Aku Binar, gadis bertubuh kurus dengan rambut panjang terurai yang baru saja memasuki usia ke-30 tahun. Usia yang cukup sebenarnya bagi gadis-gadis seperti diriku untuk menikah dan membina rumah tangga sendiri. Namun, nyatanya, hingga detik ini aku masih betah hidup nyaman bersama kedua orang tua tercinta.
Aku bukannya tidak tertarik untuk membina sebuah hubungan, hanya saja ada satu alasan yang mengharuskanku memilih untuk tetap melajang dan menghabiskan waktu bersama ayah dan ibu. Bahkan aku tidak tertarik berkelana ke luar pulau seperti yang dilakukan Genta, kakak laki-lakiku tercinta.
Aku sendiri bukan lahir dari keluarga yang kaya raya. Ayah merupakan pensiunan PNS di sebuah instansi pemerintahan, sedangkan ibu adalah seorang wanita perkasa dan hebat, yang memiliki banyak sekali peran penting di rumah.
Bagiku, ibu dan ayah merupakan manusia berwujud malaikat yang dikirimkan Tuhan ke bumi, dan aku sangat mencintai mereka.
"Binar, sudah selesai belum, Nak?" Suara ibuku kembali terdengar.
Aku menoleh pada jam dinding kamar yang rupanya sudah menunjukkan pukul tujuh tepat,
"Iya, Bu, sebentar lagi!" balasku dengan suara sedikit meninggi. Gawat, aku masih saja sibuk mematut diri di depan cermin padahal waktu sudah sangat sempit. Ini adalah acara yang aku tunggu-tunggu dan tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Ya, malam ini aku akan pergi menghadiri acara reuni sekolah SMA yang diselenggarakan di gedung serbaguna milik sekolah.
Aku kembali memastikan penampilanku sekali lagi dicermin. Sehelai gaun cantik berwarna biru muda dengan ikat pinggang besar, terpasang apik di tubuh kurusku. Tak lupa sebuah pita kecil nan manis tersemat di rambut panjang milikku yang tergerai sepunggung.
Wajahku pun sudah terpoles make-up tipis agar terlihat segar dan cantik.
Senyumku merekah saat memastikan bahwa tak ada yang kurang dari penampilanku ini. Sebab aku ingin tampil sempurna di acara reuni sekolah tersebut.
Setelah mengambil tas tangan berwarna senada, aku bergegas keluar dari kamar dan turun ke lantai satu, tepat di mana ayah dan ibu menunggu. Mereka sepertinya terlihat sama antusias denganku.
Melihat kedatanganku, ayah dan ibu sontak terperangah. Mereka berdua memuji penampilanku yang sebisa mungkin terlihat sempurna malam ini.
Aku tersenyum malu-malu dan berterima kasih.
"Jadi, kau siap bertemu dengannya?" kata ibu tiba-tiba dengan nada bicara menggoda.
Mendengar itu wajahku refleks memerah. "Siapa yang ibu maksud?" kilahku pura-pura tak tahu.
"Tak perlu memerah dan berkilah seperti itu, ayah dan ibu tahu, kok, ada satu hal yang membuatmu begitu bersemangat datang ke acara reuni." Kali ini ayah turut membuka suaranya.
Aku tak bisa lagi menghindari dan hanya bisa meringis malu. Demi menghindari godaan kedua orangku lebih lanjut, aku pun memutuskan untuk pamit pergi.
"Tunggu sebentar, Ayah ambil kunci mobil dulu," kata ayah sembari berlalu pergi.
Aku terkejut. "Loh, aku bisa pergi sendiri kok, Yah, Bu," ucapku.
Ibu menjawil hidungku dan berkata, "Ibu sudah melarang Ayah, tapi beliau bersikeras untuk mengantar anak cantiknya ini. Ibu mana bisa menolak."
Aku hanya bisa menghela napas mendengar perkataan ibu. Ya, mau bagaimana lagi, ayah terkadang memang masih memperlakukanku seperti gadis kecilnya yang masih berusia sepuluh tahun.
Tak lama, ayah pun datang sembari memegang kamera polaroid miliknya. "Kita foto dulu ya?" ujar ayah sembari mengangkat benda tersebut dengan senyum merekah.
Aku mengangguk semangat dan mulai merangkul ibu. Kami melakukan beberapa kali foto dari mulai bertiga, berdua, hingga aku sendiri. Setelah selesai baru lah kami pamit untuk pergi.
Kucium tangan ibu dengan penuh kasih sebelum naik ke mobil dan pergi meninggalkan rumah bersama ayah.
Perjalanan dari rumah menuju sekolah sebenarnya bisa ditempuh sekitar lima belas menit, tetapi ayah meminta izin untuk menikmati suasana malam denganku lebih lama.
Aku mengiyakan saja, toh terlambat sedikit tidak akan jadi masalah.
"Lihat binar bintang-bintang itu, Nak!" Ayah menunjuk sekumpulan bintang- bintang yang menjadi penghias langit malam ini.
Aku turut menoleh dan bergumam indah. "Bagus ya, Yah?" kataku pada beliau.
Ayah mengangguk. "Tentu saja. Ayah dan ibu dulu suka sekali berkencan di taman kota sembari menikmati suasana malam yang indah. Terlebih, ibumu sangat menyukai tiap kilau bintang yang berkelip. Itu lah mengapa kami menamakan dirimu 'Binar'."
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Tak kukira namaku ternyata memiliki arti dan kenangan yang begitu mendalam bagi mereka. "Mengapa bukan 'Bintang', Yah?" tanyaku iseng.
"Karena nama bintang sudah sangat pasaran, jadi ibu memilihkan nama lain untukmu." Ayah menjawab pertanyaanku dengan nada jenaka.
Aku tertawa kecil menanggapi candaan ayah. Kami bersenda gurau di sepanjang perjalanan, hingga tidak terasa kami telah tiba di sekolah.
Sekolah tempat aku menempuh pendidikan SMA dua belas tahun lalu masih terlihat sama. Hanya saja ada beberapa bagian bangunan yang menjulang tinggi. Mereka pasti menambahkan satu lantai di sana.
"Telepon Ayah, bila kau akan pulang, Ayah akan datang menjemput," pesan ayah.
Aku menganggukkan kepala. "Terima kasih ya, Yah," ucapku tulus. Sama seperti ibu, aku pun mencium tangan ayah dengan penuh kasih sebelum akhirnya keluar dari mobil.
"Selamat bersenang-senang!" Ayah melambaikan tangannya dan menyuruhku untuk pergi masuk.
Dengan langkah riang aku pun berjalan menuju satu-satunya pintu gerbang yang ada di sana. Sudah ada beberapa tamu undangan yang datang nyaris berbarengan denganku.
Aku belum benar-benar mampu mengingat mereka. bisa jadi itu teman satu angkatan yang berbeda jurusan denganku.
"Binar!" Saat sedang sibuk memerhatikan wajah orang-orang tersebut, aku dikejutkan dengan suara panggilan seseorang. Rupanya itu adalah suara Arunika, teman sebangku dulu. Kami memang janjian untuk datang bersama.
Arunika tampak cantik dan elegan dengan gamis modern yang dikenakannya. Wanita yang baru saja melahirkan anak pertamanya itu tiga bulan lalu, sama sekali tidak memiliki perubahan berarti pada tubuhnya.
"Binaaar!" sapa Arunika antusias. Ia langsung memelukku seerat mungkin. "Kamu sangat cantik, Binar!" pujinya tulus.
Aku tentu saja tersipu. "Kamu juga sangat cantik, Arun," pujiku.
"Kamu tidak lama menunggu, kan?" tanya Arunika lagi.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, aku juga baru saja datang."
"Oh, syukurlah!" jawab Arunika. Ia kemudian mengedarkan pandangannya pada pada sekeliling gedung sekolah, sebelum kemudian mengembuskan napas. Aku bisa melihat ada kobaran api yang terlihat dari kilat matanya. Ternyata bukan hanya aku yang antusias dengan acara ini.
"Bagaimana, sudah siap kembali ke masa lampau, Binar?" tanya Arunika dengan raut wajah penuh kesiapan.
Aku pun mengangguk mantap. "Siap, dong!"
Mendengar jawabanku, Arunika lantas menggandeng tanganku sambil berseru riang, "ayo, kita masuk!"
Begitu menginjakan kaki di dalam gedung serbaguna yang kini disulap menjadi ruangan pesta menyenangkan, aku seperti kembali ke masa lalu. Wajah-wajah familiar masih sangat kukenal meski sudah belasan tahun berlalu. Mereka adalah teman-teman sekelasku yang sedang asyik berkumpul dan berbincang.
Kami berjalan perlahan dan bergabung di sana. Wajah-wajah itu terlihat antusias ketika menyambutku dan Arunika.
"Binar!" sapa Aresta, pria yang dulu kukenal bertubuh kurus kerempeng. Dia kini menjelma menjadi pria kekar yang berwibawa.
"Oh, my God, Binar, Arunika!" Ada juga Rissa, wanita yang sejak masih sekolah memiliki kecantikan tak tertandingi. Penampilannya malam ini terlihat sangat anggun dan mahal.
Beberapa teman yang tak bisa kusebut satu persatu pun turut menyapa. Kami saling berpelukan dan menanyakan kabar satu sama lain.
"Apa kegiatanmu sekarang, Bi? Kamu tidak membawa calon suami?" tanya Wanda, wanita berhijab yang kini sedang hamil lima bulan.
Aku menggelengkan kepala pelan. "Aku masih jomlo," jawabku tersenyum, tanpa memberi jawaban lain. Sejak dulu Wanda memang dikenal sangat penasaran dengan kehidupan orang lain. Dulu dia bahkan sering ditegur oleh kakak kelas karena sering membicarakan mereka. Namun, dibalik sifatnya tersebut, Wanda merupakan teman yang baik dan mau diajak susah.
Wanda meringis. Tampaknya dia mengerti bahwa aku tak ingin membahas kehidupan pribadiku lebih jauh.
Kami pun melanjutkan obrolan lain dengan pembahasan yang lebih umum, seperti kenangan-kenangan masa sekolah dulu, dari mulai yang memalukan, lucu, bahkan sampai yang romantis.
"Hei, jangan ingatkan aku tentang itu!" teriak Kelvin, sang mantan ketua kelas yang kini berprofesi sebagai co-pilot. Wajahnya terlihat sedikit memerah ketika kami membahas bagaimana usaha Kelvin mengejar Cindy, anak kelas lain. Mereka jadian di bawah guyuran hujan, saat Kelvin menyatakan cintanya di lapangan bola dengan kondisi tanah becek.
Kami kembali tertawa keras, sama sekali tidak memerdulikan protes yang dilakukan Kelvin.
"Hei, ingat tidak, kalau kita juga punya satu pasangan fenomenal!" seru Kelvin tiba-tiba. Matanya sontak melirik ke arahku yang langsung berhenti tertawa.
Arah pandang teman-temanku pun otomatis mengikuti Kelvin, termasuk Arunika. Mereka tersenyum menggoda.
"Kenapa melihat ke arahku?" tanyaku pura-pura tak mengerti, padahal aku tahu benar apa yang mereka maksud.
Senyum beberapa orang di antaranya semakin melebar.
"Aih, kamu tidak mungkin semudah itu melupakan dia, kan?" tanya Kelvin. Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya pada teman-teman sekelas. "Kalian ingat, kan? Ingat, kan?" katanya bersemangat.
Teman-temanku yang berada di sana serempak menganggukkan kepala.
"Tentu saja ingat! Terlebih pada adegan ikonik saat Binar sedang mengikat sepatunya di bawah rintik hujan dan Mada datang membantunya!" jawab Vanya, salah seorang temanku yang tiba-tiba sangat bersemangat.
Bagaimana tidak, sebab dia lah yang dulu sering merelakan kursinya untuk diduduki oleh pria itu.
Mendengar hal tersebut, wajahku memerah seketika. Potongan-potongan ingatan masa lalu sontak memenuhi pikiranku.
Ya, alasan terbesar mengapa aku begitu bersemangat hadir di tempat ini tak lain adalah untuk melihat sosok seseorang yang aku rindukan. Seseorang yang dulu pernah mengisi kekosongan hatiku. Bersamanya, kulewati masa-masa SMA ini dengan penuh sukacita.
"Ada lagi, ada lagi! Saat kita sedang di lapangan basket dan menunggu giliran praktek! Earphone, earphone!" Begitu mendengar Vanya menyebut kata terakhirnya, sorak sorai penuh godaan pun refleks terdengar.
Tentu saja aku masih mengingat jelas tentang itu. Tentang dia yang tiba-tiba menyematkan salah satu earphone ke telingaku saat sedang duduk di bangku tribun seorang diri. Berdua, kami mendengarkan beberapa lagu romantis sembari menunggu giliran untuk dipanggil.
"Hei, kenapa sekarang aku yang jadi sasaran!" seruku protes. Kelvin tertawa bahagia. Jelas dia sengaja membahasku agar kami bisa melupakan tentang dirinya.
Baru saja aku hendak membuka suara untuk membalas Kelvin, tiba-tiba saja pria yang sejak tadi dibicarakan tersebut muncul.
Pria bertubuh tinggi menjulang yang memang sejak tadi kunantikan kehadirannya.
"Bro Mada!" Kelvin berdiri dari kursinya untuk menyambut kedatangan Madaharsa.
Ya, pria itu adalah mantan kekasihku semasa SMA, Madaharsa. Namanya yang unik tentu saja membuatku tak mudah lupa.
Mada yang baru saja datang langsung membalas pelukan Kelvin. Dia lalu menyapa semua yang ada di sana, termasuk diriku.
Aku membalas sapaannya ramah. Di mataku, Mada masih terlihat sama meski garis wajahnya kini semakin dewasa. Gaya berpakaiannya pun sama, santai tetapi rapi. Yang aku ingat, Mada tidak suka berpakaian formal. Itulah mengapa penampilannya saat ini terbilang paling santai di antara para alumni yang datang.
Kendati demikian, aura menenangkan dan wibawa yang dimiliki Mada tak pernah hilang.
"Kami baru saja membicarakanmu dan Binar, Mada," ujar Vanya sembari mempersilakan Mada duduk tepat di sebelahku.
Aku terkejut, tetapi mencoba terlihat biasa-biasa saja.
Mendengar perkataan Vanya, Mada tersenyum. "Soal apa?" tanyanya.
"Banyak!" jawab Kelvin asal. Aku tahu, Kelvin hanya ingin melihat reaksi Mada jika mendengar hal itu.
Mada terdiam sejenak, lalu menoleh ke arahku. "Sorry, aku datang terlambat, jadi tidak bisa membantumu membalas ejekan mereka," kata pria itu dengan nada lembut.
Jantungku sontak bergemuruh mendengar suaranya. Suara yang dulu selalu aku rindukan setiap malam, dan berharap pagi cepat datang hanya untuk mendengarnya kembali.
"Sayang sekali." Hanya itu lah kalimat yang bisa aku lontarkan sebagai balasan. Mada terlihat tersenyum lalu kembali mengalihkan pandangannya pada yang lain.
Beruntung, berkat kedatangannya, pembahasan kami pun menguap seketika. Mereka asyik membicarakan hal lain seperti pekerjaan.
Aku sama sekali tidak terkejut ketika Mada menceritakan pencapaiannya sebagai fotografer profesional, sebab itu lah salah satu impian Mada sejak dulu. Kini impian tersebut mampu dia raih.
Berbekal usaha dan kerja keras, Mada kini membangun sebuah studio foto dengan skala menengah. Dia bahkan menawarkan potongan harga pada kami jika ingin memakai jasanya.
Begitu mendengar kata diskon, para wanita merasa antusias. "Kebetulan aku ingin melakukan foto keluarga nanti!" ujar Sulis, yang sejak tadi lebih banyak diam karena sibuk mengutak-atik ponselnya.
Mada langsung memberikan kartu namanya ke Sulis dan juga teman-temannya di sana, termasuk aku.
"Hubungi aku jika kau membutuhkannya," ujar Mada.
Aku tersenyum simpul dan mengangguk. Aku tatap kartu nama tersebut lekat-lekat, sebelum akhirnya kusimpan dengan baik di tas kecil milikku.
Sesaat kemudian, suara pengumuman pun terdengar dari atas panggung. Jeni dan Okantara didapuk sebagai pembawa acara. Mereka berdua adalah mantan ketua dan wakil ketua OSIS dulu.
Mereka berdua terdengar meminta maaf, karena keterlambatan acara yang seharusnya dimulai sejak dua puluh menit lalu.
"Tanpa berlama-lama lagi, kita mulai acara reuni SMA Pelita Nusantara, angkatan ke-15 ini!" teriak sang ketua OSIS yang langsung disambut dengan tepuk tangan meriah.
Kami semua sangat bergembira mengikuti acara, termasuk diriku. Namun, bukan pada jalannya acara semata, melainkan Mada.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi acara reuni kami masih berlangsung dengan penuh keramaian dan kebahagiaan. Tawa dan canda riang terdengar di sepanjang acara ini.
Aku fokus memandang ke depan panggung guna menyaksikan teman-temanku berdansa di sana. Mereka terlihat asik menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik dengan semangat.
Sementara aku memilih tetap duduk di kursi dan menunggu. Berkali-kali mereka memang mengajakku untuk ikut bergabung bersama. Namun, aku menolaknya dengan lembut.
"Aku tidak bisa berdansa. Bersenang-senang lah, aku akan menunggu di sini." Hanya itu sepenggal kalimat yang aku ucapkan pada mereka sebagai jawaban. Beruntung, teman-temanku mengerti dan tidak memaksa.
Mataku kemudian mengamati sekeliling aula ini. Dari sekian banyak siswa dan siswi angkatanku yang ada, sembilan puluh persennya menyempatkan waktu untuk datang. Tentu saja, sebab ini merupakan acara yang kami tunggu-tunggu setelah dua belaa tahun berlalu sejak kelulusan kami dulu.
Aku kembali menyeruput segelas limun, sembari sesekali tertawa melihat kekonyolan Edi, teman sekelasku yang baru sepuluh menit datang dan langsung bergabung di pesta. Tampaknya dia baru saja pulang dari dinas jika dilihat dari seragam loreng yang dikenakannya. Edi, sang siswa yang terbilang nakal dan gemar membolos sekolah, kini menjelma menjadi pria gagah dan bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Seujujurnya aku iri melihat kesuksesan teman-teman seangkatanku. Beberapa orang yang bahkan sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya, kini turut menempuh kesuksesan dalam karir mau pun keluar. Sementara aku ... terpaksa harus berdiam diri bersama kedua orang tuaku di rumah. Meski terkadang membuatku sedikit bersedih tetapi itu lah satu-satunya pilihan yang aku punya.
"Kamu tidak ikut bergabung?"
Aku yang tengah sibuk memikirkan berbagai macam hal, tiba-tiba dikejutkan dengan sosok Mada yang ikut duduk di kursi sebelahku. Pria itu rupanya tidak ikut berdansa bersama di depan dan lebih memilih mengobrol dengan teman-teman lainnya.
"Kamu sendiri tidak ikut berdansa?" tanyaku dengan nada biasa. Aku berusaha agar tidak terlihat gugup di hadapannya.
"Aku tidak pandai berdansa dan tidak ingin berdansa. Kamu?" tanyanya kemudian sembari menatap mataku penuh keakraban. Kendati tatapannya tak lagi sama seperti saat kita masih memiliki hubungan manis, tetapi tetap saja kelembutan itu masih ada di sana.
"Aku juga." Jawabku singkat diiringi tawa kecil.
Kami berdua terdiam setelahnya. Mada tampak sedang memikirkan sesuatu, sedangkan aku sibuk mengontrol degup jantungku.
Siapa sangka rasa itu masih tetap bersemayam dalam jiwaku, padahal kami sudah lama tidak bertemu. Berada di dekat Mada benar-benar mengulik kembali segala kenangan yang pernah tercipta.
Aku ingin menanyakan semuanya, minimal tentang ingatan akan kebersamaan kami dulu. Namun, aku cukup tahu diri untuk tidak berlaku layaknya seorang gadis kurang ajar yang masih mengharapkan cinta dari sang mantan pacar.
Mada memang pria pertama dan satu-satunya yang belum bisa kulupakan. Apa lagi, perpisahan kami nyaris tidak dibumbui konflik serius, sebab kami memutuskan berpisah baik-baik setelah Mada diterima di salah satu perguruan tinggi terkenal yang ada di luar kota.
"Aku pikir, kamu akan tinggal permanen di luar kota?" tanpa kusangka, sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutku.
Aku terkesiap begitu menyadarinya. "Maaf, aku mungkin sedikit lancang."
Bukannya menatapku aneh karena sok mengakrabkan diri, Mada malah tertawa kecil. "Aku langsung pindah ke sini begitu lulus kuliah dan fokus membangun cita-citaku," jawab pria itu lembut.
Aku menganggukkan kepala. "Aku turut bangga, Mada. Sejak dulu kamu begitu menyukai fotografi dan sejenisnya ...."
" ... dan kamu lah yang selalu menjadi korban objek gratisku." Mada menambahkan satu kalimat yang membuat pipiku merah.
Dia ternyata masih mengingat hal tersebut. "Aku bukan korban, tapi sukarelawan," ujarku membenarkan.
Mada tersenyum simpul. Kami kembali diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, sebelum pria itu secara tiba-tiba berkata, "lain kali mau tidak menjadi sukarelawanku lagi?" katanya menawarkan.
Aku termangu menatapnya. Percik-percik kebahagiaan mulai muncul memenuhi relung hati. "Boleh." Jawabku dengan nada yang aku usahakan biasa.
"Kalau begitu, boleh aku minta nomor teleponmu?" tanya Mada kembali. Aku pun mengangguk dan menyebutkan beberapa angka nomorku.
"Ahh, kau masih memakai nomor yang sama rupanya. Kalau ponselku sempat hilang, jadi aku mengganti nomor lamaku," ujar Mada.
"Kau masih mengingat nomor teleponku?" tanyaku.
"Ya." Jawab Mada.
Lalu, kenapa tidak mencoba menghubungiku? Aku hanya bisa menanyakan hal ini dalam hati.
"Aku sebenarnya ingin menghubungimu, tapi aku takut akan mengganggu. Lagi pula, rasanya canggung sekali." Secara mengejutkan, Mada tiba-tiba mengutarakan kalimat yang sangat berkesinambungan dengan pertanyaanku dalam hati tadi.
Apa ini? Apakah Mada bisa membaca pikiranku? Dia benar-benar membuatku tercengang.
"Tidak apa-apa." Jawabku. Kami pun mulai mengobrol ringan soal kegiatan masing-masing, sebelum akhirnya teman-teman kami kembali bergabung.
Acara reuni pun sukses berjalan. Tepat pukul setengah sebelas malam kami semua membubarkan diri.
"Jangan lupa untuk tetap saling berkomunikasi ya, guys!" teriak Kevin kepada kami semua. Dia memang berencana mengadakan reuni kembali khusus kelas kami saja.
Satu persatu mulai berpamitan pergi. Kini hanya tinggal aku, Arunika, dan Mada.
"Ayo, Bi, pulang bersamaku saja," ajak Arunika sekali lagi.
"Ayahku sebentar lagi sampai, kok! Kamu pulang saja duluan." Aku menolak halus ajakan pulang bersama Arunika.
"Kau yakin?" tanya Arunika meyakinkan.
Aku mengangguk mantap.
"Baiklah kalau begitu, aku duluan ya, Bi, Mada!" Arunika kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kamu tidak pulang? Apa dijemput juga?" tanyaku pada Mada yang masih berdiri di sebelahku. Apa dia tidak membawa kendaraan dan sedang menunggu jemputan, sama sepertiku.
"Aku akan menemanimu di sini sampai ayahmu tiba."
Mendnegar jawaban Mada, aku cukup tersanjung. Namun, aku juga merasa tak enak hati karena hari sudah semakin malam.
"Tidak perlu Mada, sebentar lagi ayahku pasti sampai," ucapku meyakinkan.
"Ayahmu sudah membalas pesanmu?" tanya Mada.
Aku menggelengkan kepala. "Mungkin karena ayah sedang di jalan."
"Sepertinya tidak begitu. Dari pada terus menunggu lebih baik kita pulang bersama. Bagaimana?"
Mendapat ajakan demikian tentu saja aku bimbang. Ayah memang belum membalas pesanku, tapi bisa saja karena ayah sedang berada di jalan, walau sebenarnya beliau tak pernah sekali pun mengabaikan pesan dariku.
"Hari sudah semakin larut dan aku tak mungkin meninggalkanmu sendirian."Mada sekali lagi membuka suaranya.
Aku terdiam sejenak, lalu berusaha menghubungi ponsel ayah kembali. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban. Ke mana sebenarnya ayah? Mengapa beliau tidak menepati janjinya untuk datang menjemputku.
Alhasil, dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku pun mengiyakan ajakan Mada. "Baiklah. Maaf merepotkanmu,"ucap gadis itu.
Mada tersenyum kecil lalu memintaku untuk berjalan mengikutinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!