NovelToon NovelToon

Tragedi Kawin Campur

Bab 1. Dituntut Untuk Menikah.

"Sayur, sayur! Ayo, Bu-ibu, sayurannya segar. Ada ikannya juga masih pada kinyis-kinyis."

Teriakan dari tukang sayur keliling itu, membuat Bu Galuh menghentikan aktivitasnya. Dia yang tadinya sedang memegang sapu, segera meletakkannya dan tergesa keluar dari rumah. Wajahnya yang sedikit menua, tampak sumringah. Penampilannya begitu sederhana, dengan pakaian daster abu-abunya bermotif batik abstrak dan juga sandal jepit.

"Mas Soleh, ke mana aja? Dua hari ini kok gak kelihatan," sapa Bu Galuh, merangsek mendekati gerobak dan memilih-milih barang belanjaannya.

"Hehe, iya, Bu Galuh. Kemarin aku pulang kampung, lagi kangen sama anak bojo," jawab Soleh–si tukang sayur–cengengesan.

"Makanya, mbok, ya istrinya diajak tinggal di sini. Kan lumayan bisa bantu-bantu jualan," usul Bu Galuh disertai senyum tipisnya.

"Iya lho, Mas Soleh, ajak ke sini aja, biar nanti Bu Galuh bisa kenalan sama anak Mas Soleh. Anak Mas Soleh udah lulus SMA, kan? Kali aja bisa dikenalin sama Jana biar punya pasangan."

Bu Galuh segera menoleh, mendengar Yu Prapti tiba-tiba datang. Matanya langsung memicing, saat mendengar tetangganya itu berusaha mengolok-olok anaknya lagi.

"Siapa yang bilang Jana jomblo, dia punya pacar, kok!" Bu Asih berdusta, menjawab dengan deheman berharap tenggorokannya bisa diajak berbohong dengan lancar.

"Ah, masa, si, Bu Galuh? Orang mana? Kok aku gak pernah lihat?" tanya Yu Prapti menelisik.

"Ck, itu 'kan bukan urusan situ. Untuk apa aku memamerkan calon mantuku ke situ!" decak Bu Galuh sedikit kesal. Tangannya bergerak luwes, mengambil sayur kangkung dan juga udang mentah, tak lupa juga dengan lomboknya.

"Ya, kali aja Bu Galuh malu. Mungkin calon menantunya tak lebih kaya dari calon menantuku. Calon suami Asih 'kan Juragan Tembakau." Yu Prapti menekan kalimat terakhirnya dan mengejanya dengan jelas. Tersenyum penuh arti, menatap Bu Galuh sambil mengambil terong.

"Eh, ibu-ibu, kalian pada mau belanja atau mau saling sindir? Maaf, ya, aku ndak punya banyak waktu meladeni kalian berdua dan harus kembali berkeliling." Mas Soleh menyela, menatap dua wanita paruh baya di hadapannya bergantian dengan dahinya yang berkerut dalam.

"Kamu ini, lho, Mas Soleh, ndak muncul dua hari aja udah belagu. Nanti kalau Asih udah jadi istri Juragan Tembakau, aku pastikan tidak akan belanja lagi di sini." Yu Prapti tampak dongkol, menatap tukang sayur dengan kesal.

Begitu pula dengan Bu Galuh, namun bukan sindiran Soleh yang membuatnya kesal, melainkan Yu Prapti yang menyombongkan seorang calon menantu. Cepat-cepat dia memasukkan semua belanjaannya dalam tas plastik, lalu meminta Soleh untuk menghitung totalnya.

"Kasih bumbu masak aja kembaliannya, Mas," kata Bu Galuh sedikit ketus.

Mengabaikan gumaman Yu Prapti, dia segera beranjak pergi dari sana. Kakinya sedikit menghentak ketika masuk ke dalam rumah. Wajahnya tertekuk kesal, dengan tangan mencengkram tas plastik dengan erat.

"Dasar sombong, aku doakan anaknya gak jadi kawin," bisik Bu Galuh memaki, dan membanting belanjaannya di meja begitu dia sampai di dapur.

Jana yang baru keluar dari kamar mandi, mengangkat kedua alisnya heran melihat ibunya marah-marah. Dia menjemur handuknya terlebih dulu, sebelum memutuskan menghampiri sang ibu.

"Ada apa, sih, Bu? Pagi-pagi kok sudah ngedumel?" tanya Jana perhatian. Dia duduk di samping ibunya, lalu meraih gelas dan teko di hadapannya. Wanita itu menuangkan air untuk diminum.

"Ini semua gara-gara kamu, Jana! Andai saja kamu menikah, atau setidaknya punya pacar, pasti Yu Prapti tak berani mengusik Ibu lagi."

Jana baru saja meneguk minumannya, dan tersedak mendengar ucapan sang ibu. Hal ini membuatnya terbatuk, dan dadanya sedikit sakit. Berusaha menenangkan diri sambil menarik napas dalam-dalam, Jana menatap ibunya heran.

"Kok salahku, Bu? Kan aku nggak tahu apa-apa?" keluh wanita muda itu dengan cemberut.

"Pokoknya ibu gak mau tahu, Jana." Bu Galuh menggeser duduknya, agar bisa berhadapan dengan sang anak. Kedua alisnya saling bertautan saat menatap anaknya dengan tajam. "Secepat mungkin, kalau bisa sebelum Asih menikah, kamu juga harus menikah!"

"Bu!" Jana sedikit meninggikan suara, merasa kesal dengan sikap sang ibu yang selalu mendesaknya karena para anak tetangganya sudah menikah. "Aku aja nggak punya pacar, mau nikah sama siapa?"

"Kalau begitu nikah saja dengan Budi, Nak. Bukannya Bapak sudah mengenalkanmu beberapa kali sama anaknya Bu Sapto itu, ya." Tiba-tiba, Pak Yanto---ayah Jana, muncul. Berdiri sambil memegangi gelas kopinya, dan menatap Jana penuh harap. "Benar kata ibu, kamu harus segera menikah. Nanti kalau terlambat bisa jadi perawan tua."

"Ya Allah, Pak, umurku bahkan baru dua puluh tahun bulan kemarin. Mana mungkin disebut perawan tua!" kata Jana memelas, tampak putus asa.

"Bisa, kalau kamu tidak segera menikah. Pokoknya ibu gak mau tahu, kamu harus cari calon pengantin secepatnya. Jika tidak, Ibu akan terima usulan bapak buat nikahin kamu sama Budi." Bu Galuh berkata tegas, seolah ini bukan permintaan melainkan sebuah perintah. Wanita paruh baya yang sedikit gempa itu langsung berdiri, mengambil belanjaannya untuk dieksekusi.

"Ibu gak nerima kata tapi!" ketusnya seolah tahu Jana akan protes lagi. "Dan satu lagi, kalau bisa dia harus kaya melebihi calon suami si Asih."

Jana mengembuskan napas keras-keras, menyandarkan tubuhnya kesal di sandaran kayu kursi duduknya. Wanita itu terlihat mengerucutkan bibir, dengan tatapan tak lepas memandangi sang ibu dengan mata memicing.

"Sudah, dengerin kata ibumu. Ibumu mau yang terbaik buat kamu," kata Pak Yanto, duduk di sebelah Jana sambil mengusap bahu anaknya itu dengan lembut. Lelaki paruh baya yang mempunyai kumis sedikit lebat itu, tersenyum hangat pada Jana.

Yang terbaik apanya, ini, mah namanya pemaksaan. Batin Jana meronta-ronta. Dia hanya menjawab bapaknya dengan anggukan samar, lalu segera berdiri beranjak pergi dari sana. Mau bagaimanapun, dia harus siap-siap untuk bekerja pagi ini.

Hampir setengah jam, akhirnya Jana selesai. Dia melewatkan sarapan paginya, karena masih merasa kesal pada sang ibu. Dirinya sedang memakai sepatu di teras depan, ketika Yu Prapti lewat di depan rumah bersama Asih. Demi sopan santun, Jana menyapa dengan anggukan kecil disertai senyumannya yang lebar–meskipun sedikit terpaksa–.

"Eh, Jana, mau berangkat kerja, ya?" sapa Yu Prapti.

"Iya, Yu," jawab Jana sekenanya. Dia tak ingin melanjutkan lebih, berbincang lebih lama, pada orang yang membuat ibunya menjadi kesal pagi tadi.

"Makanya, cepet-cepet nikah, deh, Jana. Cari suami yang mapan, biar nanti kehidupanmu kayak Asih. Tuh, lihat, Asih sejak dilamar sama Juragan Tembakau, tak diperbolehkan bekerja lagi. Tapi tetep ngasih duit biar si Asih bisa seneng-seneng." Yu Prapti tersenyum lebar, mengangkat tas belanjaannya yang banyak seolah menunjukkan barang-barang itu dengan sengaja pada Jana.

"Hehe, iya, Bu." Jana berusaha menahan kekesalannya. Mengelus dadanya senatural mungkin agar tak terlihat, berharap kesabarannya masih mempunyai stok banyak, untuk menghadapi julid-an Yu Prapti.

Andai saja dirinya tak dikejar waktu, sudah dipastikan dirinya akan membalas julid-an tetangganya itu.

"Maaf, ya, Bu, saya mau bekerja dulu." Dia memilih berpamitan, masih dengan memaksakan senyum. Lalu dengan gerakan tak kentara, Jana mengambil motor dan langsung menyalakannya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 2. Mengajak Nikah.

Sepanjang jalan, mulut Jana tak berhenti bergumam. Menyuarakan kekesalannya dengan segala umpatan yang bisa dia katakan. Wanita itu dalam keadaan mood buruk pagi ini, sampai ketika seseorang menarik perhatiannya.

Jantung Jana berdegup kencang, ketika turun dari motor. Masih memegangi helmnya, matanya tak lepas memandangi lelaki yang berjalan mondar-mandir di depan minimarket waralaba tempatnya bekerja.

Seolah terpana, mulut Jana hanya ternganga. Andai saja ini malam hari, Jana yakin akan ada nyamuk yang masuk dan membuatnya tersedak.

Menetralkan degup jantungnya yang berdetak liar, Jana menarik napasnya berkali-kali. Dirinya berusaha bersikap tenang, saat menghampiri lelaki itu. Namun apa daya, sepertinya tubuhnya bertolak belakang dengan logikanya. Jika logikanya ingin Jana bersikap tenang dan tampil cantik, kini tubuh Jana malah sedikit gemetar karena gugup.

"Hello, Mister, can I help you?" tanya Jana dengan bahasa Inggris seingatnya.

Lelaki itu berambut pirang, kulitnya terlalu putih jika disandingkan dengan orang Jawa. Bahkan tingginya melebihi tinggi rata-rata lelaki yang pernah Jana temui. Dan saat Jana melihat ke wajah lelaki itu, lelaki itu bermata biru seperti langit–begitu jernih seolah membawa Jana terbang ke angan-angan–dan bisa diyakini Jana, jika lelaki itu adalah seorang bule. Maka dari itu, dia memberanikan diri bertanya dengan memakai bahasa Inggris, meskipun seadanya.

"Oh, hey, apa kamu yang mempunyai toko ini?"

Namun, Jana seperti tertampar sebuah lambaian daun kelapa. Dia tak menyangka, jika bule di depannya ini bisa berbicara bahasa indonesia meskipun kata-katanya masih sedikit meleset. Hal ini membuat Jana tersenyum meringis.

Cepat-cepat dia mengangguk. "Ya, ah maksudku bukan." Jana menggeleng cepat dengan gugup. "Aku hanya pekerja di sini."

Sang bule mengangguk-anggukan kepala, dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Kapan tempat ini dibuka?"

Setiap ucapan yang keluar dari bibir lelaki itu, membuat Jana terpesona. Bibir tipis di bagian atas, dan juga tebal di bagian bawah itu begitu menarik perhatian Jana. Dan saat sang bule tanpa sadar membasahi bibir, dalam hati Jana tak tahan untuk tidak menerkamnya.

"Halo, apa kamu baik-baik saja?"

Lamunan Jana buyar, ketika sang bule kembali bertanya. Lelaki itu bahkan melambaikan tangan di wajahnya. Dan Jana baru sadar, bule itu mencondongkan tubuh ke arahnya yang membuat jarak di antara mereka hanya terpisah beberapa senti.

Jana mengerjap, mundur selangkah dengan panik. "A-aku open yes," jawabnya gugup, masih tak lepas memandangi lelaki di hadapannya itu.

Tepat ketika dia berbalik untuk membuka pintu, Jana menarik napasnya dalam-dalam. Sebelah tangannya mengusap dadanya sekilas, seolah berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup liar, seperti ingin meloncat keluar dari tempatnya. Jana bergidik, pesona lelaki itu benar-benar menakutkan. Nyatanya, bisa Jana rasakan jika saat ini dia sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.

Pintu terbuka, dan cepat-cepat Jana masuk ke dalam. Menghampiri meja kasir, dan menyalakan layar monitor dengan segera. Lalu mengaktifkan pendingin ruangan, agar tempat bekerjanya ini menjadi sejuk.

Jana baru saja berbalik badan, dan mendapati sang bule itu sudah ada di depan meja kasir. Mata Jana melotot lebar, dan lagi-lagi jantungnya terasa ingin melompat keluar. "M-mister," panggil Jana dengan gugup. "Apa yang kamu butuhkan?"

"Jangan panggil aku mister, kamu bisa memanggilku Joshua." Sang bule mengulurkan tangan dengan senyumannya yang menawan.

Hal ini membuat Jana merasa senang, tak ingin membuang waktu, dia cepat-cepat menyambut tangan sang bule–tidak, tapi Joshua–dengan antusias. "Namaku Jana … Jana Arumika," balasnya menyebutkan nama lengkapnya.

Joshua mengangguk, lalu melepaskan tangan tersebut. Dia tampak menoleh ke sana-sini, melihat ke sekelilingnya dengan mata birunya yang tajam itu.

Sesaat, lagi-lagi Jana bergeming. Hanya diam di tempat seperti orang bodoh yang hanya memperhatikan satu objek di antara banyaknya barang. Dan tanpa sadar, bibirnya terus tertarik membentuk senyum yang tak pernah pudar.

Tak mendapati apa yang dia cari, Joshua berdehem sebentar. Lalu berbalik menatap Jana dan bertanya, "Apa di sini ada bir kaleng dan rokok?"

Jana gelagapan, langsung menoleh ke kanan dan kiri. Sedetik kemudian dia berbalik untuk melihat ke belakang. "Maaf, Mister, maksudku, Joshua. Di sini hanya ada rokok, dan tidak menyediakan bir. Eh, ada, tapi alkohol zero," jawab Jana dengan raut wajah bersalah.

Bibir Joshua mengerucut, dan lagi-lagi menganggukkan-anggukan kepalanya kecil.

Hal ini membuat tubuh Jana bergelora, ingin sekali dia menerjang Joshua untuk melahap bibir seksi itu. Entah mendapat keberanian dari mana, Jana malah memikirkan tentang pembicaraan dengan ibunya pagi tadi.

"Em, Joshua, kamu tinggal di mana?" tanya Jana memulai pembicaraan agar tak suasana tak terasa hening di antara mereka.

"Aku tinggal di hotel dekat sini," jawab Joshua, sambil menoleh melihat ke arah pintu keluar.

Mata Jana berbinar, mendengar kata hotel, dia yakin lelaki itu bukanlah orang sembarangan. Jana berpikir, jika Joshua adalah orang kaya di negara asalnya sana.

"Apa … apa kamu sudah mempunyai istri, Joshua?" tanya Jana gugup, tangannya mencengkram pinggiran meja dengan kuat. Sungguh, gadis itu sepertinya bersikeras memikat Joshua bahkan di pertemuan pertama mereka.

Joshua mengerutkan dahi, menatap Jana lekat lalu tertawa keras. "Aku masih lajang, bahkan aku juga tak mempunyai kekasih," jawabnya mengembuskan napas panjang-panjang.

Senyum Jana merekah. "Apa yang kamu cari tadi?" tanyanya mengalihkan sedikit pembicaraan.

"Oh, ya, astaga, aku sampai lupa. Berikan aku rokok saja kalau begitu," kata Joshua.

Jana dengan sigap mengambil rokok yang diinginkan Joshua, dan menyerahkannya pada lelaki itu langsung. "Sudah, tak usah bayar. Anggap saja ini sebagai perkenalan kita," tutur Jana malu-malu, sambil menyelipkan sebagian rambutnya di belakang telinga.

Joshua terkesiap, menerima rokok itu ragu-ragu. "Benarkah?" tanyanya memastikan.

Melihat Jana mengangguk, senyum Joshua tampak merekah. Dia mencondongkan tubuh ke depan mendekati Jana. "Apa aku bisa meminta air juga?" tanyanya berbisik, dengan nada suara menggoda.

"Tentu saja, ambil semua yang kamu mau. Anggap saja ini hadiah perkenalan kita," ungkap Jana tersenyum lebar. Demi memikat hati Joshua, dia rela membayar apapun yang akan lelaki itu ambil.

Dengan cepat, Joshua mengambil beberapa barang. Minuman, ice cream, dan juga beberapa camilan. Dalam hatinya, dia merasa senang dan dia tak ingin melepaskan Jana begitu saja.

"Oh, Jana, apa kamu juga mempunyai kekasih?" tanya Joshua. Siapa sangka, lelaki itu juga ingin mendekati Jana demi sebuah tujuan tertentu.

"Tidak," jawab Jana tersenyum malu-malu.

"Will you be my girlfriend?" tanya Joshua menatap Jana lekat dengan tatapan menggoda.

Jana terkesiap, sampai-sampai mulutnya terbuka setengah. Sedetik kemudian, dia mengangguk cepat. "Girlfriend yes, aku yes. Apa kamu juga mau menikahiku?"

Joshua tercengang, maksud hati hanya ingin membuat Jana menjadi kekasihnya. Tapi kenapa wanita itu malah bilang menikah? Apa Jana tidak tahu arti dari ucapannya? Pikir Joshua bertanya-tanya.

Lelaki itu baru saja ingin menjelaskan, ketika Jana tiba-tiba memutari meja kasir dan mendekatinya. Bahkan tanpa rasa sungkan, Jana memegang tangannya dengan erat.

"Ayo, aku mau ngenalin kamu sama ibu dan bapakku."

Dan Joshua tak bisa berkutik, saat Jana tiba-tiba menariknya pergi dari minimarket waralaba tersebut.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 3. Sindir Menyindir.

Deru suara motor di depan rumah, membuat Bu Galuh mengernyitkan alis heran. Dia yang ada di samping rumah menjemur pakaian, cepat-cepat beranjak ke depan untuk melihat siapa yang datang. Dan dirinya begitu terkejut, mendapati sang anak sudah pulang.

"Lho, Jana, baru berangkat kok sudah pulang lagi?" tanya Bu Galuh, tatapannya berpaling ke seorang lelaki di sebelah Jana dan dahinya berkerut heran. "Ini juga siapa?"

Jana cengengesan, menghampiri sang ibu dan langsung merangkul lengannya dengan manja. "Aku sengaja ambil cuti dadakan, Bu. Aku mau ngenalin ibu sama seseorang," ucapnya pelan dengan malu-malu, lalu melirik ke arah belakang dengan senyuman yang menawan.

"Dia siapa?" tanya Bu Galuh berbisik lirih, mencubit kecil tangan Jana.

Jana mendekatkan kepalanya di kepala sang ibu. Masih dengan cengengesan dia menjawab dengan nada berbisik, "Mas bule calon suamiku, Bu."

"Apa?!" Bu Galuh memekik kaget, matanya melotot dengan tak percaya. Sekali lagi, dia memperhatikan lelaki yang masih berdiri diam di dekat motor Jana. Lalu seluas senyum lebar merekah dari bibit tipisnya.

Cepat-cepat, Bu Galuh melepaskan tangan Jana. Menghampiri lelaki itu dan merangkul lengannya dengan cepat. Sambil membawanya masuk, Bu Galuh bertanya, How your name, Mister?"

Begitu belepotan, yang membuat Jana tertawa di belakang. Dia menggelengkan kepala karena sikap sang ibu. Sok-sokan pake bahasa Inggris, cebik Jana dalam hati.

Tak ingin ibunya semakin membuatnya malu, Jana segera menyela, "Bu, Joshua bisa bahasa indonesia, kok. Jangan repot-repot bicara belepotan."

Mata Bu Galuh melotot, melihat lelaki yang dikatakan Jana sebagai calon mantunya itu tersenyum, membuatnya meringis. "Ih, kamu ini, kenapa gak ngomong sama Mama."

Jana tersedak. Bisa-bisanya ibunya memanggil diri dengan sebutan mama. Namun, kali ini Jana tak mengeluh. Biarkan saja. Mungkin ibunya begitu senang mau dapat calon mantu bule.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Bu Galuh masih memepet Joshua. Seolah tak membiarkan calon menantunya itu lepas dari pandangan.

"Nama kamu siapa, Nak? Asalmu dari mana? Apa yang kamu lakukan di Indonesia? Apa benar kamu pacar Jana? Kalau begitu, kapan kamu akan menikahinya?" Bu Galuh bertanya beruntun, dengan nada mendesak seolah menuntut sebuah jawaban.

Hal ini membuat Jana memejamkan mata sekilas, merasa kasihan karena antusiasme sang ibu yang berlebihan. "Bu, satu-satu, dong, kalau tanya. Joshua bingung itu, lho," peringat Jana dengan kalem.

Bu Galuh hanya meringis, lalu menepuk-nepuk tangan Joshua dengan lembut. "Oh, jadi namamu Joshua, to."

Joshua hanya menjawab dengan anggukan kecil, memaksa senyum agar terlihat ramah. Terlihat sekali di wajahnya jika dia sedang begitu tertekan saat ini. Keringat dingin membasahi wajah putihnya.

"Jana, kamu ini gimana, sih? Kok malah duduk. Sana buatin minum buat Joshua," perintah Bu Galuh mendelik pada sang anak.

Jana mengerucutkan bibir kesal, dirinya malas, tapi mau tak mau tetap beranjak. Lalu memaksakan senyuman pada Joshua, saat bertanya, "Kamu mau minum apa?"

"Ice water would be nice," jawab Joshua. Melihat Jana mengerutkan dahi dalam, dia segera meralat, "Es, aku mau air es."

Jana ber-oh dan mengangguk, lalu berpaling masuk ke dalam rumah. Tapi hanya sebentar, sebelum dia kembali ke ruang tamu dengan wajah tertekuk.

"Ibu lupa masukin es di kulkas, ya? Gak ada es batu sedikit pun, Bu," katanya penuh keluhan. "Ibu tolong belikan, ya, di warung sebelah."

"Ish, kamu ini! Malah nyuruh-nyuruh orang tua!" Meskipun ngedumel, Bu Galuh tetap berangkat. Dia menatap Joshua dengan senyum penuh pujaan, sebelum pergi keluar rumah.

Dan meskipun tak ada Joshua di hadapannya lagi, Bu Galuh masih tetap tersenyum. Entah kenapa hari ini dia terlihat begitu gembira, apalagi mengetahui sang anak tidak jomblo lagi. Kenyataan bahwa Jana mempunyai calon suami bule, membuatnya besar kepala.

"Eh, Bu Galuh, ada apa ini, kok senyum-senyum sendiri?" pancing Yu Prapti.

Lamunan itu buyar, Bu Galuh melihat Yu Prapti ternyata juga sedang ada di warung. Jika biasanya dia akan menjawab kesal dengan nada berapi-api, kali ini Bu Galuh menampakkan senyum menawannya.

"Iya, nih, aku lagi seneng soalnya Jana bawa pacar pulang," jawab Bu Galih meringis.

"Ah, masa, sih?" ketus Yu Prapti tidak percaya.

"Kalau tidak percaya, silahkan main ke rumah. Tapi jangan kaget, ya, pacar Jana jauh lebih ganteng daripada calon suami Asih," jawab Bu Galuh menyahut.

Yu Prapti terkekeh pelan, suaranya seperti sebuah tawa yang mengejek. Lalu sibuk mengambil kerupuk di depannya, namun masih bisa berkata, "Ganteng doang buat apa, Bu? Yang penting mah mapan. Calon suami Asih kan juragan tembakau."

"Jangan sombong. Pacar Jana juga mapan, kok. Situ ndak tahu, ya, pacar Jana itu bule. Dia datang jauh-jauh dari Amerika buat nikahin Jana," tutur Bu Galuh bangga.

Hal ini membuat Yu Prapti terbatuk, matanya langsung melebar menatap tetangga sebelah rumahnya itu. "Bu, kalau ngayal tolong jangan ketinggian. Nanti kalau jatuh sakit."

"Dih, masih nggak percaya. Ayo, aku bisa buktiin kalau ucapanku benar. Mumpung pacar Jana ada di rumah sekarang!" tantang Bu Galuh.

Baru saja Yu Prapti ingin menjawab, Bu Dewa menghampiri mereka berdua. Pemilik warung itu tampak kesal karena mendengar pertengkaran yang tidak penting di depannya.

"Bu-ibu, kalian ini sebenarnya mau beli apa?" tanya Bu Dewa dengan ketus.

"Ya Allah, sampai lupa, Bu. Gara-gara Yu Prapti, sih, makanya jadi kebanyakan bicara. Aku mau beli es batu," kata Bu Galuh, tersenyum pada Bu Dewa.

"Aku kerupuk ini aja, Bu!" Sedangkan Yu Prapti tampak kesal, dengan wajah cemberut melirik tetangganya tersebut.

Setelah membayar semuanya, mereka kini pulang dan berjalan berdampingan. Satu wanita paruh baya dengan raut wajah bahagia. Satu lagi wanita paruh baya dengan wajah kesal begitu penasaran.

Tak ingin membuat suasana agak canggung, Yu Prapti berdehem. Setelah menarik perhatian Bu Galuh, dia berkata, "Bu Galuh, aku bukannya sok sombong, ya, karena calon menantuku juragan tembakau. Tapi rasanya agak aneh tiba-tiba Jana mempunyai pacar seorang bule–"

"Situ masih ndak percaya, Yu?" tanya Bu Galuh menyela, bahkan saat Yu Prapti belum menyelesaikan kalimatnya.

Hal ini tentu saja membuat Yu Prapti menghela napas panjang-panjang. Saat mereka sampai di depan rumah bu Galuh, mereka menghentikan langkah di pintu gerbang. "Bukan begitu maksudku, Bu. Tapi hati-hati aja, siapa tahu itu Jana asal nyomot bule lagi wisata," ejeknya.

Namun, hal ini ternyata membuat Bu Galuh salah paham. "Situ pasti iri, ya? Makanya bicara seperti itu!" decaknya kesal. "Calon mantuku lebih ganteng, dan juga lebih mapan dari calon mantumu. Makanya kamu dengki."

"Untuk apa aku dengki jika semua yang situ katakan adalah kebohongan?" sindir Yu Prapti balik, terkekeh penuh ejekan.

Namun, tawa itu perlahan lenyap, ketika matanya melihat seorang lelaki yang keluar dari rumah bersama Jana. Mata Yu Prapti melotot lebar, seolah hampir keluar tempatnya. Wanita itu melongo, lalu seperti orang bodoh menoleh pada Bu Galuh. Yu Prapti hanya bisa menelan ludahnya kasar, saat menyadari jika ucapan tetangganya itu bukan bualan semata.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!