NovelToon NovelToon

Petaka 40 Hari Masa Nifas

Usul ibu mertua

Aku mengelus perut yang membesar, senyum manis menghiasi dan kebahagiaan berlimpah ruah. Menjadi calon ibu sudah aku nanti-nantikan lima tahun lamanya, banyak yang mengatakan kalau aku ini wanita tidak sempurna karena belum juga hamil. Masa yang cukup sulit tapi aku bahagia selama suamiku mendukungku dalam masa sulit itu. Terkadang aku diam-diam menangis melihat suamiku yang begitu sabar, mendukungku untuk tetap semangat dan pantang menyerah. 

Siang malam aku selalu berdoa untuk di berikan kepercayaan itu, hingga yang maha kuasa menitipkan janin di dalam rahimku. Tapi aku tidak tahu, kalau sebentar lagi petaka menghampiriku. 

****

"Sakit Mas, aww." Aku meringis memegang pinggang dan perut bagian bawah terasa sakit menjalar, kontraksi yang semakin hebat dan bertambah kuat itu tak terasa air mata menetes tanpa ku sadari. 

"Sabar ya sayang, berjuang demi anak kita." Sahut mas Adam memberikan semangat, melihat wajahnya yang panik di kala keringat yang mengucur di seluruh tubuhku membasahi baju. Menggenggam tanganku dan sesekali mengecupnya. 

"Sabar ya Bu, baru pembukaan delapan. Apabila merasa mau mengejan di tahan dulu sampai pembukaannya lengkap." Tutur bu bidan yang tersenyum.

Aku mengangguk pasrah, rasa sakit kontraksi memang luar biasa. Mas Adam yang melihatku merasa kasihan memberikan air minum untuk memberikan tenaga saat mengejan nanti. 

"Pak, siapkan bedong, baju, dan popok bayinya masing-masing dua helai." Pinta bu bidan yang langsung di turuti oleh mas Adam. 

"Dik, tunggu di sini dulu ya." 

"Iya Mas." Aku mengangguk dan pasrah dengan rasa sakit yang luar biasa, sempat terpikir untuk melakukan operasi Caesar. 

Aku sudah tidak sanggup menahan rasa sakit kontraksi, beberapa kali memanggil suami yang berada di luar sedang mengobrol dengan seseorang. Di saat seperti ini aku butuh mas Adam di sampingku, tapi aku tak mau berpikiran negatif. 

Aku berteriak memanggil bu bidan, dua orang berlari ke arahku dan salah satunya memeriksa. 

"Pembukaan sudah lengkap." Lapor asisten bu bidan. 

Aku mengangguk saat bu bidan menjelaskan bagaimana cara mengejan yang baik dan menuntunku untuk terus bersemangat, beberapa saat terdengar suara bayi menangis memenuhi ruangan. Senyum dan tangis bahagia tak bisa aku sembunyikan, perjuangan menuju pembukaan lengkap dan juga mengalami obras luar dalam sungguh nikmat, tapi rasa sakit menghilang saat bu bidan memperlihatkan bayi yang masih berdarah. 

"Selamat ya Bu, anaknya perempuan." 

"Syukur alhamdulillah," lirihku tersenyum bahagia karena perjuanganku terbayarkan bisa melahirkan normal. 

Setelah semua berjalan lancar, menyusuri pandangan di tempat itu. Aku sangat penasaran kemana perginya mas Adam. "Kemana mas Adam pergi?" 

Ku tatap bayi yang sudah di bersihkan dan di bedong itu, segera memberikan ASI pertama. 

"Di mana anakku?" 

Aku menoleh dan tersenyum, mas Adam sudah kembali membuat perasaanku lega karena sedari tadi terus memikirkannya. 

"Ini Mas, anak kita perempuan." 

"Perempuan?" 

Aku melihat raut wajah senang mas Adam berubah, namun kembali menepisnya. "Mungkin mas Adam capek mengurus surat-surat rujukan." Batinku. 

"Bagaimana kalau anak kita beri nama Kanaya?"

"Hem." 

Aku yang sudah diperbolehkan pulang setelah mas Adam mengurus administrasinya. Menggendong tubuh Kanaya dengan sangat hati-hati sekali, takut akan terjatuh. Merasa aneh dengan sikap suamiku itu yang diam sejak pulang dari rumah sakit.

"Mas kenapa?" tanyaku penasaran. 

"Bukan apa-apa." Tanyanya yang langsung pergi, dan inilah awal sikapnya berubah. 

****

Aku memberikan Asi pada Kanaya dan terkejut mendengar suara mas Adam yang tinggi. 

"Jangan berteriak, lihat tuh Kanaya nangis." Ucapku sambil menggendong bayi dan berusaha menenangkannya. 

"Kenapa bajuku belum di setrika, Luna? Beberapa hari ini kamu semakin jorok dan sibuk sama anak. Lihat tuh!" tutur mas Adam marah sambil menunjuk rumah yang belum sempat aku bersihkan, dan di tambah pakaian belum aku setrika dan menumpuk di keranjang. 

"Aku belum sempat merapikannya, sini!" aku menyodorkan tangan hendak meraih baju kerja mas Adam. 

"Tidak perlu." Mas Adam berlalu pergi. 

Aku meneteskan air mata, setelah melahirkan Kanaya sikap suamiku berubah. Segera aku menidurkan bayiku dan meletakkannya, kembali mengerjakan pekerjaan rumah sebisaku, tak lupa mengikat perut dengan gurita. 

Di sore hari, aku menunggu kepulangan mas Adam dan mendengar pintu di ketuk membuatku bahagia. Namun senyum di wajahku berubah melihat yang datang bukanlah suamiku melainkan ibu mertua. 

"Ibu, silahkan masuk." 

"Mana cucu ibu?" 

Ibu mengambil alih menggendong Kanaya, aku tersenyum menyambut ibu mertuaku yang sangat pengertian itu. 

"Adam mana, Lun?" 

"Bekerja Bu." 

"Lalu, siapa yang membereskan rumah?" 

"Aku yang melakukannya." 

Sontak ibu terkejut mendengarnya. "Apa? Kamu itu masih dalam pantangan masa nifas, gak boleh bekerja. Cukup mengurus bayi." 

Aku hanya tersenyum kaku, tidak ada pilihan lain karena mas Adam tak mau tahu dan hanya ingin rumah selalu bersih. 

"Adam kemana sih? Masa kamu di biarkan bekerja." 

"Gak apa-apa Bu." 

"Ya gak bisa begitu, Lun. Besok Ibu akan membawa pembantu untukmu, kamu cukup beristirahat dan merawat bayimu saja." 

Aku mengangguk patuh dna tidak tahu harus berkata apa, perhatian ibu mertua membuatku sungkan. 

Ada yang aneh

Semenjak melahirkan tak ada yang ingin membantuku bahkan mas Adam sekalipun, sifatnya perlahan berubah sering sekali pulang hingga larut malam. Merawat Kanaya menjadi satu tantangan yang cukup sulit, namun aku tetap berusaha menjadi yang terbaik. 

"Assalamu'alaikum."

Aku yang mendengarkan suara yang sangat di kenal itu memilih untuk meletakkan Kanaya di dalam baby box, kemudian berjalan ke sumber suara dan membuka pintu. Terlihat ibu mertua yang tersenyum padaku dan seorang wanita di sebelahnya.

"Oh Ibu, silakan masuk!" ucapku mempersilahkan, melirik wanita di sebelah ibu.

"Kanaya di mana, Lun?" tanya ibu yang celingukkan mencari cucunya itu.

"Kanaya sudah tidur, ada di baby box." aku melirik wanita yang tampak lebih muda dariku itu penasaran, tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Ibu yang mengerti dengan tatapanku itu segera menjelaskannya. 

"Kenalkan ini namanya Mawar. Sebelum itu Ibu sudah bilang padamu untuk mencari seorang pembantu selama masa nifas mu, agar kamu tidak kelelahan dan fokus mengurus Kanaya. Mulai sekarang mawar akan bekerja menjadi pembantu sampai masa nifas mau selesai." Terang ibu padaku.

"Mawar, Mba." 

"Luna." Aku membalas uluran tangan itu dan tersenyum sebagai perkenalan pertama kami, sikap ibu yang begitu baik dengan menyediakan pembantu membuatku merasa disayangi dan diperhatikan. "Sebenarnya aku masih sanggup untuk mengurus semua pekerjaan rumah, aku tidak ingin merepotkan Ibu."

"Tidak ada yang direpotkan, ini sudah menjadi tugas ibu. Ibu kasihan pada  Kanaya dan harus diberikan perhatian penuh.

"Iya Bu."

Setelah kepulangan ibu, aku merasa sesuatu yang mengganjal di hati tapi tidak tahu apa itu. Pandanganku tertuju pada koper besar yang dibawa oleh mawar, di dalam hati mulai bertanya-tanya mengapa wanita itu membawa banyak pakaian. Pikiranku mulai mengatakan hal yang negatif, tapi segera menepisnya saat mendengar suara Kanaya yang menangis dan segera menghampiri untuk menenangkannya. 

Aku merasa bersyukur mempunyai ibu mertua yang sangat baik, begitu perhatian sampai rela membawakan seorang pembantu sampai masa nifas ku selesai. Aku duduk di kursi sofa di ruang tamu, memberikan ASI kepada Kanaya dan sesekali melihat Mawar yang beberes rumah. 

Tatapanku tertuju kepada mas Adam yang baru pulang dari bekerja, berjalan menghampiri dan tak lupa senyum manis untuk menyambutnya. 

"Tumben rumah tidak berantakan." 

"Iya Mas, ibu menyewa jasa pembantu sampai masa nifas selesai. Kemarilah!" jelaskan saya berbalik badan dan memanggil pembantu baru. "Mas, ini Mawar dan Mawar ini suamiku, mas Adam." Ucapku memperkenalkan mereka. 

Sepintas aku melihat raut wajah keduanya terlihat tegang, lalu kemudian mereka saling memperkenalkan diri. segera Aku berlari terburu-buru menghampiri Kanaya yang menangis dan menenangkannya.

"Kamu kenapa disini?" Adam berbisik, mengusap wajahnya kasar. 

"Aku rindu sama mu, Mas. Di sana aku kesepian tanpa kamu," jawab Mawar nada manja. 

"Kita sudah membicarakan ini, kenapa kamu masih ngeyel tinggal di sini?" Adam sangat frustasi kedatangan Mawar. "Ha, sudahlah." Ucapnya meninggalkan tempat itu. 

"Egois kamu, Mas." Gumam Mawar yang kesal. 

Aku kembali meletakkan Kanaya di dalam baby box, di saat mendengar ponsel yang tiba-tiba saja berdering segera aku meraih benda pipi yang terletak di atas nakas tak jauh dari jangkauan, melihat nama panggilan masuk dan ternyata itu adalah ibu mertuaku. 

"Halo, Luna." 

"Iya bu, ada apa?" tanyaku mengerutkan dahi, pasalnya ibu mertuaku itu jarang sekali menelepon. 

"Ibu tadi menghubungi Adam tapi tidak di angkatnya, bisa kamu berikan telepon sebentar?" 

"Oh bisa bu." Aku buru-buru keluar dari kamar dan mencari keberadaan mas Adam. "Mas Adam…mas," panggilku celingukan. 

"Mas Adam ada di dapur Mba." Sahut Mawar tersenyum padaku, aku mengangguk dan pergi meninggalkannya. 

"Berisik." 

"Ibu menelepon." Ucapku menyembunyikan rasa sakit karena mas Adam tidak pernah bicara seperti itu padaku. 

Mas Adam menatapku sekilas. "Kenapa masih di sini? Pergi sana." Usirnya sedikit membentak, aku buru-buru keluar dari dapur tapi tak sengaja menabrak Mawar entah sejak kapan berada di belakangku. 

"Mawar?" 

"Aku mau ke dapur Mba, masak." Jelasnya. 

"Oh."

Di malam hari, seperti biasa aku menunggu suamiku di meja makan sambil memohon Kanaya. Pandanganku melihat masa Adam dan Mawar datang secara bersama, tapi aku tidak memiliki perasaan buruk apapun dan langsung mempersilahkan suamiku untuk duduk di kursi. 

Seperti biasa aku melayani suamiku dengan mengambilkan lauk pauk di atas piring, namun belum sempat aku berdiri mawar lebih dulu menawarkan diri. 

"Biar aku saja Mba, lagipula Mba sibuk momong Kanaya." Dengan sigap Mawar ingin menggantikan aku melayani mas Adam, diam-diam aku mengamati bagaimana pembantuku itu menatap suamiku. 

"Tidak perlu, ini sudah tugasku." Tolakku halus. 

"Mba duduk manis saja, biar aku yang menyiapkan makanan Mas Adam." Mawar sangat antusias menyiapkan makanan suamiku tanpa menunggu jawabanku terlebih dahulu. 

Aku terus mengamati interaksi antara keduanya dan merasa ada yang tidak beres apalagi tidak ada kecanggungan antara suamiku dan juga pembantuku, pembantu yang didatangkan langsung oleh ibu mertuaku. 

"Apa ini benar?" Batin Luna yang merasa kalau Mawar terlalu bersemangat mendekati suaminya. 

"Ini minumnya Mas, silahkan di makan!" ucap manis Mawar.

Di saat kami bertiga makan dengan khidmat, tiba-tiba mas Adam tersedak dan aku langsung memberikan segelas air, tapi lebih dulu di lakukan oleh Mawar membuatku semakin heran dengan sikapnya. 

Setelah memastikan Kanaya tidur, aku melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi, namun di cegat oleh mas Adam yang memelukku dari belakang. 

"Aku sangat merindukanmu, Lun." Bisiknya mesra di telingaku. 

"Tapi Mas, aku masih dalam masa nifas. Puasa dulu yaa," bujukku yang sebenarnya tak tega menolak. 

"Lalu? Kami bisa memuaskan aku dengan cara lain." Bujuk mas Adam tak menyerah. 

"Baiklah." 

Baru saja aku membantu mas Adam untuk menuntaskan hasratnya, tapi lebih dulu mendengar tangisan Kanaya yang melengking. 

"Tunggu sebentar, aku tenangin Kanaya dulu Mas." Buru-buru aku berlari dan menggendong bayiku, tak sengaja melihat wajah kesal dari mas Adam. 

"Ayo Mas, Kanaya sudah tidur." Ajakku. 

"Urus saja anakmu itu, mengganggu saja." Kesal mas Adam keluar dari kamar. 

"Mengapa sikap mas Adam sangat berbeda? Apa karena kelahiran Kanaya?" batinku bertanya, sedih melihat perubahan sikap suaminya. 

****

Di pagi hari, aku terbangun sedikit kesiangan karena tadi malam Kanaya kembali rewel. Melihat jam di dinding membuatku sadar kalau mas Adam sudah berangkat ke kantor, tak sengaja aku berpapasan dengan Mawar yang baru saja keluar dari kamar mandi dan rambutnya yang basah. 

Pandanganku merasa aneh melihat pakaian yang di kenakan oleh pembantuku, terlihat seksi. 

"Pagi Mba." Sapanya tersenyum ramah.

"Pagi. Mawar," panggilku di kala dia hendak melangkah. 

"Iya Mba, ada apa?" sahutnya menoleh. 

"Bukan apa-apa." Aku tidak jadi menegurnya, mungkin dia hanya memakai pakaian itu karena mas Adam tidak ada di rumah. 

Tanda merah

Kanaya kembali bangun di tengah malam, padahal baru saja tidur. Aku menggoyangkan bahu mas Adam dan memintanya untuk bergantian menjaga, sangat lelah mengurus bayi seorang diri. 

"Mas…mas Adam," panggilku yang sudah tidak tahan menahan rasa kantuk. 

"Hem." Jawab mas Adam yang enggan untuk membuka mata. 

"Mas, Kanaya bangun. Gantian jaga yuk, aku ngantuk dan capek." Keluhku memohon padanya. 

Ku lihat wajah mas Adam yang menatapku tajam juga kesal. "Mau mu itu apa sih? Gak bisa melihat suami tidur. Aku juga capek seharian bekerja, mengertilah posisiku." Bentaknya membangunkan Kanaya. 

"Sejak aku pulang dari rumah sakit, tidak pernah sekalipun Mas mengurus Kanaya. Jangankan mengurusnya, menggendongnya saja tidak." Balasku memelankan suara, sudah tidak tahan dengan sikap mas Adam yang cuek semenjak aku melahirkan anak kami. 

"Kan ada kamu, ibunya. Lagipula ibu sudah menyiapkan pembantu, kamu hanya duduk diam dan ongkang kaki." 

"Duduk diam kamu bilang Mas?" aku mengerutkan dahi melihat sifat mas Adam yang berubah, aku tidak menyangka perkataan kasar keluar dari mulutnya. 

Mas Adam marah dan pergi dari kamar, sekali lagi air mataku menetes. Rasanya sangat tidak sanggup kehilangan cinta suamiku, dan mulai bertanya-tanya mengapa takdir selalu mempermainkanku. 

Aku berjaga sepanjang malam, berusaha menenangkan Kanaya yang selalu terbangun. Setelah perdebatan itu aku tidak melihat keberadaan mas Adam, rasa cemas mulai menghampiriku. 

Di pagi hari, aku melihat pembantuku itu keluar dari kamar mandi dan rambutnya yang basah. Pakaian ketat dan pendek itu membuatku ingin menegurnya, karena mas Adam masih berada di rumah. 

"Pagi Mba Luna." Sapa Mawar tersenyum padaku. 

"Pagi." Aku memandang Mawar dari ujung kaki hingga ujung rambut, tentu saja membuat pembantunya mengerti arti tatapan itu. 

"Kamu tahu kan kalau di rumah masih ada mas Adam," tegur ku. 

"Apa sih Mba, kok pakaianku jadi persoalan." Mawar tidak terima, terlihat jelas di wajahnya. 

"Kamu itu orang asing, sudah sepatutnya menghargaiku dan juga suamiku." 

"Bilang aja kalau Mba takut suaminya tergoda." 

Perkataan Mawar membuatku tidak suka, apalagi wajahnya yang semakin memancing emosi. "Di rumah masih ada mas Adam." 

"Iya Mba, soalnya aku suka kegerahan." 

"Hem, lain kali jangan memakai pakaian mini." 

"Oke."

"Pakaian sudah kamu cuci?"

"Baru siap cuci piring, nanti aku cuci pakaian setelah mengeringkan rambutku dulu." 

"Ya sudah kalau begitu." Aku mengangguk dan melihat punggung  mawar yang menjauh, hatiku semakin merasa ada sesuatu yang salah.

Aku tidak mau berpikiran buruk terhadap orang lain, memutuskan untuk ke dapur dan memasak sarapan buat mas Adam. Masakan yang aku racik dengan bumbu-bumbu, tentunya membuat makanan kesukaan suamiku itu. 

"Mas Adam kemana ya?" pikirku yang sedari tadi belum melihatnya, segera meletakkan masakan yang sudah jadi di atas meja makan. 

"Aku lapar." Mas Adam mengejutkan aku, langsung ku siapkan sarapan untuknya. 

"Makanan kesukaan kamu Mas, di habiskan ya." 

"Hem." Jawab Mas Adam, bersemangat melihat makanan yang aku sajikan sangat menggoda. 

"Kanaya mana?" tanyanya. 

Aku tersenyum dan duduk di sebelahnya. "Ada di kamarnya," sahutku. Aku menatap lama wajah suamiku, rasa sedih menyelimuti hati. Aku sangat merindukan mas Adam yang selalu mencintaiku, entah mengapa berubah dengan sangat cepat. Perlahan mataku melihat setiap inci, tanda merah di leher membuatku sangat terkejut. 

"Itu seperti…" Batinku yang sangat terkejut. 

"Mengapa melihatku begitu?" cetus mas Adam yang menyuapi mulutnya dengan makanan yang ku sajikan. 

"Ada tanda merah di lehermu, Mas." Aku menunjuk tanda merah itu dan mengerti apa maksud dari semuanya. "Kenapa ada di sana?" tatapku menyelidik. 

Seketika mas Adam memegang bekas cupangan itu dan menutupinya, terlihat jelas dia gugup saat ini. "Ini…ini bekas gigitan nyamuk. Aku terlalu menggaruknya dan meninggalkan bekas." Jelasnya beralasan. 

Aku menghirup oksigen sedalam mungkin dan mengeluarkannya secara perlahan, penjelasan logis yang cukup mudah menipu anak kecil. Tapi aku bukanlah anak kecil yang tidak mengerti tanda merah yang ada di leher mas Adam, bekas cupangan yang di buat oleh seseorang. 

Tatapanku semakin mengintimidasi, pikiranku mulai terusik dikala mengingat Mawar yang selalu mandi keramas setiap pagi. Apa jangan-jangan suamiku berselingkuh dengan pembantu yang di bawa oleh ibu mertuaku? Ya Tuhan, membayangkannya saja membuat aku takut. Bagaimana tidak? Pernikahan yang membuat orang lain iri karena kami selalu harmonis, tapi sekarang berantakan sejak aku melahirkan Kanaya.

"Jangan suudzon sama suami, bisa kualat kamu." Cetus mas Adam pergi meninggalkan piring yang masih tersisa sarapan. 

Aku meringis menatap kepergiannya, belum sampai umur Kanaya empat puluh hari tapi suamiku berselingkuh dengan pembantu yang di bawa ibu mertua. "Aku harus cepat atau semua akan terlambat." Gumamku yang ingin menyelamatkan pernikahanku dari orang ketiga. 

Dengan meraih ponsel dari saku, menghubungi ibu mertua. Awalnya tidak di angkat, tapi aku tidak menyerah dan menghubunginya kembali. 

"Assalamu'alaikum, Bu." 

"Wa'alaikumsalam. Ada apa Lun menghubungi ibu?" 

"Ada yang ingin aku bicarakan, ini penting." 

"Katakan saja, ada apa?" 

"Biarkan aku yang mengurus keluargaku Bu, tanpa bantuan orang lain." Jelasku mengenai keputusan itu, sebenarnya ini tidak baik di bicarakan lewat telepon tapi aku sudah tidak sabar untuk membicarakannya.  

"Loh, memangnya kenapa, Lun?" 

Aku terdiam, tidak ingin membuat ibu mertuaku tersinggung. "Aku bisa mengurusnya." 

"Ya gak bisa gitu, Luna. Mawar sudah ibu bayar di awal, lagi pula dia bekerja sampai masa nifas mu selesai."

"Tapi bu…" ucapku yang belum selesai terputus. "Ibu mematikan sambungan teleponnya?" monolog ku, hingga kecurigaanku mulai tumbuh pada ibu mertua. 

Aku memutuskan untuk mengecek pekerjaan Mawar sekaligus membawa bedong, baju, dan popok untuk di cuci. Pandanganku tertuju pada dua orang yang bercengkrama sangat dekat, bahkan melihat jelas bagaimana pembantuku itu sengaja mendekati suamiku. 

"Kalian sedang apa?" tanyaku menatap keduanya tajamSontak keduanya diam dan sedikit menjauh, tatapan tajam ku berhasil membuat mereka gugup dan berkeringat. 

"Aku kesini memberikan pakaian kotorku, itu saja." 

Aku tidak menggubris dan mengalihkan pandangan yang menuju pembantuku, melirik pakaian mini yang ternyata belum diganti padahal aku sudah menegurnya. 

"Jangan salah paham Mba." 

Aku tersenyum dan tertawa kecil, membuat mereka mengerutkan dahi karena penasaran dengan sikapku. "Salah paham? Mengapa kamu bisa berpikir begitu?" tanyaku yang menekan Mawar langsung salah tingkah. 

Mas Adam pergi dari sana dan aku mengikutinya, rasa sakit di hati melihat kedekatan suami dan juga pembantuku. Mereka mengira kalau aku wanita bodoh yang tidak tahu arti semua itu, kini aku yakin bahwa aku telah di khianati. 

"Aku ingin lihat dan mengikuti permainan kalian." Batinku sambil meremas kedua tanganku. 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!