NovelToon NovelToon

Memories

Bab 1. Prolog

...Tenggelam dibawah langit malam...

...Menatap penuh harap didalam kegelapan...

...Berjuta penyesalan terus menghujam...

...Bermula dari sebuah keegoisan...

...-AksTra-...

...______________________...

Hari cerah berubah mendung, langit biru berganti kelabu, sinar mentari cerah kini tertutup awan redup bersamaan dengan rinai hujan yang mulai menusuk. Rintik demi rintik kian semakin deras, meninggalkan miliaran tetes air hujan yang jatuh dari ketinggian, membanjiri tiap ruang kosong dalam jiwa hingga terbentuk sebuah genangan teramat besar, genangan yang berisi beribu-ribu kenangan dari dirinya yang sampai saat ini masih begitu ku rindukan.

Rasa rindu yang seharusnya telah lama surut kini semakin bertambah dalam membuatku harus terseret masuk tenggelam di dalamnya.

Tenggelam dalam kegelapan, penyesalan, kesepian, serta rasa sakit yang sudah tak bisa ku tahan, karena sang belati kehidupan kembali menorehkan luka dalam di tempat yang sama untuk kedua kalinya, bahkan sebelum luka lama benar-benar tertutup sepenuhnya.

Sesak …

Ku rindu kehangatan mentari …

Lembutnya sang rembulan …

Juga cantiknya bintang-bintang …

Aku ingin memeluknya meluapkan segala kerinduanku padanya, berbagi tangis tawa, keluh kesah, dan semua hal lainnya.

Tuhan …

Aku tau diriku begitu egois hingga membuatmu mengambil semua cahaya dalam hidupku, aku tau diriku tidak pernah bersyukur atas apa yang telah engkau berikan padaku.

Namun bolehkah aku meminta satu hal lagi padamu?

Aku ingin di kehidupan selanjutnya ataupun di atas sana kau bisa membuatnya tertawa lebih lama, membiarkannya bahagia tanpa ada lagi derita yang harus dirasakannya. Hanya itu …

...…...

Angin dingin kembali berhembus membelai lembut setiap inchi wajah hingga rambutku, membawaku terseret masuk akan cerita masa lalu yang selalu datang menghantui di setiap siang malam ku. Ku buka lembaran demi lembaran kertas usang berisi goresan tinta biru di dalam sebuah buku kecil dengan sampul coklat kehitaman, sembari menikmati dinginnya angin malam namun hangat akan bintang. Ku tatap tiap halaman-halaman nya, membaca puluhan kata yang tersusun rapi membentuk sebuah bait-bait kalimat penuh makna dengan berbagai kisah luar biasa di dalamnya.

Tak ada kalimat lain yang bisa terucap dari mulutku selain "Rindu …" "Aku rindu …"

...…...

Rinai hujan mengguyur bumi menari-nari menusuk dalam diri, gumpalan kapas-kapas hitam berbaris berkumpul menutup luasnya permadani di seluruh jumantara. Sinar bulan telah redup bersama jutaan bintang yang mulai sayup, membiarkan kegelapan menelan cahaya menyembunyikan asrar para pemilik nestapa. Jikalau aku adalah seorang Gahara akankah aku bisa membolak-balikkan dunia? Namun, aku sadar aku hanyalah golongan kaum paria yang bahkan tak pernah dianggap ada oleh para kaum sudra

...…...

Buaian lembut angin menyapa

Menerbangkan helaian sutra hitam di udara

Menemani sang bidadari menatap mangata baswara.

Kan ku buatkan asmaraloka seluas bumantara untukmu sang bidadari dunia

Takkan lagi kubiarkan kau menitihkan air mata akibat derita yang membelenggu jiwa

Sama halnya fajar dan senja

Yang datang sesaat lalu pergi dengan cepat Meninggalkan warna yang begitu melekat

you are the first and the last

Ku rindukan sandykala sang senja

Dikala bumantara berderai air mata

Untuk pertama kalinya aku takut tak pernah lagi bisa menatap fajar

Bisakah aku terus bersamamu?

Jangan pernah menangis di hadapanku

Dan jangan pula bertanya padaku kemana sosok orang-orang yang pernah mengusik mu itu pergi

Aku selalu menyukai manisnya ukiran bulan sabit yang terpampang indah di wajahmu

Aku ingin terus menggenggam erat tangan mungil mu

Kau tau?

Akhir-akhir ini aku mulai bosan menulis

Sudah tidak ada lagi makna dalam hidupku

Harapan?

Aku benar-benar benci akan kalimat 'berharap'

Meski pada akhirnya aku memang hanya bisa 'berharap'

Sakit

Gelap

Hancur

Padam

Rinai hujan mengguyur mengiringi setapak demi setapak langkah yang mulai menghilang

Lilin yang menyala pada akhirnya akan habis dan padam

Seberapa keras pun kau berusaha hasilnya akan tetap sama

Pilihannya hanya ada dua

Membuatnya padam sebelum waktunya

Atau menunggu agar padam dengan sendirinya

Untukmu

Ku mohon tetaplah tersenyum

Semoga kau selalu bahagia apapun yang terjadi

Aku akan terus menjagamu sekeras yang aku bisa Jadi jangan khawatir

Aku akan selalu ada untukmu

Sekalipun ku telah menjadi angin yang tak terlihat

Bab 2. Ayyara Ashalina

Derap kaki mungilnya berjalan perlahan dan hati-hati, sorot matanya berputar menilik tajam sudut demi sudut yang dia lewati. Jantungnya berpacu keras tak menentu, dia bisa merasakan kulit tubuhnya mulai menjadi lengket akibat suhu panas serta peluh keringat yang terjun bebas dengan riang gembira.

"Hfff … Aman," sesaat dia merasa lega karena tidak melihat keberadaan satu orangpun disekitarnya, sampai sebuah tepukan manis mendarat tepat di pundaknya, membuatnya terkejut sekaligus panik.

'M4mpus!!' Wajahnya tampak menegang dengan kerongkongan yang tercekat.

"Mau kemana?"

'Ah? Dia?' dirinya lantas berbalik menatap sosok tinggi berseragam putih abu lengkap dengan jas OSIS yang disampirkan di atas pundak kokohnya.

Radit.

"Ara pikir tadi siapa!!!" Keluhnya sembari mengusap dada, degup jantungnya kembali normal setelah mengetahui yang datang bukanlah guru kesayangannya.

Sementara Radit terkekeh kecil melihat penampakan gadis itu yang urakan bagai selesai diterjang hujan badai. Benar-benar tidak cocok dengan bentuk wajahnya, "lu mandi nggak sih?"

"Ya mandi lah! Ini aja Ara baru selesai mandi lagi, tapi mandi keringat, hehehehe …." Ara, Ayyara Ashalina nama lengkapnya. Sesosok makhluk bumi berbentuk minimalis dengan segudang tingkah abnormal yang tertanam kekal didalam jiwanya. Sekitar empat bulan yang lalu dia baru saja pindah dari kota tetangga dan menetap kembali di kota kelahirannya.

"Bikin ulah lagi lu sama pak Beno?" tepat sasaran! Gadis itu baru saja kabur dari hukumannya yang tidak dia dijalankan sampai tuntas. Hanya dari raut wajahnya saja Radit sudah dapat menebak apa yang baru saja dilakukan oleh gadis itu sekaligus yang akan dilakukannya sebentar lagi, "Nggak usah bolos, balik ke kelas sana!"

"Iya! Ini aja mau balik ke kelas kok! Kalo nggak ada Kakak mungkin sekarang udah ada di

kelas!"

"Gue kasih tau ya! Lu tuh udah b3g0! Go block! O0n! Pake t0l0l lagi-! Seenggaknya lu tuh harus bisa bohong pake otak! Jangan pake dengkul-!" Ara meringis dalam hati meresapi tiap bait per bait, kalimat per kalimat, kata per kata, serta intonasi nada yang laki-laki itu mainkan.

Sungguh.

Demi apapun.

Dia teramat jujur.

"Kak Radit!!! Bisa nggak sih kalo ngomong tuh kasih gula dikittt … aja! Biar ada manis-manisnya! Pait tau nggak! Kopi aja bisa manis! Masa Kakak nggak!?" tanpa rasa bersalah laki-laki itu malah terbahak sembari mengusap lembut puncak kepala Ara.

"Maaf-maaf, lagian lu ngomong kaya gitu lu pikir gue nggak tau kelas lu dimana? Ke arah sana tuh gudang! Mau bolos kan lu!" tukas Radit yang memang bukan hanya sekedar kata melainkan sebuah fakta.

"Lu mau balik ke kelas apa mau gue aduin sama pak Beno?"

"Jangan …!!" rengeknya memelas menatap Radit berharap laki-laki itu mau melepaskannya, dia baru saja terlepas -kabur- dari hukuman pak Beno dan jika Radit benar-benar mengadukan perihal Ara yang lagi-lagi hendak bolos kelas, bisa-bisa dia akan kembali mendapatkan hukuman yang mungkin lebih parah. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan begitu saja!

"Kakkk …" Radit sama sekali tak bergeming ditempanya laki-laki itu hanya melebarkan senyum termanisnya pada Ara.

"Kak Radittt …."

"Bisa aja sih gue lepasin," mata gadis itu mendadak berbinar menatap penuh harap.

"Tapi lu harus jadi pacar gue, gimana?"

"Hah!? Nggak mau!!!"

"Yakin?"

"Yakin lah!"

"Nggak nyesel?"

"Nggak!"

"Gue ganteng tau, masa lu nggak mau?"

"Nggak! Lagian Ara juga nggak jelek-jelek amat kok!"

"Cih! Ya udah gue kasih tau pak Beno aja lah!" ucapnya seraya menarik lengan baju Ara bermaksud menyeretnya pergi. Persis seperti menyeret anak m0ny3t.

Akan tetapi tidak semudah itu, bukan Ara namanya jika dia sama sekali tidak melakukan perlawanan, gadis mungil itu menahan tangan Radit lalu menggigit tangan tersebut sekuat yang dia bisa.

"Ahk!!! Go block! Sakit woy!" tanpa pikir panjang Ara berlari pergi menjauh dari laki-laki itu tepat saat Radit melepaskan genggaman tangannya.

"Ahk! Perih … hsss … itu cewek apa buldog sih? Suka banget gigit orang, untung sayang …" lirihnya menatap nanar pergelangan tangannya yang Ara gigit hingga menyisakan bekas kemerahan. Sedikit lagi mungkin kulitnya akan mengeluarkan darah.

"Hahhh … biarin aja lah, kasian juga … kesayangan gue kan otaknya nggak lebih besar dari dengkulnya, udahlah miring … tinggal setengah lagi."

...…...

"Lu lama," celetuk April begitu melihat Ara datang menghampirinya dengan tampang wajah polos tak berdosa ditambah penampilannya yang tidak pernah normal.

Ara nampak menyunggingkan senyumnya seraya menggaruk-garuk rambut kepalanya yang sudah berantakan. "Tadi Ara ketemu sama pak Ben, terus dihukum deh …" jelasnya beralasan agar April tidak lagi marah padanya.

Gadis itu berjalan santai menghampiri pemilik warung yang terlihat sibuk menggoreng beberapa makanan di atas wajan penuh minyak panas, "Mbak Win!!! Soto dong satu! Pedes! Jangan lupa pedesnya harus ngalahin emak-emak kang ghibah! Sama es teh manisnya satu! Yang manis semanis Mbak Win hari ini-!"

Wanita itu langsung tersenyum setelah mendengar candaan kecil yang kerap kali Ara lontarkan padanya. "Bolos mulu kalian, sekolah yang bener sana biar nggak kaya Mbak," ujar Wiwin sembari menyiapkan semangkuk soto hangat pesanan Ara, wanita itu sudah sering kali memberi peringatan pada keduanya namun respon mereka selalu sama.

"Iya nanti kalo udah dapet hidayah."

"Ya udah terserah yang penting jangan aneh-aneh," peringat Wiwin untuk kesekian kalinya. Wanita itu mengulurkan semangkuk soto hangat berkuah kemerahan pada Ara dengan tambahan potongan sosis dan bakso, tidak ketinggalan kerupuk juga telur setengah matang di atasnya, salah satu menu favorit yang hampir selalu Ara pesan jika berada di WMW -Warung Makan Wiwin-

"Mbak Win! Punya ku kok nggak pernah di kasih sosis sama bakso? Telurnya juga beda? Nggak adil!" Ara dan Wiwin kompak mendengus malas pada April, sebab gadis itu sendiri yang mengatakan jika sosis dan bakso itu sangat tidak cocok untuk soto, apalagi telur setengah matang.

Padahal menurut Ara tidak ada yang salah dengan hal itu karena itu memang makanan favoritnya. Lagi pula kombinasi yang dia pilih masih sangat-sangat normal, jadi harusnya tidak akan ada masalah.

"Kok diem? Mbak Win pilih kasih nih!" Wanita itu mendengus langsung beranjak pergi kembali melanjutkan aktivitasnya, tak lagi menghiraukan ocehan April yang semakin melantur tiada henti jika diladeni. Sementara Ara lebih memilih untuk menyeruput kuah sotonya dari pada harus mendengarkan April.

"Jahatnya … gue di kacangin!" Keluh gadis itu sangat mendramatisasi, mungkin sebelas dua belas dengan para pemain ku menangis.

Brakkk

"4nj1ng!" April mengelus dadanya menatap sinis pada Ara yang tiba-tiba saja menggebrak meja tanpa sebab, sedangkan yang ditatap malah terlihat seperti anak 4nj1ng.

"Ani-! Pulang sekolah anterin Ara yuk!" Mata gadis itu berbinar menatap penuh harap pada April agar dia mau menuruti keinginannya. Sudah dibilang dia memang mirip anak 4nj1ng.

"Nggak, hari ini gue ada latihan," balas April singkat membuat guratan kekecewaan terukir jelas pada wajah mungil gadis itu.

"Libur dulu latihannyaaaa …" bujuk Ara masih belum menyerah, meskipun dia tau hal itu hanya akan berakhir sia-sia.

"Besok baru gue libur, besok aja perginya."

"Hari ini stok terakhir, besok belum tentu ada."

"Ya berarti lu pergi sendiri."

"Nggak mau!"

"Ya udah sama kak Radit aja sana, pasti mau dia."

"Nggak mau ah!"

"Kenapa?"

"Nggak ada!"

...…...

Sudah terhitung hampir setengah jam dari saat bel pulang sekolah berbunyi, dan gadis itu baru kembali ke kelas untuk mengambil tas miliknya setelah sebelumnya terjebak pada ajang perdebatan panjang nan lebar kali tinggi kali luber kali banjir bersama April, yang pada akhirnya Ara tetap kalah sebab April masih memegang teguh pendiriannya.

Saat ini dia nampak berjalan malas menyusuri koridor sekolah seorang diri, menatap kesana-kemari mencari hal yang mungkin menarik disekelilingnya. Masih banyak dari anak-anak yang terlihat berseliweran di sekitar lapangan, ada yang hanya sekedar duduk, pacaran, bercanda dengan teman, juga latihan ekstrakurikuler yang diadakan di sekolah.

"Woy awasss!"

"Hah?"

Bledaggg

"Aduh!!! Woy!!! Sakit tau!!!" Gadis itu meringis memegang kepalanya yang baru saja terkena lemparan bola basket.

"Salah lu sendiri ada di situ, udah tau bolanya nggak punya mata nggak punya kaki," Ara melongok tak habis pikir mendengar kalimat yang dilontarkan untuknya.

Dia menatap tak percaya pada laki-laki jangkung, beralis tebal, berhidung mancung yang tengah berjalan mendekat ke arahnya untuk mengambil bola.

Ya.

Hanya untuk mengambil bola.

Setelahnya dia pergi berlalu begitu saja melanjutkan kembali permainannya bersama teman-temannya tanpa berkata "maaf?".

Maaf?

Maaf!?

"Seenggaknya minta maaf dulu kek! Punya hati nggak sih!"

"Nggak!"

"Hah? Ihk nyebelin banget!!!"

Bletakkk

"4nj1ng!!!"

"Mampus!!!" Ketusnya beranjak pergi meninggalkan lapangan setelah melemparkan batu kerikil yang dia temukan di sekitar lapangan, dan naasnya kerikil itu tepat mendarat mengenai sasaran dalam sekali serang.

Wuinggg

Duarrr

...…...

Langit cerah kini berganti malam karena sang mentari tak lagi menampakkan sinarnya di sebagian bumi zamrud khatulistiwa, angin dingin merangkak menerjang dengan rinai hujan yang perlahan mulai terdengar.

Brakkk

Ara mendengus kesal setelah puas melempar buku tebal berisi kisah romansa sekolah antara dua anak m0ny3t yang awalnya saling benci lalu berubah menjadi bucin dan hidup bahagia hingga menutup mata, tamat.

"Menyemenyemenye … nyesel gue beli buku itu!" Sebuah buku novel yang masuk jajaran best seller serta banyak dibicarakan orang-orang itu ternyata tak sesuai ekspektasi nya.

"Hmmm …" dia termenung sesaat memandang buku novel yang tergeletak tak berdaya di atas lantai setelah membentur rak buku cukup keras.

"Ahk! Lu go block! Kenapa bukunya dilempar! Gitu-gitu juga belinya pake duit! Bukan pake daun!" Gerutunya beranjak dari tempat tidur mengambil buku itu dari atas lantai, menyusunnya di dalam rak bersama buku-buku lainnya.

Ara menilik buku-buku yang tertata rapi di dalam rak tersebut, tidak terasa buku-buku koleksinya sudah jadi begitu banyak terpampang di dalam sana.

Akhir-akhir ini dia memang gemar sekali membaca dan mengoleksi buku-buku novel, namun tetap saja minat bacanya itu hanya berlaku pada buku-buku cerita bukan pada buku-buku mata pelajaran.

Jadi setinggi apapun atau sebanyak apapun yang dia baca, dia tetaplah seorang gadis pemalas yang sama sekali tidak mengerti serta tidak peduli dengan yang namanya belajar.

"Ehmmm … gue coba jual ke perpus sekolah bisa kali ya? Lumayan kan buat jajan?" gadis itu terbahak keras setelah memikirkan ide konyolnya, "Mungkin pak Ben bakal masuk rumah sakit kalo atau gue suka baca buku-buku kaya gini."

Kringgg

Ara menoleh memicingkan matanya menatap nomor tidak dikenal yang tertera di atas layar ponselnya, dia mendekat mengambil benda pipih yang diletakan di atas nakas putih di samping tempat tidurnya.

Menggeser icon berwarna hijau lalu mendekatkan ponsel tersebut di telinganya. "Moshi-Moshi? Dengan siapa dimana?" Gadis itu mendudukkan tubuhnya menunggu kalimat balasan dari seberang sana.

"Halo?"

Hening.

"Halooo?"

Tidak ada suara.

"Kalo masih nggak ngomong Ara tutup teleponnya!" Dan masih tidak ada suara.

Tut

Dia pun langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa berkata lagi, "Siapa sih nggak jelas banget!" Gumamnya kesal kembali menyimpan ponselnya di atas nakas, menyambungkannya dengan kabel charger untuk mengisi daya.

"Haaaaaaaa …" helanya panjang sembari merebahkan tubuh di atas tempat tidur dan mulai memejamkan mata masuk menjelajah alam bawa sadarnya yang penuh harapan serta mimpi-mimpi tak terwujudkan.

Dia harus segera tidur sebelum kembali terjaga ditengah malam karena hal-hal yang tak berguna dan mengganggu hidupnya.

.

.

.

"… Yang datang akan pergi dan yang pergi tidak selalu datang kembali …"

Bab 3. Sesak

Mentari mulai menampakkan sinarnya memeluk bumi dengan penuh kehangatan, cahayanya yang terang menembus melewati sela-sela jendela kamar seorang gadis yang hingga kini masih tertidur dengan lelap di atas tempat tidurnya.

Tok Tok Tok

"Sayang … ayo bangun udah siang, kamu nggak sekolah?" Suara itu dengan lembut menyapa gendang telinganya.

Matanya mulai mengerjap mengumpulkan segala kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, "iya, aku udah bangun …"

"Kalau udah selesai nanti jangan lupa sarapan ya …"

"Aku sarapan disekolah aja …" ujarnya seraya berjalan menuju kamar mandi.

"Tap–"

"Aku sarapan disekolah aja … aku mau mandi dulu," tolaknya dengan penuh, bagi Ara tak ada gunanya jika dia berlama-lama di dalam rumah.

Gadis itu lebih suka menghabiskan waktunya di luar rumah meski hanya seorang diri.

"Ya udah ibu mau ke kamar dulu, kalau mau kamu ambil aja kotak makan di atas meja, itu udah ibu siapin …" tidak ada niatan sedikitpun dari Ara untuk membalas, gadis itu nampak bungkam di dalam kamar mandi sembari menatap datar dirinya dari pantulan cermin.

"Ck! … harus ditutupin pake foundation!" Keluh Ara selepas melihat kondisi tubuhnya saat ini, gadis itu cukup menyesal akan tingkah konyolnya semalam.

"Hfff …" dia menghela napas pelan dengan mata yang perlahan terpejam, terkadang dirinya merasa terjebak di dalam isi kepala yang tiada habis-habisnya hingga membuatnya tak tahu harus kemana dan bagaimana.

Sepertinya dia butuh sedikit liburan terlebih setelah kejadian semalam.

"Haaaaaaaaa … gue capeeeee …" gadis itu mendengus menyadarkan tubuhnya pada dinding kamar mandi.

"Sesak …"

"Jahat ya kalian … pergi nggak ngajak-ngajak Ara …"

"Enak nggak di sana? Kalau di sini … ah nggak perlu Ara jelasin juga kalian pasti udah tau …"

Dalam beberapa tahun terakhir banyak hal yang terjadi padanya, bahkan sebelum dia benar-benar lepas akan masa lalunya.

Ada rasa sesak yang menyeruak masuk dalam dirinya, membuat buliran bening tumpah mengalir begitu saja dari balik kelopak matanya yang terpejam.

"Boleh nggak sih Ara pergi aja ke sana?"

"Kalau emang boleh, tolong jemput Ara ya?"

"Hahahaha … kenapa?"

"Ya cape aja gituuuu … hehe …"

"Nggak kasian apa sama Ara?"

"Boleh ya?"

"Nggak kangen ya sama Ara?"

"Janji nanti nggak nakal lagi …"

"Boleh kan? Mau kan jemput Ara?"

"Boleh …"

"Ah …"

"B3g0!"

Pranggg

Suara nyaring itu menggema mengisi seluruh sudut ruang kamar mandi tatkala gadis itu memukul keras cermin didekatnya hingga pecah berkeping-keping di atas lantai.

"Ck! Gue ngapain sih!? Lama-lama gue bakal beneran masuk rumah sakit jiwa kalau kaya

gini terus!"

"B4ngs4t!!!"

...…...

"Itu tangan lu kenapa? Udah kaya tangan mumi aja, kagak sekali mau di amputasi?" Mata Radit terpaku menatap tangan dari sosok kesayangannya yang berbalut kain kasa.

"Ihk kalo ngomong! Tangan Ara masih sehat, aman, damai, sentosa ya!" pekik gadis itu tidak terima. "Masa?"

"Tau lah! Tadi Kak Radit belum jawab pertanyaan Ara! Ngapain Kak Radit ke rumah Ara!?" pasalnya pagi-pagi sekali Ara sudah mendengar suara deru mesin motor serta klakson dari luar rumahnya.

Saat dirinya keluar dia sudah disuguhkan penampakan Radit yang duduk manis di atas kuda besinya.

Ara tidak tau bagaimana cara Radit bisa mengetahui letak pasti rumah tempat tinggalnya, padahal tak pernah sekalipun dia memberitahukan mengenai alamat rumahnya pada seseorang kecuali pada April, dan itupun terjadi karena adanya sebuah tragedi.

Benar-benar patut dicurigai.

"Nyari sembako! Ya jemput lu lah! Tapi itu beneran nggak apa-apa? Sakit nggak?"

"Iya! Ara nggak kenapa-napa! Terus Ara bisa pergi ke sekolah sendiri …"

"Naik angkot kan?" Gadis itu mengangguk membuat Radit semakin tersenyum manis padanya, "Mending ngojek sama gue aja, gratis nggak bayar dijamin nggak bakal dapat hukuman dari pak Beno gara-gara telat, gimana? Mau naik apa nggak?"

Bola mata Ara seketika berbinar, benar juga apa yang dikatakan Radit dia jadi tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun ke sekolah, dia dapat menghemat beberapa ribu rupiah yang bisa dia gunakan untuk membeli beberapa batang permen coklat di kantin sekolah, "Oke setuju!" Ucapnya bersemangat.

Demi permen coklat!!!

Permen coklat!!!

Coklat!!!

Tin Tin Tin

Brmmm

Belum sempat Ara duduk di atas kuda besi Radit, dari arah belakang April datang dengan motor matic milik ayahnya sembari melirik sinis pada Radit, "Temen gue mau lu culik kemana hah!?"

"Orang gue cuma ngasih dia tumpangan!" Balas Radit tidak terima sekaligus kesal karena rencana berangkat sekolah bersama Ara kini terancam gagal total, padahal sudah susah-susah dia mencari alamat rumah gadis pujaannya. Jangan tanya bagaimana cara mana dia bisa mendapatkannya! Asal kalian tau itu rahasia!

"Ayyara Ashalina! Lu mau boncengan sama gue apa sama Kak Radit?" Tanpa pikir panjang

Ara berlari menghampiri April dan langsung naik ke atas jok motor teman kampretnya tanpa perlu diminta, "Ayo jalan!!!" Serunya bersemangat, jarang-jarang April membawa motor ke sekolah dan firasat Ara cukup bagus mengenai hal ini.

"Okey! Dadah Kak Radit~" laki-laki itu hanya bisa terpaku di atas motor menatap sang pujaan hati pergi meninggalkannya seorang diri.

Radit tersenyum kecut melihat hal itu terjadi begitu saja didepan matanya, hatinya seakan telah dihempas kuat ke dataran setelah sebelumnya di bawa terbang menuju awang-awang. "April sialan! Sengaja kan lu! Awas aja kalo ketemu!"

"Hfff … sabar Radit … sabar …" ujarnya pada diri sendiri sebelum memacu kuda besinya melaju dengan cepat membela jalan raya menuju sekolah, sekaligus memastikan apakah dua curut itu benar-benar masuk sekolah atau malah bolos di lain tempat.

...…...

"Ani tumben bawa motor?"

"Sekali-kali mumpung ayah lagi libur jadi motornya gue bawa …" Ara menoleh memperhatikan kanan-kiri jalan yang biasanya tak mereka lalui untuk pergi ke sekolah, jalanan yang sedikit berputar-putar serta berliku namun masih tetap di arah dan tujuan yang sama yaitu SMA Dhamar Putih 01.

"Emang bunda ngijinin?" Semenjak berteman dengan April Ara cukup mengetahui seluk beluk keluarga gadis itu, ibunya yang merupakan seorang mantan polisi serta penuh disiplin tidak akan mungkin mengijinkan April yang belum memiliki SIM berkendara seorang diri, kecuali …

"Gue nggak ijin sama bunda, tapi ayah tau kalau motornya gue bawa, kuncinya aja malah dikasih sama dia," jelas April nampak berseri karena hal ini memang jarang sekali terjadi.

"Bunda nggak tau apa ya, kalau anaknya ini calon-calon pembalap internasional, tapi malah nggak diijinin naik motor ke sekolah," lanjutnya memprotes kebijakan-kebijakan juga undang-undang yang berlaku dirumahnya, perlu kalian ketahui jika ibunya itu cukup tegas pada April, walau tetap saja anak itu sudah berkali-kali lolos dari hukuman maut ibunya atas bantuan sang ayah.

Ara sendiri benar-benar salut pada Dian karena sabar mendidik anak titisan bangsa dedemit yang satu ini, sekaligus mengurus suaminya yang memang sebelas dua belas dengan anaknya.

"Kalo kena marah pas pulang sekolah gimana?"

"Bodoamat, orang ayah yang ngijinin … paling tuh bapak-bapak mau ada apa-apa sama bunda, makanya biarin gue bawa motor dia, parah emang!"

"Miris sekali anak pungut yang satu ini …" celetuk Ara.

"Gue anak pungut tapi masih di sayang, lah elu anak kandung rasa anak pungut …" Hening.

Kedua gadis itu nampak terdiam ditempat sebelum akhirnya tawa mereka meledak bak orang gila yang lepas kendali di tengah jalan, mengakibatkan keduanya hampir terjungkal di selokan dekat perempatan. Alhasil mereka kena sambar para warga sekitar, memang dasar setan-setan meresahkan.

Oke.

Kembali ke jalanan.

"Na …"

"Hm?"

"Jujur sama gue, tangan lu kenapa?"

Gadis itu diam sejenak, "Oh ini? Ara kira Ani ngga–"

"Tangan lu kenapa?" Ucap April mengulang pertanyaan yang sebelumnya dia lontarkan.

"Jangan coba-coba bohongin gue …"

"Nekat ciuman sama kaca…" balasnya sedikit bercanda seraya menatap nanar tangannya yang berbalut kain kasa, Ara akui dia itu memang bodoh karena memukul cermin dengan tangan kosong seperti tadi.

"Sakit?"

"Lumayan …" cicitnya tersenyum masam.

"Hfff … makanya! Lu udah jadi anak pungut nggak usah banyak tingkah! Mampus kan lu!"

Pletakkk

"Oy! Kepala gue! Sakit tau!"

"Maap, tangan Ara gatel pengen getok kepala Ani-!"

"Halah gue jatuhin juga lu disini-!"

"Tega kamu kaya gitu!?"

"Idih! N4j1s!"

"Nyeh!"

"Na …"

"Hm?"

"Pegangan, gue mau ngebut!"

"Oghy!"

Motor yang ditumpangi kedua gadis itu seketika melesat, terpacu sangat cepat membela jalanan seolah tengah sengaja memancing keributan. Ditambah dengan wajah-wajah songong yang mereka perlihatkan. Memang manusia minim akhlak.

Menit demi menit pun berlalu setelah perjalanan panjang serta beribu rintangan yang mereka lalui bersama, akhirnya kedua gadis itu sampai didepan sekolah dengan pintu gerbang yang sudah tertutup rapat.

Dan berakhir dihukum pak Beno ditempat.

Tamat.

...…...

"Kalo tiap hari kalian gini, bisa-bisa kinclong ini satu sekolah …" sindir Pak Beno menemani kedua curut itu untuk membersikan seluruh halaman sekolah, Se-lu-ruh! Tanpa terkecuali.

"Ya elah bapak! Kalau kaya gitu sih ntar yang jadi tukang bersih-bersih sekolah makan gaji buta dong? Kan kita yang bersihin tapi nggak dikasih gaji-! Malah mereka yang digaji-!" protes April, bisa-bisanya mereka berdua diberi hukuman untuk membersihkan seluruh halaman sekolah seperti ini.

Kalau lingkungannya kecil sih tidak akan menjadi masalah, lah ini!?

Gede cuy!

Lapangan outdoor nya aja ada tiga. sudahlah satu lapangan luasnya cukup untuk membuat kalian berkata 'wah'. Dan mereka hanya disuruh mengerjakannya berdua, diawasi sama bapak gundul pula.

"Siapa suruh kalian bolos kemarin!? Hari ini juga malah datang telat! Udah kalian kerjain aja itu yang rajin … pada nggak suka di kelas kan? Nanti kalau sudah ada bel istirahat kalian boleh istirahat, selesai istirahat kalian lanjut bersih-bersih sampe semuanya bersih, kalau nggak bersih nggak boleh pulang sampe bersih, sekali-kali berbuat baik itu nggak apa-apa …"

"Bapak mau keliling dulu, nanti bapak ke sini lagi kalau kabur bapak tambah hukumannya …" lanjut Pak Beno sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan mereka berdua.

"Kepalanya elit … hukumannya pun syulit …" celetuk Ara menatap punggung pria paruh baya yang berjalan jauh meninggalkannya, seraya mengembungkan pipi bulat bagaikan roti padat.

...…

...

Gabrukkk

Kedua gadis itu menghempaskan tubuhnya di atas kursi kantin setelah bel istirahat berbunyi, "Tau gini tadi bolos aja nggak usah ke sekolah …"

"Huum … ini sih namanya bukan sekolah, tapi kerja rodi …" balas Ara menimpali.

"Nggak tau kenapa sekolah yang biasanya keliatan bersih rasa-rasanya hari ini kok malah banyak sampah … udahlah itu pohon nggak bisa di ajak kompromi …"

"Emang dasar sampah masyarakat!!!"

"Na?"

"Ehm?"

"Habis ini bolos aja yok, tiba-tiba gue pengen ke pantai … nanti gue jajanin bakso bakar kalo ada …"

"Ayok … tapi beli es dulu, hausss …"

"Key …"

...…...

Angin berhembus kencang membelai tiap helai rambut kepala, seirama dengan deburan ombak yang terlihat indah sejauh mata memandang.

Sesuai perjanjian sebelumnya, kedua gadis itu kini tengah berdiri beralaskan pasir pantai. Tentunya hal ini membutuhkan sedikit perjuangan yang dilakukan agar bisa lolos dari penjagaan.

"Ani … mau itu! Katanya mau bayarin Ara!!!" Ucap gadis itu menunjukkan salah satu penjual bakso bakar.

"Iya-iya …"

"Aaaaaa makasih …" tanpa banyak berfikir lagi Ara langsung berlari menyerbu dibalik antrian demi mendapatkan beberapa tusuk bakso bakar yang dijual.

"Umur berapa sih tuh anak?" Terkadang April merasa dia tengah membawa seorang adik kecil yang perlu diasuh saat dia pergi bersama Ara, meski begitu dia tetap menyukainya.

Dia berjalan hendak menyusul Ara sembari menikmati desiran ombak yang terus menggema memasuki telinga.

Tenang,

Itu yang tengah dia rasakan,

Membawanya terbang dan hanyut dalam pikiran.

'Uhg! Gue kangen lu sialan!'

Gadis itu menggeleng kuat berusaha mengendalikan dirinya segera pergi menghampiri Ara, "Mang, gue dong sepuluh ribu … sekalian sama dia …" tunjuk April pada Ara saat menyerahkan selembar uang kertas berwarna hijau ditangannya.

Setelah mendapatkan apa yang mereka pesan keduanya memutuskan untuk berkeliling sebentar di sekitaran bibir pantai untuk menikmati ombak.

"Ani-!"

"Ehm?"

"Pegangin punya Ara dulu …" Ucapannya mengulurkan plastik bening dengan sisa beberapa tusuk bakso bakar didalamnya.

"Emang lu mau ngapain–"

Plakkk

"Anak s3t4n!!!" Ara berlari menjauh setelah berhasil lempar segenggam pasir basah pada baju April, dia dapat melihat wajah April yang berubah menjadi kesal.

"Ayyara Ashalina!!!" Spontan saat itu juga April terpancing untuk mengejar Ara yang nampak tertawa puas setelah berhasil menjahili sahabatnya.

"Sini lu 4nj1r!!! Berhenti nggak lu!!!"

"Nggak mauuuuu …" gadis itu masih terus berlari sembari mengejek April tanpa memperdulikan kondisi sekitar yang lumayan ramai.

Dan...

Brukkk

Gedebuggg

Byurrr

"Ehk …"

Gadis itu jatuh terjerembab di atas air laut setelah kakinya tersandung sesuatu yang cukup besar.

'Go block!!!'

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!