Hanum Hanjani, janda cerai berusia 28 tahun baru saja menikah dengan perjaka, Ismawan yang berusia 33 tahun. Walaupun dari segi umur, Ismawan termasuk tidak muda lagi, tetapi itu merupakan pernikahan pertamanya.
Pernikahan mereka bukan karena unsur perjodohan, melainkan Hanum adalah pilihan Ismawan sendiri. Dia mengenal Hanum tanpa sengaja dan pada akhirnya Ismawan mau menikah dengannya.
"Terima kasih sudah mau menikah denganku, Num. Semoga kita bisa hidup bahagia selamanya," ujar Ismawan yang mencoba memberikan janji manis dalam indahnya pernikahan yang akan mereka jalani selanjutnya.
"Aamiin. Terima kasih, Mas. Aku pun berharap seperti itu," ujar Hanum.
Setelah pernikahan, Ismawan memboyong Hanum ke rumahnya. Rumah yang ditinggali bersama ibunya, Kasmirah. Hanum pun tidak menolak ke mana pun suaminya akan membawanya. Namun, Hanum tidak tahu jika pernikahan yang terjadi saat ini sama sekali tidak diinginkan oleh ibu mertuanya.
"Is, sudah ibu bilang kan, kalau Hanum itu tidak pantas menikah denganmu. Mana dia dulunya janda lagi. Ibu maunya kamu nikah sama orang lain, eh milihnya dia. Ibu nggak bisa nolak karena kamu sudah terlanjur melamarnya. Kalau tahu begitu kan masih bisa dibatalkan," ujar Kasmirah yang tanpa sengaja didengar oleh menantunya, Hanum.
"Udahlah, Bu. Namanya jodoh kan aku juga nggak tahu. Yang penting aku udah nikah kan beres, Bu. Hanum itu pilihanku. Aku mohon Ibu bisa menerimanya."
Ismawan memang dianggap perjaka telat nikah bila berada di kampungnya. Padahal di usianya seperti itu, Ismawan belum menikah karena belum menemukan orang yang tepat. Lagi pula Ismawan juga bukanlah pengangguran, tetapi sosok pekerja keras.
"Kamu ini, ya. Baru juga sekali nikah udah gak mau dengerin ucapan ibu lagi. Kamu nggak malu dapat janda begitu? Lagian dia kan janda cerai yang nggak bisa punya anak. Kenapa kamu bisa sama dia, sih? Pelet apa yang digunakan sehingga kamu mau." Kasmirah terlihat dongkol sekali.
"Udahlah, Bu. Is menikah yang penting bukan sama anak kecil. Kalau janda kan lumayan udah ada pengalaman. Lagian Hanum juga bekerja. Ibu gak akan dibuatnya pusing karena dia merupakan wanita yang bertanggung jawab," jelas Ismawan.
Sebaik apa pun Ismawan menjelaskan tentang siapa Hanum di hadapan ibunya, tetap saja tidak akan mengubah pandangan wanita itu. Terlebih Hanum bukan spek menantu idamannya.
Hanum merasa tidak nyaman mendengar penuturan ibu mertuanya. Namun, dia tidak kehilangan akal. Apalagi saat ini Hanum bekerja di kota. Tidak sulit untuk meluluhkan hati mertuanya. Biasanya ibu mertua seperti itu akan luluh dengan uang.
"Sabar, Hanum. Nanti juga ibu mertuamu akan luluh seiring perjalanan waktu. Ini baru permulaan. Jangan menyerah. Kamu harus semangat dan membuktikan bahwa apa pun ucapan ibu mertuamu adalah salah," gumam Hanum menyemangati dirinya sendiri.
Hanya ibu mertuanya yang berkata demikian. Tidak dengan suaminya yang sangat pengertian padanya. Hanum tidak salah memilih suami. Walaupun ibu mertuanya seperti itu, tetapi dia yakin kalau rumah tangganya akan berjalan baik-baik saja.
Setelah menikah, Hanum kembali bekerja ke kota. Sesekali dia pulang ke rumah mertuanya untuk sekadar menikmati hari liburnya. Saat itu adalah kesempatan bagus untuk melakukan pendekatan pada ibu mertuanya.
"Bu, maaf Hanum hanya bisa pulang ke rumah kadang seminggu atau dua minggu sekali. Jadi, Hanum nggak bisa bantu Ibu. Sebagai gantinya, Hanum mau kasih ini ke Ibu," ujar Hanum menyerahkan satu amplop putih berisi uang. Isinya jangan ditanya, asal itu untuk membahagiakan ibu mertuanya sudah lebih dari cukup.
Pertama kalinya Kasmirah menerima amplop yang diperkirakan berisi uang. Pandangannya kepada Hanum pun berubah. Dia merasa menjadikan menantunya itu aset yang sangat berharga. Setelah sekian lama menebarkan hawa negatif untuk menantunya, setelah menerima uang pada akhirnya Kasmirah bisa juga bersikap baik.
"Terima kasih, Num."
Tidak hanya sekali atau dua kali, seringkali Hanum mengirimkan uang untuk ibu mertuanya walaupun dia tidak pulang. Namun, Hanum harus mengalami hal pahit. Perusahaan tempat Hanum bekerja selama ini mendadak mengalami kebangkrutan sehingga membuat Hanum dan seluruh karyawan lainnya syok. Apalagi mereka akan mengalami PHK massal dan dengan pesangon yang jumlahnya sedikit.
Hanum pun akhirnya mengabarkan hal itu pada suaminya melalui sambungan telepon. Apalagi pernikahannya belum dikaruniai seorang anak. Mungkin ini kesempatan bagus untuk Hanum bisa kembali ke rumah dan mencoba menjalani program kehamilan bersama suaminya dan Ismawan pun setuju.
Mereka memang belum memiliki rumah sendiri sehingga Ismawan pun membawa Hanum untuk tinggal bersama ibunya. Hanum tidak bisa menolaknya karena semenjak menikah keputusan untuk tinggal di rumah keluarga Ismawan sudah disepakati sejak awal.
"Kamu nggak apa-apa kan tinggal di sini?" tanya Ismawan.
Ya, suami Hanum hanyalah buruh pabrik triplek yang bekerja di sebuah pabrik tidak jauh dari rumahnya. Namun, soal gaji, sebenarnya lebih tinggi gaji Hanum sebelum dia di PHK. Hanya saja Ismawan tidak pernah mempedulikan hal itu. Yang penting hubungannya tetap baik dengan Hanum.
"Nggak papa, Mas. Lagian kamu kan cuma bekerja 3 shift aja, sih. Sesekali kamu akan berada di rumah juga, kan. Maksudku, kamu juga akan punya waktu libur sehingga aku nggak bosan di rumah. Oh ya, mengenai pekerjaanku, bagaimana? Aku nggak apa-apa kan kalau nggak kerja? Kita kan juga udah sepakat mau promil juga, kan?"
"He em. Udah jangan khawatir. Kamu lebih baik fokus pada dirimu sendiri. Sesekali bantu ibu di rumah. Temani ibu saja ke mana pun dia minta pergi."
"Baik, Mas."
Ternyata itu tidaklah mudah. Hanum pikir karena jarang sekali tinggal bersama mertuanya hubungan mereka pasti baik-baik saja. Sayang, itu hanya bertahan saat suaminya berada di rumah. Setelah Ismawan pergi bekerja, Kasmirah mulai berubah sikap.
"Bu, mau dibantu?" tanya Hanum saat berdua saja dengan ibu mertuanya.
"Nggak perlu. Ibu alergi sama pengangguran," ujar Kasmirah membuat Hanum terperanjat.
"Bu, Hanum kan pengangguran karena perusahaan tempat kerja Hanum bangkrut. Lagi pula aku dan mas Ismawan sudah berniat untuk melakukan program kehamilan. Katanya Ibu pingin punya cucu." Hanum berusaha keras untuk meluluhkan hati ibu mertuanya.
"Ck, pasti dulunya mandul. Pantes diceraikan sama suaminya," gerutu Kasmirah yang masih bisa didengar oleh telinga Hanum.
"Bu, tolong jangan rendahkan aku seperti itu. Aku sehat dan nggak mandul, kok," ujar Hanum membela diri.
"Kalau begitu, buktikan! Jangan cuma bisa omong doang!" ujar Kasmirah.
Hanum cuma bisa mengelus dada melihat perubahan sikap ibu mertuanya. Apakah sebagai menantu, Hanum hanya dinilai dengan uangnya saja? Bagaimana kalau Hanum tidak bisa memenuhi keinginan Kasmirah nantinya? Apakah wanita paruh baya itu akan semakin menjadi-jadi?
Agaknya perbincangan terakhir Hanum dan ibu mertuanya bukan akhir yang sebenarnya. Itu merupakan babak baru untuk rumah tangga Hanum dan Ismawan.
"Num, hari ini tugasmu mengurus rumah. Mulai dari memasak, beberes, dan semuanya. Karena kamu hidup numpang, jadi tolong sadar diri," ujar Kasmirah tanpa peduli lagi bahwa Hanum adalah menantunya.
Ismawan sudah pergi ke pabrik sejak pagi. Seusai sarapan tentunya. Yang memasak pun bukan lagi Kasmirah, melainkan Hanum sendiri.
"Bu, tapi Hanum sudah masak sedari pagi. Hanum cuma tinggal melanjutkan cuci piring saja. Sudah tidak ada lagi pekerjaan, bukan?" ujar Hanum alih-alih untuk menolak secara halus.
"Ck, kamu pikir hanya urusan masak dan cuci piring saja? Kamu juga harus nyapu, ngepel, nyuci baju seluruh anggota keluarga di rumah ini. Jangan lupa cuci semua gorden. Sudah waktunya diturunkan. Selain itu, jangan lupa ganti sprei di semua kamar. Itu juga sudah waktunya. Jangan lupa kamu cuci juga," ujar Kasmirah menjelaskan semua tugas menantunya.
Hanum tercengang. Ingin menolak, tetapi sebagai menantu sulit sekali menerima perintah yang list-nya sepanjang jalan kenangan dan selebar kebencian ibu mertuanya.
Sementara Hanum menyelesaikan pekerjaan rumah yang menurutnya tidak masuk akal, ibu mertuanya malah pergi ke tetangga. Lebih tepatnya untuk berkumpul dengan tetangga. Apalagi kegiatannya kalau bukan bergunjing ria dan ketik obrol tiada akhir.
"Loh, tumben Bu Kasmirah. Kok bisa jalan dan sesantai ini? Biasanya juga begitu sibuk jika mbak Hanum nggak sedang di rumah," ujar tetangganya.
"Oh, ya jelas, Bu-Ibu. Aku harus ngajarin mantu cara berbakti pada mertuanya. Itu juga udah diajarkan sejak dari keluargaku dulu. Jadi, Hanum harus mengikuti aturan mainnya," ujar Kasmirah bangga.
"Ya, Allah, Bu. Itu mantu, apa spek pembantu?" sindir tetangganya yang lain.
Kasmirah tidak peduli. Mau dikata pembantu atau apa pun, salah siapa jadi pengangguran. Harusnya Hanum mencari pekerjaan lain dan memberikan Kasmirah pundi-pundi rupiah saat seperti dia bekerja di perusahaan sebelum PHK waktu itu. Intensitas bertemu juga tidak terlalu sering sehingga meminimalkan rasa benci dan penolakan darinya.
"Bukan seperti itu, Bu. Anggep aja karena udah jadi mantuku dan dapat anakku adalah sebuah anugerah. Jadi, untuk menunjukkan rasa syukurnya, ya jelas harus membantu pekerjaan ibu mertuanya. Lah wong saya ini ibu mertua yang baik, kok. Tiap pagi juga aku yang masak buat sarapan. Belum lagi siang, sore, dan malam. Menantuku itu mengerjakan pekerjaan lainnya. Cukup adil, kan? Masak iya aku yang harus mencuci baju anakku yang sekarang udah jadi suaminya. Jelas itu nggak mungkin banget. Udah, deh. Kayak Ibu-Ibu yang ada di sini. Dulunya mertua kalian sangat sayang, kan? Kalau enggak, mana mungkin kalian sekarang bisa menjadi lebih baik," ujar Kasmirah mengarang cerita.
Sepertinya untuk menikmati leha-leha bersama tetangga sudah cukup. Kasmirah harus memastikan bahwa Hanum melakukan pekerjaan itu dengan baik. Dia juga harus memberikan peringatan karena menurut pengalaman dari beberapa ibu-ibu yang diajak mengobrol hari ini, bahwa mereka seringkali mengadukan ulah mertuanya pada sang anak, sehingga anaknya sendiri memusuhi ibunya.
"Aku harus pastikan kalau Hanum tidak ngomong sama Ismawan. Bisa-bisa anakku itu percaya padanya dan mulai membelot dariku. Enak saja. Yang lahirin dan biayai semua kehidupan putraku adalah jerih payah almarhum suamiku. Enak aja sekarang mau dikalahin sama mantu," gumam Kasmirah di sepanjang jalan pulang dari mengghibah.
Sampai di rumah, Kasmirah melihat Hanum sedang menjemur beberapa sprei. Dia juga mengeluarkan beberapa gorden yang tinggal memerasnya saja lalu dijemur.
"Sudah semuanya? Baju-baju ibu dan suamimu, apa sudah kamu cuci juga? Ingat ya, masih banyak pekerjaan lainnya lagi," ujar Kasmirah mengingatkan.
Kasmirah pun lantas pergi ke dapur. Dia berniat untuk membuat teh untuk dirinya sendiri, tetapi melihat gula di toples sudah habis sehingga dia berteriak memanggil menantunya.
"Hanum! Hanum! Ke sini kamu!" teriak Kasmirah.
Hanum yang masih fokus untuk menjemur beberapa gorden. Terpaksa dia pun meninggalkan jemurannya yang belum selesai lalu menuju ke sumber suara.
"Ya, Bu. Ada apa? Aku masih jemur gorden dan belum selesai."
"Ini gula habis. Kamu jadi mantu itu gimana, sih? Gak peka banget. Tahu gula habis mbok ya beli. Ibu mau buat teh dan gak ada gula. Ayo, belikan gula di warung dulu," perintah Kasmirah.
"Mana Bu uangnya?" tanya Hanum.
Kasmirah yang semula pura-pura sibuk menata beberapa toples bumbu yang kosong, kini beralih menatap ke arah menantunya.
"Kamu tanya ibu? Ya pakai uangmu lah. Kan kamu yang hidup menumpang di sini, bukan ibu. Oh ya, mulai detik ini, ibu nggak mau tahu. Semua kebutuhan dapur kamu yang harus beli. Nggak hanya itu, sih. Belanja harian, listrik, LPG, dan seluruh kebutuhan rumah ini kamu yang harus bayar. Kalau kamu gak mau, gampang saja. Ibu tinggal ngomong sama Ismawan kalau istrinya tidak patuh sama ibu mertuanya," ancam Kasmirah. Ini memang rencana Kasmirah untuk mengantisipasi anaknya yang akan mendukung menantunya. Itu tidak boleh terjadi. Kasmirah harus menjadi ratu di rumahnya sendiri.
Anggun pun bergegas pergi meninggalkan Kasmirah dan jemurannya yang belum selesai. Dia pun mengambil uangnya digunakan untuk berbelanja. Beruntung masih memiliki sisa dari pesangon pabrik yang sebagian uangnya sudah diberikan pada ibu mertuanya.
Setelah kembali, Hanum menyerahkan gula yang sudah dibelinya dari warung sebelah. Dia kemudian menyerahkannya pada ibu mertuanya. Apa yang terjadi selanjutnya membuat Hanum semakin harus menebalkan kesabarannya.
"Bu, ini gulanya," ucap Hanum menyerahkan satu kilogram gula putih.
"Kamu ini menantu macam apa? Sudah tahu mertuanya ingin minum teh, eh mbok ya dibuatkan sekalian. Jangan perhitungan banget kamu. Lagian bikin teh juga gak lama. Tinggal rebus air lalu tuang. Tolong buatkan. Ibu mau nonton televisi," ujar Kasmirah.
Jika bukan karena itu ibu mertuanya, entah Hanum akan melakukan apa. Padahal sudah dari pagi Hanum memasak, menyiapkan suaminya, lalu mengurus semua pekerjaan rumah. Itu pun masih belum mendapatkan ampunan dari ibu mertuanya.
Setelah mengantarkan secangkir teh, Hanum berniat untuk kembali ke luar rumah dan melanjutkan menjemur gorden. Apalagi beberapa pakaian suami dan mertuanya belum selesai dicuci.
"Tunggu! Kamu mau ke mana?" tanya Kasmirah mencegah kepergian menantunya.
"Mau menjemur gorden dan urus baju Ibu dan mas Is," ujar Hanum.
"Oh ya, jangan sampai kamu berani mengadukan ibu pada Ismawan. Sekali saja kamu bicara dengannya, ibu tidak akan segan untuk mendepakmu dari rumah ini dan meminta Ismawan untuk menceraikanmu. Mau kamu jadi janda untuk yang kedua kalinya? Awas saja kalau sampai mengadu," ancam Kasmirah.
Bagi Kasmirah, inilah permulaan kejahatan untuk menantunya. Masih ada episode selanjutnya yang akan membuat Hanum memilih dua jalan di dalam hidupnya, yaitu bertahan atau lepaskan.
Sehari-hari Hanum masih biasa saja menurut Kasmirah. Dia memang menuruti semua permintaan ibu mertuanya, tetapi itu tidak membuat Kasmirah segera puas dengan apa yang diinginkan. Tujuannya bukan hanya menyiksa menantunya lagi, tetapi untuk memisahkan menantunya dan anaknya sendiri.
"Mumpung Hanum belum hamil, aku harus segera mengambil sikap. Jangan sampai aku punya cucu dari janda yang gak jelas itu. Gak suka aku," gumam Kasmirah.
Saat memiliki kesempatan untuk berbincang dengan Ismawan karena Hanum sedang pergi ke pasar, Kasmirah segera menyampaikan kegundahannya.
"Ibu, ada apa?" tanya Ismawan yang sedang duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. Hari ini dia memang masuk shift sore sehingga ada kesempatan untuk berada di rumah pagi harinya.
"Ibu itu capek ngadepin istrimu, Is. Kamu gak tahu kan kalau dia itu malas sekali. Ibu sampe capek harus nyuruh ini dan itu," ucap Kasmirah memulai rencananya.
Awalnya Ismawan tidak percaya. Pasalnya Hanum adalah sosok yang tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Seperti yang diketahui Ismawan bahwa di tempat kerjanya sebelum PHK, Hanum menempati jabatan di perusahaan yang bukan main-main. Dia bagian penting yang selalu menjadi penghubung antara bagian produksi dan bagian staf. Intinya, keberadaan Hanum merupakan bagian penting perusahaan.
"Masak sih, Bu. Is agak ragu kalau Hanum saat di rumah seperti itu," ujar Ismawan mengutarakan keraguannya.
"Nah, kan. Kamu pasti nggak akan percaya. Yang sering di rumah itu kan ibu, bukan kamu. Jadi, ibu tahu betul apa saja kegiatan Hanum di rumah."
Kasmirah mencoba mencari bukti-bukti yang akan memberatkan menantunya. Apalagi berbicara dengan Ismawan harus membawa bukti, bukan sekadar omong kosong saja.
Niat jahat dibarengi dengan ide-ide brilian membuat Kasmirah menemukan benda di hadapannya yang akan membuat Ismawan percaya. Apalagi kalau ini dilakukan untuk melawan menantu yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh Kasmirah. Bukan karena dia itu tidak cantik, tetapi karena dia dulunya adalah seorang janda.
"Tuh, liat asbak di depanmu. Isinya penuh, kan? Harusnya sebagai istri yang baik dan peka dengan urusan rumah, ya nyapu sama buang isi asbak itu. Apa dia lupa kalau suaminya perokok. Kalau ibu gak buang kan gak masalah. Suami ibu udah nggak ada lagi."
"Ya, Bu. Nanti Is tegur Hanum."
Kasmirah mana bisa langsung percaya dengan ucapan putranya. Mungkin gara-gara hal sepele mengenai asbak itu, masih belum mampu mendongkrak pikiran Ismawan untuk pro terhadap ibunya sendiri. Jangan sampai penyerangannya berbalik pada Kasmirah nantinya.
"Itu masih belum seberapa, Is. Kamu nggak tahu kan kalau tiap hari itu ibu mengomel. Masa itu bajumu cuma diletakkan di tumpukan pakaian kotor aja. Padahal ibu sudah ngomong berulang kali untuk segera mengurus pakaian suaminya. Jangan sampai numpuk biar kering. Apalagi kalau pas ngga ada panas," ujar Kasmirah membuat Ismawan mulai percaya ucapan ibunya.
"Iya, Bu. Nanti deh aku tegur Hanum. Sekarang kan masih ke pasar karena Ibu yang suruh belanja, kan? Apa ada lagi keluhan yang ingin Ibu sampaikan?" tanya Ismawan seperti memberikan keluasan Kasmirah untuk menjatuhkan Hanum di hadapan suaminya.
Kasmirah sedang memikirkan kata-kata yang pas dan cocok untuk mewakili semuanya. Setidaknya gara-gara hal itu, Ismawan pasti akan ribut dengan istrinya.
"Tunggu! Ibu ingat-ingat dulu."
Beberapa menit berpikir, akhirnya Kasmirah menemukan ucapan yang pas dan cocok untuk anaknya agar lebih membenci lagi Hanum, istrinya.
"Jadi, pas ibu mau minum teh, gulanya kan abis, tuh. Ibu minta tolong dong belikan ke warung. Eh, malah dia minta ibu uang. Kan kamu juga udah kasih uang belanja ke Hanum, kan? Ibu jadi kesel sendiri kalau ingat. Apa dia lupa kalau anakku sudah menjadi suaminya sekarang?" imbuh Kasmirah.
"Oh, baiklah, Bu. Nanti Is akan bicara sama Hanum."
"Eh, ada lagi, Is. Kadang dia itu males-malesan gitu. Ibu maunya negur, takut serba salah. Kamu juga tahu sendiri kan selama ini ibu hidup berdua saja denganmu. Mana pernah ibu bermalas-malasan kalau bukan pas capek atau sedang sakit."
Kasmirah benar. Ismawan adalah saksi hidup bagaimana ibunya berjuang seorang diri untuk menghidupi anaknya sampai bisa bekerja lalu menikah. Sekarang, tugas Ismawan adalah membimbing istrinya agar tidak berseberangan dengan sang ibu.
Menjelang sore hari di kamar, Hanum menyiapkan seragam kerja suaminya. Seragam biru telor asin yang menjadi seragam yang harus dipakai suaminya.
"Num, sebelum aku pergi kerja, aku mau ngobrol sebentar. Kamu gak sibuk, kan?"
"Nggak, Mas. Kenapa memangnya?" tanya Hanum.
"Kalau aku lagi nggak di rumah, mbok ya kamu bantu ibu. Jangan malas-malasan. Aku malu kalau ditegur ibu. Sementara kita mau pindah ke mana? Aku kan anak tunggal. Nggak mungkin ninggalin ibu sendirian. Tolong mengertilah posisiku," sesal Ismawan.
"Apa, Mas? Malas-malasan?"
"Iya. Coba kamu pikirkan perasaan ibu yang sudah menerimamu di sini. Setidaknya saat ini tolong bantu ibu atau apa pun yang ibu minta padamu. Jangan tolak, ya. Kumohon."
Hanum terkejut. Kalau suaminya bisa bicara seperti ini, otomatis telah terjadi pembicaraan antara ibu mertua dan suaminya.
"Ibu memangnya ngomong kalau aku malas-malasan, Mas? Itu nggak bener," ujar Hanum membela diri.
"Num, mana bisa aku melawan ibu. Selama ini yang di rumah kan kamu sama ibu. Jadi, itu benar atau enggaknya, mana aku tahu. Tolong kerjasamanya yang baik, ya. Jangan permalukan suamimu."
Sesakit inikah hati dan perasaannya saat suaminya juga ikut mendukung kelakuan ibunya. Kurang menurut yang seperti apa Hanum? Dia sudah melakukan segalanya permintaan ibu mertua. Namun, sepertinya dia tidak memiliki harga di mata suaminya saat ini. Entah, apa saja yang diutarakan ibu mertua pada suaminya sehingga membuat Ismawan pun turut menyerang Hanum.
"Mas, kamu hanya dengar dari sisi ibu, kan? Kenapa kamu nggak coba tanya dari sisi aku? Aku juga butuh kamu dengarkan. Bukan ibu saja," ujar Hanum melayangkan protes pada suaminya.
"Num, aku sudah mengenal ibu jauh lebih lama ketimbang kamu. Kalau aku bisa percaya padamu 10 persen saja, maka aku bisa mempercayai ibuku 50 persen. Bahkan bisa lebih dari itu," ujar Ismawan.
"Mas, kalau aku bilang apa yang diucapkan ibu itu tidak benar, kamu pasti gak percaya sama aku, kan? Jadi, percuma saja kita bicara seperti ini yang akhirnya kamu nggak akan bisa mengerti istrimu sendiri." Hanum sedih.
"Tentu. Bagiku semua ucapan ibu adalah benar. Mana mungkin ibuku berani berbohong dengan bukti-bukti yang ditunjukkan padaku. Aku cuma minta sama kamu buat nurut. Udah itu aja. Ingat, orang tua kita juga penting, kan? Kalau kamu mau patuh sama orang tua, semuanya pasti akan baik-baik saja."
Mana bisa dengan konsep seperti itu, Bambang? Hanum sudah menjelaskan posisinya, tetapi Ismawan tidak mau mendengarkan sama sekali sehingga menyebabkan posisi Hanum lah yang paling tersudut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!