NovelToon NovelToon

Istri Untuk Iman

Bab 1 Kepergian

Suara tangis bayi di dalam sebuah ruang persalinan membuat dokter, suster, dan juga si ayah merasa haru. Tangisan pertama dari bayi berjenis kelamin laki-laki itu mampu membuat hati dan pikiran mereka semua merasa lega. Namun, ada satu hal yang dilewatkan oleh mereka semua adalah keadaan si ibu.

Wanita yang baru saja melahirkan beberapa detik yang lalu terlihat menahan sakit di daerah pusat intinya. Namun, dia mencoba menahan karena tidak ingin membuat suasana yang tadinya penuh kebahagiaan itu berubah khawatir, apalagi saat melihat ekspresi sang suami yang penuh dengan suka cita.

"Mas." Panggilan yang begitu lemah menyadarkan sosok pria yang tengah menangis haru saat melihat anak pertamanya lahir du dunia ini. Di mana penantian mereka cukup lama agar bisa melihat jagoan kecilnya melihat dunia.

"Iya, Sayang. Bagaimana keadaan kamu? Apa semua baik-baik saja?" Wajah itu benar-benar menyiratkan akan kebahagiaan luar biasa walau ada air mata yang membasahi pipi. "Anak kita sudah lahir, Sayang. Dia jagoan dan mirip sekali dengan ibunya, seperti kamu, Dek," imbuhnya dengan suara serak.

Wanita yang bernama Aisyah itu lalu mengangguk lemah. Senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. Lelah dan sakit setelah melahirkan tak menyurutkan dirinya untuk ikut merasakan euforia kebahagian mereka. "Ya, seperti yang kamu lihat, Mas. Sakit, tapi lega secara bersamaan."

"Maafkan aku, Dek. Karena tidak bisa menggantikan rasa sakitmu tadi. Padahal ingin sekali aku meminta kepada Allah untuk memberikan sakitmu untukku," ujarnya terjeda. "Tapi,"

"Hush! Gak perlu seperti itu, Mas. Dengan seperti ini justru aku merasa sudah menajdi seorang ibu yang sempurna," potong Aisyah dengan menggelengkan kepalanya. Jujur, tubuhnya sudah terasa lemas dan ingin sekali memejamkan matanya.

"Siapa nama anak kita, Mas?" tanyanya lagi, sambil menahan linangan air mata di pelupuk matanya.

Aiman Baha Baseer adalah sosok suami siaga dan juga taat agama. Usia pernikahan mereka yang mencapai angka ke-3 sudah cukup melewati masa-masa penjajakan yang cukup banyak. Namun, dengan segala kerendahan hati dan agama yang mendasari pernikahan mereka membuat  pasangan suami istri itu bisa melewatinya dengan baik.

Seperti halnya tentang masalah keturunan. Setelah 3 tahun pernikahan dan banyak menerima omongan buruk dari luar sana, akhirnya Aisya pun hamil. Selama masa ngidam sang suami begitu siaga dan selalu menuruti semua keinginan snag istri. Belum lagi dari keluarga dan sang mertua.

Setelah 9 bulan membawa perut besar ke mana-mana. Lahirlah jagoan mereka hari ini yang berjenis kelamin laki-laki. Tentu hal itu membawa kebahagiaan besar di dalam hidup mereka.

Aiman Baha Baseer sendiri adalah seorang pengajar di sebuah instansi pemerintah dalam bilang ilmu agama, alias guru di sebuah Sekolah Menengah Atas sebagai Guru Agama.

Sementara Aisyah Siti Khumaira juga seorang guru. Hanya saja dia mengajar di sebuah Sekolah Dasar. Pertemuan mereka pun berjalan begitu cepat. Tidak ada pacaran, melainkan mereka dijodohkan dan melakukan ta'aruf selama beberapa bulan saja, sebelum melangsungkan pernikahan.

Usia mereka sendiri hanya berselisih 3 tahun di mana Aisyah berusia 27 tahun, sedangkan Aiman 30 tahun. Walaupun masih muda, tetapi Aiman sendiri adalah lulusan Kairo dalam ilmu Fiqih. Orang tuanya yang seorang petani biasa menginginkan anaknya untuk menjadi Ustadz hingga menyekolahkan anaknya di tempat jauh.

Selain menjadi guru, Aiman sendiri juga menjadi seorang Ketua DKM (Dewan Komite Majlis) di komplek perumahan yang ditinggalinya. Walaupun masih muda dan berilmu, tidak membuat Aiman tinggi hati. Dia terus belajar dan belajar, apalagi kini dia sudah memiliki istri.

Tanggung jawabnya pun bertambah. Ditambah ia dikaruniai seorang putra yang begitu mirip dengan ibunya–Aisyah. Senyum pun kembali terulas, lalu mengecup puncak kepala sang istri yang ditutup dengan sebuah kain bernama kerudung.

"Hassan," ucapnya penuh senyum. "Hassan Baha Baseer adalah nama anak kita, Sayang. Apa kamu suka?" tanyanya dengan haru.

Wanita itu mengangguk haru. "Aku ingin melihat anak kita, Mas," pintanya.

Aiman pun mengangguk. Dia kemudian berbicara kepada dokter dan Alhamdulillah diperbolehkan. Namun, karena anaknya sedang dibersihkan oleh suster sehingga membuat mereka harus menunggu sekejap.

"Sebentar, ya, Sayang. Anak kita sedang dibersihkan dulu," beritahu Aiman kepada istrinya saat kembali mendekat kepada Aisyah.

Aisyah hanya mengedipkan mata lemah untuk menjawab. Rasanya untuk menarik napas saja, dirinya sudah tak sanggup. 'Ya, Allah. Tolong hamba ingin melihat putra hamba terlebih dahulu. Jangan kau cabut dulu nyawaku,' ujarnya dalam hati, sambil berlinang air mata.

Aiman mengira Aisyah menangis karena sedang berbahagia tanpa tahu jika istrinya sedang berdoa agar diberi kekuatan. Mungkin jika tahu, Pria itu pasti tidak akan mengizinkan untuk Aisyah berpikiran yang tidak-tidak.

"Ini silahkan anaknya di adzanin, Pak!" Suster menyerahkan putra pertama Aiman dan Aisyah ke dalam gendongan ayahnya.

"Terima kasih, Sus." Aiman tidak bisa menutupi rasa bahagianya lagi. Dia menitikkan air mata. Namun, buru-buru menghapusnya. Dia lalu menghadap ke arah kiblat untuk mengadzani telinga sebelah kanan putranya, kemudian Iqamah di telinga sebelah kirinya.

Aisyah sendiri juga tidak bisa menahan laju air matanya. Dia merasa beruntung memiliki suami dan ayah yang siaga seperti Aiman. "Mas," panggilnya setelah melihat anak mereka selesai di adzanin oleh si ayah.

Aiman pun mendekat, lalu memperlihatkan wajah putra mereka ke hadapan istrinya. "Bagaimana, Sayang? Apakah tampan anak kita?" tanyanya saat mendekatkan tubuh putranya kepada si ibu.

"Sangat tampan. Seperti ayahnya," puji Aisyah tulus.

"Hassan, ini ibu. Apa kamu bisa mendengar suaraku?" Suara Aisyah mulai terdengar melemah dan itu disadari oleh Aiman–suaminya. "Jadilah anak yang Sholeh dan berbaktilah kepada agamamu. Jangan kau ingkari siapa Tuhan dan Nabimu. Jadilah anak yang bisa menolong orang banyak. Dan buatlah bangga ayah dan ibumu!" Doanya dengan sungguh-sungguh.

Aiman mengaminkan doa istrinya. Namun, setelah itu dia memberikan putranya kepada suster karena melihat Aisyah mengalami kejang. Bidan segera mengecek keadaan pasien.

"Sayang, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Bagian mana yang sakit? Tolong katakan kepadaku agar aku tahu bisa berbuat apa?" Pertanyaan itu hanya dibalas senyuman tipis dan genggaman erat Aisyah.

Wanita itu menggeleng dan hanya menyuruh suaminya untuk mendekat. "Jaga Anak kita, Mas," ucapnya dengan nafas tersengal. "To-long, tuntun aku, Mas!"

Perasan Aiman sudah tak menentu, bahkan air mata kebahagiaan akan datangnya putra mereka, kini berubah menjadi tangis ketakutan. Takut akan kehilangan istri yang sangat dicintainya. Takut tidak akan menjalani masa tuanya bersama si istri. Dan takut akan takdir yang akan dia hadapi setelah ini.

"Kenapa kamu berbicara seperti itu, Dek? Kita harus membesarkan anak kita bersama. Bukankah kamu sudah berjanji untuk sehidup semati denganku?" Aiman menggenggam tangan istrinya dengan begitu erat seolah tidak mau kehilangan istrinya

Aisyah menggelengkan kepalanya lemas. Dia benar-benar sudah seperti diambang kematian. Dia membuka kedua kelopak matanya dan menatap penuh sesal dan harap. "To-long, Mas!" pintanya dengan menahan rasa sakit.

Setelah itu, Aiman pun tak punya pilihan lain selain mengikhlaskan. Dia tuntun Aisyah untuk membacakan kalimat syahadat untuk terkahir kalinya. Walau dengan terbata-bata, tetapi wanita itu akhirnya bisa menyelesaikannya.

Napas Aisyah pun berhenti. Jantung juga ikut berhenti berdetak. Meninggalkan sebuah tangisan dari bayi dan suami. Ruangan yang tadinya dipenuhi kebahagiaan, kini berubah menjadi duka.

"Innalilahi wainnailaihi rajiun." Bibir itu bergetar saat mengikhlaskan kepergian wanita yang dia cintai. Air matanya sudah tak terhitung lagi tum,pah hari ini. Namun, ketika mendengar tangisan dari anaknya pun dia langsung berusaha kuat.

"Sayang, tunggu kami di SurgaNya. Dan semoga Allah menempatkan dirimu di tempat terbaiknya!"

Bab 2 Fathimah

"Aisyah, apa kamu bisa melihatku dari atas sana?"

"Kepergianmu sungguh membuat hatiku terasa hampa, Sayang. Namun, semua demi Hassan … aku harus kuat dalam menjalani hidup ini. Aku tau, kamu pasti tidak mau melihatku bersedih hingga melahirkan seorang anak yang begitu Sholeh dan mengerti ayahnya."

Senyum penuh wibawa itu kini tersemat di bibir berwarna kemerahan. Aiman bukanlah seorang perokok sehingga membuat bibirnya terlihat lebih menarik dibandingkan dengan mereka penyuka nikotin. Bukan bermaksud membandingkan, melainkan itu memang kenyataan.

Lisannya selalu digunakan untuk berdzikir, bertutur kata baik, mengajarkan ilmu agama kepada murid-muridnya, serta Hassan anaknya.

Lima tahun berlalu sejak kepergian Aisyah, pria itu tetap memutuskan hidup sendiri bersama dengan anaknya. Dibantu ibu dan mertua, ya, walaupun mereka tidak pernah melarang Aiman untuk berumah tangga lagi. Namun, rasa cinta yang dimiliki olehnya terhadap Aisyah masihlah tetap.

"Ais, anakmu bahkan sekarang sudah pandai mengaji. Pandai bertutur kata lembut seperti dirimu. Dia besar dengan rupa yang begitu tampan, serta memiliki alis dan hidung seperti dirimu."

"Ais," panggil Aiman sekali lagi pada langit cerah di rooftop. Seolah-olah, wanita yang diajak berbicara ada di atas sana. Memperhatikan dengan ekspresi wajah lembutnya.

Tanpa terasa, air mata yang selama ini dia simpan kembali menetes. Sudah lama sekali Aiman tidak menitikkan air matanya. Dirinya terlalu sibuk mengurus anak hingga kadang lupa memiliki waktu untuk sendiri.

Dari bangun tidur, tujuan utamanya adalah kamar mandi untuk membersihkan tubuh, lalu lanjut sholat subuh, kemudian memasak. Setelah beres, dia lanjut membangunkan Hassan dan menyuruh anak kecil itu untuk mandi. Selama menunggu anaknya selesai, pria itu dengan cekatan memasukkan keperluan anaknya selama dititipkan di rumah orang tuanya.

Usia Hassan semakin hari semakin bertambah hingga kini dia sudah berusia 5 tahun. Anak itu sudah sekolah TK A bersama dengan anak tetangga dari ibunya. Walaupun tidak memiliki figur ibu, tetapi Aiman selalu dan selalu menceritakan menghidupkan Aisyah di dalam hati anaknya.

Ibu adalah sosok yang baik dan sholehah. Itu adalah kata-kata yang sering diucapkan Aiman kepada Hassan.

Aiman menanamkan sejak kecil jika ibunya adalah figur yang sangat baik. Namun, pernah satu kali ketika Hassan baru pertama kali masuk TK. Ada anak seusianya bertanya di mana ibunya dan dengan polos anak pria tersebut mengatakan, jika ibunya sudah ada bersama dengan Allah SWT.

Mungkin sejak itu, kabar tentang Hassan anak piatu pun mulai menyebar. Dia dirundung tanpa mau membalas. Dia tidak marah, apalagi balas mengejek anak-anak yang lain. Hassan hanya diam dan tidak pernah mengeluh, atau melaporkan kejadian tersebut.

Hingga suatu ketika, waktu pengambilan raport semester pertama. Aiman melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika Hassan tengah diolok-olok oleh 3 anak seusia anaknya. Dia marah, tetapi saat melihat sinar teduh dan gelengan kepala darinya membuat pria tersebut hanya bisa mengepalkan tangan.

“Anakmu begitu kuat. Tapi, aku takut. Jika apa yang diperlihatkannya justru hanya kebohongan. Sebuah topeng agar diriku tidak cemas. Sayang, tolong awasi Hassan dari atas sana! Karena anakmu begitu pandai menutupi rahasia.”

Aiman masih berbicara seorang diri. Dia tidak takut akan dikira gila oleh orang lain karena memang tempat ini adalah tempat teraman yang selama ini dia gunakan untuk menyendiri. “Aku sangat merindukanmu, Sayang,” lirihnya sendu.

“Kenapa kamu sudah beberapa bulan ini tak pernah menyambangiku di dalam mimpi. Apa kamu tidak merindukanku, Dek? Masmu benar-benar butuh pelukanmu, Sayang. Rasanya, aku ingin menjerit, menangis, tetapi tidak bisa. Lalu, aku harus bagaimana?” Air muka Aiman sudah terlihat pasrah sekali.

Seorang ayah yang selalu memperlihatkan wibawa dan juga sangat disegani oleh orang lain. Kini, seperti bukan Aiman yang seperti biasa. Rapuh, dan begitu patut dikasihani.

“Aku butuh dirimu, Sayang. Aku butuh sosok seperti dirimu untuk menangani sifat keras kepala Hassan yang sama persis denganku. Dia selalu berlagak sok bisa, sok paling hero dalam menghadapi suatu masalah. Tapi, nyatanya …," jedanya tak bisa melanjutkan ucapannya.

Pria itu kini hanya bisa memeluk tubuhnya dan menangis di antara kedua kakinya. Aiman sungguh butuh sandaran dan yang selama ini tak pernah ia dapatkan. Mungkin, sudah lupa juga bagaimana rasanya.

"Aku rindu kepadamu, Sayang," ucapnya di antara sela tangisannya.

Seolah sosok yang selama ini jauh darinya datang bersama dengan angin sepoi yang membelai rambut si pria. Menyampaikan, jika tak boleh bersedih karena langit juga akan menangis saat melihat salah satu umatNya Allah bersedih.

Langit yang tadinya cerah, kini berubah mendung. Awan hitam mulai menyelimuti bumi. Meneteskan air sedikit demi sedikit hingga menjadi deras.

Aiman seolah masih larut dalam kesedihan hingga tak peduli dengan hujan yang tengah mengguyur bumi Pertiwi. Sampai suara seorang datang dengan wajah cemas dan payung hitam yang memayungi tubuh yang masih betah duduk di tepi tembok.

"Bangunlah, Mas! Kak Aisyah tidak akan suka melihatmu seperti ini. Hassan juga butuh dirimu yang tegas dan tegap dalam menghadapi hidup. Jadi, bangkitlah demi dia!"

"Fathimah," panggilnya lirih saat melihat siapa yang datang, lalu setelah itu tubuhnya pun lunglai di atas lantai yang basah terkena hujan.

Bab 3 Melengos

“Abi … ayo bangun Abi! Abi gak boleh tidur mulu. Nanti Hassan main sama siapa?” Suara tangisan dari seorang anak kecil di dalam ruangan kelas 1 di sebuah rumah sakit menggema. Sudah sedari tadi, semenjak dia datang 30 menit yang lalu anak tersebut menangis terus.

Kedua neneknya pun sudah berusaha untuk menenangkan, tetapi anak tersebut belum juga mau diam. “Sayang, jangan seperti ini. Nanti abi justru bersedih saat melihat kamu menangis,” bujuk si Situ–ibu dari Aiman.

“Iya, Nak. Nanti abi malah merajuk melihat anak kesayangannya bersedih. Jadi, Nak Hassan harus kuat yah dna kita doakan agar abi cepat sadar. Ok!” Rania–Ibu dari Aisyah mengusap rambut dari cucu keduanya.

“Tapi, Nek. Hassan gak mau liat abi di sini. Hassan ingin abi pulang ke rumah. Nemenin aku main dan belajar. Hassan juga janji akan berlaku lebih baik lagi. Hassan gak mau jadi yatim piatu, Nek,” ujar anak kecil itu dengan begitu pedihnya.

Rania dan Siti lalu memandang satu sama lain. Mereka seolah tahu jika sang cucu tengah ketakutan akan kehilangan sosok ayah, sekaligus ibu bagi dirinya. Tak tega melihat Hassan semakin sedih, akhirnya Siti memutuskan untuk menggendong anak tersebut ke luar ruangan.

Rania sendiri memilih mengekor. Dia tahu jika Siti bisa menangani Hassan, tetapi dia ingin melihat bagaimana cucunya tenang. Namun, saat pintu ruang rawat inap sang menantu dibuka, mereka dikejutkan dengan kehadiran dari sosok cantik berjilbab putih tengah berdiri di depan ruangan.

“Fathimah? Kaukah itu?” tanya Rania kaget.

Wanita yang bernama lengkap Fathimah Azzahra itu segera mengambil kedua tangan orang tua Aiman dan juga Aisyah. “Iya, Tante. Ini saya Fathimah. Tante gimana kabarnya?”

Raina tersenyum hangat kepada teman satu sekolah dan satu fakultas Aisyah itu dengan lembut. Sudah hampir 10 tahun mereka tak berjumpa karena sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.

Bukan karena sombong, atau apa, melainkan karena kesibukan Fathimah yang mengajar di pulau seberang membuat mereka wajar, jika baru pertama kali bertemu. Lagipula, selama ini yang berhubungan baik dengannya adalah Aisyah dan wajar saja ketika sahabat karibnya meninggal, wanita itu juga merasa kehilangan.

“Oh, iya, kenalkan ini besan saya dan ini cucu saya juga.”Rania memperkenalkan Siti dan juga Hassan kepada sahabat baik anaknya.

“Assalamualaikum, Tante. Assalamualaikum juga dedek kecil,” sapa Fathimah ramah. Dia bahkan menangkupkan tangannya di depan Siti yang masih menenangkan anak kecil dalam gendongannya.

“Waalaikumsalam, Nak. Tante tinggal dulu, ya. Soalnya cucu saya sedang rewel,” ucap Siti pamit undur diri.

Fathimah yang memang datang untuk menjenguk suami dari sahabatnya segera membungkuk sopan kepada Siti. Dia tersenyum sopan kala Rania menatapnya sendu. “Bagaimana kabar, Tante?”

“Ya, seperti yang kamu lihat, Fat. Tante sekarang lebih sering bersama cucu dan jarang bepergian seperti dulu,” ceritanya menerawang jauh. Mungkin wanita paruh baya itu teringat akan mendiang anaknya yang kedua–Aisyah.

Fathimah yang melihat ibu dari sahabatnya bersedih segera mendekatinya. Dia usah bahu wanita paruh baya itu dengan penuh perhatian. “Maaf, ya, Tante. Gara-gara saya, tante jadi teringat Mbak Ais,” sesal wanita single tersebut.

Rania langsung menggeleng. Dia menepuk punggung tangan Fathimah agar wanita di depannya tidak merasa bersalah. “Fa, kamu itu tidak salah. Ini hanya tantenya saja yang sedang rindu pada dia. Jadi, kamu gak perlu merasa bersalah seperti itu.”

“Tapi, Tante–”

“Ssttt!” Rania menggeleng dna menaruh telunjuknya di depan bibir. “Kamu gak salah. Udah, gak usah dipikirin. Oh iya, ada apa kamu ke sini? Apa kamu mau menjenguk Aiman?” tanyanya ingin tahu.

Fathimah mengangguk sopan. “Iya, Te. Saya dan Mas Iman ini memang sudah saling mengenal sejak Almarhum menikah dengan dia. Tapi, kami gak terlalu dekat, sih. Hanya saja, beberapa bulan ini kami bekerja di satu tempat yang sama,” jelasnya.

Rania mengangguk. “Iya, tante percaya. Yuk, tante temani!” ajaknya, lalu membukakan pintu kamar rawat menantunya untuk mempersilahkan tamunya masuk.

Fathimah sendiri senang jika ditemani karena dia juga gak mau membuat orang salah paham atas kehadiran dirinya di ruang rawat seorang lelaki, apalagi hubungan mereka ini hanya teman. Nanti yang ada malah timbul fitnah dan dia tidak mau itu terjadi.

*

Setelah sehari dirawat di rumah sakit, Aiman pun pulang ke rumah. Hassan sendiri tidak mau jauh dari ayahnya. Dia terus memeluk hingga tak mau dipisahkan. Membuat kedua neneknya kewalahan.

Kini, adalah waktunya Aiman untuk berangkat mengajar di sekolah yang selama ini telah menjadi tempat pria itu menyebarkan ilmu yang telah dipelajari. Namun, Hassan seolah tidak mau jauh, anak kecil itu terus saja menggelayuti tubuhnya.

“Nak, abi mau berangkat mengajar. Apa kamu gak mengizinkan abi untuk pergi?” tanyanya lembut, sambil mengusap rambut anaknya yang seperti koala dalam gendongan.

Hassan menggeleng dalam gendongan. “Abi di rumah saja. Kalau gak, biar Hassan ikut abi mengajar. Hassan benar-benar ingin bersama abi terus!” Kedua bola mata anak kecil itu terlihat begitu memohon.

Aiman melihat ke arah ibunya, sedangkan wanita paruh baya itu tersenyum kikuk. Dia pun akhirnya kembali melihat Hassa. “Tapi, nanti abi gak bisa nemenin Hassan di sana. Abi harus ngajar kakak-kakak tentang agama dna pastinya jadi tidak bisa fokus ke Hassan.”

“Tidak apa-apa. Abi. Hassan janji tidak akan nakal dan pasti akan jadi anak yang baik buat abi!” Hassan terlihat semangat, terlihat sekali dari wajahnya yang berubah sumringah.

“Apa tidak apa, Bi?” tanya Siti mengikuti memanggil anaknya dengan panggilan yang sudah sejak 5 tahun ini diberikan kepada Aiman. Dia hanya tidak mau membuat Hassan mengikuti panggilannya ketika memanggil nama asli dari pria tersebut.

“Tidak apa, Nek. Nanti abi akan minta temen buat jaga Hassan di sana,” ucap Aiman menenangkan.

“Yaudah, terserah kamu saja, Bi. Nanti, kalau memang ada apa-apa bisa telpon nenek.”

Aiman mengangguk. “Insya Allah, Nek.”

“Bi, apa nenek boleh bertanya sesuatu?” Siti segera menahan langkah Aiman yang hendak pergi meninggalkan ruang makan bersama anaknya–Hassan.

“Apa itu, Nek?” tanya Aiman masih berdiri.

“Apa kamu tidak ingin menikah lagi?”

Aiman langsung melengos. “Maaf, Nek. Abi harus pergi ke sekolah dulu. Assalamualaikum!”

Siti menghela napas berat. “Kapan kamu akan menghindar terus, Man? Hassan butuh sosok ibu,” lirihnya, sambil menatap punggung anaknya dengan sendu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!