Kita ... enggak jadi ke kelas?" tanyaku dengan polosnya.
Tatapan mata Noah kini terasa asing bagiku. Ia menarik tanganku sampai jarak kami begitu dekat. Tangan kiri Noah sudah berada di pinggangku. Tanpa banyak kata tangan kanan Noah merengkuh wajahku dan langsung mencium bibirku.
"Hmmp!" Aku mau protes namun Noah tak memberiku kesempatan. Ia menciumku dengan penuh hasrat.
Noah memojokkan tubuhku ke arah tembok. Kini aku terkungkung dengan bibir Noah yang menciumku penuh napsu dan lidahnya yang bergerak bebas.
Jarak kami begitu dekat, bisa dibilang tubuh kami saling menempel. Bisa kurasakan ada bagian tubuh Noah yang berdiri tegak. Gawat, aku harus mencegah hal yang tak diinginkan terjadi.
Aku berusaha mendorong tubuh Noah agar menjauh namun Noah membuat tubuhku diam seolah kaku saat tangan kanannya mulai meraaba dadaku.
Aku tak bisa protes. Mulutku disumpal dengan ciumannya. Tubuhku tersudutkan di tembok dan tak bisa bergerak. Ada apa dengan Noah? Kenapa ia bersikap seperti ini padaku? Selama ini kami pacaran baik-baik saja. Kenapa baru hari pertama aku kost, ia langsung berubah?
Tanganku berusaha menepis tangan Noah yang ingin merabaku lebih banyak lagi. Noah tak peduli, ia bahkan membuka kancing kemejaku tanpa sepengetahuanku. Sedikit lagi ... sedikit lagi tangan Noah akan masuk ke dalam kemejaku jika saja pintu kamarku tidak ada yang mengetuk.
"Luna! Kamu sudah pindah ke kamar ini?" Suara cempreng Ariel memanggil namaku seraya mengetuk pintu kamarku.
Noah melepaskan pagutannya padaku. Kesempatan ini tak kusia-siakan. "Iya, Riel."
Noah menatapku dengan tatapan protes. Ia mau kami melanjutkan kegiatan panas kami namun aku tak bekerja sama dengannya. Dengan kesal Noah pergi ke kamar mandi.
Aku merapikan kemejaku. Mengancingkan kemeja yang sempat Noah buka lalu merapikan anak rambutku yang sedikit berantakan. Bibirku merah dan agak bengkak, semoga saja Ariel tak curiga.
Aku membuka pintu kamar, nampak sahabatku Ariel sedang menunggu di depan kamar dengan senyum hangat di wajahnya. "Lama banget sih! Kamu kok enggak main ke kamarku? Kamarku tak jauh loh dari kamar kamu." Tanpa aku suruh, Ariel masuk ke dalam kamarku.
"Belum sempat, Riel. Aku belum lama sampai. Tadi aku lagi siap-siap mau masuk ke kelas," kataku beralasan.
"Itu ... bukannya tas Noah ya? Ada Noah juga di sini?" Ariel celingukan mencari kekasihku.
"Noah yang membantuku pindahan. Sekarang dia lagi di kamar mandi, perutnya sakit," kataku beralasan.
"Oh ... enak ya kamar kamu, Lun. Lebih besar dari kamar aku. Aku mau pindah ke kamar ini tapi aku urungkan karena harga sewanya yang sedikit mahal. Maklum, anak perantauan macam aku, selisih lebih murah sedikit saja aku ambil. Lumayan sisa uangnya untuk beli Indimie."
Tak lama Noah keluar dari kamar mandi. Rambutnya sedikit basah dan wajahnya terlihat lebih segar sehabis cuci muka. "Eh ada kamu, Riel," sapa Noah dengan ramah. Kekasihku itu memang baik pada siapa saja, wajar kalau banyak yang menyukainya.
"Iya. Kalian kuliah jam berapa? Berangkat bareng yuk!" ajak Ariel.
Sorot mata Noah terlihat tak setuju dengan ajakan Ariel. Aku tahu kalau ada yang mau dibicarakan Noah padaku. Aku yang justru menghindarinya.
"Kuliah pagi. Yuk kita berangkat!" jawabku sambil tersenyum.
Noah memutar bola matanya dengan malas. Kalau ada Ariel, ia tak akan berbicara macam-macam, apalagi membahas apa yang kami lakukan tadi. Untuk sementara kami aman.
Kami jalan bertiga ke kampus. Sepanjang jalan, Ariel terus menggandeng tanganku. Mengoceh kalau ia senang bisa satu kostan denganku. "Kalau malam, kita bisa sharing beli nasi goreng, Lun. Ah, aku senang deh kita satu kostan. Kita bisa ngobrol sampai pagi sambil nonton drama Korea. Pasti seru!"
Aku hanya tersenyum menimpali ucapannya. Sejujurnya aku tidak konsentrasi. Aku memikirkan sikap Noah yang berubah drastis. Kenapa tadi ia lepas kendali seperti itu? Apa nantinya Noah akan seperti itu lagi?
"Sayang, aku ke ruang sekretariat dulu ya. Nanti aku menyusul ke kelas," pamit Noah.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku. "Iya."
Setelah Noah pergi, Ariel langsung memuji kekasihku. "Noah tampan ya, Lun. Kamu beruntung mendapatkan Noah yang jadi idola kampus. Rahasianya apa sih, Lun?"
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!