NovelToon NovelToon

Tales Of Darkness And Light

Prologue

Anak laki-laki itu berlari memasuki hutan. Bulan purnama yang menghiasi langit malam membuat dia dapat melihat sekelilingnya dengan baik. Bola matanya yang berwarna merah bagaikan darah sama sekali tidak mempedulikan sekeliling. Pohon-pohon yang menjulang tinggi berusia ratusan tahun, udara dingin yang menusuk tulang, kesunyian tanpa suara yang mencekam, tapi, itu semua tidak menakutkan baginya sedikitpun.

Seluruh tubuh anak itu dipenuhi dengan darah dan luka. Dia yang terus berlari seakan masih ada yang mengejarnya telah mati rasa. Darah dan luka bukanlah hal baru baginya, dia sudah terbiasa dengan itu semua.

"𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵... 𝘒𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘬𝘦𝘴𝘪𝘢𝘭𝘢𝘯..."

"𝘚𝘦𝘵𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘩… "

"𝘗𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯…"

"𝘗𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩…"

"𝘐𝘣𝘭𝘪𝘴…"

"𝘒𝘦𝘨𝘦𝘭𝘢𝘱𝘢𝘯… "

Kata-kata yang ditujukan kepadanya oleh orang-orang yang ditemuinya terus tergiang di dalam kepala. Rasa sakit yang luar biasa tiba-tiba menyerang kepalanya. Sakit hingga kepalanya terasa akan pecah. Mengangkat kedua tangan menyusuri rambut hitamnya, dia menekannya kuat-kuat, seakan berharap rasa sakit yang ada akan menghilang. Hanya saja, itu tidak berhasil.

Dia tidak sadar berapa lama telah berlalu saat dia berlari, dan juga, seberapa dalam hutan ini telah dia masuki. Berlari dan terus berlari, tanpa arah dan tujuan—anak itu terus berlari sampai akhirnya dia menemukan sebuah danau.

Tidak begitu besar, namun sangat indah dan bersih. Di tengah hutan yang begitu gelap dan suram, di bawah sinar rembulan malam, danau tersebut bagaikan sebuah cermin.

Berhenti berlari, dengan napasnya yang tidak beraturan, anak itu kemudian berjalan dengan pelan mendekati danau di depan mata. Bulan purnama yang terang di atas langit membuat dia bisa melihat dengan jelas bayangan dirinya yang terpantul di air danau. Rambut berwarna hitam, wajah putih pucat, bola mata berwarna merah, serta—darah merah melumuri wajahnya.

Mengepal jari jemarinya yang penuh darah, anak itu memukul air dan membuyarkan bayangan yang terpantul di danau. Dia tidak ingin melihatnya. Sosok dirinya yang seperti itu; sosok yang dibenci, menakutkan, terkutuk dan juga—menyedihkan.

Tiba-tiba, suara nyanyian seseorang terdengar memenuhi hutan yang sunyi. Terkejut, anak laki-laki tersebut segera bangkit menatap sekelilingnya penuh kewaspadaan. Memusatkan indra pendengaran dan penglihatan, dia berusaha mencari sumber suara yang ada. Namun, dia tidak menemukan apa-apa.

Dia tetap berwaspda, namun dia harus mengakui bahwa suara yang masih mengalun itu begitu merdu, indah dan sangat lembut—suara yang bisa menenangkan siapapun yang mendengarnya.

Lalu, pandangan mata anak laki-laki itu kemudian tertuju ke tengah danau. Di tengah-tengah danau tersebut, setangkai kuncup bunga besar berwarna putih tumbuh dengan kecepatan luar biasa. Bunga itu sangat besar dan memancarkan cahaya putih lembut. Diiringi suara nyanyian yang ada, kuncup bunga tersebut perlahan-lahan terbuka—mekar dalam kegelapan malam hutan.

Anak laki-laki itu tidak tahu apa yang terjadi. Saat kuncup bunga itu terbuka sempurna, dia melihat seorang gadis kecil seusianya berada di dalam. Duduk dengan badan mungil yang tidak tertutup sehelai benangpun, gadis itu bernyanyi dengan mata tertutup. Anak laki-laki itu segera sadar, pemilik suara nyanyian yang mengalun tidak lain adalah gadis dalam bunga tersebut.

Rambut gadis kecil itu berwarna emas panjang dengan kulit berwarna putih bersih. Cahaya bulan purnama membuat anak laki-laki itu bisa melihat dengan jelas wajah cantik sang gadis. Mata gadis kecil itu perlahan-lahan terbuka, mata jernih berwarna hijau yang sangat indah. Saat mata mereka berdua bertemu, gadis kecil itu berhenti bernyanyi. Kedua ujung bibirnya perlahan terangkat—dia tersenyum kepada sang anak laki-laki.

......................

Chapter 1

"Ayo, cepat Lara! Mereka akan menemukan kita! Kita harus masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan!" ujar seorang pemuda berambut pirang. Mata biru dan wajah tampannya penuh dengan kekhawatiran. Punggung baju tunic biru tua yang dikenakannya telah basah karena keringat, namun dia tidak mempedulikannya sedikitpun.

"Kurasa kita sudah masuk cukup dalam dari hutan terlarang ini," balas seorang gadis cantik dengan wajah datar. Gadis itu berambut hitam pendek dengan mata berwarna hitam. Ada sedikit rasa kesal dalam hati, tidak tahukah pemuda di depannya sekarang ini, bahwa ini adalah pertama kali dalam tujuh belas tahun hidupnya, dia berlari sekencang dan selama tadi? Stamina seorang wanita dan pria tetap sangat berbeda walau mereka seusia. Pemuda itu tidak punya hak memaksa dirinya untuk terus berlari. "Dan juga, aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk terus berlari, Fedrick."

Mendengar perkataan Lara, Fedric berhenti berlari. Walau gadis di belakangnya bermuka datar, dia bisa merasakan kejengkelan yang ada. "Maaf Lara, kurasa kau benar. Sebaiknya kita beristirahat dulu sebentar."

Tidak mempedulikan Fedrick, Lara berjalan pelan menuju sebatang pohon oak besar dan duduk di bawahnya. Napas gadis itu masih sedikit terengah-engah, menutup mata dia berusaha menenangkan kejengkelan dalam hati.

Fedrick tidak mengatakan apa-apa. Pemuda itu mengikuti Lara beristirahat sejenak dengan duduk di samping sang gadis. Namun, hatinya tetap tidak tenang. Sejujurnya, dia juga sangat kecapekan, tetapi dia tidak begitu berani mengambil resiko berhenti dan ditemukan pengejar mereka.

"Kurasa mereka tidak akan berani masuk ke dalam hutan terlarang ini untuk sementara," suara Lara yang tiba-tiba memecahkan keheningan membuat Fedrick terkejut. Mata biru pemuda itu segera tertuju pada gadis di sampingnya. "Istirahatlah dengan tenang sejenak."

Fedrick menghela napas. "Kurasa kau benar. Tapi, kita juga harus hati-hati di dalam hutan ini. Kita sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam hutan ini."

"Aku tahu, Fedrick." Balas Lara pelan. Mata hitamnya melihat sekeliling mereka yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar berusia ratusan tahun. Cahaya matahari yang sedikit minim karena terhalang daun dan cabang pohon membuat hutan ini terlihat berbeda dengan hutan biasanya.

Hutan yang mereka masuki ini adalah hutan yang dikenal dengan nama 'Hutan terlarang'. Menurut cerita yang ada, hutan ini dipenuhi dengan makhluk-makhluk sihir serta jebakan sihir kuno yang akan menyesatkan siapa saja yang memasukinya. Tak pernah ada yang kembali dari hutan ini hidup-hidup setelah memasuki hutannya.

𝘓𝘢𝘭𝘢𝘭𝘢𝘭𝘢𝘭𝘢𝘭𝘢...

Suara senandung nada yang tiba-tiba terdengar dari kejauhan membuat Fedrick dan Lara langsung berdiri.

"Suara apa itu?" mata Fedrick terbelalak tidak mempercayai apa yang di dengarnya.

"Diam, Fedrick." Perintah Lara pelan. Namun kewaspadaan dalam hatinya tidak berkurang sedikitpun.

Baik Fedrick maupun Lara bisa mendengar dengan jelas suara senandung yang ada. Namun, tidak tahu kenapa suara senandung nada itu membuat mereka berdua merasa sedikit relaks. Harus diakui, suara itu sangat merdu, jernih dan indah. Membuat mereka berdua tertegun dan sekaligus penasaran.

"Suara manusia, kah itu? Bukannya tidak ada manusia yang tinggal di hutan ini?" tanya Fedrick kebingungan, "Tapi, indah sekali suaranya." akunya pelan.

Lara mengangguk kepala, dia setuju dengan apa yang dikatakan Fedrick. Suara yang di dengarnya adalah suara terindah yang pernah dia dengar. Namun, pertanyaan Fedrick juga benar, suara manusia kah? atau makhluk sihir yang ada dalam hutan?

Menatap Lara, Fedrick bisa melihat kewaspadaan dan juga penasaran. Tapi, suara itu terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Seakan bisa membaca pikiran Fedrick, Lara mengangguk kepala. Tidak mempedulikan pemuda yang menatapnya, kakinya melangkah pelan menuju sumber suara.

Fedrick mengikuti Lara dalam diam. Semakin dekat mereka pada sumber, kewaspadaan mereka semakin meningkat. Beberapa meter mereka berjalan, mereka berdua kemudian menemukan sebuah danau kecil. Namun, apa yang kemudian dilihat membuat mereka tertegun.

Ada seorang gadis seusia mereka sedang menari sambil menyandungkan nada di samping danau tersebut. Beberapa ekor burung kecil terbang di sampingnya, seakan menemaninya menari. Gadis itu memiliki kulit putih bersih seperti salju yang dibalut sehelai tunic berwarna coklat tua. Rambut emas panjangnya yang indah terbang dimainkan angin saat dia menari, lalu, sepasang mata hijaunya yang bersinar penuh keluguan seperti anak kecil—gadis itu sangat cantik.

Fedrick dan Lara berdiri mematung melihat gadis tersebut. Terpesona—gadis itu terlalu cantik, seakan-akan bukan beasal dari dunia ini.

Menyadari kehadiran Fedrick dan Lara, gadis itu berhenti menari dan menyandungkan nada. Mata hijaunya yang kemudian segera terarah kepada mereka terbelalak. Terlihat jelas gadis itu sangat terkejut dengan keberadaan mereka berdua.

"Ma-maaf, kami tidak bermaksud mengejutkanmu.." Fedrick terbata-bata mengeluarkan suaranya begitu melihat gadis itu menatap mereka. Sedangkan Lara, gadis berambut hitam itu hanya berdiri diam tanpa mengatakan apapun.

Mendengar ucapan Fedrick, gadis itu mengangkat ujung bibirnya dan tersenyum ceria. Kedua kakinya yang ramping bergerak dengan pelan menuju arahnya dan Lara.

Wajah Fedrick memerah begitu melihat senyum gadis itu. Hatinya berdetak dengan sangat cepat. Semakin dekat gadis itu berjalan ke arah mereka, semakin jelas dia bisa melihat wajah gadis tersebut. Dirinya telah melihat begitu banyak wanita yang dikatakan cantik, tapi kecantikan gadis di depannya sekarang jelas telah mengalahkan kecantikan mereka.

Namun, baru melangkah beberapa langkah, gadis itu terjatuh karena tersandung batu di depannya. "Aduh!"

Melihat gadis itu terjatuh Fedrick serta Lara segera berlari mendekat dan membantunya berdiri. Seharusnya mereka waspada terhadap gadis tidak dikenal tersebut, tapi hati mereka berkata lain.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Fedrick pelan sambil mengulurkan tangan membantu gadis itu berdiri.

"Terima kasih, aku tidak apa-apa," tawa gadis itu menerima uluran tangan Fedrick. "Aku hanya tersandung batu saja."

Suara tawa gadis itu sangat indah seperti dentingan lonceng. Sepasang mata hijaunya berbinar-binar persis seperti seorang anak kecil.

"Ketemu!" seru seseorang dari belakang mereka tiba-tiba.

Fedrick, Lara dan gadis berambut emas tersebut segera menolehkan pandangan mata pada sumber suara. Mata Fedrick dan Lara langsung terbelalak saat melihat dua orang pria berpakaian hitam berdiri dengan senyum menyeringai tidak jauh dari mereka.

Berpakaian hitam dari atas hingga bawah dengan badan tegap besar, sebilah pedang terikat di pinggang kedua pria tersebut.

"Di sini rupanya kalian," tawa salah satu pria sambil berjalan mendekat. Matanya kemudian langsung terbelalak saat melihat gadis berambut emas di samping Fedrick dan Lara. "Wah! Siapa gadis cantik di samping kalian itu?"

Pria satu lagi juga tidak kalah terkejutnya saat melihat gadis berambut emas tersebut. Tersenyum menyeringai semakin lebar, dia menjilat bibir bawahnya, "Kita hanya diperintahkan untuk menangkap mereka berdua saja. Berarti, kita boleh melakukan sesuka kita terhadap gadis itu, kan?" tanyanya.

"Kau benar!" balas temannya sambil tertawa.

Fedrick segera sadar dengan niat tidak baik kedua pria tersebut. Dengan sigap di memerintah Lara, "Lara, cepat lari! Bawa juga gadis itu lari dari sini!"

"Bagaimana denganmu?" tanya Lara dengan tenang. Namun, mata hitamnya menghianati ketenangan di wajah cantik tersebut—kepanikan terlihat jelas.

"Aku akan mencoba menahan mereka. Cepat lari dari sini!" perintah Fedrick lagi sambil berlari ke arah kedua pria tersebut.

Fedrick mengeluarkan sebuah pisau pendek dari belakang punggungnya untuk menyerang kedua pria berpakaian hitam di depan. Namun, kedua pria tersebut dengan gesit menghindari serangannya Salah satu dari pria tersebut kemudian menangkap tangan Fedrick yang memegang pisau pendek, dan dari samping, pria satu lagi menendangnya hingga terpental ke belakang.

"Fedrick!" teriak Lara sambil berlari mendekati Fedrick.

"Aku tidak apa-apa Lara. Cepat lari dari sini!" Ujar Fedrick pelan. Kesakitan terpancar jelas dari ekspresi wajah tampan itu, sedangkan tangan kanannya memegang bagian perut yang ditendang.

Lara membalikkan badan menghadap arah kedua pria tersebut. Mengangkat tangan kanan, sebuah lingkaran sihir berwarna biru muncul di depannya. Mulutnya dengan cepat membacakan sebuah mantra sihir. Namun, sebelum gadis itu menyelesaikan mantranya, salah satu dari pria tersebut telah berlari mendekati dan meninjunya hingga jatuh ke bawah.

Sihir Lara pun gagal.

Tersenyum melihat keadaan yang ada, pria satunya lagi segera berjalan mendekati gadis berambut emas yang dari tadi hanya berdiri diam bagaikan patung. Gadis itu berjalan mundur ke belakang saat pria tersebut mengulurkan tangan untuk menangkap dirinya. Ketakutan memenuhi mata hijau tersebut. Saat tangan pria itu akan menyentuh gadis itu. Gadis itu menutup mata dan berteriak keras. "A-Apel!!!."

Sebuah pilar api tiba-tiba muncul di tengah gadis berambut pirang dan pria yang ingin meraihnya. Terkejut, pria itu menghentikan gerakannya dan meloncat mundur ke belakang.

Tidak tahu sejak kapan, tanpa disadari semua yang ada, seorang pemuda berambut hitam telah berdiri di depan gadis berambut emas tersebut. Pemuda itu terlihat seusia dengan sang gadis. Berbadan tinggi tegap dan proposional, hanya saja, wajahnya tidak kelihatan dengan jelas. Seulas kain putih panjang menutup kedua mata sang pemuda seperti yang dilakukan orang buta pada umumnya.

......................

Chapter 2

Fedrick, Lara dan kedua pria itu sangat terkejut dengan kehadiran pemuda berambut hitam tersebut.

Pilar api yang tadinya menyala dengan kuat dan tinggi tiba-tiba padam. Tidak mempedulikan semua yang menatapnya, pemuda itu membalikkan wajah ke arah sang gadis. "Kau tak apa-apa?" tanyanya dengan suara datar.

Gadis berambut emas itu tersenyum lebar, sinar ketakutan di mata hijaunya segera sirna begitu melihat sang pemuda, "Aku tidak apa-apa, Apel. Tapi, mereka..." kedua matanya terarah pada Fedrick dan Lara.

"Siapa kau?" tanya salah satu pria berbaju hitam kepada pemuda yang muncul tiba-tiba tersebut.

Apel, pemuda itu hanya diam membisu.

"Siapa kau?" tanya pria itu lagi dengan penuh kemarahan karena tidak mendapatkan jawaban.

Apel tidak mempedulikan kemarahan pria tersebut. Membalikkan wajah menatap kedua pria di depan, dia membuka mulut. "Tinggalkan tempat ini sekarang juga."

"Apa katamu?" balas pria satu lagi.

"Aku bilang tinggalkan tempat ini sekarang juga. Aku tidak akan mengulang kataku lagi." Nada suara Apel tidak berubah sama sekali; tenang dan datar.

Mendengar ucapan Apel, kedua pria tersebut bergerak menyerang dengan penuh kemarahan. Namun, dengan cekatan juga, dia menghindari serangan mereka sambil membopong gadis di sampingnya itu.

Fedrick, Lara dan kedua pria tersebut kembali terkejut dengan apa saja yang baru terjadi. Mata pemuda tersebut ditutup kain, yang berarti, dia sama sekali tidak dapat melihat. Tapi, bagaimana dia dapat menghindari semua serangan yang ditujukan kepadanya dengan mudah?

Apel meloncat menjauhi kedua pria tersebut. Saat mendarat beberapa meter jauhnya dari kedua penyerang, dia menurunkan gadis berambut emas tersebut. "Tunggu di sini dan jangan bergerak."

Gadis itu mengangguk kepala begitu mendengar perintah Apel.

Perlahan, Apel berjalan ke arah kedua pria berpakaian hitam tersebut. Tidak membuang waktu, salah satu pria segera membuat lingkaran sihir berwarna biru kehijauan muncul dan membacakan mantra sihir. Dari dalam lingkaran sihir tesebut, serpihan es meluncur dengan cepat ke arah Apel.

Namun, saat serpihan es itu akan menyentuh Apel, dia segera mengangkat tangan kanannya membuat sebuah lingkaran sihir berwarna merah. Membacakan mantra, dinding api muncul melindunginya dari serangan tersebut.

Mata Fedrick, Lara dan kedua pria tersebut terbelalak tidak percaya. Kecepatan pemuda itu saat membuat lingkaran sihir sangat luar biasa, begitu juga dengan pelafalan mantra sihirnya.

Tidak mempedulikan reaksi terkejut mereka, Apel bergerak menuju pria yang tadi menyerangnya dengan sihir. Pria tersebut berusaha menghindar serangan. Namun, dia tidak berhasil menghindari; serangan Apel terlalu cepat. Dia terjatuh sambil memegang perut saat Apel meninjunya.

Begitu melihat temannya jatuh, pria satu lagi bergerak ke arah Apel. Apel memalingkan wajah menghadap pria tersebut. Dia mengangkat tangan kanan dan membuat lingkaran sihir berwarna merah. Membacakan mantra, sebuah bola api muncul.

Apel melemparkan bola api tersebut kepada pria yang menyerangnya. Pria itu memang berhasil menghindar. Hanya saja, begitu dia sadar, Apel telah berdiri di belakangnya. Gerakan pemuda berambut hitam yang begitu cepat benar-benar membuatnya kewalahan dan tidak percaya.

Apel menendang pria tersebut hingga terpental ke samping temannya. Kedua pria tersebut berusaha bangkit. Namun, baru mengangkat wajah, Apel telah berdiri di depan mereka.

"Ini adalah kesempatan terakhir kalian—pergi dari sini." Suara Apel cukup pelan, namun sekaligus juga sangat dingin.

Perasaan takut menyerang kedua pria itu. Mereka tidak tahu mengapa, tapi suara dingin yang mereka dengar membuat mereka mesakan kengerian yang tersembunyikan. Pemuda yang ada di hadapan mereka sekarang bukanlah orang biasa dan sangat—berbahaya.

Bangkit dengan cepat, kedua pria tersebut segera melarikan diri meninggalkan Apel dan yang lainnya. Saat kedua pria itu telah menghilang dari pandangan, gadis berambut emas itu segera berlari ke arah Apel dan memeluknya dengan erat.

"Lepaskan aku, bodoh." Perintah Apel datar.

"Aku kan mengkhawatirkanmu." Protes gadis itu semakin mengeratkan pelukan yang ada. Ekspresi khawatir memenuhi wajah cantiknya.

"Kau pikir aku akan kalah melawan mereka? Kau memang bodoh."

Mendengar ucapan Apel, gadis itu melepaskan pelukannya. Kekhawatiran dia wajahnya berubah menjadi kesal. "Namaku bukan bodoh, Apel."

"Aku cuma memanggil 'Bodoh' pada orang bodoh. Tidak ada salah, kan?" balas Apel lagi dengan cuek.

"Apel!" teriak gadis itu penuh kemarahan.

Fedrick dan Lara hanya diam melihat perdebatan kedua orang tersebut. Namun tiba-tiba gadis berambut pirang itu berhenti berdebat. Tersadar dengan keberadaan mereka, dia segera berjalan mendekat. "Kalian tidak apa-apa?" tanyanya pelan.

"Terima kasih. Kami tidak apa-apa" Jawab Fedrick sambil membantu Lara berdiri.

"Tunggu sebentar! Kau terluka." Gadis berambut emas itu sedikit panik begitu melihat luka di wajah Lara.

"Tidak apa-apa, ini hanya luka kecil." Balas Lara cepat. Luka di wajahnya adalah luka akibat ditinju oleh penyerang mereka tadi. Luka itu akan sembuh dengan alami beberapa hari kedepan.

Gadis berambut emas itu tidak mempedulikan jawaban Lara. Perlahan, dia mengangkat tangan kanannya mendekati wajah Lara. Namun, tangan Apel tiba-tiba menghentikan tangan tersebut.

"Apel?" kebingungan, gadis itu menatap Apel.

Apel tidak mengatakan sepatah katapun, pemuda itu hanya menggeleng kepala.

"Kenapa?" tanya sang gadis tersebut semakin bingung.

"Ini bukan urusan kita."Jawab Apel.

"T-tapi..."

"Dengarkan aku." Suara Apel tetap datar, tapi terdengar jelas tidak ada kesempatan bagi gadis berambut emas itu untuk melawan.

Dengan wajah cemberut, gadis itu kemudian mengangguk kepala. Terlihat jelas dia tidak suka, tapi dia tidak melakukan apapun lagi.

Fedrick dan Lara yang melihat dan mendengar pembicaraan dua orang di depan tidak mengucapkan sepatah katapun. Mereka berdua tahu, dari gerak gerik gadis berambut itu, sepertinya dia bermaksud menggunakan sihir untuk menyembuhkan luka di wajah Lara, tapi Apel, pemuda berambut hitam itu tidak mengijinkannya.

Fedrick kemudian membuka mulut. "Tidak apa-apa," ujarnya sambil tersenyum. "Aku juga bisa menggunakan sihir penyembuh."

Mengangkat tangan kanan dan membuat lingkaran sihir berwarna putih, Fedrick kemudian membacakan mantra untuk menyembuhkan luka di wajah Lara.

Lara tetap diam membisu dan tidak mengucapkan terima kasih pada Fedrick walau luka di wajahnya telah menghilang. Mata hitamnya terarah pada gadis berambut emas yang tersenyum bahagia saat melihat sihir Ferdrick.

"Syukurlah," tertawa, mata hijau gadis berambut emas itu berbinar indah. "Kau tidak merasa sakit lagi, kan?"

Lara merasa bingung dengan pertanyaan gadis tersebut, dia tidak mengerti, kenapa dia terlihat bagitu bahagia saat lukanya sembuh?—padahal mereka adalah orang asing.

Dengan senyum yang masih ada di wajah, gadis berambut emas itu kemudian menatap Fedrick. Bertepuk tangan, dia tertawa. "Sihirmu hebat sekali! Lukanya sembuh tanpa bekas."

"T-terima kasih.." Ujar Fedrick terbata-bata karena pujian yang didapatkannya. Sihirnya sama sekali bukan sesuatu yang spesial, tapi gadis itu memujinya dengan begitu antusias.

"Rue," tawa gadis itu ceria. "Namaku, Rue."

......................

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!