Namaku Eires Dwell, umurku 17 tahun kelas 2 SMA. Ibuku mantan model yang cukup terkenal, sedangkan ayahku seorang direktur perusahaan game yang cukup terkenal bahkan di luar negeri.
Jika kamu berpikir karena aku anak dari seorang direktur perusahaan maka hidupku menyenangkan sama sekali tidak. Pekerjaan Ayah yang sangat sibuk membuat ayah jarang berada di rumah. Jika sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri maka ayah pasti akan membawa ibu. Kedua orang tuaku hampir tidak pernah hadir setiap kali diundang ke acara sekolah. Bahkan saat aku menjuarai lomba piano saat aku kelas 2 SMP mereka tidak datang.
Kehidupan sekolahku juga tidak begitu lancar, aku bukan anak yang populer. Penampilanku sangat biasa, wajahku bisa dikategorikan jelek. Selain pelajaran dan mengerti sedikit bermain piano klasik aku tidak punya kelebihan lainnya. Aku bahkan terkadang mendapat perundungan di sekolah.
"Oi Dwell ! Jangan membuat ekspresi yang menjijikkan begitu ! Cepat pakai maskermu jangan sampai wajahmu membuat nafsu makanku hilang !" bentak seorang teman sekelasku dengan ekspresi jijik lalu menendang kaki mejaku, membuat makan siangku terjatuh ke lantai.
"Hei ! Bagaimana kalau kau ganti namamu ? Nama 'Eires' itu hanya cocok untuk orang yang keren. Tidak cocok untuk manusia berwajah buruk rupa sepertimu." kata salah seorang dari mereka. Aku tak menggubrisnya, aku melanjutkan membereskan makan siangku yang terjatuh mengotori lantai.
"Oi cepat pergi belikan kami makan siang di kantin. Listnya sudah kukirim ke WhatsApp mu ! Ambil ini uangnya !" kata teman sekelasku yang tadi menendang kaki mejaku hingga makan siangku tumpah sambil melemparkan uang seharga 50.000 yang dia gumpal ke arahku. Uang itu terjatuh tidak jauh dari kursiku, aku mengambilnya lalu melihat liat yang dia kirim ke WhatsApp ku. Uang yang mereka beri tentu saja tidak cukup tapi aku memilih segera pergi meninggalkan mereka. Malas berlama-lama dengan para orang idiot itu
Mereka teman sekelasku, genk mereka terkenal suka melakukan perundungan di sekolah kami. Ini tidak seperti yang kau bayangkan, pembullyan di sekolah ini bukan karena strata sosial. SMA SIGRID adalah sekolah elit khusus pria, jika kau bukan anak dari keluarga yang kaya kau tidak akan bisa masuk sekolah ini meskipun kau sangat pintar. Di sekolah ini pembullyan terjadi biasa karena 'tampilan'. Jika kau jelek tidak perduli sekaya apapun keluargamu kau tidak akan di anggap di sekolah ini. Tidak akan ada yang perduli bagaimanapun kau dihina.
Dan aku, aku bully karena wajahku yang penuh dengan jerawat. Padahal ini sudah jauh berkurang dibanding saat aku SMP.
"Ini makanan yang kau pesan" kataku dengan nada datar sambil melihat ke arah tanganku yang sedang meletakkan bungkusan berisi makanan di meja, aku tak pernah membuat kontak mata dengan mereka. Lalu aku segera kembali ke kursiku.
Aku tau mereka terkejut kenapa aku bisa begitu cepat membeli pesanan mereka. Mereka dari awal hanya ingin mengerjaiku agar aku mengantri lama di kantin yang selalu ramai.Tapi sayangnya hal itu tidak terjadi.
Semua itu karena peristiwa beberapa bulan lalu saat ibuku masuk rumah sakit karena kelelahan, aku bertemu ibu kantin sekolah kami, anaknya masuk rumah sakit dan uang dia kurang singkat cerita aku memberinya jatah uang jajan ku sebulan untuk membantu membayar biaya pengobatan anaknya. Setelah kejadian itu aku tidak pernah mengantri di kantin, bahkan dia sering memberiku makan siang cuma-cuma.
"Hei Dwell ! Aku dengar ibumu mantan model dan sangat cantik. Ayahmu juga tampan. Kenapa wajahmu buruk sekali ??? Ahh... Kasihan sekali mereka... Orang tuamu pasti malu sekali punya anak sepertimu !" kata salah seorang dari genk itu diikuti gelak tawa teman-temannya yang lain. Mereka mencoba membuatku marah. Tapi aku tidak akan terpancing emosi karena hal itu hanya akan membuat mereka senang.
Sesampainya di rumah aku mandi untuk mengembalikan moodku. Setelah selesai mandi aku memutuskan untuk duduk di teras depan rumah.
Satu lagi hari yang melelahkan, pikir ku sembari menghela nafas panjang.
Kata-kata mereka kembali terngiang membuatku berpikir, apakah keluargaku merasa malu dan jijik kepadaku ?
"Apa yang sedang kau pikiran ? Wajahmu terlihat sangat bodoh..." ujar Mircea adikku yang baru pulang entah darimana
Mircea adik laki-lakiku umurnya 16 tahun, kelas 1 SMA. sangat bertolak belakang denganku dia anak yang supel, wajahnya juga sangat tampan. Tidak hanya hebat dalam hal pelajaran, dia juga hebat dibidang olahraga dan musik.
Aku dan Mircea memilih sekolah yang berbeda. Mircea memilih masuk ke SMA KHATOLIK VICTOIRE yang hanya bisa dimasuki oleh siswa-siswi genius.
"...Kamu darimana ?" tanyaku menyelidik karena tidak biasanya dia pulang selarut ini
"Hari ini jadwal latihan klub basket" jawab Mircea, wajahnya tampak lelah.
"Kamu ikut basket ? Sejak kapan ?" aku heran, sebelumnya dia tidak ikut kegiatan klub apapun karena jadwal les private kami sudah cukup padat
"Begitulah... Aku berhenti les musik" ujar Mircea sambil membuka sepatunya
"Ibu mengizinkannya ?" tanyaku lagi
"Yah dengan syarat aku bisa mempertahankan peringkatku di sekolah" ujar Mircea dengan nada santai seolah-olah mempertahankan peringkat adalah sepotong kue di piring
"Masuklah, anginnya cukup kencang." kata Mircea lalu berjalan masuk ke rumah.
Ibu sangat keras dalam mendidik kami, dia ingin anak-anaknya menjadi anak yang berprestasi. Untuk itu sejak kami SD ibuku mendaftarkan kami untuk mengikuti berbagai macam kursus. Dari kursus mata pelajaran sekolah, kursus bela diri, bahkan kursus kepribadian. Ibuku juga mengharuskan kami menguasai salah satu alat musik, menurut ibuku musik adalah komponen penting dalam kehidupan yang tidak boleh tidak ada.
Berbeda denganku, Mircea tidak begitu tertarik dengan musik. Meski begitu dia bisa menguasai dua alat musik, gitar dan drum. Sewaktu kami SMP Mircea lebih memilih menambah jam les matematika atau fisika yang menyebalkan daripada pergi kursus musik. Mircea jenius sejak lahir, dia selalu melakukan apa yang dia inginkan. Sedangkan aku berusaha keras menjadi anak yang pandai hanya untuk menyenangkan ayah dan ibuku, sebenarnya aku tidak suka belajar.
Aku kembali ke kamarku, memutuskan untuk mengerjakan tugas sekolah untuk besok daripada memikirkan hal yang membuatku merasa terpuruk.
Waktu menunjukkan pukul 19.30, rasanya bumi berputar dengan sangat lambat.
Aku meraih ponsel dan earpods ku, memutar lagu favorite ku. Saat aku sendiri, saat aku merasa kesepian, saat sedih aku selalu mendengarkan nyanyiannya. Lalu aku akan bersemangat lagi.
Claes Alexander, penyanyi solo yang sangat terkenal. Lagu-lagunya tidak hanya bercerita tentang cinta tapi juga tentang kehidupan. Dan yang lebih menganggumkan dia menciptakan semua lagunya sendiri. Aku selalu berusaha datang ke setiap konsernya.
Aku berharap bisa bertemu langsung dengannya, tidak hanya melihat dari kursi penonton. Aku ingin menjadi temannya, aku yakin kami pasti bisa menjadi teman akrab. Yah... Walaupun semuanya itu hanya mimpi.
"Hmm ?"
Aku melihat notifikasi email yang tidak biasa. Aku segera membukanya begitu melihat nama pengirim email. Mataku terbelalak begitu membaca isi email yang kuterima.
Kpd. Eires Dwell
Terima kasih telah mendaftar pada audisi yang kami adakan. Silakan menghadiri audisi pada tanggal 2 April 2015, pukul 15.00, bertempat di gedung Svea Entertainment lt. 15.
Jika nomor peserta audisi tidak muncul di Email yang anda terima, silakan klik tautan dibawah ini.
Email itu asli dari Svea Entertainment, aku sudah memastikannya. Svea Entertainment merupakan salah satu dari 3 entertainment terbesar di negara Dareios juga entertainment tempat Claes Alexander idolaku bernaung.
Aku memang tau kalau Svea Entertainment mengadakan audisi singer, itu dimuat dimajalah musik yang rutin kubeli bahkan ada iklannya di TV. Meski begitu tetap saja... Panggilan audisi ?! Aku bahkan tidak pernah mendaftar bagaimana mungkin ?! Perusahaan sekelas Svea Entertainment tidak mungkin salah mengirim email kan ?
Tok! Tok! Tok!
"Cea... Apa kau masih bangun ? Boleh aku masuk ?"
Tidak ada jawaban. Apa dia sudah tidur ya ?
"Cea ! Aku masuk ya ?"
"Masuk saja..." sahut Mircea dari dalam kamarnya
Aku membuka pintu, Mircea sedang sibuk dengan ponselnya bermain game.
"Ada apa ?" tanya Mircea tanpa menoleh tapi melepaskan sebelah earpodsnya.
"Setelah selesai kau bermain aku akan cerita"
"Sekarang aja, aku mendengarkanmu dengan telinga kiriku" jawabnya sambil menunjuk telinga kirinya yang tidak terpasang earpods
Aku lalu menceritakan perihal panggilan audisi itu pada Mircea.
"Hmm... Kalau kau tidak mendaftar untuk ikut audisi berarti ada yang sudah mendaftarkanmu" ucap Mircea menanggapi ceritaku sambil tetap sibuk bermain game
"Tapi siapa ? Dan kenapa mendaftarkanku ?"
"Siapa yang mendaftarkan mu aku tidak tau, tapi alasan orang itu mendaftarkanmu mungkin saja ingin mengerjaimu" kata Mircea
"Ah !" aku langsung teringat pada seseorang di kelasku
"Sepertinya kau sudah tau siapa pelakunya" kata Mircea setelah melihat sekilas ekspresi wajahku
"Begitulah..." jawabku lesu
"Jadi kau akan pergi ke audisi itu ?"
"Tentu saja tidak ! Dia mendaftarkanku hanya untuk mempermalukanku"
"Kalau begitu kau justru harus pergi" ucap Mircea
"Kalau aku pergi aku pasti gagal, lalu dia akan membuatku jadi bahan tertawaan" jawabku sambil membenarkan posisi kacamata ku
"...Kenapa kau yakin kau akan gagal ?" tanya Mircea dengan wajah serius, kali ini dia meletakkan ponselnya
"Aku tidak punya kemampuan" jawabku berusaha tidak membuat kontak mata dengannya
"Kita tumbuh besar bersama, aku paling tau kemampuan bernyanyi mu" tegas Mircea
"Kau lihat sendirikan bagaimana penampilanku. Aku tidak tampan seperti dirimu, aku jelek. Apa kau pernah melihat penyanyi berwajah buruk rupa ?" kataku sambil tersenyum pahit pada diri sendiri
"...Menyerah sebelum bertarung ?" kata Mircea sinis sambil tersenyum mengejek
"..." aku hanya terdiam
"Apa gunanya semua ilmu yang kita terima selama ini ? Jika hal begini saja tak berani kau hadapi." ucap Mircea sambil menghela nafas
"...Kau tidak akan mengerti" jawabku sambil mengarahkan pandanganku ke lantai
"Kau benar. Tidak perlu ikut audisi itu, karena kau sudah kalah dengan telak" kata Mircea dengan dingin
Menyakitkan mendengar ucapannya tapi aku tidak bisa menjawab karena dia benar, jika aku pergi ke audisi itu pasti akan kalah telak.
"Kau benar..." jawabku sambil membayangkan bagaimana tampilan diriku dicermin. Jelek.
"Kau tau barusan tadi kau sedang meremehkan dirimu sendiri. Kalau kau saja memandang rendah dirimu bagaimana lagi dengan orang lain ?" Kata-kata Mircea membuatku tersadar akan kesalahanku
"A..apa menurutmu aku punya kesempatan untuk lulus audisi ?" tanyaku pada Mircea berharap dia memberikan kalimat penyemangat
"Kau tidak akan tau kalau tidak mencobanya. Lagipula keberanian adalah kunci untuk membuka setiap pintu. Sekarang ada pintu dihadapan mu, tidakkah kau penasaran apa yang ada di balik pintu ?" ujar Mircea sambil tersenyum seperti sedang merencanakan sesuatu
"Aku... Aku akan mengikuti audisi !" kataku penuh keyakinan
"Memang begitu seharusnya" kata Mircea dengan ekspresi senang
"Thanks Cea"
"Hmm...Jangan lupa sekalian matikan lampu kamarku kalau kau mau keluar" ujar Mircea sambil menarik selimutnya bersiap tidur
"Ya"
"Kau itu tidak jelek" ujar Mircea tepat ketika aku hendak menutup pintu kamarnya
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Dalam hati aku bersyukur dan bangga memiliki saudara seperti dia.
Sudah hampir seminggu aku dan Mircea hanya makan berdua. Ayah membawa ibu ke luar negeri untuk menemani perjalanan bisnisnya.
"Dua orang itu sepertinya dulu belum puas pacaran" kata Mircea sambil menyuap makanannya
"Bukankah itu bagus ? Mereka selalu saling mencintai"
"Yah yang penting mereka bahagia" ucap Mircea acuh
Memang benar aku merasa kesepian setiap kali ayah dan ibu pergi ke luar negeri untuk waktu yang lama. Tapi, aku bahagia melihat hubungan mereka begitu mesra. Sewaktu kami kecil, ibu tidak bisa menemani perjalanan bisnis ayah ke luar negeri. Ayah yang tidak suka jauh dari ibuku sebisa mungkin menghindari perjalanan bisnis ke luar negeri, dia biasa menyuruh orang kepercayaannya atau jika harus pergi dia akan menyelesaikan urusannya secepat mungkin agar bisa segera pulang kerumah.
"Eir tadi malam aku lupa menanyakan ini, apa di sekolah ada yang membully mu ? Misalnya orang yang diam-diam mendaftarkan mu audisi itu ?" tanya Mircea melirikku di sela-sela kegiatan mengunyahnya
"Dia memang bossy, tapi selain dari mengejek tampang dan penampilanku tidak pernah melakukan hal lain yang keterlaluan." jelasku pada Mircea
"...Sejak kapan kau di bully ?" tanya Mircea padaku sambil tetap fokus pada kegiatan makannya
"..." Aku terdiam tidak bisa menjawabnya pertanyaan Mircea. Ingatan masa-masa aku SMP terlintas. Sewaktu SMP memang tidak ada yang menjadikanku pesuruh, tapi hampir setiap hari aku diejek teman-teman sekelas karena wajahku.
"Eir kau tidak menjawab pertanyaan ku"
"...Itu bukan masalah besar Cea. Aku baik-baik saja." kataku tersenyum
"...Apa saja yang dia lakukan padamu ?" tanya Mircea lagi
"Emm... Mengantri di kantin untuk membelikan dia makanan dan minuman, menyalinkan pelajaran kalau dia sedang malas. Aku rasa hanya itu saja..." jawabku sambil berusaha mengingat
"...Menurutmu itu tidak keterlaluan ?" tanya Mircea yang sekarang sedang sibuk mengupas apel
"...Yah jika di banding dengan pembullyan yang ku dengar di TV sih" kataku sekenanya, fokusku malah pada apel yang sedang Mircea kupas
Mircea punya kebiasaan yang unik, jika makan apel dia harus mengupas apelnya sendiri dan harus memotongnya dengan bentuk yang lucu, kadang dia memotong apel menjadi bentuk kelinci, bunga atau bintang. Pagi ini dia memotongnya dengan bentuk kelinci. Saat masuk ke mulut bentuk yang lucu itu toh akan hancur juga, kenapa dia harus repot memotong dengan bentuk demikian ? Aku tidak habis pikir.
"Eir, aku tau kau orang yang sabar dan baik hati. Tapi dengan membiarkan orang lain merendahkanmu dan bebas menyuruh mu sesuka mereka kau sedang berbuat jahat pada dirimu sendiri. Juga jika ibu tau, dia akan sangat sedih" Kata Mircea tenang dan tegas
"..."
Orang yang baik hati, huh ? Sayang sekali aku bukan orang seperti itu adik. Kakakmu ini hanya seorang pecundang.
"...Eir kau tau kan manusia itu tidak pernah puas. Kau membiarkan dia duduk di pundakmu, besok atau lusa dia akan menginjak kepalamu. Kau mengerti maksudku kan ?" ujar Mircea lagi
"...Maaf" kataku lirih
Maaf sudah menjadi kakak yang tidak berguna, maaf sudah membuatmu malu.
"Dari sekarang jangan biarkan dia mengejekmu atau menyuruhmu !" kata Mircea, wajahnya terlihat kesal
"Aku...Akan berusaha..."
"Baiklah kita bahas sepulang sekolah saja. Sudah waktunya berangkat. Ingat, hari ini jangan biarkan dia bersikap seenaknya padamu ! Aku tidak akan memaafkan mu dan aku akan bilang pada ibu." Mircea memberiku ultimatum
"...Iya"
Sesampainya aku di sekolah, aku masih berpikir keras bagaimana cara menepati perkataanku pada Mircea. Aku bukan kakak yang bisa dia banggakan tapi setidaknya aku ingin menjadi sosok kakak yang bisa menepati perkataan sendiri
"Yo mata empat !" seru seorang laki-laki berambut pirang sambil menepuk kepalaku dari belakang. Lalu dengan santainya langsung duduk di atas mejaku
Aku menunduk berusaha mengabaikan orang ini dan bersikap seperti biasanya, menurut agar tidak perlu berkelahi, tapi aku teringat Mircea. Dia akan kecewa padaku, dan hal lain yang lebih menakutkan adalah jika dia menceritakan masalah ini pada ibuku. Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri.
Eires Dwell gunakan otakmu, ayo berpikirlah bagaimana caranya menghadapinya tanpa kekerasan.
"Hei ! Setelah matamu apa sekarang telingamu juga butuh alat bantu untuk bisa mendengar ?!" bentak Bayner Frej lalu mendorong kepalaku dengan jarinya
"Apa kau bisa bersikap seperti seorang teman sekelas yang normal ?"
Aku berusaha merespon dengan nada setenang mungkin.
"Hah ?! Kau sudah berani sekarang ya ?!" Bayner Frej menarik kerah baju seragamku, matanya yang besar melotot seperti ingin memakanku. Tapi aku sudah memutuskan untuk berhenti membiarkan dia bersikap seenaknya padaku.
"..." aku tidak membalas perkataan Bayner, tidak menepis tangannya yang mencengkram kuat kerah baju seragamku. Aku hanya berdiri dengan tenang dan balas menatapnya dengan tajam.
Aku tidak takut berkelahi, sejak kecil aku sudah latihan bela diri. Hanya saja aku takut menyakiti orang lain. Tapi hal lain yang lebih kutakutkan adalah membuat kecewa orang-orang yang kucintai. Meski tidak melihat tapi aku bisa merasakan anak-anak di kelas menatap kami, mereka semua terdiam. Entah karena terkejut melihat Eires Dwell si culun yang penakut tiba-tiba berani melawan seorang Bayner Frej atau karena mereka tegang menantikan perkelahian kami.
"Baiklah... Baiklah... Ternyata kau punya nyali juga. Setidaknya ini lebih menarik. Tidak seru kalau kau selalu menurut" Bayner Frej melepaskan cengkramannya dari kerah bajuku
"Eires Dwell yang bisa seenaknya kau suruh dan kau ejek itu sudah tidak ada lagi." kataku tegas sambil merapikan kerah bajuku
"Uwahh...! Sepertinya kau sedang mabuk hahahaha..."
"Hahahaha..." teman-teman Bayner -atau lebih tepatnya anak buah- ikut tertawa dan mereka terlihat konyol dimataku
Bayner Frej, kami sekelas sejak kelas 1 SMA, wajahnya tergolong tampan -tapi Mircea masih jauh lebih tampan-
Dia ketua genk pembully di sekolah kami, selain wajah yang masuk standar tampan, mulut kasar, sikap yang tidak punya etika -padahal di SMA SIGRID semua siswa di ajarkan menjadi gentleman- dia tidak punya kelebihan apapun lagi.
Otak yang pintar ? Aku takut dia bahkan tidak mencapai IQ standar
Kekayaan ? Keluarga Bayner memiliki usaha restoran yang tersebar di beberapa kota, meski semua harta mereka dikumpulkan tidak akan sampai setengah dari apa yang keluarga kami miliki.
"Mata empat ! Liat ini !" Bayner menunjukkan ponselnya, aku membaca email yang familar. Itu adalah email panggilan audisi dari Svea Entertainment, sama seperti yang kuterima.
"Hmm... Selamat." ujarku dengan datar
"Aku juga mendaftarkan mu loh. Bukankah kau fansnya Claes Alexander ? Audisi kali ini dia yang jadi juri utamanya" kata Bayner
"Emm aku tau..." kembali kujawab dengan datar
"Apa kau tau fotomu yang mana kukirim untuk mendaftarkan mu audisi ?" kata Bayner sambil mendekat kepadaku
"Tidak tau, aku bahkan tidak tau darimana kau bisa dapat fotoku. Tapi yang pasti kau akan mengirimkan fotoku yang terjelek." jawabku dengan wajah tanpa ekspresi
"Aku mengirimkan fotomu yang ini..." kata Bayner menunjukkan ponselnya, dia kemudian tertawa terbahak-bahak
foto itu adalah foto saat aku kelas 1 SMA awal semester, aku dipaksa Bayner untuk difoto. Tidak ku sangka dia masih menyimpan foto itu.
Difoto itu wajahku penuh dengan jerawat hampir tidak ada tempat yang tidak ada jerawat, kulitku juga merah terbakar matahari. Benar-benar foto yang sangat mengerikan untuk mendaftar sebuah audisi menyanyi.
Aku rasa jika ini adalah ajang audisi model pasti fotoku sudah dibuang para juri ke tong sampah.
"Haah..." aku menghela nafas pelan agar tidak terdengar oleh Bayner dan teman-temannya -pengikutnya-
"Ah kau tidak terkejut mendengar aku mendaftarkan mu audisi, pasti kau juga dapat email pemberitahuan ya ?"
"Yah begitulah..." jawabku sekenanya
Aku tidak berminat berbicara panjang lebar dengan orang ini. Terkadang aku berpikir kenapa dia tidak pergi sibuk dengan laptop atau ponselnya saja seperti anak-anak yang lain ? Kenapa harus menggangguku ?!
"Kalau dengan foto seperti ini sih...Pastinya email yang kau terima adalah pemberitahuan gagal masuk audisi~ Hahahaha..."
"Heeh" aku tersenyum lalu menunjukkan email pemberitahuan yang kuterima dari Svea Entertainment
"...Jadi kenapa kalau kau bisa masuk audisi ?! Dengan wajah dan penampilanmu itu jadi kau bahkan tidak pantas jadi fansnya Claes !" bentak Bayner, dia berdiri dari kursi seperti siap memukul
"Tidak perlu marah, bukankah kau sendiri yang mendaftarkan aku ? Aku benar-benar berterima kasih sudah membuka kesempatan untukku bertemu langsung dengan Claes" kataku tetap duduk dengan santai
"...Begini saja mari kita bertaruh. Di audisi selanjutnya jika kau gagal kau harus menjadi pesuruhku sampai kita lulus. Bagaimana ?!" tantang Bayner padaku
"Tidak masalah. Jadi bagaimana jika kau gagal ?" aku balik bertanya
"Ha ? Aku gagal audisi ?? Kalau aku saja gagal apalagi dirimu." ejek Bayner lalu menertawakanku
"Jawab saja !" kataku dengan nada agak keras yang membuat Bayner terkejut
"Aku akan meminta maaf padamu sambil berlutut. Kau puas ?" kata Bayner dengan wajah angkuh
"Setuju. Kau sudah tidak ada urusan lagi denganku kan ?"
"Kau berani mengusirku ?!" bentak Bayner padaku
"Aku hanya tidak mau salah paham. Kau selalu menggangguku, bahkan ingin aku jadi pesuruh sampai lulus jika aku kalah. Aku bisa-bisa salah paham kalau kau tertarik padaku." kataku
Teman-teman di kelas semua sontak menatap ke arah Bayner, bahkan para pengikutnya menatap Bayner dengan tatapan menyelidik.
"Bicara omong kosong apa kau ?! Aku laki-laki normal ! Kalau kau tau diri kau tidak akan pergi ke audisi itu !" seru Bayner jengkel lalu pergi meninggalkan kelas
Aku menghela nafas panjang, sejak tadi aku sangat takut. Takut kalau-kalau Bayner akan sangat emosi dan membuat kami harus adu fisik. Aku percaya diri tidak akan kalah jika beradu tinju dengannya, tapi aku tidak menyukai perasaan menyesal yang timbul setelah amarah dikeluarkan. Hari ini berkat ancaman Mircea, aku memberanikan diri melakukan hal yang kutakutkan. Akhirnya setelah hampir 5 tahun aku bisa mengucapkannya "selamat tinggal diriku yang pecundang".
Tiga hari berlalu sejak aku memutuskan berhenti menjadi seorang pecundang, Bayner Frej dan genk nya tidak pernah lagi menggangguku. Kehidupanku di sekolah benar-benar tenang sekarang.
"Berapa lama waktu yang tersisa sebelum hari audisi mu ?" tanya Mircea saat kami sedang bermain catur di ruang baca
"Hmm... Kira-kira sebulan lebih. Kenapa ?" kataku bertanya balik pada Mircea
"Apa kau sudah melakukan persiapan untuk audisi ?" tanya Mircea lagi
"Sudah. Aku mulai ikut kursus vokal, juga berhenti minum kopi untuk menjaga tenggorokan ku." jawabku sambil memperhatikan bidak-bidak catur dihadapanku
"Sabtu besok kau ada waktu ?" tanya Mircea sambil mengambil moon cake dan memakannya
"Sore kursus vokal tapi bisa di ganti jamnya..." kataku yang kemudian ikut memakan moon cake
"Kalau begitu besok kita pergi ke Aphrodite." kata Mircea tanpa mengalihkan perhatiannya dari papan catur
"Okay..." jawabku singkat
"..."
"..."
"Tunggu Mircea...! Aphrodite yang kau maksud barusan bukan Aphrodite rumah sakit kecantikan itu kan ??" tanyaku memastikan segera setelah menyadari nama tempat yang menjadi tujuan kami besok
Aphrodite adalah rumah sakit bedah plastik yang paling terkenal di negara Dareios. Banyak yang mengatakan dokter-dokter disana memiliki tangan dewa.
"Memangnya ada lagi Aphrodite yang lain ?" kata Mircea sambil melirik ku sebentar
"Hng... Cea, apa yang ingin kau lakukan disana ?" tanyaku bingung karena Mircea mengajakku mengunjungi tempat yang seharusnya dikunjungi para perempuan
"Bukan aku, tapi kau." kata-kata Mircea membuatku lebih terkejut lagi
"Aku ?! Kau bercanda kan ???"
"Apa aku terlihat sedang bercanda ?" tanya Mircea, ekspresinya menegaskan bahwa dia benar-benar serius
"Tapi aku ini laki-laki Cea, bagaimana mungkin aku melakukan hal yang dilakukan perempuan." kataku tidak kalah serius
"Checkmate !" Mircea tiba-tiba mengacuhkan perkataan ku, dia melihatku dengan senyum penuh kemenangan
"Ah sial ! Aku tidak memperhatikan benteng mu..." kataku menyadari penyebab kekalahanku
"3 alasan kenapa kita harus pergi ke Aphrodite besok. Alasan nomor 3. Kau kalah bermain catur hari ini."
"Apa kau ini masih anak kecil Cea ? Aturan 'siapa yang kalah bermain catur akan memberi apapun yang diminta oleh yang menang' itu kita lakukan waktu kita masih SD." kataku sambil tersenyum geli
"Aku tidak perduli..." kata Mircea membuang pandangannya ke arah lain
"Baiklah... Jadi apa alasan nomor 2 ?" tanyaku menyetujui alasan Mircea
"Alasan nomor 2, karena ini permintaan adikmu yang sangat tampan." ujar Mircea sambil bertopang dagu dan tersenyum seolah sedang menggoda seorang perempuan
"Jesus Christ... Seandainya kau ini adik perempuan, perkataan tadi baru cocok. Alasan yang kedua aku tolak." aku menepuk jidatku mendengar perkataan Mircea, dia hanya tertawa cekikikan.
"Hahahaha... Aku bisa berdandan jadi anak gadis kalau kau mau dibujuk oleh 'adik perempuan'." kata Mircea sambil berusaha menahan tawa
"Tidak terima kasih... Apa alasan nomor 1 ?" aku segera menghentikan Mircea dari ide gilanya
"Alasan nomor 1, untuk membuatmu sadar bahwa kau itu tidak jelek." kata Mircea sambil memasukkan bidak-bidak catur kedalam kotaknya
"Cea aku tidak mau melakukan bedah plastik !" kataku menolak dengan tegas
"Hah ?? Kenapa kau berpikir aku akan menyuruhmu melakukan bedah plastik ?" kata Mircea seperti tidak habis pikir dengan ucapanku barusan
"Jadi bagaimana kau akan membuat wajahku menjadi tidak buruk rupa lagi ? Bukankah sudah pasti melalui bedah plastik ?" aku mencecar Mircea dengan pertanyaan
"Bodoh ! Bukankah sudah kukatakan berhenti memandang rendah dirimu sendiri ?! Disana ada banyak prosedur kecantikan selain bedah plastik. Kita kesana untuk menyembuhkan jerawatmu dan menghilangkan bekas-bekas jerawat mu." omel Mircea padaku
"Benarkah tidak perlu operasi plastik ?" tanyaku penasaran
"Tentu saja !"
"Tapi aku tidak yakin uang tabunganku akan cukup..." ucapku pelan, pikiranku melayang pada album terbaru Claes yang kubeli 2hari yang lalu.
"Masalah uang tidak perlu khawatir, aku sudah bilang pada ibu. Dia sudah mengirimkan uang ke rekening mu pagi ini." kata Mircea sambil meminum lemonade favoritnya
"Ibu tau aku akan ikut audisi ?" tanyaku gugup
"Tidak. Aku hanya bilang kau ingin menyembuhkan jerawatmu." kata Mircea
"Hooh..." aku merasa lega karena Mircea tidak memberi tahu ibu tentang audisi yang akan ku ikuti. Aku takut ibu tidak setuju, karena ibu selalu tidak menyukai hal-hal yang akan menggangu konsentrasi belajar kami.
"Kenapa ? Kau pikir ibu tidak akan setuju ?" tanya Mircea seolah mengerti apa yang kupikirkan
"Apa menurutmu ibu tidak akan marah ?" tanyaku
"Kenapa menurutmu ibu harus marah ?" Mircea malah bertanya balik padaku
"Emm... Karena akan menggangu konsentrasi belajar ku, membuat ranking ku di sekolah turun." kataku
"Ibu tidak akan marah..." kata Mircea sambil meletakkan gelasnya yang sudah kosong
"Bagaimana kau tau ?" tanyaku memastikan
"Hanya insting. Tapi percayalah ibu tidak akan marah." kata Mircea dengan yakin
"..."
Keesokan harinya aku dan Mircea pergi ke rumah sakit Aphrodite. Setelah berkonsultasi, akhirnya dokter memilihkan treatment yang sesuai dengan kondisi wajahku. Dokter juga meresepkan obat dan beberapa vitamin yang harus ku minum untuk memperbaiki kondisi kulitku.
"Cea !" seruku sembari menghampiri Mircea yang duduk di ruang tunggu
"Sudah selesai ?" tanya Mircea
"Sudah. Ternyata treatment untuk memiliki kulit wajah yang bagus itu sangat menyakitkan..." keluhku sambil merasakan perih di wajahku yang merah dan agak bengkak
"Beauty is pain, pain is beauty..." kata Mircea sambil tertawa kecil
"Aku sangka slogan itu berlebihan, ternyata tidak..." kataku sambil membayangkan bagaimana para perempuan bisa sanggup melakukan hal seperti ini secara rutin
"Bersabarlah, sakitnya akan sepadan dengan hasilnya." kata Mircea sambil menepuk pundakku
"Thanks..."
"Ayo kita ketempat selanjutnya..." kata Mircea lalu beranjak berjalan menuju lift
"Kemana ? Bukankah sudah selesai ?" tanyaku sambil mengikutinya
"Kita akan membeli skincare" kata Mircea
"Skincare ? Kita laki-laki apa perlu memakai benda semacam itu ?"
Mircea tidak menjawabku dia hanya melihatku dengan ekspresi poker facenya.
"Skincare di Aphrodite sangat unik, aku tertarik mencobanya" kata Mircea
Pintu lift terbuka kami sampai, tempat ini punya aroma yang wangi dan menenangkan. Aku berjalan mengikuti Mircea, meskipun sejujurnya aku sangat malu sebagai seorang laki-laki masuk ke tempat yang lebih pantas di kunjungi perempuan.
"Apa keunikannya ?"
"Disini setiap orang akan dibuatkan skincare yang sesuai dengan kulit wajah mereka masing-masing..." jelas Mircea
"Hmm... Kedengarannya hebat."
Setelah melakukan registrasi dan mengecek kondisi kulit, perawat menjelaskan bahwa skincare baru akan selesai di buat sore mereka akan mengirimkannya ke alamat kami.
Selesai membeli skincare Mircea masih membawaku untuk melakukan treatment infus, yang kata perawatnya bisa membantu menyembuhkan jerawat dari dalam dan membuat kulit halus seperti kulit bayi.
"Eir, Apa kau sudah mencatat jadwal treatment mu selanjutnya ?" tanya Mircea saat kami diperjalanan pulang
"Iya jadwal treatment wajah dan jadwal infus seminggu dari sekarang."jawabku
"Jangan sampai tidak pergi. Saat audisi nanti wajahmu sudah harus sembuh." kata Mircea mengingatkanku sambil tetap fokus menyetir
Setelah dua minggu rutin menjalani rangkaian perawatan di Aphrodite jerawatku sudah sembuh, hanya tinggal menghilangkan bekas-bekas jerawat saja. Selama hampir 5 tahun wajahku tampak seperti monster yang membuat jijik, akhirnya datang hari aku bisa memiliki kulit wajah yang bebas jerawat. Rasanya bahagia sekali.
Hari ini setelah kursus vokal aku langsung pergi ke barber shop yang di rekomendasikan Mircea. Aku mengubah gaya rambutku, aku juga meminta mereka menstyling rambutku. Ini pertama kalinya aku memiliki mode rambut, biasanya aku hanya pergi ke tukang pangkas dan meminta mereka merapikan rambutku tanpa di buat modelnya. Entah kenapa setelah mengubah model rambut, perasaanku menjadi ringan.
"Eires gaya rambutmu bagus, apa kau menstyling sendiri ?" tanya seorang teman sekelasku, dia selalu memiliki potongan rambut yang trendy
"Iya... Adikku yang mengajariku." jawabku
"Eires jerawatmu sembuh, bahkan bekasnya hampir tidak terlihat. Hebat sekali... Apa yang kau pakai ?" tanya seorang teman sekelasku yang lain
"Iya kulitmu juga terlihat mulus... Apa kau melakukan treatment ?" tanya yang lain lagi
"Aku melakukan beberapa treatment di Aphrodite, juga meminum obat dan vitamin..."
"Aphrodite ?! Wah... Pasti sangat mahal perawatan disana." celetuk temanku yang lain
"Heh ! Diakan anak boss besar, tentu saja ingin wajah tampan pun bisa mudah dibeli..." kata Bayner Frej dengan senyum mengejek
Aku memilih mengabaikan Bayner dan kembali sibuk dengan bukuku. Dalam hati aku berpikir ternyata benar penampilan fisik itu sangat penting, dulu teman-teman sekelasku hampir tidak pernah bicara denganku di luar urusan kelas -karena aku ketua kelas- sekarang mereka sering mengajakku ngobrol bahkan mengajakku hangout bersama geng mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!