NovelToon NovelToon

Kesepakatan Yang Menghukum Sang Tiran

01| Kesepakatan untuk Sang Tiran

...SELAMAT MEMBACA...

"Katanya semua anggota keluarga kita akan dieksekusi."

Gaia Kahina Seil, Putri pertama keluarga Isra tampak tercenung setelah menguping pembicaraan ayah dan ibunya. Celah kecil di pintu sudah cukup membuatnya tahu penyebab ayah cemas beberapa pekan terakhir ini.

"Apa kita membuat masalah, Sayang?" Hare, Marchioness bertanya cukup cemas pada suaminya, Abian.

"Tidak. Orang itu menganggap kita akan membuat masalah di masa depan karena sebelumnya Isra adalah faksi terkuat mendiang pangeran kedua."

"Jadi Yang Mulia berpikir kita bisa melakukan pemberontakan?"

"Ya. Aku sudah menemuinya dan bersumpah tidak melakukan pemberontakan dan setia berada di sisinya, tapi ... "

Abian tampak rapuh dan hendak menangis karena kalimat yang menggantung tidak memberi hal baik.

Empat bulan lalu, Kerajaan Retkan mengalami kekacauan. Pria bernama Rahid Stearic Hill melakukan pembantaian besar di istana, membunuh semua suksesor termasuk raja, ayahnya sendiri. Rahid merupakan anak haram raja dengan seorang peramu nikmat tersohor di ibu kota. Oleh karena itu, raja enggan mengakui Rahid sebagai salah satu suksesor takhta dan menganggapnya sebagai aib kerajaan sehingga kemudian raja mengasingkan istrinya yang baru saja melahirkan Rahid  jauh dari ibu kota, tepatnya di wilayah utara, wilayah terdingin Kerajaan Retkan yang dipenuhi monster.

"Aku siap menerima eksekusi mati, tapi bagaimana denganmu dan dua putri kita?" Abian begitu nelangsa lantas Hare mendekap suaminya penuh kasih sayang.

Gaia sudah tidak sanggup menguping dan berpura-pura tidak tahu lebih lama jadi dia masuk dan mengejutkan kedua orang tuanya.

"G-gaia?" Abian terbata namun Gaia hanya menunjukkan raut wajah tak berseri seperti biasa.

"Aku akan membuat kesepakatan pada Yang Mulia, Ayah." Gaia berujar penuh keyakinan.

Abian dan Hare langsung melotot dan menggeleng cepat sembari melontarkan larangan.

"Apa yang kamu pikirkan, Gaia?! Bisa saja orang itu akan memenggalmu sebelum mulutmu terbuka."

Itu mungkin benar. Gaia sudah menangkap beberapa rumor mengenai Rahid. Pria berdarah dingin itu sudah terbiasa menggelontorkan kepala seseorang seolah itu adalah hal menyenangkan, tapi rumor tetaplah rumor.

"Aku tahu kelemahan pria itu, Ayah," ungkap Gaia.

"Kamu?" Abian tampak skeptis.

Gaia terdiam cukup lama. Beberapa hari lalu, ia mendatangi sebuah guild informasi untuk mendapat beberapa potong rahasia. Walau harganya memang fantastis, Gaia pikir itu sepadan sekarang.

"Aku akan berangkat besok."

"Tidak! Ayah melarangmu!" Abian membentak.

Gaia lantas menautkan alis dengan menatap berang Abian. "Melindungi keluarga adalah bagian dari tugasku karena aku adalah penerus keluarga ini!"

Abian termenung. Ini pertama kali Gaia menunjukkan sikap keras kepala terhadapnya dan mungkin ekspresi penuh kemarahan itu berusaha menamparnya agar tidak menyelesaikan masalah sendiri di saat ada yang bisa menyelesaikannya.

"Aku akan pergi bersama Sir Daniel, jadi ayah tidak perlu terlalu khawatir. Lagi pula aku yakin bahwa pria itu tidak akan menolak tawaranku."

Gaia lantas berlalu dari sana dan berpapasan dengan adiknya, Wysia Sirian.

"Apa yang terjadi, Kak?" Wysia bertanya setelah mendapati kecanggungan dan ketegangan dalam ruangan.

Gaia tersenyum sembari mengusap pucuk kepala Wysia. "Kamu baru pulang dari pesta teh Lady Irian, ya. Apakah menyenangkan?"

Wysia angguk kepala dengan antusias, menyiratkan kebahagiaan padahal dia sangat sedih karena Lady Irian dan wanita bangsawan lainnya terus menyinggung rumor tentang keluarganya yang akan dieksekusi.

"Kamu bohong, ya?" Ibu jari Gaia bergerak untuk mengusap jejak air mata di pipi gembil kemerahan adiknya.

Perlahan mata Wysia berkaca-kaca dan Gaia menahan geraman. "Apa yang terjadi disana?"

Wysia melirik Abian dan Hare dengan cemas. "Ayah, ibu ... apa benar kalau keluarga kita akan dieksekusi pekan depan?"

Napas Abian seolah tercekat di kerongkongan. Lidah Abian menjadi kelu saat hendak menjawab pertanyaan Wysia namun, Gaia mengalihkan perhatian Wysia untuk mendengarkannya. "Apa Lady Irian yang mengatakannya?"

Wysia mengangguk lemah. "Semua wanita menyinggung masalah itu."

Irian adalah putri duke, keluarga yang mengkhianati raja setelah tahu pergerakan Rahid. Oleh karena itu, Gaia paham mengapa Irian begitu percaya diri menghina keluarganya yang sebelumnya jauh lebih terpandang. Keluarga Isra dan Keluarga Duke Agneto sering berselisih, seharusnya Gaia bertindak lebih tegas agar Wysia tidak hadir disana setelah tahu kalau berita buruk yang menimpa keluarganya sudah menyebar di kalangan bangsawan.

"Itu tidak akan terjadi. Sebaliknya, apa kamu mau aku memberi mereka sedikit pelajaran?" Gaia tersenyum manis dan Wysia menggeleng dengan cepat.

"Pelajaran itu pasti cukup keras, kan?" pikir Wysia sambil menelan ludah.

...***...

Gerbang utama berderit. Dua penjaga mempersilakan kereta kuda berlambang keluarga Marquess Isra memasuki istana. Beberapa mata telah terpaku pada Gaia yang turun dari kereta kuda sembari menerima uluran tangan Daniel, ketua kesatria di keluarga Isra.

Sudah lama tidak mengunjungi istana, tapi Gaia masih mendapati susunan yang tak berubah namun, suasana terasa berat.

"Bisakah saya bertemu Yang Mulia?"

Gaia langsung mengutarakan maksudnya pada pemuda yang menyambutnya sesaat pintu terbuka.

"Anda bisa menunggu. Saya akan menyampaikannya pada Yang Mulia."

Gaia angguk kepala dan berdiri di depan pintu ruang takhta. Tak lama si pemuda kembali dan meminta Gaia untuk masuk. Permadani merah terjulur hingga ke bagian singgasana berada.

Rahang wajah kokoh nan tegas, rambut dan mata hitam pekat bak bulu gagak, tubuh gagah, serta kulit tan mengilap, begitulah sosok yang tengah duduk di singgasana tersebut. Gaia hampir terbuai hingga buru-buru memutuskan kontak mata dari pria itu.

"Apa Marquess mencoba melakukan kesepakatan dengan memberikan putrinya?" cibir Rahid.

Gaia lantas angkat kepala, bahkan belum sempat memberi salam, Rahid langsung menyuguhkannya dengan perkataan yang sarkas.

"Tidak, Yang Mulia. Saya datang untuk membuat kesepakatan dengan Anda."

Rahid diam. Matanya menelisik jauh ke dalam hazel indah Gaia yang berkilau tanpa rasa takut, seolah kepercayaan diri melingkup tubuh kecil yang rapuh tersebut.

"Kamu?" Rahid tampak tidak senang.

"Saya ..., " Gaia berdiri kemudian kedua tangannya menadah di depan perut seperti berdoa dan tak lama cahaya dengan pertikel-partikel emas berkilau mengudara di sekitar tubuhnya.

Sepasang mata hitam Rahid terbelalak melihat betapa indahnya cahaya itu, tapi bukan hanya itu yang membuai pandangan melainkan rambut blonde Gaia yang mengembang oleh cahaya disusul mata hazel berubah menjadi amber.

"Kekuatan suci saya bisa menyembuhkan kutukan yang menggerogoti tubuh Anda," lanjut Gaia.

Mendengar perkataan Gaia, ekspresi Rahid lantas berubah berang. Pria itu bangkit dari singgasana setelah menarik pedang di pinggangnya, mengarahkannya pada leher jenjang Gaia. Jauh di belakang Gaia, Daniel sudah mencekam kuat gagang pedangnya namun, Gaia memberi kode dengan jemari di balik punggung agar Daniel tetap memperhatikan saja dari sana.

Sementara itu, para kesatria Rahid yang sudah sejak awal bersembunyi di balik pilar terbelalak mendengar perkataan putri marquess itu. Wanita itu tampak tak goyah dan ketakutan dan tetap mempertahankan kontak mata dengan raja mereka.

"Beraninya kamu mencari tahu tentangku."

"Saya tidak punya pilihan lain untuk menggunakan kelemahan Anda sebagai kesepakatan karena keluarga saya sudah berada dalam genggaman Anda."

"Bagaimana jika aku menolakmu? Lagi pula, aku tidak peduli jika harus mati karena dendamku sudah terpenuhi." Rahid menyeringai, menekan pedang pada bawah dagu Gaia agar lebih menatapnya.

Gaia mulai goyah. Jika Rahid bersungguh-sungguh dengan perkataan barusan, maka pada akhirnya ia akan melihat keluarganya berakhir di bawah guillotine.

Rahid tersenyum sinis melihat Gaia terpojok. "Kenapa kamu berhenti bicara?"

Gaia kesal dan secara sadar menatap sengit pada Rahid. "Saya melihat aura kutukan itu sudah sampai jantung Anda. Sepertinya sebelum keluarga saya, Anda akan mati lebih dulu."

Para kesatria bergidik sambil melotot. Saat ini mereka seperti mendapati dua guntur saling melilit dan menyambar satu sama lain. Gaia terlihat seperti Tiran dari negara lain, mulutnya seolah menjadi pedang pengganti untuk menahan pedang rahid di bawah dagunya.

Rahid terkesiap lantas tergelak sambil kembali menyarungkan pedang ke pinggang.

"Kalau begitu, mari kita buat kesepakatan." Rahid meraih punggung tangan Gaia dan mendaratkan kecupan singkat di sana.

...BERSAMBUNG ......

02| Menulis kontrak

...SELAMAT MEMBACA...

Gaia tidak berkedip ketika tangannya dengan lihai menari di atas kertas dengan sebuah pena bulu sementara Rahid hanya diam sambil memandangi keseriusan dan kehati-hatian Gaia dalam menulis kontrak setelah kesepakatan disetujui.

"Sudah."

Gaia meletakkan pena bulu pada botol kaca mungil lalu menyodorkan kontrak pada Rahid yang duduk di seberangnya. Saat ini, Gaia berada dalam ruang kerja pribadi Rahid dan duduk di sofa yang berseberangan dengan pemilik ruangan.

Pihak pertama, Gaia Kahina Seil, bersumpah dengan mempertaruhkan jiwa dan raga untuk memenuhi perjanjian menyingkirkan kutukan di tubuh Pihak kedua, Rahid Stearic Hill, menggunakan kekuatan suci. Maka dari itu, Pihak kedua pun berjanji untuk melindungi keselamatan keluarga pihak pertama dan tidak menjatuhkan hukuman mati bahkan sampai perjanjian telah berakhir. 

Rahid angguk kepala, tapi alisnya sedikit terangkat karena merasa ada yang kurang. Jadi, dia meraih pena bulu untuk menorehkan beberapa syarat lagi.

Selama perjanjian berlangsung, Pihak pertama adalah milik Pihak kedua. Apapun yang diperintahkan oleh Pihak kedua harus dituruti oleh Pihak pertama.

"Hah? Si Brengs*k ini menulis apa?!"  Gaia tidak terima setelah melihat apa yang ditulis Rahid di bawah tulisannya.

Melihat raut wajah Gaia memburuk, Rahid tahu bahwa wanita itu pasti memakinya jadi kekehan kecil lolos dari bibir tebalnya. "Jika kamu tidak mau, kita batalkan saja kesepakatan ini dan aku akan mengirim pasukan untuk membawa keluargamu kemari untuk di eks—"

"Tsk! Kalau begitu aku punya syarat lainnya!" Gaia langsung menyela dan mengambil alih pena bulu di tangan Rahid, menorehkan beberapa baris baru.

Pihak pertama akan menerima perintah apapun dari Pihak kedua, dengan syarat bahwa Pihak kedua tidak akan menggunakan tubuh Pihak pertama untuk kepuasan pribadi.

"Pftt ... " Rahid nyaris menyemburkan tawa melihat apa yang Gaia tuliskan disana. Sayang sekali, padahal ia sempat berpikir untuk melakukan hal itu, tapi Gaia sudah seperti macan hanya karena melihatnya.

"Apa masih ada keluhan lagi?" Gaia menahan emosi melihat bahu Rahid bergetar samar karena menahan tawa.

Rahid menggeleng sambil menyeka setitik air di sudut mata lantas menggerakkan lonceng kecil bersepuh emas di meja. Tidak lama ajudan Rahid, Eslan Vern masuk dan menghadap.

"Ya, Yang Mulia?"

"Simpan ini di tempat yang aman." Rahid memberi isi kontrak pada Eslan setelah menandatanganinya.

Eslan meraih kontrak penuh kehati-hatian lantas matanya sedikit melirik pada Gaia yang menatap was-was pada tuannya.

"Setelah menyimpannya, datang kembali untuk mengantar Lady Gaia pulang." Rahid memberi perintah pada Eslan.

"Baik, Yang Mulia."

Tak butuh waktu lama, Eslan sudah datang dan Gaia bisa bernapas lega setelah jauh dari jangkauan mata Rahid. Selama perjalanan menuju lorong, Eslan hanya diam tapi Gaia tahu bahwa sesekali mata pria yang dua tahun lebih tua darinya terus melirik.

"Apa ada yang menempel di wajah saya?" Gaia mengembuskan napas.

Eslan langsung menggeleng. "Maaf, kan, Saya. Hanya saja, ini pertama kalinya Saya bisa melihat Lady lagi setelah pesta debut Lady tujuh tahun lalu."

Gaia terdiam. Sejak debutnya dilakukan di umur 15 tahun, seharusnya ia sudah bisa keluar masuk di pergaulan bangsawan, menghadiri beragam pertemuan di pergaulan sosial, tapi Gaia selalu sibuk membantu ayahnya mengelola march juga perbatasan. Selain itu, karena memiliki kekuatan suci, Gaia juga terkadang menghabiskan waktu di kuil untuk menjadi sukarelawan yang menyembuhkan beberapa orang yang terkena sihir hitam.

"Maaf belum memberi salam sebelumnya. Saya Eslan Vern, putra kedua Viscount Agren."

"Senang bertemu anda, Tuan Eslan."

"Anda bisa memanggil saya dengan lebih santai."

"Saya akan melakukannya jika kita sedang berdua seperti ini, Eslan."

Eslan tersenyum dan tidak terasa sudah berada di luar. Halaman dengan kereta kuda di belakang Daniel telah terlihat. Gaia lantas pamit undur diri pada Eslan sementara dari ruangan jauh di atas sana, Rahid mengamati kepergian Gaia melalui jendela.

"Gaia Kahina Seil? Aku bahkan tidak tahu ada wanita semacam itu di Retkan." Rahid lantas menjauh dari sana untuk beristirahat di kamar.

...***...

Esok harinya, kicauan burung yang biasa terdengar merdu telah berganti menjadi salak-salak anjing. Gaia mengeluh sambil merenggangkan sendi tubuh, terduduk di kasur sambil melihat cahaya matahari telah menerabas masuk dalam kamarnya.

"Apa ada kekacauan di bawah sana, Erin?" Gaia mendelik ke arah pelayan pribadinya yang sibuk menyiapkan pemandian dan gaun untuk Gaia.

"Entahlah, Nona. Sudah sejam sejak anjing-anjing itu berulah."

Gaia mendengus lantas membiarkan Erin menanggalkan gaun tidurnya. Tubuh ramping dan mulus Gaia lantas masuk ke dalam kamar mandi, membiarkan kulit putih semulus porselennya tenggelam oleh hangatnya air yang ditabur wewangian.

"Rambut Nona semakin indah saja." Erin memuji ketika memberi pijatan di kepala Gaia yang sudah tertimbun busa.

"Itu berkatmu, Erin."

Erin terkikik kemudian mulutnya membulat. "Oh, ya, Nona! Sejak Nona kembali dari istana, pagi ini orang-orang tampak berisik. Mereka bilang bahwa Yang Mulia terkena kekuatan suci Nona sehingga menghentikan eksekusi dan menyatakan bahwa keluarga Isra berada langsung dalam lindungannya."

Hah?

Gaia mengerutkan dahi. Kepalanya yang terbaring di tepi bak langsung menatap Erin di atas wajahnya. "Berada di bawah lindungannya?"

"Nona belum tahu? Ah, mungkin karena Nona bangun siang dan tidak membaca surat kabar."

Tanpa banyak bicara lagi, Gaia langsung menyambar jubah dan meninggalkan kamar mandi. Matanya bergerak mencari surat kabar terbaru yang biasa Erin sediakan di meja rias. Erin memekik tertahan karena busa masih melimpah di kepala Gaia juga harus buru-buru mengekori.

"Nona .... setidaknya beri saya aba-aba." Erin menggerutu.

"Kakak!"

Wysia langsung muncul tanpa mengetuk pintu, membiarkan daun pintu terbuka lebar. "Kakak sudah baca surat kabar hari ini?!"

Wysia langsung mendekat namun, melihat raut wajah geram kakaknya setelah membaca surat kabar, Wysia hanya bisa mengatupkan bibir dengan rapat.

"Saya pikir kecantikan dan kekuatan suci milik Lady Gaia Kahina Seil harus dilindungi dengan tangan saya sendiri." 

Begitulah sepotong kalimat dalam surat kabar yang katanya merupakan dialog Tiran berhati keji tersebut. Gaia langsung membanting surat kabar tersebut ke meja dan melirik Wysia yang kedua tangannya penuh oleh dua benda.

"Apa itu, Wysia?" Gaia mendelik tajam pada tangan kiri Wysia yang mencekal gulungan perkamen merah berbalut emas sementara tangan kanan memegang surat kabar.

"I-ini dekret dari Yang Mulia."

Jantung Gaia berdetak lebih cepat sesaat mengambil alih dekret dan membukanya secara perlahan.

"Bersama dengan dekret ini, dia memintaku untuk menjadi pelayan pribadinya? Siala—"

Gaia membanting dekret tersebut dan melayangkan makian, tetapi dengan cepat Erin membungkam mulut Gaia.

"N-nona tenanglah!"

Cukup lama Gaia memaki dalam bungkaman tangan Erin dan sekarang napasnya terlihat lebih teratur. Busa di rambut pun sudah berkurang dan raib, namun emosi Gaia masih meluap.

"Dekret memiliki kekuatan hukum yang kuat. Seseorang yang menerima dekret tidak bisa menolak apapun alasannya. Apa yang harus kita lakukan, Kak?" Wysia tampak cemas setelah melihat isi dekret yang menyebutkan bahwa Gaia diangkat menjadi dayang pribadi sang tiran.

"Sesuai perjanjian, aku harus menuruti perintahnya. Tapi aku tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal ini!"  

Gaia mengetatkan rahang lantas kembali ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan pergi ke istana untuk menemui Rahid. Sedangkan itu, di istana, Rahid sudah terkekeh melihat bagaimana surat kabar yang dia perintahkan pada Eslan kemarin sudah menimbulkan kehebohan.

"Sekarang, siapkan cemilan dan teh untuk tamu yang sebentar lagi tiba," perintah Rahid pada kepala pelayan.

...BERSAMBUNG ......

03| Kuil Sanctia

...SELAMAT MEMBACA...

Pada zaman kuno, penyihir telah mendobrak kepercayaan manusia terhadap dewa. Menggunakan sihir yang mereka miliki, para penyihir mengaku sebagai ras baru yang lebih cepat menolong manusia dari pada dewa karena untuk meminta bantuan dewa, manusia harus pergi ke kuil untuk berdoa atau memberikan sesuatu sebagai bentuk keseriusan mereka. Oleh karena itu, perburuan penyihir di lakukan dan yang tersisa bersembunyi dari tangan orang-orang kuil suci dan kerajaan. Lalu sekarang, para penyihir dikatakan sudah musnah.

Akan tetapi, lima puluh tahun lalu pergerakan penyihir yang menggunakan sihir hitam mulai terlihat. Beberapa kelompok manusia membentuk sekte dan melakukan ritual aneh dengan menjadikan penyihir sebagai tuannya. Lalu kemudian 26 tahun lalu, mendiang ibu Rahid terkena kutukan yang membuat tubuh perlahan membusuk dan hitam. Lalu, ketika masih belia, Rahid mendapat kutukan pula, itu terjadi ketika dirinya diculik dan terbangun di tempat aneh.

Berbeda dengan ibunya, tubuh Rahid hanya akan menghitam dan kaku seperti batu. Saat ini, sebagian tubuhnya kecuali wajah dan leher sudah menghitam dan sedikit sulit digerakkan walau begitu Rahid masih mampu menghancurkan era kekuasaan ayahnya.

"Yang Mulia, Lady Gaia sudah datang."

Kepala pelayan menyahut dari luar pintu ruang kerja.

"Biarkan dia masuk."

Rahid lantas meninggalkan kursi kerja dan duduk di sofa, membiarkan Gaia masuk dan mengisi sofa di seberang sana. Teh hitam sudah disuguhkan bersama beberapa kue kering dan scone dalam wadah bertingkat, Gaia langsung menatap Rahid dengan dingin.

"Melihat amarah menggantung di wajahmu, sepertinya kamu sudah menerima dekretku, ya." Rahid menyesap teh dengan santai.

Gaia mengembuskan napas lalu angguk kepala namun itu membuat Rahid sedikit mengerutkan dahi. Respon tenang yang tidak Rahid pikirkan dari Gaia.

"Kenapa kamu jadi tenang begitu?" Rahid penasaran.

"Saya pikir keputusan Anda tidak buruk. Jika saya jadi dayang pribadi, mudah bagi saya untuk melakukan penyembuhan berkala pada Anda."

"Hm, ya itu sangat masuk akal. Jadi kapan kamu akan bekerja untukku?"

Gaia tersenyum manis. "Karena saya tidak mau memperpanjang waktu kesepakatan kita, besok saya akan mulai bekerja."

Rahid mengulas senyum. "Keputusan yang bagus."

"Kalau begitu, sebelum kamu mulai bekerja besok, Basen akan mengajarimu beberapa hal yang sangat penting termasuk jadwalku." Rahid lantas menyuruh kepala pelayan yang berusia 56 tahun tersebut masuk.

"Senang bertemu dengan Anda, Nona. Saya Basen, kepala pelayan Istana. Semua urusan rumah tangga istana adalah tugas saya, ke depannya saya harap Nona bisa mengikuti bimbingan dari saya."

"Senang bertemu dengan anda juga."

"Kalau begitu untuk apa duduk lebih lama? Sekarang ikuti Basen dan pelajari semua tugasmu sebagai dayangku." Rahid menelengkan kepala sembari menunjukkan tatapan agar Gaia segera pergi mengikuti Basen.

Dari awal, Rahid memang mempermainkannya, tapi tatapan angkuh yang seolah merendahkannya itu membuat Gaia benar-benar harus menekan harga diri. Walau kemarin bisa bertindak sedikit kurang ajar, Gaia yakin itu sedikit kemurahan hati Rahid karena tertarik dengan tindakannya, tapi saat ini, ketika kaki telah melangkah masuk ke istana, maka Gaia harus bersabar menghadapi segala tindakan yang akan Rahid arahkan padanya, tentu saja itu ada batasan.

...***...

Gaia menatap nanar Sanctia, kuil kecil yang berada di kota Halta, sebuah bangunan tua yang berumur ribuan tahun tersebut masih tampak kokoh dan bersih. Orang-orang di Halta jarang mengunjungi Sanctia karena penampilannya cukup tua kebanyakan orang mengunjungi kuil yang terlihat megah, tapi sejak kecil Gaia selalu terpesona dengan Sanctia sehingga kuil ini menjadi tempat pelariannya saat mengalami masa-masa sulit.

"Sudah lama tidak melihatmu, Gaia."

Sapaan pria berambut putih panjang menyadarkan lamunan Gaia. Pemuda yang tengah tersenyum cerah dengan kedua tangan di balik punggung tersebut adalah penjaga kuil ini. Sama sepertinya, pemuda itu memiliki berkat yaitu mampu melakukan komunikasi dengan para dewa.

"Senang bertemu denganmu, Sain."

Sain Lath, pria yang enam tahun lebih tua dari Gaia tersebut tersenyum dan mendaratkan sebuah kecupan pada punggung tangan Gaia yang diraihnya.

"Sepertinya kamu mengalami hal yang sulit."

Gaia tersenyum berat saat mengiyakan perkataan Sain. Perlahan keduanya memasuki kuil, pilar-pilar juga patung dekoratif dewa terlihat menghiasi sudut kuil. Beberapa bunga langka yang dirawat penuh kasih menebar keharuman hingga membuat Gaia nyaman.

"Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi, kan?" Gaia melirik Sain. Kini, keduanya duduk di sebuah kursi yang menghadap kolam berhias seorang dewi menyanggah basin dengan air yang terus mengalir di dalamnya.

Sain angguk kepala. Kabar bahwa Rahid mungkin memiliki alasan khusus membatalkan pengeksekusian terhadap keluarga Marquess Isra.

"Sebenarnya aku mengetahui fakta bahwa pria itu memiliki kutukan. Jadi, demi menghindari pengeksekusian, aku mengajukan kesepakatan."

"Kamu baik-baik saja?" Sain menatap cemas dan saat itu pula Gaia menggeleng lemah.

"Sebenarnya aku takut. Seorang tiran yang mampu membunuh keluarganya sendiri tanpa penyesalan bisa saja membunuhku walau terikat kontrak sekalipun. Untuk sesaat aku tenang, tapi bagaimana jika kesepakatan yang kubuat dengannya berakhir? Apakah dia akan tetap menepati janjinya atu membunuhku?" Tangan Gaia yang menangkup di atas pangkuan sedikit gemetar dan berkeringat.

"Tapi ... jika hanya membunuhku, kurasa aku tidak begitu takut. Tetapi bagaimana dengan keluargaku? Mereka bahkan bisa hidup lebih lama dariku."

Sain tak kuasa melihat ekspresi getir yang Gaia tunjukan. Pria berkulit pucat itu langsung meraih tubuh Gaia dan mendekapnya penuh kasih. "Apa yang kamu katakan tentang hidup lebih lama? Aku yakin, kamu bisa hidup lebih lama."

Gaia tidak memberi pergerakan, namun Sain bisa merasakan lengan pakaiannya basah oleh air mata. Lima belas tahun lalu, ketika Sanctia hampir terlupakan, Gaia muncul dan memberi bantuan renovasi tanpa menutupi corak awal kuil, selain itu membantu Sain untuk mengelola Sanctia sampai mendapatkan beberapa orang yang setia berdoa di sana. Oleh karena pertemuan itu pula, Sain tahu bahwa Gaia memiliki kekuatan suci luar biasa namun, itu bukan hal baik. Manusia bukanlah wadah yang sempurna untuk menampung kekuatan suci sebesar itu, jika dibiarkan maka energi kehidupan manusia akan menjadi wadah cadangan bagi kekuatan suci yang sudah tak mampu ditampung maka dari itu, Sain menyarankan Gaia untuk membantu kuil dan orang-orang yang perlu disembuhkan dari kutukan atau pengaruh sihir hitam. Kekuatan Gaia tidak diperuntukkan untuk menyembuhkan luka.

Lalu, Sain memutuskan untuk bertanya pada dewa tentang jalan keluar agar Gaia tetap memiliki umur yang panjang, tapi saat ini Gaia bahkan bisa terbilang sekarat. Tidak ada penyelamatan untuk Gaia, dan kebanyakan manusia yang diberkati kekuatan suci luar biasa akan mati muda, tidak ada yang hidup sampai umur 23 tahun sedangkan saat ini, Gaia sudah melangkah ke umur 23 tahun.

"Bagaimana aku bisa membantumu, Gaia?" lirih Sain.

"Kumohon, berikan aku kalung yang baru karena ini sebentar lagi hancur." Gaia melepaskan dekapan lalu menunjukkan kalung berbatu hexagonal.

Sain tertawa kecil melihat pangkal hidung Gaia yang kemerahan disusul permintaan dengan ekspresi memelas seperti anak kecil. Batu itu sudah diberkati oleh dewa dan direndam dalam air suci dalam waktu yang lama, kegunaannya untuk mengurangi rasa sakit yang Gaia terima karena efek kekuatan suci yang terus membengkak.

"Tentu."

"Aku menginginkan lebih banyak, Sain. Ke depannya kita akan jarang bertemu karena aku ditugaskan sebagai dayang pribadi pria itu."

Raut wajah Sain mengerut keras, urat lehernya pun agak timbul. "Kenapa kamu menjadi dayangnya?"

"Itu mempermudah ku untuk menyalurkan kekuatan suci secara berkala."

"Hidup di istana dengan bukanlah hal yang mudah. Kapan kamu akan kesana?"

"Besok."

Sain mengepalkan tangan, memejamkan mata sambil berusaha meredakan emosinya terhadap Rahid. Perlahan, kedua tangan Sain terangkat dan menangkup wajah Gaia lantas mendaratkan sebuah kecupan ringan di dahi, tak lama semua cahaya samar yang redup melingkup tubuh Gaia.

"Ini berkat dariku." Sain tersenyum.

...BERSAMBUNG ......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!