"Kita sambut kepala cabang baru dari PT. Anugerah Finance yang telah menjalin kerjasama sejak sepuluh tahun lalu dengan PT. Multy Strada, yang kini dipimpinan oleh Pak Dean Alexander merupakan kepala cabang termuda mewakili kota Medan. Kita beri aplouse yang meriah!"
Terdengar suara riuh tepuk tangan menyambut kehadiran Dean yang akan memberikan kata sambutan, didampingi beberapa direktur perusahaan diatas panggung ballroom hotel bintang lima kota metropolitan.
Kedua bola mata Miranda membulat sempurna, ketika melihat dari kejauhan pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya tujuh tahun silam. "Dean, Dean Alexander? Ogh, apakah dia kepala cabang Anugerah Finance? Berarti yang selama ini menerima panggilan telepon aku itu, hmm ..."
Miranda menoleh kearah sahabatnya yang duduk disamping sambil berbisik ketelinga pria muda tersebut, "Itu Pak Dean yang kepala cabang dari Medan, bukan?"
Beny menganggukkan kepalanya dan kembali mendengarkan wejangan dari pimpinan perusahaan tempat mereka bekerja. "Lo kenal, beib?"
Dengan asal Miranda menjawab, "Ya kenal lah, mantan pacar gue waktu sekolah?"
"What? Lo sekolah juga ditendang, sok punya mantan!"
"Sial lo!" Miranda menepuk bahu Beny, kemudian mengalihkan pandangannya kearah panggung untuk melihat pria gagah itu dari kejauhan.
Entah mengapa, Miranda tersenyum sumringah. Ada perasaan bahagia dihatinya karena kembali dipertemukan dengan Dean sang mantan kekasih masa sekolah, kuliah, dan ternyata masih diberi kesempatan kembali bertemu dalam dunia pekerjaaan.
"Pantas saja, aku seperti mengenal suara pria yang sangat dingin itu ketika menelponnya beberapa waktu lalu. Ternyata dia Dean yang selama ini aku cari, tapi kenapa dia ada di Medan? Bukankah dia sudah kembali ke Singapura setelah lulus kuliah di Jogja, hmm, kami harus merayakan hiporia pertemuan ini ..."
Miranda Anderson, putri kesayangan Anderson yang kini berstatus sebagai janda muda, tanpa anak. Usianya kini baru akan beranjak 24 tahun, dan belum memiliki kandidat untuk menikah lagi setelah perceraiannya tiga tahun silam dengan pria keturunan Tionghoa.
Lima belas menit berlalu, Dean mengakhiri kata sambutannya sekaligus pemberian satu lencana atas pencapaiannya karena telah berhasil memenuhi target perusahaan mereka selama enam bulan yang menembus angka fantastis. Kembali Dean Alexander dinobatkan sebagai kepala cabang terbaik seluruh Indonesia.
Semua orang memberikan ucapan selamat pada Dean, ketika pria bertubuh tegap itu turun dari atas panggung.
"Selamat Pak Dean, semoga tahun depan kita bertemu lagi di Bali," tutur seorang pria menepuk-nepuk pundak sang pujaan hati Miranda.
Dengan demikian, Miranda mulai beraksi dengan caranya untuk memberikan kejutan sekaligus mengucapkan 'selamat' pada pria tampan yang seusia dengannya.
Kaki jenjang berbalut high heels, dengan dress berwarna putih yang ditutupi blazer berwarna cream, membuat janda cantik berbulu mata lentik, bibir semerah delima, melenggak-lenggok mendekati Dean.
Suasana semakin terasa sangat akrab, karena pertemuan dua perusahaan terbaik di negeri berkembang saat ini yang bergerak di multinasional permodalan untuk alat berat dan ban berkualitas nomor satu khusus mobil tronton yang sangat diminati di daerah mereka.
Perlahan Miranda menepuk pundak Dean dari belakang seraya mendekatkan wajahnya pada telinga cinta pertama masa sekolah, "Hai, selamat, ya? Senang bisa bertemu lagi denganmu, Dean."
Pria yang masih menggenggam piring akan mengambil nasi serta beberapa lauk pauk untuk mengisi lambung tengah, karena acara mereka semakin padat, membuat Dean menolehkan kepalanya sambil tersenyum kemudian mengerjabkan kedua bola matanya sebagai isyarat tak percaya. "Mi-ra?"
Wajah tampan itu benar-benar berubah kaget, Dean tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan gadis yang pernah mengejar cintanya selama satu setengah tahun, namun kandas menjalin hubungan asmara dalam kurun waktu sembilan bulan.
Keduanya tampak gugup, Dean akan memeluk, namun didesak oleh team yang lain karena merasa terhalangi oleh mereka berdua.
"Pak Dean, kalau mau lebih banyak ngobrol sama Putri Pak Anderson, tolong minggir, dong. Kita mau makan ini," sapa salah satu rekan kerja mereka.
Gegas Miranda menarik lengan Dean, membawa pria itu sedikit menjauh dari antrian presmanan yang silih berganti.
Wajah tampan Dean tampak tenang, walau sejujurnya dada bidang itu berdegup lebih kencang. Ini pertemuan pertama mereka berdua, setelah perpisahan yang sangat menyakitkan di kota kembang. Ia menghela nafas dalam kemudian berkata, "Hai, how are you?"
Miranda tersenyum sumringah, ia langsung memeluk Dean tanpa permisi lebih dulu, tanpa menghiraukan beberapa pasang mata yang menoleh kearah mereka berdua.
"Mir, Mir, please ... kita ini lagi di Indo, jangan terlalu berlebihan. Ditambah statusku sudah menikah," titahnya menepuk-nepuk punggung Miranda sambil berusaha untuk melepaskan dekapan wanita cantik tersebut.
Pernyataan Dean, membuat kening Miranda mengkerut seraya bertanya, "Menikah, kamu sudah menikah? Menikah dengan siapa, Dean?" Ia melepaskan tangannya dari pundak pria gagah tersebut, kembali kedua netra kecoklatan itu bertemu hanya untuk mencari jawaban yang sejujurnya.
Dean mengangguk perlahan, kemudian tersenyum tipis, "Aku sudah menikah," ia memperlihatkan cincin kawin yang tersemat dijari manis kanannya.
Miranda mengatupkan bibirnya. Ia tidak menyangka bahwa Dean sudah menikah. Dadanya seakan menggelegak panas, karena tidak menyangka bahwa pria yang ia harapkan akan kembali lagi seperti beberapa tahun lalu, ternyata sudah menikah. "Serius, ka-ka-kamu sudah menikah dan melupakan aku?"
Dean menganggukkan kepalanya sambil menoleh kearah lain, hanya untuk sekedar menyapa rekan mereka yang lalu lalang. "Maaf Mir, kita makan dulu yuk, nanti kita lanjutkan lagi ngobrol-ngobrolnya."
Tanpa sungkan, Dean menggandeng tangan Miranda, membuat wanita itu hanya tersenyum malu, merasakan getaran cinta yang dulu pernah ada. "Ogh Dean ... kenapa aku jadi salah tingkah begini. Aku pikir dulu hati ini sudah melupakan mu, ternyata aku salah ..."
"Dean ... please, jangan putusin aku. Aku minta maaf sama kamu!" Miranda menangis sejadi-jadinya ketika Dean datang ke kota kembang tempat Miranda melanjutkan kuliah, namun cinta remaja itu memiliki kekasih lain selain dirinya.
Hati pria mana yang tidak akan hancur, melihat kekasihnya telah melakukan hal tidak senonoh didalam kamar kosnya.
Gegas Miranda meraih tangan Dean, akan tetapi ditepis oleh pria gagah itu, "Aku tidak menyentuh kamu, karena aku sangat menyayangi kamu, Mir. Jika kita menikah, maka aku akan melakukan semuanya! Jalan kita masih panjang, tapi kamu justru melakukan semua ini dengan pria yang menjadi sahabat ku! Kita sama-sama mau kuliah Miranda, bukan kumpul kebo!"
"Dean, aku minta maaf ... aku pikir kamu tidak mencintai aku! Aku mohon jangan tinggalkan aku, Dean. Aku minta maaf, aku salah! Please Dean ..." Miranda terus menangis karena Dean langsung berlalu meninggalkannya.
"Dean, Dean!" Pekik Miranda kembali terdengar, membuat penghuni rumah kos itu keluar dari kamar mereka menjadi saksi sejarah perpisahan Dean dan Miranda.
'Pisah' kalimat itu yang di ucapkan Dean. Siapa sangka, Miranda justru tengah menghabiskan malam bersama seorang pria yang merupakan anak band pada masa sekolah mereka.
Hancur, sakit, sedih, itulah yang dirasakan Dean menyaksikan kemesraan sang kekasih yang dicintai memilih mengkhianatinya hanya karena pria gagah itu terlalu menjaga kehormatan sang pujaan hati.
Suasana malam semakin larut, Miranda meletakkan card kamar hotel yang ia tempati kemudian menutup pintu kamar. Akan tetapi, ketika akan menutup rapat pintu kamar tempat ia beristirahat, kedua netra itu kembali bertemu.
"Dean ..."
"Mi-ra!" Dean celingak-celinguk ke arah koridor kamar, untuk melihat ada orang lain yang melihat mereka atau tidak, kemudian berkata, "Kamu sama siapa?"
"Sendiri, hmm ... mau masuk?" Miranda memberikan isyarat dari tatapan mata, tersenyum sumringah, bersorak kegirangan didalam hati sambil menggigit bibir bawahnya. Bagaimana tidak, janda cantik itu masih penasaran pada pria dingin seperti Dean sambil bertanya siapa istri sang mantan, karena yang ia ketahui pria dingin tersebut sangat sulit mendekati wanita, akibat terlalu kaku dan tidak peka terhadap wanita.
Dean memberanikan diri untuk masuk kekamar Miranda, karena ia juga memiliki perasaan yang sama setelah hampir tujuh tahun keduanya tidak bertemu dan saling bertukar kabar. Bukan sombong, melainkan tidak ingin mengganggu privasi wanita cantik itu.
Setelah memastikan bahwa Dean sudah berada di kamarnya, gegas Miranda menutup pintu kamar agar tidak terlihat oleh rekan kerja mereka. Ia juga enggan jika mendengar kasus perselingkuhan kepala cabang dengan putri kesayangan pemilik perusahaan Multy Strada.
Karena perasaan rindunya, Miranda sengaja menekan tombol untuk meredupkan cahaya kamar tersebut, membuat Dean tertawa kecil.
Pria itu menoleh kearah Miranda, melihat wanita tersebut semakin cantik juga mempesona, "Maaf Mir, di ballroom aku sedikit jaga sikap. Karena ada rekan kerja kita yang mengetahui bahwa aku sudah menikah."
Mendengar penuturan itu lagi, kening Miranda kembali mengerenyit, "Oya, apakah semua teman-teman kantor kamu tahu bahwa kamu sudah menikah, Dean?"
Cepat Dean menganggukkan kepalanya, "Aku sudah menikah dengan kakak kelas kita, Tyas."
Kembali dada Miranda seperti disambar petir, karena mendengar nama wanita yang ia kenali sejak di sekolah dasar. Perasaannya kembali bercampur aduk, karena tidak menyangka bahwa selera Dean hanya wanita yang lebih tua darinya.
"Tyas, kakak kelas kita, bukankah dia diatas kita satu tahun, Dean?"
Tanpa basa-basi, Dean menganggukkan kepalanya sambil bertanya, "Apakah kita akan bicara dengan cara begini? Apa enggak bisa duduk dikursi atau di, hmm ..." Matanya tertuju pada ranjang yang tampak bersih juga wangi.
Membuat Miranda tertawa kecil melihat tingkah teman, kekasih masa sekolah hingga kuliah dan kini kembali dipertemukan dalam dunia pekerjaan mereka. "Ogh, sory. Aku terlalu bersemangat setelah bertemu dengan mu, Dean. Duduklah, aku akan membuatkan kamu teh, tapi aku bersih-bersih dulu. Kamu nginap di kamar aku, kan?" Ia sengaja mempertanyakan hal itu, hanya ingin membuktikan perkataan pria tersebut yang mengatakan telah melupakannya.
"Terserah kamu saja, aku pengen ngobrol sama kamu, Mir. Sudah lama kita tidak bertemu, jadi aku merasa senang hari ini," jawabnya sambil melihat sang mantan kekasih membersihkan wajah, mencepol rambutnya tinggi, kemudian merapikan blazer yang membalut tubuh wanita itu.
Tidak ada perubahan, kulit Miranda masih terlihat putih dan bersih. Tubuh profesional itu sedikit melupakan Dean pada sang istri yang berada di Medan, karena masa training mereka akan berlangsung selama tiga hari setelah pelantikan jabatan di kota metropolitan tersebut.
"Kamu mau kopi atau teh, Dean?"
"Teh hijau saja, Mir."
"Ya. Oya ... kamu menikah apakah sudah memiliki anak?"
"Tyas lagi hamil, Mir. Jadi aku harus kembali besok dan untuk traning mungkin diwakilkan saja dengan rekan yang lain."
Miranda tersenyum, mengehela nafas dalam-dalam karena mendengar bahwa Dean akan kembali besok menuju Medan.
Entah mengapa, tiba-tiba Dean bertanya, "Oya, kamu sudah menikah?"
Ada perasaan istimewa dalam hati Miranda karena pertanyaan Dean, ia menaikkan kedua alisnya, membawa dua cangkir teh hijau untuk mendekati pria itu, setelah mengenakan piyama lengan pendek yang sengaja ia pilih untuk menghabiskan malam bersama Dean.
Miranda menjawab pertanyaan Dean dengan satu tangan menggenggam erat jemari pria pujaannya, "Untuk status, aku janda. Untuk hati aku masih berharap sama kamu, Dean."
"Gila nih cewek ... dari dulu sampai sekarang agresifnya ngalahin Tyas yang membuat aku tidak bisa melupakannya begitu saja ..." gumam Dean dalam hati bersorak gembira.
Melihat Dean tidak terlalu mendengar masalah statusnya, membuat janda muda itu langsung berpindah ke pangkuan pria dingin tersebut, dan langsung mengalungkan tangannya di pundak sang pujaan. "Aku masih mencintaimu hingga saat ini, Dean."
Tampak jelas wajah itu kembali saling bersitatap. Tidak ada pilihan, Dean merasakan getaran yang sama begitu juga sebaliknya. Tanpa sungkan pria itu mendekatkan wajahnya, kemudian ******* bibir merah delima milik Miranda.
Hati Miranda merasa senang, ia menganggap bahwa tidak akan pernah lagi melepaskan Dean begitu saja, ciuman mereka semakin dalam, tak memberikan jedah untuk menghirup udara yang cukup.
Entahlah ... keduanya terlarut akan masa lalu, masa lalu yang penuh gairah muda, kini terulang kembali. Cinta atau nafsu, keduanya semakin terbuai dalam suasana hati tanpa bertanya lebih dulu.
"Maaf Mir, Tyas lagi hamil. Aku tidak bisa melakukan lebih dari ini. Aku permisi ..." Dean melepaskan tangannya dari tubuh Miranda, memilih berlalu meninggalkan janda cantik itu yang sudah tak kuasa membendung rasa.
"Dean, Dean, kenapa kamu selalu meninggalkan aku dengan cara seperti ini? Aku masih mencintaimu, Dean!" Miranda berteriak keras ketika pintu kamar itu kembali tertutup rapat.
Dengan nafas tersengal, kecupan liar penuh nafsu, membuat Miranda melempar semua benda yang ada dihadapannya. "Kenapa harus Tyas, kenapa bukan aku? Bodohnya aku!" teriaknya semakin frustasi, meremas kuat rambut panjang yang sudah tergerai karena ulah Dean.
Di keheningan malam, ditemani temaram senja yang sangat indah, tengah berdiri di balkon apartemen seorang diri, Miranda Anderson. Putri satu-satunya dari Anderson pemilik Multy Strada. Ia bekerja diperusahaan sang papa sejak kepulangannya dari Nurnberg-Jerman.
Sejujurnya Miranda tidak menyukai dunia bisnis sang papa, karena merasa tidak nyaman dan hanya memusingkan kepala. Dalam benaknya, dari pada menjadi seorang pengangguran lebih baik ia bekerja sekaligus mencari jodoh agar tidak terlalu lama hidup dalam kesendirian dengan status janda pada usia muda.
Sedikit iseng Miranda mengeluarkan gawai dari saku pyama, memilih duduk di sofa balkon untuk mencari tahu tentang istri Dean yang bernama Tyas.
Mereka bisa dikatakan saling mengenal, karena Tyas merupakan teman satu sekolah ketika berada di Singapura kala itu, membuat ia mengingat siapa-siapa saja yang menjadi temannya ketika sekolah.
Jemari lentik yang tampak mulus, terus menggeser layar gawainya, mencari informasi tentang Tyas di media sosial. Benar saja, Tyas sudah merubah statusnya menjadi menikah dengan Dean. Terlihat jelas lambang 'maried' di sana, membuat Miranda hanya tersenyum tipis. Entah mengapa, ia langsung mengajukan pertemanan dengan Tyas di akun media sosial pribadinya. Hanya untuk mempererat tali silaturahmi mereka karena sudah lama tidak bertemu sebagai sesama alumni Mulity Telent Internasional School Singapura.
Sekedar iseng, Miranda mengirim pesan melalui inbox untuk Tyas ...
[Hai ... masih inget sama gue]
Pesan hanya terkirim, dan tidak dapat terlihat sudah dibaca atau belum, karena mereka belum menjalin pertemanan di sana.
Miranda tersenyum sendiri, membayangkan ciuman dengan Dean yang tidak pernah berubah, sopan, lembut dan penuh perasaan. "Agh, Dean ... kenapa sih kamu tidak pernah mau balik lagi sama aku? Sebesar itukah kecewa mu karena aku tidak setia ...?"
Kembali ia terkenang ketika hakim mengetuk palu perceraiannya tiga tahun silam. Hanya pesan singkat yang Miranda kirimkan kepada Dean.
[Aku sudah resmi berpisah dari suamiku, mau kah kamu menikah dengan ku ...]
Tanpa menunggu lama pesan langsung terbalas.
[Maaf, aku sudah menemukan tambatan hati]
Sakit, kecewa, lagi-lagi Miranda harus menelan pil pahit karena tidak menyangka bahwa Dean akan membalas pesannya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. "Apakah Dean benar-benar membenci aku? Sampai saat ini, ia tidak pernah memaafkan aku ..." tuturnya dalam kesendirian.
Perlahan Miranda menoleh kearah pintu lift apartemennya, karena mendengar bahwa ada tamu yang berkunjung malam ini, sehingga mengejutkan lamunannya.
Ketika pintu lift terbuka, seketika itu perasaannya berubah dari sedih menjadi bahagia yang tak terkira. Miranda melihat sosok Heru Klinikum, sahabat sekaligus kekasih hati tanpa bertanya lebih tentang kelanjutan mereka kedepannya.
Miranda berlari kecil mendekati Heru, kemudian memeluk erat tubuh pria gagah nan tampan juga gondrong dengan penuh kerinduan. "Heru!"
Dengan sigap, pria berambut ikal itu langsung berhambur mendekap tubuh Miranda yang sangat dirindukannya.
Kecupan-kecupan kecil yang keduanya berikan karena perasaan rindu, membuat Miranda enggan untuk beranjak dari gendongan pria yang selalu datang suka-suka, pergi sesuka hati.
Miranda meringkuk di pundak Heru seraya bertanya, "Lo kemana saja? Gue rindu, tahu," ia masih menghirup aroma maskulin yang sangat kontras dari tubuh Heru.
Heru ketawa karena tak kuasa menahan geli, "Gue baru nyampe tadi pagi. Terus pulang dulu ke rumah mama, mungkin besok gue akan ke Bali karena ada pemotretan di sana," titahnya membuat Miranda langsung memilih turun dari gendongan sang sahabat semasa kuliah.
Kembali Miranda menghela nafas berat, kemudian mengembungkan pipi mulusnya, "Terus lo ngapin kesini, hah? Kalau memang lo besok ke Bali, lo tidak usah datang lagi kekediaman gue! Gue tidak butuh lo!" sesalnya beranjak menuju kulkas, kemudian melanjutkan ucapannya, "Ogh ... emang ada model baru? Oya, mungkin lusa gue akan melamar menjadi badan narkotika di negeri ini. Tadi gue lihat ada beberapa informasi tentang syarat-syarat di google, jadi gue mau berhenti dari Multy Strada. Biarin deh, Beny aja yang ngurusin perusahaan papa, karena gue tidak suka dunia bisnis."
Kedua netra itu kembali saling menatap, Heru kemudian memeluk Miranda dari belakang, kembali ia mengecup lembut leher janda kembang itu dengan penuh perasaan curiga, "Tumben, kok mau-maunya lo jadi bagian nengok-nengok di negara ini? Bukankah ada baiknya lo ikut gue pemotretan, dan kita bisa menghabiskan waktu di Bali." Ia mulai menggoda sahabat sekaligus tempat persinggahannya dengan penuh kerinduan.
Miranda tersenyum nakal, membalikkan tubuhnya, menatap lekat iris kecoklatan milik Heru dengan perasaan yang sama, "Gue nggak suka daerah panas, sayang. Kalau lo mau, kita ke Medan. Gue mau ketemu sama Dean," jujurnya tanpa perasaan bersalah.
Kening Heru mengerenyit masam, ia menggelengkan kepala, mendecih karena tidak menyangka bahwa Miranda masih mengingat sang mantan masa sekolah, "Lo masih berharap sama dia? Why Mir ... come on, gue kesini buat lo. Gue rela lo apa-apain, yang penting jangan pernah lo ingat dia lagi. Move on Miranda, move on!" sesalnya dengan perasaan yang bercampur aduk.
Miranda dan Heru bukanlah pasangan kekasih, melainkan dua insan yang saling membutuhkan hingga nanti akan menemukan wanita ataupun pria yang tepat mengisi kehidupan mereka berdua.
Status Heru yang masih single, membuat dirinya merasa bahagia karena dapat melampiaskan hasratnya pada wanita yang sangat baik juga jujur seperti Miranda. Bukan sekali dua kali pria gondrong itu mendengar sahabatnya menghabiskan malam dengan pria lain selain dirinya. Akan tetapi ia berusaha untuk bertahan agar hidup mereka tidak terlalu mengikuti trend kehidupan bebas seperti orang-orang diluar sana. Heru bukanlah pria yang suka bergonta-ganti pasangan, begitu juga Miranda.
Janda muda itu justru menikah dengan seorang pria yang merupakan pilihan keluarga, ketika ia kembali ke tanah air, kemudian berpisah karena kasus perselingkuhan yang berbalas. Edan, gila, ya ... sejak saat itulah Miranda tidak pernah percaya akan namanya cinta serta kata 'pernikahan'. Baginya pernikahan itu hanya pengkhianatan yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa indahnya, karena tidak dapat dipisahkan dari perselingkuhan.
Sehingga Miranda memutuskan untuk berpisah, kemudian menjalin hubungan tanpa status dengan Heru ketika pria muda itu berada di kota metropolitan.
Heru mengecup lembut bibir Miranda yang sejak tadi tak kuasa ia bendung. Tiga minggu berpisah dari sang sahabat, membuat dirinya berambisi untuk menyelesaikan pekerjaan secara terburu-buru. Ditambah janda cantik itu tidak membalas semua pesan singkat whatsApp yang dikirim beberapa hari lalu.
Merasakan kecupan-kecupan manis Heru semakin nakal, membuat Miranda langsung memilih menghindar dari ajakan sahabatnya untuk bercinta.
"Mir, lo kenapa sih? Tidak seperti biasanya lo nolak gue, enggak rindu lo sama gue, hmm?" Ia mendekati Miranda yang sudah beranjak menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga.
"Gue kesel sama, lo! Kalau lo besok ke Bali, lebih baik selesai pekerjaan saja kesini nya! Jangan buat gue nunggu lo terlalu lama, dong. Kemaren lo tinggalin gue dengan alasan ada pemotretan di Shanghai untuk wedding, sekarang model, besok apalagi Heru Permadi!"
Tawa Heru pecah karena mendengar namanya di sebut sang teman tapi mesranya dengan penuh penegasan. Miranda selalu menyebut nama lengkapnya ketika mereka berdebat panjang seperti saat ini.
Wajah Miranda semakin kesal, ia melirik tajam kearah Heru yang selalu mendekatkan wajahnya jika sang pujaan hati dirundung kekecewaan seperti malam ini, "Kamu cantik kalau lagi ngambek, jangan ngambek terus, dong. Nanti kita enggak bisa kangen-kangenan lagi," kecupnya pada daun telinga janda muda itu.
Miranda langsung menghempaskan tubuhnya di sandaran sofa, menikmati kecupan manis yang diberikan Heru padanya. Kedua bola matanya tertutup rapat, menikmati indahnya sentuhan pria yang selama enam bulan ini mengisi hari-harinya.
Lenguhan itu lolos dari bibir merah Miranda, membuat Heru tersenyum nakal karena sudah tidak tak kuasa ingin bermain-main lama dengan sang sahabat.
"Ahh ..." Kembali dessahan itu keluar dari bibir mungil Miranda ketika perlahan Heru membuka perlahan piyama yang dikenakan sang pujaan hati.
Kembali Heru berbisik ketelinga Miranda, "Aku mencintaimu, Mir ..."
Keduanya sama-sama terlarut dalam suasana hati yang bahagia. Kata-kata cinta yang selalu di ungkapkan oleh pria yang satu tahun lebih muda darinya mampu meluluhlantakkan semua penghalang diantara mereka.
Decaapan, errangan yang menjadi rintihan penuh kerinduan membuat Heru semakin terlarut dalam permainan perasaannya.
"Ahh ..." Heru menghentak lebih dalam ketika mendengar lenguhan panjang dari bibir Miranda yang ternganga karena mencapai pelepasannya untuk kesekian kalinya.
Tubuh keduanya ambruk, nafas terasa tersengal membuat Miranda tersenyum sumringah penuh bahagia. "Aku juga menyayangi mu," ia mencium pundak Heru, kemudian beranjak menuju kamar untuk beristirahat.
Akan tetapi, bak pungguk yang masih merindukan bulan, kembali Heru menggendong tubuh ramping sahabatnya itu untuk sama-sama menjemput impian dalam suasana hati penuh kerinduan yang berbalut hasrat tanpa syarat.
***
Ditempat yang berbeda, Dean Alexander tengah duduk menikmati segelas kopi hitam buatan Tyas. Dua pasangan suami-istri itu saling bercerita tentang kegiatan sang suami yang baru kembali dari kota metropolitan dan mendapatkan penghargaan sebagai kepala cabang dalam naungan PT. Anugerah Finance.
Tyas menjelaskan seraya bertanya pada sang suami, "Bang, kalau aku melahirkan ... abang masih di Medan atau bakalan pindah lagi? Aku masih belum kuat untuk pindah-pindah kota, karena mama dan papa juga sudah menetap di sini. Jadi kita di sini saja, ya? SK aku juga baru turun tadi pagi untuk di tempatkan di Samsat Medan, bang."
Hanya senyuman tipis yang menguar disudut bibir Dean, ia mengusap lembut punggung istrinya kemudian mengecup perut buncit wanita yang tengah mengandung benihnya. "Kamu di sini saja. Kalau untuk karir abang, biarkan saja ... semua akan baik-baik saja. Toh, kamu juga tidak kesepian karena anak kita akan lahir dan kalau kita berjauhan, sudah terbiasa juga long distance."
Dengan senyuman manis, Tyas hanya mengusap lembut kepala sang suami yang sangat ia cintai sejak masa kuliah.
Tyas bukanlah seorang wanita yang betah berdiam diri tanpa memikirkan karirnya, baginya diluar rumah Dean bebas melakukan apa saja, asal tidak mengkhianati pernikahan mereka berdua, walau sesungguhnya pernikahan ini merupakan satu kesalahan.
Tak lama mereka saling bercerita dan bermain gawai masing-masing, seketika kedua bola mata Tyas terkesiap, melihat pesan singkat melalui inbox media sosialnya dari seseorang. "Miranda, agh ... ternyata dia masih ingat sama aku. Dasar bocah, tahu aja kalau aku ini kakak kelasnya, dimana dia sekarang ...?"
Dengan adanya pesan dari Miranda, Tyas langsung membalas pesan itu.
[Hai, kamu apa kabar adik kecil ... dimana posisimu saat ini? Apakah sudah kembali ke Singapura, atau justru masih stay di Jakarta]
Hanya pesan itu yang Tyas kirimkan, sambil tersenyum bahagia memandang sang suami yang sudah mulai mencintainya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!