Setelah membawa Sari ke rumah ibu, aku sering mendengar suara tangisan di dalam kamar istriku, dan itu pun hampir setiap hari.
Terkadang membuat kepalaku pusing, setiap kali membuka pintu kamar, Sari tahu tahu sudah tertidur dengan membelakangi tubuhku.
Sebenarnya ada apa dengan istriku?
Apa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku, atau ada kata kata yang tak aku sadari sudah melukai hatinya, tapi apa?
Perlahan tangan kekar ini, meraih bahu istriku," Mah?"
Tak ada jawaban setelah aku memanggilnya, membuat aku membaringkan badan disamping kiri istriku.
Dengan terpaksa aku simpan pertanyaan pertanyaan yang menggunung pada hati ini, dengan rasa penasaran dan ingin tahu apa yang ditangisi Sari setiap malam.
Ahk, sudahlah. Biar nanti pagi aku tanyakan pada istriku.
Suara Adzan berkumandan, aku tak melihat Sari sama sekali, " Sari. "
Memanggil namanya, tiba tiba wanita itu muncul dibelakang tubuhku.
"Astagfirullah, Sari." Terkejut, sampai mengusap pelan dada bidang.
"Kamu dari mana?" pertanyaanku, membuat Sari terlihat gugup, dan seperti biasa aku melihat kedua matanya sudah bengkak.
"Sari, Riki, ayo kita salat berjamaah," Panggilan ibu membuat kami berdua menatap ke arahnya.
Selama aku tak ada di rumah, aku melihat hubungan istriku dan ibu terlihat baik baik saja.
"Mas, aku sudah siapkan baju koko dan sarung untuk kita salat berjamaah. "
Menganggukkan kepala, melihat senyuman Sari tak terlihat seperti dulu bercahaya, sedangkan sekarang seperti serbuk sari yang sudah tak ada pada bunganya.
"Mas, mandi dulu ya, " ucapku, mengambil handuk terlihat istriku hanya menganggukkan kepala saja.
Air yang membasahi badan terasa begitu menyegarkan, membuat kata semangat muncul lagi.
Namun dalam kata semangat itu, masih ada rasa ketidak pastian dari istriku. Wajahnya terlihat seperti orang yang tertekan.
Terburu buru aku segera mungkin memakai baju yang sudah disediakan oleh istriku.
Terlihat kedua penyemangat sedang duduk menunggu imam yang akan memimpin mereka salat.
Saat langkah kaki melangkah, aku mendengar ibu mengatakan hal yang tak pantas pada Sari.
"Dasar lelet, menantu tidak tahu diri. Makanya kalau bangun itu jangan duluan ibu dong, malu maluin."
Ibu menggerutu kesal, mengoceh sendirian, dimana mereka terlihat duduk berjauhan.
Sebenarnya aku masih tak percaya, apa benar yang tadi dikatakan ibu, atau hanya pendengaranku saja yang salah menangkap.
Aku tak boleh suudzon terlebih dahulu, ibu_kan orang baik, tak mungkin melakukan hal itu.
Berjalan, aku mulai memimpin salat, menyuruh ibu untuk dekat berdempetan dengan istriku.
"Bu, jangan jauh seperti itu dong."
"Sudah ah, jangan ngatur ngatur ibu, ibu pengen di sini saja."
Aku melihat tatapan ibu terlihat begitu sinis, saat menatap istriku.
"Bu, pamali. "
"Iya, iya. "
Pada akhirnya ibu menuruti perkataanku, ia duduk bersebelahan dengan istriku.
Setelah selesai menjalankan salat, aku bersiap siap menjalankan aktivitasku untuk berolahraga di pagi hari sebelum aku melakukan pekerjaanku di kantor.
"Mas."
Panggilan Sari, membuat aku menghentikan langkah kaki," Kenapa, mah?"
"Eeh, a-nu. "
Istriku seperti ingin mengatakan sesuatu tapi, bibirnya terlihat keluh,
"Kenapa?"
Aku mencoba bersikap lembut, agar ia merasa tak gugup. Karena baru tiga bulan tinggal di rumah ibu, Sari seperti tak punya kepercayaan dirinya. Dimana ia adalah sosok yang ceria, tapi sekarang?
"Kamu mau ngomong apa?"
Tiba tiba sosok ibu datang, mengagetkan Sari. Dimana tatapannya pada ibu terlihat ketakutan.
Wanita tua yang menjadi ibu ku itu melipatkan kedua tangannya, ia kini menimpal perkataan Sari.
"Ayo Sari, kamu mau ngomong apa sama suamimu? Jangan bikin suamimu cemas. "
Gerak gerik wajah Sari terlihat berbeda sekali, ia berusaha tersenyum dan berucap, " Ahk, itu. Sari hanya ingin bertanya, kalau nanti mas mau dibekalkan makan apa?"
Aku berusaha mendamaikan suasana, dimana feelingku sudah merasa tak enak, seperti ada yang tak beres beres di rumah ibu, terlihat sekali Sari bukan ingin bertanya bekal makanan. Tetapi ada hal yang lain, yang ia ingin katakan. Entah apa? Karena setiap kali kami mengobrol ibu selalu tiba tiba muncul.
"Terserah kamu sayang, karena mas selalu suka dengan makanan yang kamu buat."
"Oh, ya sudah, kalau begitu Sari mau masak dulu di dapur ya. "
Aku menganggukkan kepala, dimana istriku pergi dengan terburu buru.
"Kenapa kamu menatap ibu seperti itu?" Tanya wanita tua yang sudah melahirkanku itu.
"Bu, Riki mau tanya sama ibu! Ibu tidak melakukan hal apapun pada Sari kan!" jawabku sedikit tegas.
"Hal apa pun, maksud kamu?" tanya kembali ibu. Memperlihatkan keangkuhannya.
"Ya seperti melukai hati Sari, atau membuat Sari tertekan di rumah ini, agar tak betah di sini." ucapku pada ibu dengan begitu lancang.
"Ngaco kamu, mana ada ibu kaya begitu!" balas ibu, terlihat kesal kepadaku. Ia pergi meninggalkanku dengan seribu pertanyaan.
Aku sebenarnya tak yakin dengan perkataan ibuku sendiri, karena dulu ibu sempat tak merestui pernikahan aku dan Sari.
Sampai aku nekat untuk kawin lari bersama Sari, ibu yang tak ingin aku pergi meninggalkannya, membuat ia pada akhirnya merestui pernikahan kami.
Baru pernikahan kami yang masih seumur jagung , ibu dengan semangatnya memaksa kami berdua untuk tinggal di rumahnya.
Awalnya kami berdua menolak, karena ingin belajar hidup mandiri, tetapi karena ibu yang menangis dan memohon mohon, membuat aku dan Sari menuruti keinginannya.
Selesai berolahraga, aku pulang ke rumah untuk mandi dan bersiap siap pergi ke kantor.
Mencari keberadaan istriku.
"Sari, kamu sedang apa di kamar mandi?"
Ibu kini datang lagi, membuat suasana terasa menegangkan.
"Dia lagi bersihin kloset, jadi biarkan saja. Dia kan lagi hamil tuh, harus banyak gerak jangan malas malasan."
Aku mengernyitkan dahi, menjawab perkataan ibu yang terlihat memerintah pembantunya.
"Bu, Sari itu hamil muda, dia harus banyak istirahat. Ibu pahamkan apa yang dikatakan dokter?"
"Ah, lebih pintaran ibu daripada dokter, buktinya ibu hamil kamu dulu waktu kandungan ibu dua bulan. Ibu sambil kerja kantor sama mengurus rumah nggak kenapa kenapa tuh, biasa aja, ahk. Istri kamunya aja lebai. Istri itu jangan dimanja, kali kali biarkan dia mengerjakan pekerjaan rumah agar tubuhnya sehat!" Setelah mengoceh panjang lebar.
Ibu pergi begitu saja, membuat aku hanya menghela napas dengan kasar.
"Sudah mas, kamu tak usah pikirkan aku, sekarang kamu berangkat ke kantor, aku sudah biasa melakukan pekerjaan ini," ucap Istriku membuat aku tak tega, namun jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Takut jika aku terlambat.
"Kamu benar tidak apa, apa. Mas kuatir tahu, kamu kan lagi hamil," balasku, menatap sayu ke arah istriku.
"Sudah ah, jangan lebay gitu. Sana berangkat, maaf ya nggak di sun, habisnya tangannya kotor. "
Istriku kini melambaikan tangan ke arahku, ia tersenyum lepas, " Ya sudah aku berangkat dulu ya."
Berjalan keluar rumah, baru saja sampai pintu.
Bark ….
Suara apa itu? Membuat aku terkejut?
Aku segera berlari setelah mendengar suara di dapur. " Astagfirullah, mah." Betapa terkejutnya melihat Sari terpeleset, tubuhnya terkulai lemah di atas lantai.
"Kamu kok bisa sampai jatuh begini, ayo mas bantu berdiri. "
Saat mengangkat tubuh Sari, darah terlihat mengalir dari atas betis istriku, kedua mataku membulat. Tanpa basa basi aku langsung membopongnya masuk ke dalam mobil.
Ibu yang baru saja selesai berdandan datang menghampiriku, " aduh, ada apa ini?"
"Sari, jatuh di dapur bu, barusan!"
"Lalu mau kamu bawa kemana dia?"
"Aku mau bawa ke rumah sakit bu, kasihan Sari dia sepertinya mengalami pendarahan!"
"Sudah, tak usah dibawa ke rumah sakit, ibu panggilkan dukun beranak saja. Buang buang duit kalau dibawa ke rumah sakit."
"Ibu gimana sih dukun beranak kan buat melahirkan bukan mengobati pendarahan, dan lagi ada BPJS ini. "
"Kamu ini kalau ibu bilangin."
"Ahk, sudah bu. Aku mau pergi sekarang. "
Aku membawa istriku pergi dengan menggunakan mobil kantor yang biasa dibawa untuk bekerja," mas, sakit. "
Mendengar rengekan istriku, membuat aku tak tega, berusaha kutenangi dia dengan berkata, " kamu harus tenang ya sayang, bentar lagi kita sampai di rumah sakit kok."
Dengan tangan gemetar mengendarai mobil, pada akhirnya aku berhasil membawa Sari ke rumah sakit.
Membopong tubuh istriku, mencari seorang perawat ataupun dokter.
"Dok, dok. Suster. "
Mereka baru saja datang, membuat hatiku merasa tenang. Sari dibawa ke ruang UGD untuk segera ditangani.
Dari sana hatiku sudah tak karuan, dimana ponsel terus berbunyi tanda orang kantor terus menelponku.
"Halo pak. "
"Halo, Riki. kenapa kamu tidak pergi ke kantor hari inu, bukannya kamu tahu sendiri di perusahaan kita sedang ada proyek besar."
Aku memukul kepalaku, lupa jika hari ini ada proyek besar yang harus aku tangani. " Maaf pak, sekarang saya ada di rumah sakit, istri saya mengalami pendarahan, mohon pengertiannya."
"Pengertian, memangnya perusahaan ini milik nenek moyangmu, pokoknya sekarang kamu harus datang ke kantor dan bawa berkas yang saya suruh kamu selesaikan kemarin. "
Sambungan telepon dimatikan sebelah pihak, aku bimbang saat ini, jika aku pergi kerja sekarang bagaimana dengan Sari, dia sendirian di rumah sakit.
Dengan memberanikan diri, aku mencoba menelepon ibu, " Halo Riki, kenapa?"
"Bu, ibu bisa datang ke sini temani Sari sebentar saja, Riki mau pergi kerja, sekarang ada meeting yang harus Riki hadiri!"
"Bukannya tadi ibu bilang sama kamu, bawa aja Sari ke dukun beranak, lah ini ke rumah sakit, jadinyakan kamu repot. Nyusahin saja bisanya. "
Aku mencoba melembutkan hati ibu, " Bu, Riki minta maaf, tadi Riki panik. "
"Ahk, kamunya aja nggak bisa diomongin."
"Ibu mau kan datang ke sini?"
"Iya."
"Syukurlah."
Baru saja ingin mengucap kata terima kasih, wanita tua yang sudah melahirkanku langsung mematikan sambungan teleponnya. Membuat aku hanya bisa mengelus dada, karena sekarang sekarang ibu memperlihatkan sifat aslinya. Dimana ia begitu membenci menantunya dan merasa tak puas akan pernikahan kami, ya Allah kuatkan hamba menjalani cobaan ini.
Menghela napas, aku kini berjalan menuju parkiran, berharap jika ibu benar benar datang menemani Sari.
Aku mulai menyalakan mobil dengan kecepatan tinggi, berharap sampai ke kantor.
Semua terasa menegangkan karena jam segini aku baru saja datang, melihat raut wajah sang bos membuat aku ketakutan.
Untung saja, kelain tidak menunggu lama dan aku mulai menjelaskan semuanya.
Dan untuk saja semua berjalan dengan sempurna, kelain suka dengan proyek besar yang kami rencanakan.
Sampai aku bersujud syukur kepada yang maha kuasa. " Riki. "
"Iya pak?"
"Sekarang kamu selamat, karena proyek kita berhasil! Dan saya mengurungkan niat saya untuk tidak memecat kamu, jadi saya berharap kedepannya kamu bisa lebih bertanggung jawab lagi!"
"Iya pak, saya minta maaf atas keteledoran saya. "
Menghela napas kembali, Allah masih memberiku rezeki dalam bekerja. Walau pemilik perusahaan begitu kesal kepadaku.
Menatap jam, sudah menunjukkan pukul lima sore, aku bergegas masuk ke dalam mobil untuk segera menemui Sari di rumah sakit.
Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di rumah sakit, kini aku keluar dari dalam mobil membawa buah buahan kesukaan istriku.
Terlihat suasana rumah sakit hampir sepi, aku bertanya dimana ruangan istriku sekarang.
Suster menunjukkan ruangan itu, aku berjalan dengan begitu cepat, melihat pada jendela kamar ruangan istriku.
Sari tengah menangis sendirian, ia terus mengusap air matanya yang terus berlinang membasahi pipi.
"Kemana ibu, padahal aku menyuruh ibu untuk menemani Sari, tapi sekarang. Kenapa dia tidak ada di dalam kamarnya?"
Aku segera mungkin masuk ke dalam kamar Sari, terlihat ia terburu buru mengusap air matanya.
"Mas, kamu sudah pulang kerja. " Sari tersenyum, setiap kali melihatku datang, ia seperti menyembunyikan kesedihannya sendirian.
Aku mendekat dan mencium kening istriku ini dan bertanya?" Oh ya, ibu kemana?"
"Ibu! Dari tadi Sari nggak lihat ibu di sini!"
Aku mengepalkan kedua tanganku, ibu sudah melalaikan amanahku, dia tidak menemani Sari.
Berusaha menenangkan Sari, " Oh ya mas bawa buah buahan untuk kamu loh sayang, nih lihat. "
Sari semakin melebarkan senyuman nya, ia menerima pemberianku dengan wajah bahagia.
"Maaf ya sayang, mas tidak menemani kamu. Karena …."
Sari memegang tanganku," sudah mas, tak usah dijelaskan lagi, Sari sudah ngerti kok. kamu kan kerja. "
Mengusap pelan pipinya dan berkata," terima kasih ya sayang. "
Baru saja kamu merasakan rasa bahagia, ibu datang dengan raut wajah terlihat kesal.
"Ibu."
Wanita tua itu mendekati Sari dan berkata, " bisa bisanya kamu sampai keguguran."
Deg ….
Mendengar perkataan ibu membuat jantungku terasa sesak.
"Makanya jaga kesehatan, ngurus anak dalam kandungan pun tak becus."
Sari hanya diam ketika ibu terus menerus memarahinya," Bu, sudah cukup jangan marahi lagi Sari, semua ini bukan karena ulah Sari seutuhnya dia tidak sengaja terjatuh. "
"Riki, kamu ini suami macam apa sih, sudah tahu istri salah, dibelain terus. Jadinya maja kaya gini. "
"Sari bukan manja bu, Sari kelelahan karena mengurus rumah sendirian, memasak, mencuci pakain ibu dan anak ibu yang janda itu. Belum lagi ibu selalu menyuruh Sari membuatkan makanan tengah malam. Sampai Sari lupa dengan namanya tidur nyenyak."
Aku baru pertama kali mendengar istriku mengatakan hal itu, membuat aku yang menjadi suami merasa gagal.
"Jaga ucapan kamu, itu sudah jadi tugas kamu. Siapa suruh mau nikah sama Riki, ya kamu harus tanggung dong resikonya, melayani kita semua."
Mendengar hal itu membuat aku bertanya pada ibu. " Bu, jadi selama ini ibu bohong sama Riki, ibu bilang kalau ibu sudah menyewakan pembantu dari jam sembilan sampai jam empat untuk mengerjakan pekerjaan rumah?"
"Ayo jawab bu, kenapa diam saja?"
Aku mulai menekan wanita tua itu untuk berkata jujur, dimana ia berlaga sok tenang dan tak mau tersalahkan.
"Kemarin ada, cuman …."
"Cuman apa?" Ketika berbicara dengan ibu pasti selalu bertele tele.
"Ya ibu pecat, karena ada istri kamu ya ibu suruh saja dia membersihkan rumah. Kan kamu tahu sendiri dia itu lagi hamil muda, harus banyak gerak jangan tidur mulu!"
Aku mengusap kasar wajahku, mendengar penjelasan yang membuat amarahku meluap luap.
"Bu, kandungan Sari itu masih rentan. Wajar jika Sari sering tidur dan bermalas malasan. Sebenarnya aku bingung sama ibu, dapat teori dari mana sih bu, sampai ibu hamil harus giat bekerja, hah. Sampai sampai mengerjakan pekerjaan rumah segala seperti pembantu."
Ibu diam, ketika aku mengatakan hal itu. Ia terlihat seperti tak terima sampai sampai membuang muka dan pergi dari hadapan kami berdua.
"Mas ibu pergi. "
Aku mencegah istriku untuk berdiri, " sudah biarkan saja. "
"Tapi mas. Ibu pasti sakit hati dengan perkataan mas. "
"Sudahlah, biarkan saja ibu mencerna perkataan mas, agar dia bisa memahami kamu. "
Sari kini memeluk tubuhku, dimana aku mendekapnya dengan erat, " maafkan aku yang tidak pernah peka."
Sari menganggukkan kepala, dimana aku mulai memotong buah buahan untuk istriku makan.
Semalam kedua mataku terjaga, karena menunggu istriku, terlihat ia tertidur dengan begitu nyenyak tanpa tangisan yang aku dengar seperti kemarin kemarin.
Memegang tangannya yang lembut, aku sudah salah membawa istriku masuk ke rumah ibu. Seharusnya dulu aku lebih baik membawanya untuk ngontrak.
Aku terlalu mempercayai kesedihan ibu yang dimana kesedihan itu, hanyalah omong kosong.
Kenapa ibu dari dulu tidak berubah, padahal Sari begitu sabar dan baik, ia tak pernah bercerita dengan kesedihan yang ia alami, apalagi perlakuan ibu selama ini.
Aku menangis, pertama kalinya aku menangisi wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
"Semua salahku. "
"Mas, kamu kenapa?"
Aku tak menyangka, jika tangisanku mampu membuat Sari bangun dari tidurnya yang nyenyak itu, ia kini mendudukan tubuh dan menatap ke arahku.
"kamu menangis?" Mengusap pelan air mata yang terus menetes membasahi pipi.
"Tidak, ini hanya keringat saja!"
Sari menatap ke arahku, tak mengedipkan matanya sama sekali, " jangan bohong, kamu menangis kan. Ayo katakan kenapa?"
"Kamu menyesal tidak menikah dengan mas?" Pertanyaan yang malah membuat istriku tertawa.
"Kenapa tertawa?" Tanyaku lagi.
"Kamu ini ada ada aja mas, pertanyaanya. Kalau aku menyesal, dari dulu mungkin aku sudah meninggalkan kamu!"
Jawaban yang membuat aku senang, " jadi kamu tidak menyesal."
Sari menggelengkan kepala, dimana aku memeluknya dengan begitu erat.
"Terima kasih, atas kesetiaanmu. "
"Aku juga terima kasih karena kamu sudah membelaku di depan ibumu. "
Kami mengobrol hingga larut malam, sampai suara ketukan pintu membangunkan kami, ternyata ibu dan juga adikku datang.
"Jam segini kalian masih tidur. "
Datang datang ibu langsung memarahi kami, dimana aku dengan santainya menguap, dan mengucap kedua mata.
"Jam berapa?"
"Jam tujuh!"
Aku berdiri, membulatkan kedua mata. Lupa jika hari ini harus berangkat bekerja, ibu mulai memberikan baju ganti padaku.
"Ini, ibu bawakan kamu baju ganti, cepat sana mandi dan pergi kerja, ini lagi punya mantu malas sekali. "
Aku mengambil baju yang diberikan ibu mandi dan langsung menggantinya, tanpa banyak basa basi. Berangkat bekerja, mencium kening istriku.
"Bu, aku titip Sari ya."
"Ya."
Pergi dari ruangan Sari, berlari menuju mobil, sampai aku berucap dalam hati, " tidak apa apa ya, kalau aku meninggalkan istriku bersama ibu."
Menyalakan mesin mobil, aku mulai melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi.
"Untung saja aku tidak terlambat."
Duduk di kursi, pekerjaanku kini begitu banyak, membuat aku yang kurang tidur ini sedikit tak fokus.
"Permisi, Pak Riki, ini berkas yang harus ditanda tangani. "
Wanita bernama Puja, tersenyum kepadaku, dimana gadis yang dijodohkan oleh ibu untukku kini memakai hijab.
"Pak Riki."
Aku berusaha sadar, mengusap pelan wajah, " Ahk iya kenapa Puja?"
"Ini berkas yang harus bapak tanda tangani."
"Oh iya. "
Aku langsung saja menandatangani berkas itu, dimana Puja kini bertanya, " katanya istri bapak masuk ke rumah sakit ya?"
"Kok, kamu bisa tahu!"
"Ahk itu, ibu memberi tahu saya."
"Ibu?"
Mm, kenapa ibu harus memberitahu Puja, apa urusannya dengan Puja.
"Pak Riki jangan salah paham, saya hanya turut prihatin saja, karena ibu bapak sering bercerita pada saya. "
"Oh."
"Boleh saya menengok istri bapak setelah pulang kerja. "
"Boleh."
Puja masih berdiri, sepertinya ia mencari topik pembicaraan denganku. Dimana aku hanya menjawabnya satu atau dua patah kata saja.
Karena setelah menikah rasanya tak pantas jika aku banyak mengobrol dengan wanita yang bukan istriku.
"Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu."
Menganggukkan kepala, tak menatap kepergian Puja sama sekali.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, kata semangat mulai memburu pada hatiku, dimana aku tak sabar ingin menemui Sari.
Karena dia adalah penyemangat dalam hidup ini, " Akhirnya pekerjaanku beres juga, aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan istriku. "
Baru saja melangkahkan kaki keluar rumah, ibu tiba tiba menelepon, membuat rasa kuatir memburu hati ini.
"Halo bu, ada apa?"
"Riki, kamu tak usah pergi ke rumah sakit lagi!"
"Loh, kenapa?"
"Dokter menyuruh Sari pulang tadi siang, jadi ya mau tidak mau ibu bawa Sari pulang, dan untungnya ada adik kamu yang bantu!"
"Ya sudah kalau begitu, bu!"
Aku langsung mematikkan sambungan telepon untuk menaiki mobil, dimana hujan tiba tiba mengguyuri atas tanah.
"Kok, tiba tiba hujan ya. "
Puja yang berdiri menunggu taksi, dia melambaikan tangan ke arahku, dimana aku berusaha mengabaikannya.
Menginjak pedal gas (mobil) lalu pergi, terlihat raut wajah wanita muda itu tampak bersedih, ketika aku lihat pada kaca mobil.
"Aku tak mau jika nanti waktuku terhambat olehnya, jika itu terjadi, yang ada aku tidak bisa menemani Sari cepat cepat. "
Tak terasa hujan sudah mengguyur jalanan begitu saja, udara terasa sangat sejuk, membuat hawa dingin menusuk pada kulit.
Sampai di depan rumah, aku melihat kursi roda ada di halaman dalam keadaan kehujanan. Segera mungkin mengambil dan memasukkan ke dalam rumah.
"Riki, kamu sudah pulang."
Aku langsung mencium punggung tangan ibu dan menanyakan kenapa kursi roda ini ada di luar dan kehujanan.
"Kenapa kursi roda ini ada di halaman rumah bu, sampai kehujanan lagi?"
"Oh, itu tadi, ada bekas darah istri kamu, jadi ibu simpan di halaman, soalnya jijik gitu kalau ibu bersihin. "
Aku menggelengkan kepala mendengar jawaban ibu.
"Kemana Sari?"
Pertanyaanku, membuat ibu hanya diam dan tak menjawab.
"Loh, kok ibu diam saja. Kemana sari?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!