Di sebuah desa yang masih sangat asri dengan hamparan sawah luas yang berada tidak jauh dari wilayah perkampungan. Di sanalah tempat tinggal seorang gadis cantik bersama dengan ibu dan adik laki-lakinya. Hidup dalam kesederhanaan tidak membuatnya mengeluh ataupun menyalahkan keadaan karena harus terlahir dari keluarga yang kurang dari segi ekonomi.
Dia hanyalah gadis lulusan SMP sekitar lima tahun lalu, sedangkan adiknya sekarang baru kelas dua sekolah menengah pertama. Ibunya adalah seorang tukang bersih-bersih panggilan juga sebagai buruh tandur (tanam bibit padi). Sementara dirinya masih pengangguran karena belum ada pekerjaan yang cocok untuk gadis muda seusianya.
"Ibu sudah pulang?" Wajah Deana berbinar bahagia saat melihat kepulangan ibunya dari sawah.
"Sudah, De. Adikmu sudah pulang?" tanya balik Tinah—ibu Deana.
"Belum, Bu. Mungkin sebentar lagi, biasanya Rangga pulang jam satu." Deana meraih keranjang kecil yang digunakan sang ibu sebagai tempat membawa bekal.
"Kalau begitu ibu mau mandi dulu, mau dzuhuran juga." Tinah bangkit berdiri lalu berjalan menuju ke kamar mandi yang berada di dalam rumah bagian belakang.
Tinah menggerek ember untuk mengambil air dari dalam sumur. Jika sebagian besar warga di desa tersebut sudah menggunakan air dari PDAM ataupun pompa air listrik, tetapi tidak dengan Tinah. Bukan tidak ingin, tetapi dia belum memiliki cukup uang untuk itu. Terkadang, dia masih ke tempat pemandian umum yang memanfaatkan sumber mata air bersih. Namun, rasa lelah Tinah membuatnya saat ini enggan untuk berjalan ke sana karena letaknya yang berada di ujung desa.
Selagi sang ibu membersihkan diri, Deana membuka keranjang itu dan mengeluarkan tempat bekal makan dan minum milik Tinah yang saat ini telah kosong dan menaruhnya bersama tumpukan piring kotor. Ia akan mencuci setelah Tinah selesai mandi nanti.
Di saat Deana sedang sibuk beberes, terdengar suara pintu diketuk dengan cukup kencang. Gadis itu segera menghentikan kegiatannya dan berjalan tergesa untuk membuka pintu. Dalam hati menggerutu, siapakah tamu yang tidak sabaran itu.
Ketika pintu terbuka, wajah Deana mendadak gugup saat melihat Bang Togar—rentenir terkenal di desa itu— sudah berdiri dengan tangan menyentuh tembok dan juga sebuah rokok togok berada di mulutnya. Lelaki itu menghisap rokok secara dalam lalu meniupkan asapnya tepat di wajah Deana. Gadis itu tidak membuka suara, hanya sedikit memundurkan tubuhnya supaya tidak banyak asap yang masuk ke paru-paru.
"Di mana ibumu?" tanya Togar. Suaranya terdengar menggelegar sehingga membuat tubuh Deana sedikit meringsut.
"Se-sedang mandi." Deana menjawab gugup. Tangan gadis itu saling merem*s bahkan keringat dingin mulai terlihat membasahi dahi.
"Katakan padanya kalau aku datang!" suruh Togar. Deana hanya terdiam di pintu karena ragu, tetapi melihat sorot mata Togar yang menajam, gadis itu pun melangkah masuk dan tak lupa menyuruh tamunya untuk masuk walaupun dalam hati ingin mengusirnya.
Deana kembali ke belakang untuk mencari ibunya, tetapi wanita itu sudah tidak berada di sana. Kemudian, dia menuju ke kamar Tinah dan melihat sang ibu sedang sholat. Deana hanya berdiri di ambang pintu menunggu sampai ibunya selesai. Tatapan gadis itu tampak nanar saat melihat Tinah sedang menengadahkan tangan, merapalkan doa-doa.
"Bu," panggil Deana saat Tinah baru saja melepas mukena. Tinah berbalik dan melihat putrinya yang sedang berjalan mendekat.
"Ada apa, De?" tanya Tinah. Kening wanita itu mengerut saat melihat wajah putrinya yang tampak begitu gugup.
"Ada Bang Togar di depan." Mendengar jawaban Deana, raut terkejut tampak memenuhi wajah Tinah, tetapi wanita tersebut berusaha untuk tetap terlihat tenang. Tidak ingin membuat putrinya merasa cemas.
"Kalau begitu ayo kita temui. Tidak baik membiarkan tamu menunggu lama." Tinah bergegas bangun. Bahkan dia tidak melipat mukena yang baru dipakai, hanya memasukkan dalam sajadah lalu menggulungnya.
Langkah Tinah sedikit lebih cepat, sedangkan Deana hanya mengekor tanpa mengucap sepatah kata pun. Togar yang sedang duduk dengan kaki saling menindih segera mematikan rokoknya saat melihat kedatangan si tuan rumah.
"Maaf membuat kamu menunggu, Bang." Tinah berbicara dengan sopan, tetapi Togar tidak menyahut. Lelaki itu justru meluruskan tangan di atas sofa usang yang saat ini diduduki.
"Kapan kamu akan membayar hutangmu beserta bunganya?" tanya Togar tanpa basa-basi. Tinah mendadak diam dengan raut wajah bingung. "Kenapa kamu diam!"
"Ma-maaf, Bang. Saat ini aku belum ada uang." Tinah berusaha mengumpulkan keberanian.
"Kapan kamu ada uang? Hampir setahun kamu meminjamnya!" seru Togar.
Deana yang barusan berada di ambang pintu akhirnya berjalan mendekat dan memegang kedua pundak ibunya. Dia tidak mau ada seorang pun yang menyakiti ataupun membentak ibunya. Togar menunggingkan senyum saat menatap lekat wajah Deana.
"Beri waktu lagi, Bang." Tinah menangkup tangan di depan dada dengan wajah memelas.
Togar tersenyum sinis lalu mendecakkan lidah. "Kamu mau minta waktu berapa lama lagi? Atau kamu berikan saja putrimu yang cantik ini dan hutangmu kuhitung lunas."
Tinah mendongak, menatap Togar dengan sedikit tajam. "Aku tidak akan menjadikan putriku sebagai gadis penebus hutang!" tegasnya penuh berani.
"Kalau begitu segera lunasi hutangmu!" Togar pun tak kalah tegas. Ia merasa geram karena Tinah berani membantahnya.
"Beri aku waktu sebulan, aku pasti akan melunasi hutang-hutang itu." Tinah berusaha menawar. Togar terdiam, tangannya mengusap dagu dengan perlahan seolah sedang menimang-nimang. Satu menit setelahnya sebelah sudut bibir lelaki itu terangkat.
"Baiklah. Kalau bulan depan kamu belum bisa membayar maka aku akan memberi dua pilihan. Biarkan putrimu menjadi istriku yang ketujuh atau rumah ini menjadi milikku dan kalian silakan pergi dari sini."
Tinah kembali terdiam, sedangkan Deana semakin memegang pundak ibunya dengan erat. Togar bangkit berdiri dan segera pergi dari rumah itu tanpa menunggu jawaban Tinah. Bahkan, lelaki itu pergi begitu saja tanpa permisi.
Setelah bayangan Togar tidak lagi terlihat, Deana beralih duduk di samping ibunya. Dia menatap wajah Tinah yang mulai keriput termakan usia. Rasa tidak tega dirasakan oleh gadis itu apalagi saat melihat sang ibu yang sedang berusaha menutupi rasa bingungnya.
"Bu, bagaimana ini?" tanya Deana tanpa memutus pandangannya kepada sang ibu.
"Nanti ibu pikirkan, De. Semoga saja ada rezeki tidak terduga." Tinah berusaha menenangkan hati Deana meskipun ia sadar kalau itu hanyalah sebatas kalimat penenang.
"Bu, hutang ibu bukan hanya satu dua juta, tapi sepuluh juta. Kita tidak mungkin mendapat uang sebanyak itu dalam waktu sebulan. Apalagi Dea baru berhenti kerja." Deana terlihat begitu frustasi saking bingungnya. Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Pikirannya benar-benar buntu. "Biarkan Deana menjadi istri Bang Togar, Bu, dan hutang kita akan lunas," pungkasnya.
"Tidak! Ibu tidak rela kamu menikah dengan Bang Togar apalagi untuk melunasi hutang. Kamu ini wanita baik-baik dan punya harga diri, De!" Tinah menolak tegas, bahkan suara wanita itu sedikit meninggi. Ia tidak rela jika Deana benar-benar menikah dengan lelaki yang sudah ia ketahui keburukannya.
"Tapi, Bu, kalau Dea tidak menikah dengan Bang Togar, rumah ini akan disita. Nanti kita akan tinggal di mana? Kasihan Rangga, Bu." Kedua mata Deana mulai terlihat berkaca-kaca. Bahkan, bulir-bulir bening seperti memaksa untuk keluar dari setiap sudut mata gadis itu.
"De, kalau dipikirkan sekarang kita tidak akan pernah bisa menemukan solusi. Lebih baik jangan bahas ini dulu, kita bahas nanti saat pikiran dan suasana sudah dingin. Ibu tidak mau kalau sampai Rangga mendengarnya." Tinah berusaha menutup pembicaraan itu. Deana menanggapi dengan anggukan lemah lalu berpamitan ke kamar untuk beristirahat. Bukan hanya tubuhnya yang butuh istirahat, tetapi pikirannya juga.
Selepas kepergian putrinya, Tinah memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit kepala yang datang tiba-tiba. Wanita paruh baya itu merasa begitu menyesal sudah meminjam uang pada Togar, tetapi waktu itu dia begitu terdesak dengan keadaan. Dia harus membayar uang sekolah Rangga, sedangkan Deana dilarikan ke rumah sakit karena terkena typus.
***
Hampir semalaman Deana tidak bisa tertidur karena kepikiran tagihan hutang kepada Togar. Dia hanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran menerawang jauh. Tiba-tiba air mata menetes dari kedua sudut matanya saat sekelebat bayangan sang ayah yang kini pergi entah ke mana, datang menghampiri. Dia tidak akan pernah lupa meski saat itu dirinya baru berumur sepuluh tahun.
"De, bapak mau cari uang di kota. Kamu di rumah sama ibu dan harus janji jadi anak baik, ya."
"Kapan Bapak akan pulang?"
"Kalau bapak sudah punya uang, bapak pasti pulang."
Air mata Deana semakin mengalir deras saat rasa rindu untuk melihat wajah sang ayah begitu mengusik hatinya. "Apa bapak belum punya banyak uang? Kenapa bapak tidak pulang-pulang?" gumam Deana disela isakannya.
Gadis itu melipat bibir berusaha untuk meredam tangisnya supaya tidak mengeras. Dia tidak mau kalau sampai Tinah ataupun Rangga mendengar isakan itu.
Namun, tangisan itu seketika mereda dan Deana mendadak gugup saat pintu kamar diketuk dan terdengar suara Tinah yang memanggil namanya. Deana tidak sedikit pun menyahut apalagi membuka pintu itu. Membiarkan sang ibu terus memanggil dan jika sudah lelah nanti, pasti wanita itu akan menganggap kalau dia sudah tertidur.
Benar saja, ketukan itu berhenti dan terdengar derap langkah yang perlahan menjauh. Deana mengusap dada sembari mengembuskan napas lega. Dia pun kembali menghapus air mata sampai benar-benar kering lalu membalik badan dan memeluk guling dengan erat. Dalam hati dia sangat berharap semoga esok ada solusi untuk masalahnya.
"Mbak Dea, bangun!"
Deana mengerjapkan mata saat mendengar suara pintu diketuk dengan keras. Dia terkejut saat melihat langit dari sebagian jendela yang tidak tertutup tirai sudah terlihat terang. Matanya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi.
"Mbak Dea!" Suara Rangga kembali mengejutkan gadis itu. Dengan bergegas gadis tersebut turun dari ranjang dan membuka pintu sebelum Rangga mendobraknya seperti kejadian dua bulan silam.
"Mbak sudah bangun, Ngga." Saat pintu terbuka, Deana bisa melihat raut wajah Rangga yang tampak kesal.
"Telat! Ini jam berapa, Mbak?" Rangga bertanya dengan bibir mengerucut.
"Telat dikit kok, Ngga. Lagian mbak lagi tidak sholat." Deana menjawab dengan menunjukkan senyum simpulnya.
"Ya udah kalau begitu tidur lagi aja. Aku mau lari pagi mumpung hari Minggu." Rangga berbalik dan hendak pergi, tetapi Deana segera menahan langkah adiknya.
"Mbak ikut, ya." Deana menaik-turunkan alisnya sembari memohon agar Rangga mengizinkan dirinya ikut.
"Ya udah sana cuci muka, gosok gigi dulu. Muka bantal gitu malu-maluin, Mbak." Rangga terkekeh, dengan gemas Deana memukul lengan adiknya sebelum masuk kembali ke kamar dan bersiap untuk ikut lari pagi.
***
Udara pagi masih terasa begitu sejuk apalagi wilayah itu masih jarang ada polusi dari asap kendaraan. Rangga dan Deana berlari bersama dengan kecepatan sedang dan diselingi beberapa obrolan ringan. Tinggi badan Deana hampir sejajar dengan Rangga, jika baru pertama kali melihat mereka pasti akan mengira jika Deana adalah adik Rangga. Apalagi wajah Deana yang kelihatan lebih muda daripada umurnya.
Setelah merasa lelah, mereka duduk di tepi lapangan dengan meluruskan kaki supaya tidak terkena varises, begitu yang mereka tahu. Deana menghela napas panjang saat teringat kedatangan Togar kemarin. Raut wajahnya penuh kebimbangan bahkan tidak ada sedikit pun senyum yang terlihat dari wajahnya. Hal itu pun membuat Tangga mendadak curiga.
"Mbak Dea, kenapa?" tanya Rangga, menyadarkan Deana dari lamunannya.
"Tidak kenapa-napa, Ngga." Deana menjawab dengan tenang karena tidak ingin jika adiknya tahu apa yang sedang mengusik pikirannya saat ini.
"Jangan bohong deh, Mbak. Aku bukan lagi anak kecil yang bisa Mbak bohongi." Rangga mendecakkan lidah. Ia tahu kalau ada sesuatu hal sedang disembunyikan oleh wanita itu. Deana pun hanya menanggapi dengan senyuman paksa.
"Kapan Mbak bohong sama kamu? Kamu ini masih kecil, Ngga. KTP aja belum punya," ledek Rangga.
Rangga merebahkan tubuh di atas rumput dan menjadikan dua lengannya sebagai bantalan. Lelaki itu membiarkan cahaya matahari menerpa wajahnya. "Mbak, setelah lulus SMP aku mau nyari kerja. Ikut Lik Agus jadi kuli bangunan."
Deana menoleh, menatap Rangga dengan tatapan yang sedikit menajam. "Tidak boleh! Kamu harus melanjutkan pendidikanmu, Ngga! Bahkan kalau bisa sampai kamu menyandang gelar sarjana supaya kamu bisa mencapai cita-citamu menjadi guru."
"Aku tidak mau membebani ibu, Mbak. Aku kasihan sama ibu harus kerja banting tulang seperti itu. Lagian, kerja jadi kuli bangunan hasilnya lumayan Mbak. Lebih tinggi sedikit dari bayaran ibu sebagai buruh tandur." Rangga masih bersikukuh. Keputusan anak muda itu sudah sangat bulat. Bahkan, tanpa diketahui Rangga sudah memikirkan itu dengan matang-matang.
"Kalau mbak bilang tidak berarti tidak, Ngga. Kamu ini anak laki-laki yang nantinya akan menjadi seorang tulang punggung keluarga saat sudah menikah. Setidaknya, kamu harus punya modal untuk bisa hidup lebih baik lagi. Selain untuk dirimu sendiri, tapi juga demi keluargamu nanti," nasehat Deana. Rangga tidak menjawab, hanya desah*n kasar yang terdengar darinya.
"Ngga, mungkin sebentar lagi mbak akan merantau ke Jakarta."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!