"Om gurami, nikah yuk!" teriak Vio ketika melihat sosok pria gagah itu keluar dari mobil sport berplat nomor satu angka yang terparkir didepan restoran.
Sontak saja, sahabat Vio yang mendengar pernyataan tersebut, tertawa terbahak-bahak.
"Siapa juga yang mau sama, lo! Masih kecil, sudah ngajakin om-om nikah! Mikir otak lo!" sesal salah satu sahabat Vio dari arah belakang.
Vio hanya terdiam, wajahnya memerah karena tidak menyangka, bahwa para sahabatnya tidak pernah mendukung kedekatannya dengan pria manapun. "Awas, ya. Gue akan membuktikan bahwa suatu hari nanti, gue yang akan menjadi istri untuk om gurami itu ...!"
***
Siang itu, Vio tengah melenggang menuju restoran 'fish and potato' yang sangat besar didepan sekolahnya. Ia tidak ingin berdebat dengan guru wali kelas yang selalu mengatakan bahwa dirinya harus menyelesaikan tugas matematika, kimia juga fisika karena tidak menyukai semua mata pelajaran tersebut.
Viona Anandita, gadis belia berusia 17 tahun, yang biasa di sapa Vio, kini telah duduk di bangku sekolah menengah atas kelas sebelas, dengan jurusan ilmu pengetahuan alam berdasarkan keinginan orang tuanya.
"Siapa juga yang suka belajar matematika, gue enggak suka, ya tetap aja dapat nilai rendah. Gimana sih ..." umpatnya ketika menyebrang jalan menuju restoran, sambil menunggu sopir pribadi keluarganya tepat time pulang sekolah.
Vio memilih duduk disamping kaca, yang terletak di sudut belakang, membuat pria bertubuh tinggi itu sedikit tersentak karena gadis muda mengenakan seragam putih dipadukan dengan rok kotak-kotak kemudian menghempaskan tas ranselnya di atas meja.
Dengan sangat hati-hati pria itu hanya mengerenyit, kemudian menjauhkan laptop yang terbuka, karena posisi duduk mereka berdekatan. "Sial ni abege labil, main seruduk aja kayak banteng ..."
Wajah Vio berparas cantik, bulu mata lentik, bibir mungil, dengan alis mata yang menyatu. Membuat Juan tersenyum tipis ketika beradu pandang dengan gadis cantik itu.
Akan tetapi, Vio langsung membulatkan kedua bola matanya seraya berkata, "Apa lihat-lihat!" sesalnya dengan wajah cemberut, sambil mengeluarkan buku lembar kerja siswa untuk kembali memeriksa semua kesalahan yang dilakukannya hari ini.
Ya, Viona merupakan anak manja dari Keluarga Danu Barata Anandita, yang sekolah di salah satu sekolah terkenal kota itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kedua orang tua, mewajibkan dirinya untuk menjadi seorang insinyur perikanan, sesuai usaha milik ayahnya.
Sementara Vio sangat menyukai dunia kesenian, dan ia menginginkan untuk menjadi seorang model profesional seperti yang digadang-gadangkan oleh kedua sahabatnya sejak di bangku sekolah menengah pertama.
Lagi-lagi Vio mengumpat dalam hati, "Aku ini pengen masuk sekolah kesenian, bukan jadi tukang insinyur. Apa lagi berbau-bau aroma ikan yang amis. Biar ayah saja memiliki usaha tambak ikan patin juga gurami, aku ogah ...!"
Vio masih mengambil contoh rumus yang diberikan wali kelasnya, membuat keningnya mengerut, sesekali terdengar merengek karena perasaan frustasi tidak dapat menyelesaikan tugas yang menjadi mata pelajaran utama dalam menentukan ketentuan untuk duduk di bangku kelas dua belas.
"Ibu, kenapa kalian egois banget sih, aku enggak suka sama pelajaran ini ...!"
Kembali Vio meletakkan wajah cantiknya dimeja restoran sambil memukul-mukul pulpen yang ada dalam genggaman di atas lembaran kerja siswa tersebut.
Seketika Vio langsung tersenyum tipis, ketika matanya tertuju pada layar laptop pria gagah yang duduk di sampingnya. Ia melihat pria itu tengah melakukan pemeriksaan pada tabel data sesuai yang dipelajarinya saat ini. Kembali otaknya bekerja dengan cepat, sambil menggulung kertas kemudian melempar pada pria itu. "Om!"
Kening Juan mengerenyit, ketika ia menoleh kearah Vio kemudian membuka kertas yang dilemparkan gadis muda tersebut sambil bergumam dalam hati, "Apa ini? Dasar anak zaman sekarang tidak ada sopan santun ...!"
Tidak menunggu lama, Vio langsung menghampiri Juan, sambil berdiri membawa lembar kerja siswanya seraya berkata, "Hmm, om ada tugas sekolah juga? Bisa bantuin aku kerjain ini, tidak? Karena aku tidak mengerti. Emang, Om kuliah dimana?"
Mendengar pertanyaan gadis belia itu, sontak membuat Juan hanya tertawa kecil melihat lembar kerja siswa itu sudah berada dihadapannya. Wajah tampan itu terlihat sangat tenang sambil mengusap-usap lembut pelipisnya, sambil bertanya, "Masa kamu tidak bisa mengerjakan soal ini? Emang kamu kelas berapa?"
"Kelas sebelas, Om. Saya tidak mengerti, karena saya enggak suka belajar ini. Apalagi ada tabel-tabel begini," sungutnya masih berdiri disamping Juan.
Pria itu semakin menghela nafasnya dalam-dalam, sedikit menasehati, "Bagaimana kamu makan dulu. Biar otak kamu tidak semrawut kayak sekarang, dan dapat berpikir jernih. Di restoran ini, ada filet ikan gurami yang sangat enak, jadi kamu bisa makan pakai sambel kecap. Bisa kamu makan pakai nasi atau juga kentang sesuai selera kamu. Gratis!"
Wanita mana yang tidak langsung jingkrak-jingkrak kegirangan mendengar kalimat 'gratis' dari pria gagah yang belum Vio kenali. Kembali ia bertanya dengan wajah sangat antusias, "Serius Om? Aku bisa pesan makanan yang mahal itu?"
Pria yang masih duduk itu menganggukkan kepalanya, kemudian memanggil salah satu pelayan restoran, "Tolong berikan anak kecil ini gurami filet!" Kembali ia menoleh kearah Vio untuk bertanya lagi, "Ada lagi? Minumnya apa?"
Gegas Vio langsung menjawab sebelum pria itu berubah pikiran, pikirnya, "Orange float aja, mba! Tapi filet gurami itu yang pedes, ya? Satu lagi, jangan pakai cheese potato, tapi kentang goreng saja. Hmm, nasinya juga hanya sedikit saja, jangan banyak-banyak, kasihan nanti si Om ini bayarnya mahal. Secara ikan gurami itu, kan mehong chin," tawanya cekikikan layaknya anak abege seusianya.
Senyuman Juan hanya mengembang lebar, sambil memijat-mijat keningnya sendiri, bergumam dalam hati, "Dasar anak abege manja. Di lihat dari parasnya, gadis ini seperti anak orang berada ..." Ia melihat nama yang ada didada kanan gadis itu, bertuliskan nama Viona Anandita.
Kembali ia teringat akan sosok pria paruh baya yang selalu di elu-elukan sang ayah untuk menjadi istrinya suatu hari nanti. "Hmm, tidak mungkin ayah akan menjodohkan aku dengan anak ingusan. Apalagi terlihat masih muda begini, siapa yang mau. Belajar aja masih semrawut, angot-angotan, bagaimana mungkin ..."
Tanpa menunggu lama, Juan menghulurkan tangannya sebagai perkenalan dengan wajah sangat ramah seraya bertanya pada Vio, "Siapa nama kamu?"
Vio menghela nafasnya berat sambil menjawab, "Bisa baca ini tidak?" tunjuknya pada nametag yang ada di dada kanannya.
"Oke, perkenalkan nama saya, Juan Felix."
Mendengar nama pria itu, lagi-lagi Vio tertawa terbahak-bahak, "Nama Om lucu, mirip nama pengacara kondang, tinggal nambahin marga saja, jadi deh Juan Felix Tampubolon!"
Juan menepuk jidatnya, ia tidak menyangka bahwa akan dipertemukan dengan gadis nyebelin seperti yang berdiri disampingnya saat ini. "Kamu bercanda terus, kapan pintarnya di sekolah!" titahnya selayaknya orang dewasa.
Wajah Vio seketika berubah, "Ini ni, jika berhadapan dengan om-om! Eh, Om Juan kuliah dimana, sih? Pasti anak kos yang selalu mencari gebetan anak orang kaya, kan di sini? Hayo ... jangan bohong, nanti aku kenalin sama wali kelas aku yang masih muda, tapi statusnya janda!" Ia tertawa terbahak-bahak, kemudian kembali ketempat duduknya tanpa perasaan berdosa.
Juan mengumpat dalam hati, "Sial nih abege, sudah aku gratisin makan di restoran ku, malah ngeledek saja. Anak-anak jaman sekarang tidak tahu etika ...!"
Setelah menghabiskan makan siangnya, Vio melanjutkan misinya untuk mengerjakan tugas sekolah bersama Juan. Ia tidak mau berlama-lama dalam tekanan sang wali kelas, yang berstatus janda itu, sehingga mengancam nilai matematikanya.
Susah payah Vio, menelaah semua penjelasan Juan yang duduk disisi kirinya sebagai seorang pengajar, "Gila ... Om ini keren banget. Kok dia ngerti ya? Atau jangan-jangan dia guru, atau asisten dosen di kampusnya ..." Ia bergumam sendiri dalam hati, dengan perasaan berbunga-bunga.
Juan menutup lembar kerja siswa yang ada dihadapan mereka seraya bertanya, "Kamu mengerti kan sekarang?"
Entah mengapa, Vio hanya mengangguk-angguk sambil menyesap ice lemon tea yang ia pesan. Sudah berapa gelas ia menghabiskan lemon tea itu, dalam jangka waktu hanya dua jam saja, dibarengi cemilan chicken nugget yang dibalur mayones serta saus sambal.
Kembali Juan bertanya untuk meyakinkan gadis belia itu, "Kamu mengerti, kan dengan penjelasan saya barusan?"
Lagi-lagi Vio mengangguk patuh seraya menjawab, "Ngerti pak guru!" Ia menyeringai lebar membuat pria itu hanya menggelengkan kepala.
"Kamu bukannya ada kelas tambahan, kenapa tidak ikut?" Kembali Juan bertanya pada Vio.
Tampak Vio hanya terdiam, kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain, agar tidak ketahuan jika dia tidak masuk dalam kelas terobosan hari itu, "Malas! Guru ku jutek banget. Biasanya kalau guru cewek janda itu, kan galak, Om!" tuturnya dengan bibir mengerucut.
Seketika itu Juan hanya menundukkan wajahnya, ia tidak ingin melanjutkan pembahasan tentang guru wali kelas yang di maksud oleh Vio. Karena ia sangat mengenal siapa wanita yang di sebut oleh gadis belia tersebut.
"Ya sudah, kamu boleh pulang hari ini. Mungkin besok, saya tidak ada di sini. Kamu boleh makan sepuasnya, jika kamu lapar. Nanti bilang saja, saya yang membayar sama bagian kasir!" Juan langsung memasukkan laptop miliknya kedalam tas, kemudian berlalu meninggalkan Vio seorang diri yang masih termangu melihat pria itu berlalu meninggalkannya begitu saja.
Susah payah Vio mengartikan semua ucapan Juan, karena IQ gadis belia itu tidak mampu untuk mencerna ucapan orang dewasa, karena ia termasuk gadis yang lugu serta selalu mendapatkan julukan sebagai gadis 'telat mikir' oleh kedua sahabatnya.
"Maksudnya apa? Makan di restoran ini kalau lapar? Emang lo pikir restoran sebagus ini milik nenek moyangnya apa. Buat malu saja, ngehalu lo, ketinggian bro ...!" sungutnya seorang diri, mengemasi semua buku-buku perlengkapan sekolahnya.
***
Minggu yang cerah, seperti biasa Vio dan keluarga selalu menghabiskan waktu di tambak ikan milik keluarganya. Tidak banyak, tapi cukup untuk di masukkan ke berbagai pedagang kaki lima serta restoran di daerahnya yang terletak di kota kembang.
Gegas Vio bersiap-siap, untuk segera menyusul kedua ayah dan ibunya yang sudah menunggu didalam mobil. Putri kesayangan Danu dan Inggit itu selalu menjadi kebanggaan bagi mereka, karena selalu menuruti semua ucapan kedua orang tuanya.
Inggit selalu menasehati Vio sepanjang perjalanan, "Saat ini, kamu harus fokus pada sekolah. Jangan pernah ibu mendengar kamu pacaran, apa lagi berteman dengan orang-orang yang tidak jelas. Ingat Vio, ibu mau kamu jadi wanita mandiri. Walaupun nanti kamu sudah menikah, kamu juga harus memiliki usaha sendiri!"
Vio hanya mengangguk, menghela nafas berat, karena ini bukan nasehat yang baru ia dengar. Ibarat pita kaset selalu di ulang oleh sang bunda, tanpa perasaan bosan. "Iya bu, iya!"
Tibalah mereka di tambak ikan milik sang ayah, Vio langsung menghampiri Mbok Minah yang selalu menyambut gadis belia itu dengan perasaan bahagia.
"Eh, ada Neng Vio. Sini geulis, mbok sudah membuatkan sayur asem dan filet gurami buat kamu. Sambelnya super pedas, level sepuluh," serunya ketika menyambut Vio yang sudah berdiri di depan pintu kediamannya.
Akan demikian, kedua bola mata Vio membulat sempurna ketika melihat mobil SUV memasuki pekarangan tambak ikan milik keluarganya.
Kening Vio mengerenyit, matanya mengerjab dua kali untuk memastikan siapa yang turun dari mobil putih berplat satu nomor tersebut seraya bertanya karena perasaan penasaran, "Mbok, i-itu siapa?"
Mbok Minah langsung melongokkan kepalanya kearah luar, tersenyum sumringah, "Ogh, itu Den Juan sama orang tuanya. Dia kan, yang bantuin ayah kamu untuk mengembangkan ternak ikan gurami di sini. Dia itu pengusaha, tapi duda sih, hanya saja belum punya anak."
Bibir Vio langsung membulat seketika, ia terkenang sosok pria yang membantunya beberapa hari lalu, sambil bertanya lagi, "Berarti dia juga yang masukin ikan ke restoran di depan sekolah aku ya, mbok?"
Kening Minah mengerenyit lagi, "Enggak neng, dia yang punya restoran di tempat sekolah kamu itu. Dengar-dengar dia sengaja buka restoran besar di sana. Ingin membuktikan pada mantan istrinya yang angkuh itu, tapi mbok tidak tahu persis siapa istrinya terdahulu. Karena mereka menikah karena satu kejadian. Kamu mau makan sekarang, atau bareng-bareng sama ayah dan ibu?"
Tatapan Vio tidak lepas dari Juan yang belum menyadari keberadaannya. Ia hanya menjawab singkat pertanyaan wanita paruh baya itu seraya berteriak, "Mbok saja yang makan dulu, aku mau kesana!"
Seketika Vio tergelincir masuk kedalam kolam tambak ikan patin yang berada di depan kediaman rumah kayu tersebut, karena menginjak satu papan yang licin membuat dirinya terjerembab, membuat ia harus berusaha menyelamatkan diri karena tidak bisa berenang.
"I-ibu, a-a-a-ayah!" pekiknya takut membuat ikan patin sang ayah stress kemudian mati.
Danu langsung berlari mengejar putri kesayangannya, begitu juga dengan Juan yang berada tidak jauh dari sana.
Pria gagah itu langsung berhambur masuk ke dalam kolam yang memiliki kedalaman hanya satu setengah meter saja sambil berkata, "Tenang, tenang, jangan panik!"
"To-tolong aku, tolong aku, yah!" tangisnya karena perasaan takut dan berhasil meraih tangan Juan.
Panik, hanya itu yang ada dalam benak Vio, karena tidak menyangka akan mendapatkan kejadian seperti ini. Dengan nafas tersengal-sengal ia berhasil di gendong oleh Juan naik keatas, yang langsung di sambut oleh kedua orangtuanya.
Vio menangis kencang, karena tidak mau berada di situasi seperti itu, ia menangis selayaknya gadis belia yang ketakutan dengan air, "Aku mau pulang. Enggak mau ada di sini!"
Mbok Minah langsung memberikan handuk kepada Vio juga Juan yang tampak basah kuyup, kemudian melihat wanita cantik menghampiri mereka berdua.
"Mbok, bantu Vio ganti pakaian. Kebetulan tadi saya mampir di butik dan membelikan gaun ini dibutik langganan. Makanya karena sudah basah kuyup begini, langsung pakai saja. Sudah ganti sana, bantuin Vio, mbok!" Perintahnya memberikan dua paper bag, bertuliskan nama desainer ternama di kota kembang.
Kening Vio mengerenyit, ia langsung menoleh kearah Juan yang tampak cuek menuju bilik bambu untuk membersihkan dirinya.
Gadis belia itu hanya mendengus dingin sambil bergumam dalam hati, "Ternyata om itu juragan gurami. Mulai saat ini aku akan memanggilnya dengan nama om gurami, karena dia juragan gurami yang sangat dingin dan tidak mau berbasa-basi dengan aku, sebel. Sok ganteng lo, om gurami ...!"
Setelah selesai membersihkan diri, Vio masih menangis tersedu-sedu. Ia tidak mau keluar dari rumah kayu yang terasa sangat dingin itu, karena ketakutannya akan terjerembab lagi seperti kejadian tadi.
Seketika itu, Juan dan kedua orangtuanya masuk kedalam rumah, karena panggilan siang yang mewajibkan mereka untuk melakukan ritualnya sebagai umat beragama muslim, sekaligus makan siang.
Vio masih saja merengek, meminta pada sang bunda untuk segera meninggalkan tambak ikan milik orang tuanya. "Bu, pulang!" sungutnya ketika melihat Inggit membuka mukenah nya.
Kening Inggit mengerenyit masam, sambil berkata, "Kamu mau kemana? Pulang, pulang, makan dulu. Ayah juga belum selesai mengerjakan dua tambak lagi, sayang! Sabar atuh, kalau kamu merengek begini, pulang saja deluan pakai angkot!"
Wajah Vio seketika berubah menjadi murung, ia benar-benar tidak mau keluar dari rumah itu, karena trauma. Akan tetapi, Juan langsung menghampiri gadis belia tersebut, karena rengekan Vio sangat mengganggu pendengarannya.
"Tadi itu, karena kamu melewati papan basah itu," tunjuknya mengarah pada papan yang menjadi jalan untuk memberikan pelet. "Kan bisa lewat jalan awal pas kamu masuk ke sini. Bagaimana sih? Emang sudah berapa kali kamu berkunjung ke sini?" Juan tertawa kecil.
"Om ledekin saja, aku! Nanti aku minta makanan mahal di restoran, Om! Sampai Om bangkrut!" Vio memilih berpangku tangan, sambil menekukkan wajahnya.
Dengan cepat Juan menggoda puncak hidung gadis belia itu, "Jangan cemberut atuh. Kalau kamu mau buat restoran saya bangkrut, nanti kamu makan apa? Terus biaya sekolah kamu bagaimana? Kamu kan mau jadi ahli dalam perikanan ikan. Makanya kamu harus belajar yang rajin, jangan suka cabut kalau ada pelajaran tambahan!"
Kedua bola mata Vio membulat besar, ia tidak menyangka bahwa pria gagah itu akan membuat mata kedua orangtuanya mendelik tajam penuh curiga, "Enggak kok, Bu. Om gurami ini saja yang suka ngajarin buat bolos!"
Akan tetapi, wanita cantik yang memberikan dress berwarna cream itu, justru membela Vio sambil merangkul pundak gadis belia itu, "Ya, namanya juga anak abege. Pasti suka cabut sekolah ya, geulis. Tapi pesan Mama, jangan pernah pacaran sama teman sekolah. Mereka itu suka menjebak. Ingat itu!"
Juan hanya menundukkan wajahnya, karena tidak ingin mengingat semua kejadian pahit yang pernah ia alami ketika lulus dari sekolah bertaraf internasional tersebut, sambil berkata untuk mengalihkan pembicaraan mereka, "Sudah deh, Ma. Jangan di inget-inget lagi. Itu sudah takdir, dan akhirnya seperti ini!"
Kedua pria paruh baya yang tengah duduk bersila itu hanya menggeleng sesekali mencolek para istri-istri mereka agar tidak mengungkit masa lalu sang anak yang pernah kecewa hanya karena berurusan dengan wanita.
Vio yang tadinya menangis, kini sudah tampak tenang karena duduk bersebelahan dengan pria dingin seperti Juan. Pria yang ternyata baru berusia 27 tahun itu, tampak tenang ketika kedua mama-mama muda itu menceritakan masa lalunya.
Dengan sangat hati-hati, Vio langsung bertanya pada Juan, "Om gurami, kita makan keluar saja, yuk? Di daerah sini ada pondok susu yang menjual berbagai macam jenis susu, karena langsung di kirim dari pengalengan."
Kedua bola mata orang tua mereka saling bertatapan, kemudian Inggit langsung memberi izin tanpa harus bertanya pada Danu. Begitu juga dengan Mutia yang memberikan ruang pada putra-putri mereka untuk saling mengenal.
***
Keduanya tiba di rumah susu, yang berada di daerah Curug. Membuat mereka semakin tampak lebih akrab. Akan tetapi, Juan yang sejak awal memang kurang suka berurusan dengan wanita, ia hanya menganggap Vio sebagai adik kecilnya, karena ia juga tidak memiliki adik sama seperti gadis belia itu.
Mereka berjalan beriringan menuju lesehan yang telah tersedia, memesan beberapa makanan yang ada di restoran tersebut.
Vio memberikan buku menu pada Juan, sambil berkata pelan, "Hari ini aku yang traktir, karena Om gurami sudah menyelamatkan nyawaku!" Ia tertawa kecil.
Juan hanya menjawab sedikit penuturan Vio, "Emang kamu punya uang berapa, hmm? Kalau saya pilih makanan ini, kamu bisa bayar enggak?" tunjuknya pada menu yang bertuliskan harga dua ratus tiga puluh ribu.
Sontak Vio hanya bisa menelan ludahnya, kemudian menggaruk kepalanya seraya berkata, "Aku hanya ada yang dua ratus ribu, nombok dong!" sungutnya dengan wajah mengkerut masam.
Lagi-lagi Juan tertawa kecil melihat reaksi gadis belia yang terlihat sangat ceria juga menggemaskan itu, "Kamu simpan saja uangnya. Jangan boros-boros, apa lagi untuk mentraktir teman. Ingat, tidak semua teman itu baik."
Seketika Vio teringat akan cerita Mbok Minah yang mengatakan bahwa status pria muda yang duduk dihadapannya itu merupakan seorang duda, sambil bertanya, "Om sudah nikah? Kok, kelihatannya belum pernah menikah?"
"Nikah doang, status saja yang berubah, sejujurnya saya juga tidak pernah ingin mendapatkan status itu. Karena saya masih memiliki pemikiran untuk melanjutkan study saya di London," jelasnya.
Kening Vio langsung mengerenyit, ia menghela nafasnya dalam, sambil bertanya lagi, "Sayang ya. Jauh-jauh study ke luar negeri, ujung-ujungnya jadi tukang ikan! Bau tahu, Om!"
Mendengar celotehan Vio yang sangat lucu, membuat Juan hanya tertawa kecil, "Tapi dari sana kita tahu bagaimana orang menyukai seekor gurami. Termasuk kamu, makan ikan gurami pasti tidak bersisa, ya kan?"
Merek tertawa terbahak-bahak, saling bercanda, dan semakin dekat selayaknya anak abege mendapatkan teman baru yang lebih dewasa darinya. Banyak hal yang di utarakan Juan pada Vio, membuat gadis belia itu semakin terpesona dengan ketampanan sang pria yang sangat ramah tersebut.
Mereka berpisah, setelah menghabiskan waktu lebih dari empat jam saling bertukar cerita. Dari sana juga, Vio dapat belajar tentang dunia persahabatan masa sekolah.
***
Hari ini Vio lebih memilih berdiam diri di dalam kelas, hanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh wali kelas killernya. Lagi-lagi ia mendengus kesal, ketika melihat lembaran kerja siswa itu harus ia selesaikan dalam waktu dua jam.
"Sial ni janda muda. Memberi tugas tidak kira-kira ..." umpatnya mengalihkan pandangannya ke restoran yang terletak didepan sekolah, sambil melihat mobil SUV milik pria itu, "Kemana si Om gurami? Apakah dia belum datang ...?"
Seketika lamunannya tersentak, karena deringan gawainya yang sangat menggema diruang kelas, membuat lamunannya buyar seketika.
[Hmm]
[Eh kutil, lo turun dari lantai dua itu. Si Alvin nyariin lo, nih. Kami di kantin, ya]
[Malas, gue lagi ngerjain tugas yang dikasih Bu Alma. Nanti gue di omelin, lo beliin aja gue cilok. Nanti gue ganti duitnya]
Terdengar suara tawa kedua sahabatnya, yang menertawakannya ...
[Makanya, kalau ada tugas itu dikerjakan, jangan di biarin. Jadi aja, lo di suruh ngerjain tugas, kan. Emang enak ...]
Vio langsung mengakhiri sambungan telepon dengan sahabatnya, karena tidak ingin kosentrasinya kembali buyar akibat ajakan kantin para sahabat. "Percuma juga gue temenan sama kalian berdua, membantu saja kagak mau, mending gue minta tolong sama om gurami ..."
Gegas Vio mengabadikan semua tugasnya di gawai canggih miliknya, kemudian mengirimkan pada Juan yang berada di seberang sana.
[Om bantuin ...]
Tanpa sungkan Vio mengirimkan pesan singkat itu, dengan emogi menangis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!