'
Di pinggiran kota dalam suasana hening dan gelapnya malam, Terlihat seorang pemuda berambut hitam dengan mata coklat sedikit keemasan sedang disudutkan di dalam gang sempit yang kotor dan bau sampah. Pemuda itu terus melangkahkan kakinya mundur kebelakang berusaha menjauh dari 4 orang pria yang memiliki tampang seperti preman.
"Geo...Geo, Geo," Ucap Salah seorang preman tersebut menyebut nama pemuda yang masih mengenakan seragam putih abu. "Di belakangmu jalan buntu. Serahkan saja uangmu padaku atau—"
"Atau apa!?" Sahut Geo. "Majulah kalian semua!" Tantangnya karena ia sudah sampai ujung gang tersebut dimana tembok tinggi menghalangi jalan kaburnya.
Preman-preman itu nampak tersulut pancingan dari Geo. Mereka maju berlari kearahnya dengan tangan siap melayangkan tinju padanya.
Geo melempar tasnya ke satu orang yang maju paling depan hingga terdengar suara seperti benturan besi ketika mengenai wajahnya, entah apa dalam isi tasnya, tapi satu orang langsung tumbang. Ketika perhatian 3 orang lainnya terkecoh, Geo Menendang ************ preman yang sangat kurus hingga membuatnya melotot kesakitan sambil memegang areanya.
Buk!, sebuah upper cut menghantam dagu preman kurus tersebut dan tumbanglah ia.
Buk!, kini Geo yang terkena tumbukan di pelipis mata sebelah kirinya karena ia baru saja tanpa sengaja memberi kesempatan pada 2 preman sisanya. Pandangannya seketika silau dan tubuhnya sempoyongan kesudut gang.
"Haha...Jangan macam-macam pada kami, bocah berandalan." Kata preman yang barusan menumbuk Geo.
"Heh..." Geo terkekeh sambil memegang satu matanya yang terasa nyeri. "Empat Orang dewasa melawan satu anak berumur tujuh belas tahun, seharusnya kalian malu." Umpatnya.
"Cuihh! Bocah tengil sepertimu memang harus diberi pelajaran." Preman itu langsung menendang perut Geo.
"Uhukk!" Geo memuntahkan darah. Ia merasakan sesak dan nyeri yang luar biasa, tubuhnya seketika lemas dan kakinya sudah tidak kuat menopangnya lagi. Dia ambruk diatas tanah dengan pandangan kabur. Tapi rupanya preman-preman itu belum selesai, ia mendapatkan tumbukan lagi diwajahnya berkali-kali hingga membuatnya lebam dan berdarah di bagian hidung serta mulutnya.
Tubuhnya mati rasa, pandangannya gelap gulita. Apakah ini yang disebut kematian? Batinnya.
****
Didalam ruang tahta yang megah namun juga mencekam karena banyaknya mayat dan bercak darah dilantai, seorang pria berambut pirang dengan mengenakan zirah emas menancapkan pedang ke dada laki-laki yang duduk di singgasana dengan mahkota hitam bak seorang raja yang agung namun juga suram.
"Iblis sepertimu harus dimusnahkan." Ucap pria berambut pirang, perawakan dan penampilannya seperti seorang kesatria atau seorang pahlawan kerajaan.
Sang raja tertawa dan berkata, "Aku pun sudah muak hidup didunia sampah dengan dewa-dewa munafik yang kalian sembah itu. Menjijikkan!" Dia masih bisa bergerak meski sudah tertusuk pedang, dan bahkan terlihat masih baik-baik saja.
Kesatria itu terkejut melihatnya masih bisa tertawa dan baik-baik saja.
"Pedang mainan yang diberikan dewamu itu tidak ada gunanya."
"Ti-tidak mungkin—" Si kesatria mendorong pedangnya menusuk Raja lebih dalam lagi.
"Kalian semua sudah dibodohi dan dijadikan boneka yang ia kendalikan sesukanya. Semua orang-orangku sudah mati kalian habisi. Tidak ada lagi yang tersisa didunia ini, akan kuhancurcan semuanya." Raja itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya dari telapak tangannya merambat keseluruh tubuhnya, Silau, melebihi sinar matahari.
Wajah Sang kesatria panik dan berusaha melarikan diri, tapi cengkeraman Raja dipundaknya itu sangatlah kencang. Sudah terlambat cahaya itu menembus keluar istana, bahkan sampai menyelimuti seisi dunia hingga sudut-sudut gelap dan kumuh sekaligus.
Sepersekian detik, sang raja sudah tidak ada, kesatria tidak terlihat zirah atau bahkan sehelai rambutnya sama sekali, dan semuanya sudah berubah menjadi ketiadaan.
Raja malang yang difitnah bersekutu dengan iblis karena memiliki kekuatan terlarang. Tapi kini semuanya tewas dibawa oleh Raja yatim piatu itu. Yang bernama, Geo Maiser.
.
.
.
.
.
Geo Maiser, ia tiba-tiba melihat semua ingatan yang baru. Ia dilahirkan di dunia yang berbeda, dunia yang peradabannya lebih maju. Namanya menjadi Geo Tetra tanpa ayah, tapi memiliki seorang ibu pekerja keras bernama Maisha.
Mereka hanya hidup berdua dalam rumah yang kecil dengan perabotan yang minim. Tapi hal tersebut tidak menghalangi Maisha untuk membesarkan seorang anak yang kini sudah berumur 17 tahun. Hanya saja, ketika memasuki SMA, sikap dan sifat Geo berubah.
Dulu dia merupakan anak baik-baik dan berprestasi, tapi dia salah masuk pergaulan dan akhirnya terjerumus menjadi seorang pemalas dan pencari keributan. Dia sering bolos sekolah, pulang tengah malam, dan bahkan pernah tidak pulang selama tiga hari. Ibunya sangat mengkhawatirkannya, dan sampai mencari bantuan ke kantor polisi untuk mencarinya.
Namun Geo pulang dengan sendirinya. Dengan pakaian lecek, luka lebam dimana-mana, dan bau alkohol serta rokok yang menyengat. Ibunya memarahinya dan menasihatinya sambil menangis, tapi anak bebal itu tidak menggubrisnya bahkan malah membentak balik ibunya, "Siapa yang ingin dilahirkan di keluarga miskin seperti ini hah?!" Bentak Geo. "Pantas saja ayah pergi meninggalkan rumah ini." Ia berjalan keluar rumah dan membanting pintu dengan keras. Dan tanpa sadar membuat hati ibunya teriris seperti ia telah salah karena semuanya.
Dingin, basah, dan perih. Geo membuka matanya melihat langit hitam tanpa bintang namun air hujan yang deras menyerbunya. Perutnya masih terasa pengap dan luka diwajahnya semakin perih terkena air.
Hanya saja dia kini bukan seorang Geo Tetra, tapi juga Geo Maiser yang sudah pernah mengalami luka lebih parah dari ini.
"Jadi aku terlahir kembali di bumi dan ingatanku di kehidupan sebelumnya baru saja kembali." Gumam Geo berpikir kalau mereka adalah orang yang sama. Geo Tetra adalah Geo Maiser, dan Geo Maiser adalah Geo Tetra.
Geo menyerap kembali pengetahuannya tentang bumi selama 17 tahun dia hidup. Zaman kini tidak ada yang menggunakan pedang dijalanan ataupun sihir untuk bertempur. Karena senjata terkuat adalah senjata api.
Teknologi dan sistem keamanan lebih baik daripada dunianya dahulu, karena hukum berlaku didunia ini. Banyak alat-alat ajaib seperti mobil, pesawat, kereta, televisi, handphone, dan komputer. Geo berpikir jika satu alat seperti itu ada di dunianya dulu, pasti akan dianggap sebagai prasasti.
Geo baru ingat sekarang bukan saatnya merenung, dia mempunyai orang tua, ibunya yang pasti saat ini sedang khawatir dirumah. Dia bangkit bersandar ke dinding dengan kondisi tubuh basah kuyup dan seragam putihnya yang robek-robek serta dekil.
"Shhh..." Desah Geo, tubuh dan kakinya terasa lemas. Dia ingat belum makan sama sekali, karena tadi pagi ia cek-cok adu mulut dengan ibunya lalu langsung pergi begitu saja.
Ia berusaha bangkit perlahan sambil memegang dinding. Melihat sekitarnya preman-preman tadi sudah tidak ada, dan ransel sekolahnya juga tidak terlihat sama sekali, pasti dibawa oleh mereka. Merogoh saku celananya, dompet serta handphonenya juga hilang. Kini ia tidak punya uang sepeserpun.
Tempatnya sekarang sangat jauh dengan rumahnya, ditambah lagi ini tengah malam dimana kendaraan umum sudah tidak mengangkut penumpang lagi.
"Yang benar saja aku harus jalan kaki," Gumam Geo. "Preman-preman sialan itu, kalau bertemu lagi akan ku habisi mereka!" Ia sangat geram, gara-gara mereka ia terpaksa harus pulang dengan jalan kaki.
Tidak ada gunanya menyesalinya sekarang, lagi pula itu salahnya sendiri yang berkeliaran di malam hari. Geo melangkahkan kakinya keluar gang menyusuri trotoar dibawah derasnya guyuran hujan dengan hanya ditemani lampu jalan. Sialnya tidak ada satupun kendaraan yang lewat, jika ada satu saja, dia ingin menyetopnya dan menumpang.
Dia lupa jika malam, waktu orang-orang istirahat didalam rumah mereka, diatas kasur yang empuk dan selimut yang hangat. Mungkin hanya dia dan para gelandangan yang masih berada diluar kedinginan saat ini.
Geo terdiam didepan rumah kecil nan sederhana tempat iya tinggal berdua dengan ibunya. Rumah mereka sangat berbeda dengan kedua rumah tetangga yang mengapitnya. Cat kusam dan mengelupas, atap yang terlihat mau roboh, pintu kayu dengan model kuno, dan pohon jambu kecil dihalaman yang selalu dirawat ibunya.
Entah sekarang pukul berapa, tapi nampaknya matahari sudah akan terbit kembali, dan hujan akan segera berhenti. Geo masih menggigil kedinginan dan kakinya gemetaran lemas setelah menempuh perjalanan kaki yang lumayan.
Ia sudah berdiri di depan pintu, bingung dan ragu untuk segera masuk kedalam atau mengetuk pintunya terlebih dahulu. Ia tidak punya orangtua di kehidupan sebelumnya, jadi ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika melihat orangtuanya di kehidupan kali ini.
Perlahan Geo menyentuh gagang pintu besi dan menurunkannya. Cklek! Pintunya tidak dikunci. Mungkin ibunya sengaja tidak menguncinya jikalau Geo pulang tengah malam. Tapi tetap saja, seorang perempuan tidak mengunci pintu pada malam hari bisa membuatnya dalam bahaya.
Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru dari dalam rumah datang kearah pintu masuk.
Pintu itu ditarik dari dalam, dan telihatlah sosok wanita dengan rambut hitam pekat yang bergelombang. Mata coklat keemasan dan bibir merah muda alami. Dilihat darimana pun ia sangat cantik, meski kantung mata menghiasi wajahnya. Ibunya ternyata sangat cantik. Jika ada di jamannya dahulu, mungkin sudah sekelas dengan ratu-ratu dari kerajaan.
Geo tiba-tiba saja memeluknya, meski dia tidak berniat seperti itu, tapi tubuhnya seperti berkehendak sendiri, bahkan ia tidak bisa menahan air mata yang mulai tergenang di kelopak matanya. Hangat dan nyaman. Jadi seperti itu perasaan ketika memeluk orangtua kandung.
"Maafkan aku mah," Kata Geo dengan suara serak. "Maaf aku sudah berbicara kasar pada mamah tadi pagi, aku juga minta maaf sudah jadi anak yang nakal dan tidak menuruti perkataan mamah—"
Geo tidak bisa menahan air matanya lagi dan akhirnya tumpah. Ia mengingat sebagaimana dirinya sudah menyusahkan ibunya, ia juga tahu ibunya bekerja banting tulang dan mengambil pekerjaan serabutan untuk membiayainya. Tapi dirinya malah menyia-nyiakan kerja keras dan harapan orang tuanya itu.
"Geo sayangku, mamah tidak pernah meminta permintaan maaf darimu. Mamahlah yang bersalah karena tidak bisa memenuhi semua kebutuhanmu, mamah tidak bisa membuat kita hidup mudah, mamah minta maaf tidak jika tidak bisa menjadi sekaligus sosok ayah untukmu." Maisha menepuk-nepuk punggung Geo dan mengelus halus rambutnya, lalu ia mengecup dan meraba pipi lebam Geo sambil menatap matanya. "Apa kamu habis berkelahi lagi?" Tanyanya dengan raut wajah sedih dan nada yang lirih.
Geo menunduk tidak menjawab karena tidak tega jika setiap hari ibunya harus melihatnya penuh luka habis perkelahian seperti saat ini. Sudah terlalu sering dia pulang dalam keadaan hancur dan tidak ingin membuat hati ibunya juga hancur.
"Apa kamu sudah makan?" Tanya Maisha mengalihkan pembicaraan dan dijawab gelengan kepala oleh Geo. "Mamah akan membuatkan mu nasi goreng, sebaiknya kamu cepat ganti pakaian basahmu dan kenakan jaket hangat biar gak demam." Maisha nampaknya menyadari tubuh Geo yang menggigil kedinginan.
Geo menganggukkan kepala lalu melangkahkan kakinya kearah kamar mandi sementara Maisha menutup pintu rumahnya kembali.
Didalam rumah yang hanya terdiri dari ruang tengah kecil, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu dapur itu, Geo tidak memerlukan terlalu banyak langkah untuk mengitari semuanya. Berbeda seperti di istana dahulu yang butuh sedikit usaha dari kamar tidurnya untuk sampai ke ruang makan.
Setelah membersihkan tubuhnya, Geo masuk kekamarnya yang sempit dan sedikit berantakan. Ia melihat kearah cermin di lemari memperhatikan wajahnya yang ternyata cukup tampan. Ia tidak tahu sosok ayahnya seperti apa, tapi wajahnya pasti turunan dari ibunya yang sangat cantik.
Geo juga memperhatikan tubuhnya, dia merasa seperti sangat berbeda. Tubuhnya kini terlalu kurus berbeda dengan dulu yang kekar dan berisi. Tapi sekarang dia bisa dibilang cukup tinggi untuk umur remaja 17 tahun.
Tiba-tiba dia mencium aroma harum masakan yang membuat perutnya semakin keroncongan. Ia segera memakai kaus dan dilapisi jaket lagi supaya hangat, lalu memakai celana olahraga sekolahnya. Tergesa-gesa ia keluar dari kamar tidak sabar menyantap masakan ibunya yang pasti sangat enak.
"Duduk dulu, tunggu sebentar." Kata Maisha.
Geo duduk di depan meja makan persegi dengan 3 kursi yang mengelilingi meja tersebut. Dia memperhatikan ibunya yang sedang memasak mengenakan kaus berbalut kardigan rajut berwarna abu yang kusam. Geo berpikir memangnya pakaian seperti itu bisa menangkal udara dingin?
"Makanlah yang banyak, mamah mau mengambil obat dulu buat lukamu." Maisha menyajikan sepiring nasi goreng kecap dengan sayuran lalu pergi meninggalkannya. Aroma dan penampilan yang menggiurkan membuat Geo segera melahapnya dengan rakus saking enaknya. Kenapa koki di istana dahulu tidak ada yang membuat makanan seenak ini.
Karena terlalu cepat menyantapnya, membuat dia tersedak dan batuk berulang kali.
"Jangan terburu-buru, jadi tersedak kan." Maisha menyodorkan segelas air putih pada Geo yang langsung di teguk nya.
Maisha duduk di kursi di samping Geo dan menaruh kotak P3K di atas meja. "Sambil mamah obati yah?" Kata Maisha.
Geo mangangguk menjawab, "Masakan mamah terlalu enak. Seperti masakan koki di hotel bintang lima."
"Memangnya kamu pernah makan di hotel bintang lima?"
"Belum...hehe."
Maisha menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Senyumannya tertangkap oleh mata Geo. Cantik, sangat cantik. Kenapa ayahnya meninggalkan wanita secantik ini.
Selesai makan dengan perut yang terisi penuh dan luka diwajah yang sudah di oleskan obat serta ditutup plester, sekarang Geo merasa sangat ngantuk. Tapi melihat jam di dinding menunjukan pukul 5 dini hari dimana ia harus segera bersiap untuk sekolah.
"Hari ini kamu istirat dulu aja dirumah, tidak perlu pergi ke sekolah. Mamah nanti akan mengabari sekolah sekalian berangkat kerja." Ujar Maisha.
Entah kenapa Geo juga merasa tidak tega. Ia tahu ibunya juga belum tidur dari kemarin karena mengkhawatirkan dirinya, ditambah lagi mata pandanya tidak bisa berbohong.
"Mamah juga sebaiknya jangan pergi kerja dulu." Kata Geo memagang tangan ibunya.
Maisha tersenyum. "Mamah baik-baik saja. Lagi pula bos mamah akan marah kalau mamah bolos sehari saja."
Senyumannya yang letih membuat jiwa seorang anak didalam Geo seperti tergoyahkan.
"Mamah berhenti bekerja saja, biar Geo yang kerja. Geo tidak tega melihat mamah kelelahan setiap hari mencari uang."
"Jangan konyol. Bagaimana dengan sekolahmu jika kamu bekerja."
"Geo bisa berhenti sekolah." Genggaman tangan Geo semakin kencang.
"Kamu kelelahan jadi asal bicara seperti ini."
"Geo serius mah. Dengan tubuh Geo yang sehat, Geo masih bisa mencari pekerjaan."
"Cukup Geo!" Maisha melepaskan genggaman tangan Geo. "Cepat pergi ke kamarmu!" Suruhnya.
Geo menunduk sebentar, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan meninggalkan ibunya. Sebelum melangkahkan kakinya ke kamar, ia melihat ibunya membereskan meja dengan tatapan kosong seperti sedang banyak banyak pikiran.
Geo menjatuhkan tubuhnya di kasur kecil yang tidak terlalu tebal berbaring telentang.
Dia berpikir jika saja dirinya memiliki kekayaan dan kekuasaan di kehidupan sebelumnya, ia ingin memberikan semua hartanya untuk ibunya dan membuatnya hidup dalam kemewahan serta kenyamanan.
Jika di dunianya dahulu kekuatan yang terpenting, sedangkan di dunia saat ini kekuasaan serta uang tidak kalah pentingnya. Kekuatan menjamin keamanan, kekuasaan menjamin kenyamanan, dan keuangan menjamin kehidupan.
"Bagaimana caranya agar cepat menghasilkan uang didunia ini?" Pikir Geo sambil menatap langit-langit putih kecoklatan karena sudah tua. Dia terus berpikir sampai tertidur dengan sendirinya karena terlalu kelelahan.
Terlalu banyak perubahan di dunianya saat ini. Dulu ia menghasilkan uang sangat mudah, yaitu dari pajak kerajaannya. Sedangkan sekarang ia bingung untuk menghasilkan uang dengan cepat dan banyak sekaligus. Ditambah lagi dia masih duduk di kelas 2 SMA dan butuh 1 setengah tahun lagi untuk lulus.
Sebuah kristal bercahaya tiba-tiba muncul diatas dada Geo. Kristal itu memancarkan cahaya putih yang sangat terang lalu turun perlahan pada dadanya Geo. Kristal itu menembusnya hingga tidak terlihat lagi seperti tertelan kedalam tubuhnya. Dan anehnya Geo tetap tertidur pulas tidak menyadari hal tersebut.
Masa itu adalah masanya kekacauan. Peperangan terjadi tiada hentinya, kejahatan terjadi dimana-mana tidak pandang bulu. Pengkhianatan, penistaan, dan pembantaian.
Geo melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Orang-orangnya dibantai habis, darah menodai matanya. Orang tersayangnya di fitnah dan dibakar hidup-hidup didepan matanya. Kerajaan hancur berantakan, kerajaannya yang damai dan tentram yang selalu ia mimpikan hancur, semuanya, semuanya hancur hanya menyisakan sang jiwa malang. Raja yang kelam namun disenangi semua orang, Raja yang suci namun telah dikotori namanya, Raja yang ingin hidup bersama dengan belahan hatinya namun mereka membakarnya, Raja yang....
Tok,tok...tok!
Geo bangkit membuka matanya dengan nafas terengah-engah dan tubuh yang bermandikan keringat, seperti dirinya sudah berlari mengitari lapangan tanpa henti. Ia melamun dengan Tatapan kosong seperti baru saja mengingat kejadian kelam yang ingin ia lupakan.
Tok,tok!
Lamunannya buyar ketika mendengar ketukan lagi di pintu kamarnya. Dia segera berdiri dan menghampirinya.
"Mamah sudah pulang?" Kata Geo sambil membuka pintunya. Namun yang ia lihat bukanlah ibunya, melainkan seorang gadis berambut pirang keemasan dengan mata berwarna hijau, hidung mancung, dan bibir yang pucat. Gadis itu mengenakan Hoodie abu dan rok berwarna abu juga.
"Lihatlah jam Geo Tetra..." Ucap gadis tersebut seperti kesal.
Geo menoleh kearah jam dinding dan melihat jarum kecilnya baru menunjukkan pukul 11 siang dimana ibunya tentu belum pulang jam segini.
"Uhh...Ally apa yang kamu lakukan disini?" Geo tahu nama gadis tersebut. Dia adalah allesia yang tinggal tidak jauh dari blok rumahnya.
Allesia asli keturunan Kanada dan pindah ke Indonesia saat umurnya 7 tahun. Mereka berdua berteman sejak saat itu dan hubungan mereka sudah sangat dekat seperti sahabat karena selalu satu sekolahan yang sama. Bahkan dilingkungan sekolah sering dirumorkan berpacaran padahal sama sekali tidak.
"Mamah tadi datang ke sekolah dan bilang kamu sedang sakit." Kata Allesia sambil berjalan kearah dapur dan menaruh bungkusan plastik diatas meja makan.
"Apa kamu bawa makanan?" Geo duduk dikursi dan sudah berniat untuk membuka bungkusan plastik tersebut namun segera ditepis oleh Allesia.
"Jangan menyentuhnya. Kamu bau keringat." Kata Allesia menutup hidungnya.
Geo mengendus pakaiannya dan benar sedikit tercium bau masam.
"Kemana kemarin?" Tanya Allesia berdiri diseberang meja sambil menatap Geo tajam. "Apa kamu tidak kasihan pada mamah hah?"
Geo mengerti kenapa Allesia sekarang memarahinya. Allesia sudah seperti keluarganya, bahkan Maisha sudah menganggap nya seperti anaknya.
"Aku tahu aku salah." Jawab Geo.
"Kalau tahu salah kenapa terus mengulanginya lagi?" Allesia mengerutkan keningnya dan nada suaranya meninggi. Ia berbalik badan membelakangi Geo.
"Ally aku sudah berjanji pada mamah jadi anak yang baik."
"Dan janjimu sudah tidak terhitung bohongnya." Tampik Allesia.
"Kalau tidak percaya kamu boleh melihat dan membandingkan sikapku selama seminggu kedepan."
"Itu berarti setelah seminggu kamu akan nakal lagi."
Geo menepuk keningnya. "Baiklah, kamu boleh melakukannya selamanya. Selamanya aku akan jadi lebih baik." Kata Geo kesal.
"Selamanya? Lalu bagaimana kalau kamu punya istri nanti? Tidak mungkin dong aku memperhatikan suami orang terus."
Geo menghela nafas menyerah adu bicara dengan Allesia.
Allesia terkekeh melihat Geo yang seketika lesu. "Sebenarnya mamah sudah menceritakannya padaku. Yah ku harap aku bisa melihat Geo yang dulu lagi." Ia memalingkan wajahnya sambil tersenyum dan berjalan kearah kompor.
Geo terpaku, sekilas dia seperti mengenal senyuman barusan. Senyuman yang manis nan cantik dan membekas di hati.
"Hei mandi sana. Aku akan menghangatkan makanannya." Suruh Allesia.
Geo langsung tersadar dari lamunannya. "Hah, oh." Wajahnya seperti orang kebingungan. Dia segera bangkit dan masuk kekamar mandi.
Sambil mandi dia terus memikirkannya. Tidak mungkin dia terkirim ke dunia ini juga. Batin Geo sambil menggelengkan kepala.
Selesai mandi Geo disuguhkan sarapan bubur ayam yang dibeli Allesia. Mereka berdua makan sambil mengobrol dan bercanda. Entah kenapa Geo merasakan keakraban denganya.
Setelah makan bubur, Allesia berbaring di sofa tua yang jumlahnya hanya ada dua dia ruangan utama.
Sedangkan Geo duduk di sofa satunya lagi. Mereka menyetel lagu dari band favoritnya yaitu The Beatles menggukan speaker mini milik Allesia yang sengaja disimpan di rumah Geo.
「Konfigurasi dimulai」
Geo terkejut karena tiba-tiba terdapat layar transparan di depannya. Apa ini? Batin Geo. Dia mencoba menyentuh layar tersebut dengan telunjuknya, tapi telunjuk Geo malah menembus layarnya.
"Ally apa kamu melihat ini?" Tanya Geo menunjuk layar tersebut.
"Lihat apa?" wajah Ally terlihat kebingungan, karena Geo menunjuk angin.
"Ini!" Kata Geo menunjuk persis layar didepan matanya. "Apa kamu benar tidak melihatnya?"
"Oh ayolah, kamu hanya menunjuk udara kosong. Jangan bikang kamu jadi berhalusinasi sekarang."
Geo mengucek matanya memastikan jika itu hanya halusinasinya saja atau bukan. Tapi layar tersebut tetap diam Disana. Dan sekarang layarnya malah menunjukkan persenan dari 1% tapi tidak bertambah-tambah.
"Sebentar aku kekamar dulu." Kata Geo ingin memastikannya lagi sendiri, dari pada terlihat seperti orang gila di depan Allesia.
"Jangan lupa bereskan kamarmu! Jangan menunggu mamah pulang untuk membereskan kamarmu." Kata Allesia.
"Iya-iya..." Geo bangkit meninggalkan Allesia yang masih tiduran di sofa.
Didalam kamar Geo segera menutup pintunya dan kembali menatap layar yang tidak hilang-hilang juga.
Geo sungguh tidak mengerti sedikitpun karena dilayarnya tidak ada keterangan sama sekali dan hanya persenan saja yang kini sudah bertambah menjadi 2%.
"Bagaimana cara menghilangkan ini?" Geo mengipas-kipas tangannya berusaha menghilangkan ya. Tapi itu tetap Disana. Benar-benar mengganggu penglihatannya.
"Ayo hilanglah...." Geo menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Tapi yang ada malah membuatnya pusing.
"Sialan cepat tutup!" Umpatnya kesal.
Layar tersebut menghilang dari pandanganya seketika. Geo melirik ke ke seluruh kamarnya dan layar tersebut sungguh tidak ada lagi.
"Hah....akhirnya," dia menghela nafas lega dan berpikir bagaimana dia bisa menghilangkannya. "Apa karena aku mengatakan tutup?"
Ia langsung terpikirkan sesuatu.
"Buka!" Serunya. Dan benar saja layar tersebut muncul kembali dan kini sudah sampai di angka 3%. Geo masih penasaran apa sebenarnya layar transparan tersebut tapi sepertinya dia harus menunggu hingga 100% untuk mengetahuinya.
"Tutup!" Kata Geo. Dia memperkirakan persenan nya akan penuh nanti malam. Sekarang dia tinggal menunggunya hingga malam tiba.
Geo segera beres-beres kamarnya. Dia memungut semua pakaian dan sampah yang berserakan dilantai, dan memasukannya kekeranjang. Dia sebenarnya tidak terbiasa membereskan kamarnya sendiri, karena di istana dulu banyak pelayan yang mengurusnya. Tapi sekarang sudah tidak ada mereka lagi, jadi dia harus mulai melakukan segalanya mandiri.
Setelah kamarnya bersih dan rapih, Geo kembali ke tempat Allesia dengan hanya mengenakan kaus lekbong putih dan celana pendek karena kegerahan setelah membereskan kamarnya yang sangat berantakan itu.
"Hahh...panas sekali." Desah Geo menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
"Geo apa handphone mu hilang?" Tanya Allesia.
"Kemarin aku di rampok sama preman. Handphone, dompet, dan semua uangku yang berharga mereka ambil." Jawab Geo. "Jangan kasih tahu mamah. Aku akan mencari uang untuk membeli handphone baru." Geo tahu handphone sangat berguna di masa kini. Selain bisa mengakses internet, dia juga bisa melakukan panggilan jarak jauh.
"Baiklah." Ally mengalihkan perhatiannya kelayar handphonenya lagi. "Oh ya, ngomong-ngomong apa kamu sudah dengar belakangan ini banyak orang hilang di kota ini?"
"Hilang kemana?"
"Entah, tapi teman-teman disekolah bilang mereka diculik oleh pembunuh yang kabur dari penjara. Petugas juga sekarang sering terlihat berpatroli." Jawab Allesia. "Makanya kemarin mamah sangat khawatir padamu. Mana aku telepon tidak diangkat-angkat"
"Emm aku akan hati-hati." Geo mengipas-ngipasi tubuhnya yang gerah menggunakan bagian bawah kausnya, karena dirumah mereka tidak memiliki kipas elektronik bahkan televisi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!