Hari ini angin malam sangat dingin menusuk kulit yang membuat Eric Devandra harus berdiam diri dalam kamarnya dengan pemanas ruangan yang dinyalakan oleh saudara kembarnya, Jevan Devandra. Keduanya kini tengah fokus dengan pikiran masing-masing. Sama sekali tak ada yang bersuara, hanya keheningan malam dan juga rintik-rintik hujan yang mulai turun diluar sana.
Eric meraih ponselnya yang ada di atas nakas sebelahnya. Ia mendapati sekitar 10 pesan masuk dari sahabatnya dari kecil, Arashya Pratama. Eric mengernyit melihat beberapa pesan beruntun yang dikirimkan melalui grup mereka berempat, dengan nama 'Boyz!'
Jevan yang menyadari ekspresi sang adik yang berubah akhirnya bertanya. "Eric? Kenapa?" tanyanya sekilas menoleh.
Eric menggeleng pelan, "Ngga, itu si Arashya spam chat di grup. Ada apa ya?" tanyanya balik.
Jevan menaikkan salah satu alisnya dan membaca satu persatu pesan di grup chat tersebut. "Arashya dapat e-mail dari orang ga dikenal." Balas Jevan yang diangguki sang adik.
"Ada baiknya kita langsung telpon dia," sambung Eric yang dengan segera menekan nomor Arashya dan langsung diangkat.
"Halo?"
Setelah terdengar suara di seberang sana, Eric menyalakan loud speaker agar Jevan juga bisa mendengarkannya.
"Halo, Arashya? Kenapa tiba-tiba spam di grup?"
"Gawat, Ric!"
"Apa yang gawat?" sela Jevan.
"Tiba-tiba gue dapat e-mail dari orang yang ga gue kenal."
"Coba lu tenang, dan jangan panik. Ceritain pelan-pelan tentang isi e-mailnya."
Suara helaan nafas terdengar dari arah Arashya. Dia menghela nafasnya perlahan-lahan dan mulai menceritakan pesan apa yang dia dapatkan.
"Malam ini, tepat pukul 8 malam gue dapat e-mail dari orang yang ga gue kenal. Isi e-mailnya juga aneh."
"Semacam ancaman, bukan?" tanya Eric mengira-ngira.
"Bisa jadi iya, bisa jadi ngga. Mungkin sejenis ancaman, tapi dalam versi yang lebih halus."
"Apa isinya?"
"Sebentar.. I'm waiting for you, guys! Please, be patient and we'll play a new game!"
"Itu doang?" tanya Jevan.
"Iya, lumayan aneh menurut gue."
"Bukan lumayan aneh, sih. Tapi memang aneh. Ada lanjutan e-mailnya lagi?" tanya Eric serius.
"Ngga ada, Ric. Cuma itu aja. Terus menurut lu gue harus apa?"
"Kita ga bisa mutusin sekarang, kita perlu diskusi lebih intens tentang hal ini. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat."
Jevan merebut ponsel Eric dan mulai berceloteh. "Gue harap itu bukan semacam teror atau lainnya, Shya. Oh ya, Narendra udah tahu tentang ini?" tanyanya.
"Belum, Jev. Tadi sempat gue call orangnya dan calling. Berarti Naren masih off. Kali aja dia lagi nongkrong di kafe." Balas Arashya dari sana dan terkesan acuh.
"Kadang gue heran banget sama Naren. Koneksi sebanyak itu dia dapat dari mana gitu? Gue juga pengen kali punya banyak teman kayak dia," sahut Eric.
"Ya, lagian banyak teman juga buat apa kalau ujung-ujungnya jadi fake friend? Mending sedikit teman tapi berkualitas!" Balas Arashya sambil tertawa kecil di akhirnya.
"Benar, sih. Sekarang gue jadi kepikiran siapa yang kirim e-mail ke lu," celetuk Jevan yang kini kembali lagi beralih pada game yang masih menyala di ponselnya.
"Sama sekali ga ada insial ya? Terus nama e-mailnya apa?" lanjut Eric.
Arashya terdiam sejenak, mungkin dia sedang memeriksa kembali e-mail yang masuk ke laptopnya dan memeriksa username pengirimnya.
"Ngga ada yang jelas, Ric. Cuma huruf depan doang yang jelas. 'hy994012@email.com' gitu," jawab Arashya setelah memeriksanya dengan pasti.
"Gue rasa antara huruf depan dan angka itu berurutan. Gue perlu Jevan dan Narendra buat pecahin identitas pemilik e-mail itu." Eric melirik pada Jevan yang dalam posisi duduk dan melemparkan ponselnya ke sembarang tempat.
"Untuk inisial mungkin gue ga bisa. Tapi kayanya kalau angka-angka ini ga asing di mata gue."
Jevan terdiam sesaat, "angka ini pasti punya arti. Biasanya orang pakai di e-mail itu tanggal lahirnya. Gue bisa pastikan kalau orang itu kelahiran 1999!" Ucap Jevan dengan lantang pada Eric dan juga Arashya di telpon.
"Kata gue mending kita tunggu si Naren. Biasanya dia dengan mudah untuk meretas e-mail atau pesan-pesan yang pengirimnya ga jelas gini," balas Eric.
"Benar juga sih, gue juga takut kalau si Naren malah ngamuk ke kita karena sama sekali ga ngasih tahu ke dia."
"Kita juga perlu bokap dia kalau memang seandainya memang benar ini teror yang ditujukan ke lu ataupun ke kita semua. Itu tindak kriminal yang harus kita pecahkan." Eric menatap meja belajarnya yang dipenuhi dengan berbagai buku.
Dia beranjak dan mengambil salah satu buku catatan yang sengaja dia beli untuk mencatat suatu hal atau suatu kasus yang akan mereka tangani. Dan ini adalah yang pertama kalinya. Eric sangat gembira karenanya.
Ingin sekali rasanya dia melatih otaknya agar bisa seperti detektif kesukaannya, Sherlock Holmes yang selalu dia baca dan dia tonton di televisi. Bahkan anak itu rela begadang semalam suntuk demi membaca kisah-kisah epik dan inspiratif sang detektif.
"Lu ngapain, Ric?" tanya Jevan heran dengan pergerakan adiknya dengan buku dan sebuah pena di masing-masing tangannya.
Eric tak menoleh, "gue bakal catat ini sebagai petunjuk awal untuk kasus pertama kita. Gue harap impian gue bakal sepenuhnya bisa terwujud," balasnya sambil tersenyum.
Jevan hanya bisa merotasikan bola matanya malas. Kelakuan yang tak terduga dari adiknya yang dia rasa sudah melampaui batas. Namun, walaupun begitu dia tetap menyayangi Eric dan selalu mendukungnya dalam kondisi apapun.
"Itu Eric beneran mau cosplay jadi Mr. Holmes, ya?" celetuk Arashya dari telpon diiringi gelak tawa diakhir.
"Biasalah, otaknya lagi jalan nih.. Kayaknya dia selalu latihan berpikir kaya Mr. Holmes deh sejak kena prank libur 2 minggu itu." Balas Jevan yang membuat Eric mendengus mendengarnya.
"Parah sih! Yang katanya libur 2 minggu malah jadi libur 2 tahun," sahut Arashya lagi.
"Lu istirahat sana, Shya. Heran gue sama lu. Udah dapat e-mail aneh gitu malah masih bisa ketawa-ketawa."
"Terus lu berharap gue biar nangis-nangis gitu? Emang harus gue pikirin banget tuh isi e-mail?"
"Sombong banget lu! Pertanyaan gue cuma satu, emang kapan lu pernah mikir?" sewot Jevan yang membuat Arashya berdecak sebal.
"Gue udah catat semuanya, besok kita ketemu di sekolah bahas ini di perpustakaan lantai 2. Jangan lupa ajak Narendra juga." Suruhan Eric disetujui oleh Arashya dan telpon itu diakhiri sepihak.
Setelah kejadian penerimaan e-mail kemarin, Arashya dengan segera meninggalkan sebuah pesan pada Narendra seperti yang telah dikatakan oleh Eric semalam. Maka dari itu, 4 remaja sekarang tengah berkumpul di perpustakaan sekolah. Kebetulan untuk mata pelajaran hari ini ada jam kosong, karena itulah mereka bisa ada di perpustakaan saat ini.
Narendra Nasution mengenal nafasnya kasar setelah mereka duduk di tempat baca yang ada di pojok belakang. Dia menarik rambutnya sedikit kasar dan menunggu layar laptopnya menampilkan sesuatu yang bisa berguna sebagai informasi dari sang pengirim e-mail semalam.
"Gimana, Na?" tanya Eric yang meringis melihat Narendra yang menjambak rambutnya sendiri.
"WiFi sekolah lemot gini kenapa dah? Uang komite doang mahal-mahal." Keluhnya karena layar laptop hanya menampilkan tulisan 'loading' dengan sebuah lingkaran yang berputar ditengah-tengah.
"Ya sabar, Na. Mungkin lagi banyak yang pakai," balas Arashya menenangkan.
Setelah Arashya berkata demikian, laptop Narendra langsung menampilkan beberapa informasi mengenai pengirim e-mail.
"Ketemu!" seru Narendra kegirangan yang membuat Jevan reflek menutup mulutnya secara paksa karena mengganggu beberapa orang yang tengah membaca disana.
Narendra hanya tersenyum tanpa dosa dan menaik turunkan kedua alisnya sambil menatap ketiga sahabatnya itu.
“Apa yang lu dapat? Semua informasi?” tanya Eric antusias dengan seruan Narendra.
“Sayangnya untuk kali ini ngga. Gue cuma dapat arti dari angka itu,” balas Narendra menunduk.
“Apa arti angkanya?” tanya Arashya penasaran.
“21 April 1999!” balas Narendra yang kembali fokus pada laptopnya. “Kemungkinan besar itu tanggal lahir dia yang asli, cuma gue kaget aja karena ternyata dia lebih cerdik dari yang gue bayangin sebelumnya.”
Jevan yang sedari tadi hanya menyimak akhirnya bersuara, “apa dugaan gue benar? Kalau dia malah delete akunnya setelah ngirim e-mail ke Arashya? Karena, ya gue kemarin sempat searching juga tapi ga ketemu apapun,” tanyanya.
Narendra mengangguk dan memperlihatkan laptopnya pada yang lain. Disana tertulis bahwa ‘This user is not found. Try Again?’
“Perkiraan akunnya di hapus setelah sekitar 10 menit pesan masuk ke akun Arashya. Gue heran sih sama isi pesannya setelah dikirimin kemarin,” lanjut Narendra yang menutup laptopnya dan menatap ketiga temannya satu persatu bergiliran.
“Itu termasuk hal aneh sih,” jawab Arashya yang memalingkan wajahnya ke pintu masuk perpustakaan. Disana dia lihat ada salah satu pemuda yang baru masuk dan berjalan perlahan menghampirinya.
Eric dan yang lain juga menyadari kedatangan pemuda yang merupakan teman sekelas mereka itu dan menyapanya. “Haekal? Tumben banget lu mau masuk ke perpustakaan?” tanya Eric sambil tertawa kecil.
Narendra juga ikut tertawa, “kesambet apaan lu, Kal? Lu biasanya bilang alergi sama perpustakaan, tapi kenapa sekarang lu malah ke sini?” tanyanya juga.
Haekal tak bergeming menanggapi lelucon keduanya. Dia hanya menampakkan ekspresi wajah yang datar. Jevan yang mengamatinya pun dibuat curiga. Dia menatap Haekal dengan serius.
“Ngapain lu ke sini? Ada penting?” tanya Jevan dingin, lalu diangguki oleh Haekal.
“Ada yang titipin gue ini, disuruh ngasih ke Arashya,” balasnya singkat.
“Pengirimnya?” tanya Eric menatap ke arah surat yang diserahkan Haekal dan diterima langsung oleh Arashya.
“Lu mungkin bisa lihat di dalam suratnya. Gue sendiri ga tahu apa-apa dan ga mau berurusan lebih banyak,” kata Haekal dan setelahnya dia segera beranjak tanpa mengucapkan permisi pada yang lainnya.
Arashya termenung dan menatap punggung Haekal yang mulai menghilang dari pandangannya. “Serius kayanya dia kesambet deh, biasanya tu anak ngga kayak gitu. Kenapa sekarang jadi aneh banget?” gumamnya.
Arashya membolak-balikkan amplop putih berisi surat ditangannya berusaha untuk mencari nama pengirim namun tetap nihil dan tak ada apapun disana.
“Daripada lu mati penasaran tentang isi dan siapa pengirimnya, mending langsung dibuka dan dibaca aja daripada dilihat terus,” ucap Jevan yang diangguki Arashya.
Dengan sigap dia membuka perlahan amplop itu dan mengeluarkan sepucuk surat yang ditulis tangan di dalamnya. Arashya membacanya dengan seksama, tapi sayangnya tak ada satupun yang dia mengerti disana.
“Kenapa, Rash?” tanya Eric yang melihat Arashya kebingungan.
“Isi suratnya aneh banget, mirip sama yang kemarin. Tapi ini lebih jelas dan pasti surat ancaman,” jawab Arashya yang segera menyerahkan kertas tersebut pada Eric dihadapannya.
Dengan segera Eric menerima dan membacanya. Alisnya menekuk saat membaca kalimat-kalimat di dalamnya.
Kalian anak yang pandai, terutama si Nasution itu. Tapi ingatlah satu hal, kalau aku selangkah lebih maju didepan kalian. Ada yang bilang kalau usaha tidak mengkhianati hasil atau sebaliknya, bukan? Pada nyatanya, hari ini usaha kalian ternyata sia-sia. Tak perlu tahu siapa saya, tinggal ikuti permainannya saja. Jangan pernah mencari tahu tentang saya jika kalian ingin bermain dengan aman. Have a nice day!
Kira-kira begitulah isi dari surat tersebut. Bahkan tak ada nama pengirimnya atau hanya inisial pun tak ada. Mereka akhirnya berpikir berulang kali dan mempertimbangkan untuk mencari tahu siapa pengirim e-mail dan surat ini, sebab mereka tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
“Gue rasa ini pertemuan perdana kita, setelah sebelumnya menyelesaikan beberapa kasus yang bisa dibilang bisa dipecahkan semua orang,” Ucap Eric sambil mengusap wajahnya frustasi.
Jevan menatap miris pada adik kembarnya, “berarti ga lama lagi bakal ada kasus baru yang kemungkinan lebih besar dan sulit dari kasus sebelumnya?” tanyanya.
“Bahkan kasus ini udah dimulai sejak saat Arashya nerima e-mail itu,” sela Narendra cepat.
“Gue yakin ini konspirasi! Kalian semua harus hati-hati karena kemungkinan kita bakal diteror lagi setelah kejadian ini.” Ucap Arashya yang diangguki semuanya.
“Pertanyaannya, kenapa cuma Arashya?” tanya Eric bingung.
Tak lama kemudian, ponsel miliknya berdering dan menandakan ada sebuah pesan masuk. Dengan segera Eric merogoh saku almamaternya dan terkejut ketika sebuah e-mail yang masuk.
Jangan kira hanya dia yang aku kirimkan pesan. Justru aku akan lebih senang berkomunikasi denganmu, Eric Devandra!
Eric melemparkan ponselnya ke meja dan segera diambil alih oleh Jevan. Dia juga terkejut ketika melihat pesan itu ada di ponsel Eric.
“Kasus terornya udah dimulai, setelah Arashya… Sekarang Eric juga dikirimi pesan-pesan aneh itu. Berarti ga menutup kemungkinan kalau kita yang selanjutnya, Na!” seru Jevan kaget dan membuat Narendra agak sedikit panik.
“Tenang. Kita ga boleh panik, kita ga tahu apa yang terjadi. Kayaknya kita di awasi sama orang ini dan kita harus lebih waspada!” peringatan Arashya diangguki oleh ketiganya dan mereka kembali melanjutkan aktivitas masing-masing hingga bel sekolah berbunyi nyaring memenuhi seluruh koridor.
Hari ini hari Jumat yang lumayan membosankan. Semua pelajaran juga telah berakhir mengingat Penilaian Akhir Semester juga sudah selesai seminggu terakhir ini. Jadi, mereka dibebaskan dan kebanyakan adalah jam kosong.
Eric berjalan sendirian entah kemana tujuannya, tapi yang pasti dia sedang mengelilingi koridor kelas X, XI, dan XI untuk menghabiskan semua tenaganya. Dia sedikit merasa bosan karena harus ditinggalkan sendiri oleh 2 sahabatnya dan juga kakak kembarnya.
Jevan dan Arashya hari ini ada latihan basket untuk pertandingan bulan depan. Mereka ingin menjadi yang terbaik, maka dari itu sebelum pertandingan mereka sudah berlatih dari jauh-jauh hari. Sementara, Narendra sedang sibuk berkutat dengan beberapa cairan berwarna-warni yang ada di laboratorium sekolah. Biasanya dia melakukan percobaan individu dengan beberapa ilmu yang dia dapat dan baca.
“Gue heran, kenapa hari ini yang lain semua sibuk? Apa cuma gue yang ga ada kesibukan lain?” gumamnya ketika mulai memasuki koridor kelas X karena dia memulai perjalanannya dari koridor kelas XI.
Selama perjalanan itu hanya keheningan yang ada. Eric beberapa kali tersenyum membalas orang-orang yang menyapanya. Tiba-tiba ponsel yang ada di sakunya berbunyi, menandakan ada beberapa pesan masuk. Eric dengan segera mengambil ponselnya dan memeriksa pesan tersebut.
“Ternyata ada 3 e-mail masuk. Bukannya itu terlalu banyak?” tanyanya pada diri sendiri. Dia yang masih berdiri akhirnya mendekat pada sebuah bangku panjang yang ada di depan klinik kesehatan sekolah yang memang terletak di koridor kelas X.
Jemarinya dengan lincah membuka dan membaca e-mail tadi. Eric mengernyit heran ketika mendapati pesan-pesan aneh yang pengirimnya juga tidak jelas.
“Apa ini kelanjutan terornya?” gumamnya sambil menunjukkan senyum miringnya.
Selamat siang, Eric Devandra.
Senang bisa menghubungimu lagi…
Aku tahu kau sedang merasa bosan hari ini, benar kan?
Sekiranya begitulah pesan yang diterima oleh Eric. Selang beberapa menit, Eric tersenyum senang.
“Bahkan lu tahu kalau gue bosan?” ucapnya sambil tertawa renyah.
Ponselnya kembali berbunyi.
Dugaanku benar. Maka dari itu, nikmatilah kejutan yang aku akan kirimkan padamu. Aku harap kau bisa terkejut karenanya.
“Aku rasa dia benar-benar mengawasi ku kali ini.” —batin Eric.
Dengan sigap matanya menyusuri setiap inci tempat yang ada didekatnya untuk memastikan apakah benar ada yang mengawasinya atau bagaimana. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil karena di sepanjang koridor itu tidak ada yang mencurigakan baginya.
“Well. Gue akan tunggu kejutannya. Gue pengen lihat apa yang bisa lu lakukan untuk menghilangkan rasa bosan gue,” kata Eric pelan lalu berjalan kembali mengelilingi koridor kelas X itu.
Tak ada apapun yang membuat Eric tertarik disana. Kecuali, saat dia tiba-tiba melihat seorang pemuda yang berlari panik dari ujung koridor. Dia menyadari kalau pemuda yang berlari itu adalah teman sekelasnya, Harris Abraham.
Eric lalu mempercepat langkahnya menuju Harris. Dia terlihat ketakutan. “Lu kenapa, Ris? Kenapa lu lari-lari di koridor kelas X kaya gini?” tanya Eric penasaran.
Harris menatap Eric penuh harap. Dia mencengkram kedua disisi pundak Eric dengan erat. “Ric! Sumpah gue takut banget ini…” ucapnya dengan nafas tersengal-sengal.
“Lu takut apa? Coba pelan-pelan jelasin. Tarik nafas lu dulu, pas udah tenang baru lu bisa cerita ke gue.”
Harris mengangguk pelan dan mulai mengatur nafasnya. “Ric! Lu pasti ga percaya kalau gue nemuin mayat di halaman belakang sekolah.” Jawab Harris menggebu-gebu.
“Mayat? Lu yakin kalau apa yang lu lihat itu mayat? Bukan orang yang pingsan atau lainnya?” tanya Eric memicingkan matanya.
Harris menggeleng heboh, “ngga, Ric! Gue yakin itu mayat karena ada darah disekitarnya!” serunya.
Eric menjadi heran, “kronologinya? Ga mungkin kan lu tiba-tiba langsung nemuin mayat disana?” tanya Eric.
“Gue juga ga tahu pasti, Ric. Cuma kebetulan gue lewat ke halaman belakang karena mau ke gudang sekolah tadi sama Felix.”
“Ngapain lu berdua ke gudang sekolah?”
“Tadi guru Pak Vernon nyuruh gue sama Felix buat ambil bola sepak gitu buat latihan. Selain tanding basket, sekolah kita kan juga mau tanding sepak bola,” jelas Harris.
Eric mengangguk paham kemudian menyadari ada sesuatu yang kurang. “Tadi lu bilang berdua sama Felix. Terus sekarang Felix mana?” tanyanya.
Harris kembali teringat dengan kawannya itu, “Felix itu fobia darah. Gue yakin setelah kita lihat itu dia bakal muntah-muntah. Makanya tadi dia lari, kemungkinan dia pergi ke toilet!” seru Harris lalu meninggalkan Eric yang masih diam ditempatnya untuk menyusul Felix.
Eric berpikir sebentar, lalu menunjukkan smirk di wajah tampannya. “Jadi ini kejutan yang lu kasih buat gue?” monolognya.
Selang beberapa lama, akhirnya dia berlari kecil untuk naik ke lantai 2 tepatnya ke laboratorium sekolah untuk mencari Narendra.
Sesampainya disana, tanpa aba-aba Eric langsung masuk begitu saja ke dalam laboratorium dan mengagetkan Narendra.
“Ric! Lu kebiasaan kalau masuk ruangan ga izin atau permisi dulu!” gerutu Narendra yang matanya sempat terantuk oleh mikroskop karena Eric langsung menepuk pundaknya pelan.
Yang dimarahi hanya tertawa dengan wajah tanpa dosa. “Na, gue mau minta steril gloves dong,” pinta Eric sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Narendra.
Narendra keheranan, “buat apa sarung tangan steril? Lu ga bakal aneh-aneh, kan?” tanyanya curiga.
“Ck, ya ga lah, Na. Gue cuma mau periksa mayat di halaman belakang.” Eric berdecak lalu segera merampas sarung tangan yang dipegang Narendra.
Narendra melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Lu serius, Ric? Ada mayat di halaman belakang?”
“Serius, tadi Harris sama Felix yang nemu. Kebetulan gue tadi papasan sama Harris dan dia cerita,” balas Eric sambil memakai sarung tangan.
“Terus mereka gimana?”
“Ya ga gimana. Sekarang gue mau cek mayatnya. Tadi Harris nyusul Felix ke toilet, ternyata dia fobia darah. Kayanya dia muntah-muntah deh,” jawab Eric yang kemudian berlalu meninggalkan laboratorium diikuti oleh Narendra dibelakangnya.
“Lu tau, Na? Ini kejutan buat gue tahu..” Kata Eric disela-sela perjalanan mereka menuju halaman belakang.
“Maksud lu kejutan?” Narendra memiringkan kepalanya bingung.
“Iya, tadi gue dapat e-mail baru. Kata si pengirim dia mau ngasih kejutan buat gue.” Setelah berkata begitu, keduanya berbelok untuk menuruni tangga disebelah sebagai jalan tercepat menuju halaman belakang.
“Jadi mayat di halaman belakang yang bakal kita cek itu hasil kerjaan dia?” tanya Narendra lagi.
Eric tersenyum tipis, “ada dua kemungkinan, iya dan tidak. Karena mungkin aja dia yah ngelakuin itu dengan tangannya sendiri, atau bisa juga dia punya kaki tangan yang dia suruh untuk lakuin ini,” jawab Eric yang makin mempercepat langkahnya.
Kini mereka sudah ada di halaman belakang sekolah. Dan, benar saja disana mereka menemukan seonggok mayat yang terbaring kaku dengan darah yang berlumuran di pakaiannya. Tidak ada siapapun disana, hanya mayat itu saja yang tergeletak. Letaknya pun agak tertutup karena terhalang semak-semak.
Narendra dan Eric menarik kaki mayat tersebut untuk mengeluarkannya dari semak-semak dan mereka bisa dengan leluasa untuk memeriksa keadaan mayat itu.
“Menurut lu gimana, Na?” tanya Eric melepaskan tangannya pada tubuh mayat laki-laki itu.
“Well. Ini Kak Brian anak XII MIPA-3.” Narendra memperhatikan wajah mayat yang setengahnya telah ditutupi darah karena mengalami luka serius di bagian kepala.
Eric mulai berjongkok untuk memeriksa detail mayat yang diduga bernama Brian Jefferson itu. Dia memeriksa wajah, kemudian pakaian, dan lain sebagainya yang memungkinkan dia mendapatkan informasi tentang kejadian itu.
“Hm, darahnya udah mulai mengental dan berwarna kecoklatan. Kurang lebih korban meninggal sejam yang lalu.” Eric menyentuh darah korban yang telah mengental itu.
“Perkiraan lu untuk senjata pembunuhannya apa, Ric?” tanya Narendra mengamati dari jauh. Dia tidak ikut berjongkok dengan Eric.
“Dia meninggal karena luka di bagian kepala. Gue rasa kalau mayat ini diotopsi, bakal ketahuan kalau tengkoraknya retak. Dia dipukul berkali-kali dan gue yakin kalau Kak Brian ini ga tinggal diam. Dia sempat melawan pembunuhnya, maka dari itu kondisinya kelihatan berantakan kaya gini. Karena kesal, akhirnya si pembunuh dengan kuat memukul kepalanya beberapa kali dan bocor,” jelas Eric yang kemudian berdiri dari posisi berjongkoknya.
“Senjata tumpul apa yang bisa pembunuhnya pakai? Apalagi ini di areal sekolah, Ric..”
“Kita pikirin itu sekarang. Kalau menurut pendapat lu gimana, Na? Senjata apa yang bisa dia dapat disekitar sini? Ingat, itu benda tumpul, pasti ukurannya lebih besar daripada pisau dan dia bakal kesulitan untuk bawa pergi. Jadi, senjata itu pasti masih ada disekitar sini.” Kata Eric yang membuat Narendra langsung mengedarkan pandangannya.
Sorot matanya fokus pada sebuah balok kayu yang tergeletak didekat pintu gudang. “Gue rasa senjatanya bisa jadi balok kayu itu, Ric,” ucap Narendra yang mendekat untuk mengambilnya.
“Coba cek!” perintah Eric yang langsung dilakukan oleh Narendra.
Dia memperhatikan balok kayu itu dengan serius. “Untuk bercak darah sih ga ada, Ric. Cuma, kalau lu cium ini balok kayu ada bau amis darahnya,” kata Narendra yang menyodorkan balik itu pada Eric.
Eric mengangguk, “lu benar, Na. Sekarang lu boleh telpon ayah lu untuk masalah ini. Kasus ini harus ditangani segera, karena bisa jadi ini pembunuhan berantai,” suruhnya.
Narendra pun segera menghubungi ayahnya terkait masalah ini agar jasad Kak Brian itu bisa dikuburkan dengan layak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!