NovelToon NovelToon

BUKAN MENANTU BIASA

BAB 1. TERPAKSA DEMI ASHA

Pria dengan penampilan lusuh, duduk di luar ruang operasi sebuah rumah sakit.

Netra sang pemuda memejam, wajah Maghala terlihat pucat, kepala terasa pusing dengan telinga berdengung. Darahnya baru saja di ambil hingga tiga labu untuk gadis yang dia selamatkan semalam.

"Lemas sekali. Semoga dia tak apa. Salahku ya Robb," keluh Maghala, menekan pangkal alis guna menghalau nyeri di kepala.

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.

"Heh, aku gak mau tahu ya! pokoknya kamu harus tanggung jawab mengurus putriku sampai sembuh total. Dokter mengatakan bahwa Asha akan cacat!" sentak suara seorang wanita padanya, berdiri di hadapan Ghala seraya berkacak pinggang.

Lelaki muda itu menduga bahwa wanita di hadapan adalah keluarga korban. Maghala mendongakkan kepala. "Dengan cara apa?" tanya Ghala, netra di wajah pucat itu memandang sendu.

"Karena kamu penyebab kecelakaan putriku, tapi juga sekaligus penyelamat nyawanya. Maka kau harus mengabdikan diri untuk Asha dan keluarga Cyra bila tak ingin masuk bui dengan tuduhan kelalaian hingga mengancam nyawa seseorang," cecar Adhisty berapi-api, dia adalah pemilik perusahaan sepatu dengan brand ternama, Cyra.

"Anda yakin hanya itu? sebab dokter banyak mengatakan hal lain padaku, Nyonya," jawab Maghala lagi, sejenak memejam.

Deg! Adhisty tertohok. Dia menduga pemuda ini tahu aib putrinya.

"Kau!" geram sang Nyonya, mengepalkan tangan dengan kedua mata membelalak.

"Kawinin aja napa sih, Ma. Gentle dong jadi laki!" cibir Alka, berdiri bersedekap menyandar pada tiang.

"Anda memaksaku menikahi dia bukan hanya sebab dua perkara tadi kan?" ucap Maghala masih duduk di bangku.

"Pokoknya, kau harus bertanggung jawab. Mau jadi apa anakku? dia cacat karenamu!" cecar Adhisty, meraih kerah baju Maghala dengan kedua tangannya lalu menghempas kasar.

Maghala tahu, menikahi wanita hamil sebab pria lain adalah makruh, meski secara akad sah. Dia pun merenung sejenak.

Suara tangis wanita paruh baya yang kini duduk di bangku, sangat membuat nuraninya tergugah meski separuh hati merasa terpaksa.

Membayangkan gadis itu putus asa sebab mengetahui kenyataan bahwa dia cacat. Tangisan depresi atau bahkan percobaan bunuh diri, menghantui benak Maghala.

Sebagai rasa tanggung jawab, juga untuk menyelamatkan martabat seorang gadis, Maghala akhirnya menyanggupi. Dia pasrah kemana garis nasib akan membawanya.

"Baik. Aku akan menikah dengan putri Anda," kata Maghala beberapa jam kemudian.

Pernikahan pun di gelar esok hari meski Asha belum sadar.

...***...

Ashadiya Cyra tertegun kala Adhisty mengatakan bahwa lelaki dengan penampilan sederhana ini adalah suaminya.

Melihat tangan dan kaki kanan di gips menggunakan papan penahan, kepalanya di perban, membuat Asha seketika berteriak.

"Mama, bagaimana dengan pagelaran seni yang akan di gelar pekan depan? aku susah payah berlatih hingga lolos seleksi ... tapi ini?!" pekik Asha putus asa.

Adhisty menenangkan, mengatakan bahwa dia akan menjalani pengobatan hingga kemanapun agar tangannya dapat di gunakan untuk melukis kembali meski masa pemulihan agak lama.

"Enggak! apa salahku, Tuhan!" teriak Asha lagi, kepalanya menggeleng cepat tanda dia tak menerima nasib.

"Kau, karena kau, kan. Ini karenamu!" geram Asha melihat ke arah Maghala dengan tatapan tajam.

"Maafkan aku. Maaf," kata Maghala balas menatap istrinya sendu.

Perasaan bersalah menghantui Maghala. Keseharian setelah Asha di perbolehkan pulang tak lantas membuatnya lega. Teriakan, makian, cibiran menjadi sarapan pagi suami nona muda Cyra.

"Ghalaaaaa! lelet amat sih, ngapain aja!" teriak Adhisty pukul enam pagi di ruang makan. Dia menghentakkan sepatunya hingga menciptakan bunyi bising.

Menantu Cyra datang tergopoh menghampiri sang mertua. "Ya, Ma? aku sedang menyiapkan air untuk Asha mandi. Ingin sarapan sekarang?" tanya Maghala sembari melepas apron.

"Kamu nanya? kamu nanya? bodoh kok di piara, lihat sudah jam berapa ini? kan kemarin sudah ku bilang, akan ada meeting pagi, artinya kamu harus lebih dini siapkan sarapan!" seru Adhisty tepat di wajah Maghala. Telunjuk sang mertua, sukses mendarat di dahi Ghala disertai pandangan remeh.

"Baik," balas sang menantu, berlalu ke dapur untuk mengambil menu yang telah dia siapkan semenjak subuh.

"Heran, gak pinter-pinter," omel Adhisty lagi, dia memutar bola mata jengah seraya menarik kursi meja makan.

"Kenapa lagi, Ma? masih pagi udah rame aja," tanya Alka, putra sulung Adhisty. Dia menarik kursi dan duduk di sana.

"Siapa lagi penyebabnya bila bukan si bodoh benalu ini. Asha, nasib kamu begini amat sih? punya suami kok bego. Kalau gak terpaksa, aku gak Sudi!" cibir Adhisty, melihat dengan ekor mata kala Maghala membawa baki berisi hidangan dan menata di atas meja.

"Sama," gumam Maghala sangat lirih.

"Heh, Ghala, sesekali buatlah dirimu menjadi berguna. Padahal hanya kerjaan ringan begini kok ya gak sat set. Mau kau kasih makan apa adikku jika gak numpang hidup di sini? sampai kapan bercita-cita jadi benalu?" sambung Alka, menyeruput kopi sambil mengacungkan sendok hampir mengenai wajah Ghala.

"Ya di kasih makan nasi, Kak. Masa dedak," kekeh Maghala masih menata pinggan.

Brak!

"Berani jawab? ayo, lagi!" sentak Adhisty lagi, menggebrak meja. Semua hidangan menjadi terguncang dan percikan tersebut membuat kotor taplaknya.

Maghala seketika diam, kalimat sarkas ini bagai dengungan lebah di telinga. Dia lantas meninggalkan ruang makan menuju kamar.

"Asha, air untuk mandi sudah siap. Aku angkat ya," kata Ghala meminta izin membopong istrinya menuju kamar mandi.

"Pake nanya segala," gumam Asha. Dia akui, kehadiran Maghala sedikit banyak memudahkan dirinya bergerak, mandi dan lainnya. Meski separuh hati turut membenci.

Saat membantu mengeringkan rambut Asha, teriakan Adhisty kembali bergema, wanita itu telah berdiri di ambang pintu kamar mereka.

"Ghala! jangan lupa cuci dan ganti seprei di kamarku dan Alka. Sudah waktunya rumah ini ganti karpet dan semua gorden," ujar sang mertua, berseru lantang dari ruang keluarga.

"Baik, Ma. Setelah Asha sarapan akan aku kerjakan semua," jawab Maghala.

Adhisty menghampiri, dia lalu membuka dompet dari dalam tas. "Sekalian belanja bulanan, nih, uangnya," sambung ibu Asha, menyerahkan setumpuk uang kertas.

Belum sampai tangan Maghala menerima sodoran uang, Adhisty sengaja menjatuhkan gepokan rupiah itu ke lantai, hingga berantakan.

"Ups!" ucap Adhisty, menutup mulut disertai netra yang menyipit, lalu terkekeh seraya berbalik badan dan melenggang pergi.

Harga diri Maghala di rendahkan bertubi di rumah ini. Namun, apa daya, janji telah mengikatnya dan dia akan bertahan. Istri cantik ini menjadi semakin pendiam dan tak memiliki semangat hidup, bahkan acuh padanya.

"Sabar, sabar," gumam Maghala. Dia memungut lembaran uang dari lantai, mengumpulkan menjadi satu.

Ashadiya hanya diam melihat suaminya di perlakukan rendah oleh ibu dan Alka. Ada rasa iba tapi dia tak peduli. Anggap sebagai imbalan telah membuatnya cacat hingga gagal meraih cita-cita.

"Makan dulu ya, nanti aku bantu pijat lagi agar kakimu tidak kaku," kata Maghala, mendorong kursi roda Asha menuju ruang makan.

Nafas pria itu terasa berat manakala melihat meja makan berantakan. Maghala pun membersihkan area sebagian agar Asha tak merasa risih dan jijik. Tiada sisa makanan di sana, hanya cukup untuk istrinya.

"Ayo, aku suapi."

Maghala tak pernah mendapat respon atas segala ucapan untuk Ashadiya. Istrinya bahkan lebih mirip kulkas, dingin.

"Kau tahu, Asha, semua tekanan yang ku terima tak serta merta membuat aku menyerah. Aku akan menemanimu, mengenal lebih dekat keluarga ini dan mencari tahu siapa ayah dari janin yang kau kandung," kata Maghala, menatap manik mata Asha.

"Apakah dugaanku benar, pria itu adalah...."

.

.

...____________________...

BAB 2. HARGA DIRI MUSNAH

"Dia adalah ... pacarmu," tebak Maghala seraya terkekeh. Pernyataan bodoh, pikirnya.

Asha tetap bungkam. Tapi Maghala tak patah arang, Ashadiya adalah satu-satunya hiburan baginya. Menggoda sang istri yang tak pernah merespon merupakan tantangan tersendiri.

Setelah sarapan, Maghala mendorong kursi roda Asha menuju teras samping untuk berjemur sementara dirinya membersihkan bekas peralatan makan pagi ini.

Sebab kedatangan Maghala di rumah ini, membuat Alka memecat sebagian ART dan membebankan tugas mereka padanya. Beberapa maid yang tersisa acap kali merasa iba melihat sang menantu diperlakukan bak sampah.

"Den, sarapan dulu. Jangan sampai sakit, sebab kondisi lemah pun gak akan merubah tabiat nyonya," ucap salah satu maid saat Maghala mengerjakan semua tugas di dapur.

"Gak masalah Mbak-mbak, santuy. Toh aku terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Maklum, pedagang," kekeh Maghala, menghibur diri meski lelah jiwa raga.

Setelah dari dapur, dia lalu menuju kamar Adhisty, kemudian bilik Alka untuk mengganti seprei, selimut, gorden juga menggulung karpet kamar dan membawanya ke ruang cuci.

Kala melintas ruang tengah, Maghala meletakkan keranjang kotor lalu menarik kursi roda Asha dari teras samping, mendorongnya menuju ruang tengah untuk menonton televisi agar istrinya tak bosan.

"Aku sambil kerjakan yang lain ya, kalau kau butuh aku, goyangkan saja lonceng seperti biasanya, oke?" ujar Ghala sebelum meninggalkan Asha sendiri.

Menjelang Zuhur semua pekerjaan telah selesai. Ponselnya kini berdering, menampilkan sebuah nama di sana.

"Assalamualaikum, ya, Kak," sapa Maghala saat menjawab panggilan Alka.

"Ghala, bawakan aku map laporan yang tertinggal di meja ruang kerja. Map warna coklat, lekas," titah Alka di ujung sana.

"Baik, aku lihat dulu," jawab Maghala menuju ke ruang kerja kakak iparnya.

"Halo, ada gak? Ghala!" seru Alka, tak sabar.

"Gak ada Kak, di meja bersih. Aku buka laci pun kosong," sahut Maghala seraya merubah panggilan menjadi video call.

"Goblok banget sih! kalau gak ada di sana ya cari di kamar kek, meja makan, ruang keluarga atau kamar mama. Buruan napa!" sentak Alka lagi.

Menantu keluarga Cyra pun tergopoh menuju kamar Alka di lantai dua, memeriksa detail di sana, lalu beralih ke kamar mertuanya.

"Ghala, cepat! kuya!" teriak Alka gusar.

Maghala tak memedulikan makian Alka, dia tetap tenang mencari benda yang di maksud. "Ini bukan Kak?" tanyanya saat menemukan berkas yang di cari berada di meja rias Adhisty.

"Nah, iya. Lekas bawa kemari dalam sepuluh menit. Aku gak mau tahu!" bentak Alka seraya menutup panggilan sepihak.

Tut. Tut. Tut.

"Astaghfirullah. Ampun, ampun. Untungnya gak pada darah tinggi ya, emosi mulu." Maghala tertawa kecil.

"Kayak punya pintu Doraemon, sekejap tiba. Jakarta itu macet masbro, gak kayak di Saranjana," gumam Maghala bergegas menuruni tangga dan bersiap mengantar berkas ke kantor Cyra.

"Asha, aku pergi dulu antar ini ke Kak Alka, ya. Pulangnya sekalian belanja bulanan. Aku gak akan lama," kata Maghala saat melewati Asha yang di temani seorang maid.

Seperti biasa, wanita cantik itu hanya melirik sekilas lalu acuh kembali.

Lelaki tampan itu hanya mengganti kaosnya dan meraih jaket. Deru suara motor menandakan bahwa Maghala telah meninggalkan kediaman mewah keluarga Cyra.

...***...

Sesuai dugaan, dia terjebak kemacetan. Bukan Maghala jika tak memiliki solusi di saat genting.

"Untung motor ini boleh di bawa, coba kalau pakai mobil. Aku bisa di geprek saat tiba di kantor," gumam Ghala sembari menyelinap ke bahu jalanan yang lumayan longgar.

Dua puluh menit di butuhkan Maghala hingga sampai di kantor Alka. Namun, dia terlambat. Iparnya itu sudah memulai meeting. Maghala pun di antar oleh sekertaris Alka menuju ruang rapat.

Tok. Tok.

"Maaf, Pak. Berkas file nya tiba," kata sang sekretaris.

"Suruh masuk," sahut Alka menjeda jalannya presentasi oleh salah satu manager.

Maghala pun masuk ke ruangan itu. Menyerahkan berkas langsung ke tangan sang pimpinan.

"Lama amat! kamu laki tulen kan? kenapa lambannya mengalahkan nenekku yang berusia hampir tujuh puluh tahun," ejek Alka, menyeringai, ditujukan untuk adik iparnya.

"Tulen, Kak. Aku pamit, terima kasih," ujar Maghala tak ingin mengundang cibiran. Dia berbalik badan hendak keluar ruangan.

"Buru-buru amat sih, aku belum cek loh, ini benar atau tidak," ucap Alka lagi, sembari membuka ikatan map.

Maghala menghentikan langkah, lalu berdiri menepi ke sisi layar infocus.

"Dea, lain kali kalau dia datang ke sini, kamu langsung buka akses saja ke kantorku. Dia babu, biasa aku suruh-suruh, kok," ujar Alka lagi ke sekretarisnya.

Beberapa pasang mata menatap nanar pada sosok tampan di depan sana. Dea bahkan tersenyum miris, merasa malu atas perilaku pimpinannya.

Maghala tersenyum, lalu menunduk. Tiada hari tanpa ejekan dan hinaan yang dia terima dari keluarga ini.

"Mungkin keputusanku tepat, menikahi Asha meski awalnya terpaksa. Kasihan Asha, bakal makin depresi jika sikap mereka begini." Batin Maghala.

"Eh, Babu. Tampang doang ganteng, kerja lamban. Lain kali jangan terlambat begini. Sana pulang," cibir Alka lagi, seraya mengibaskan tangan mengusir Maghala yang langsung keluar ruangan.

...***...

Kadiaman Cyra.

Menantu Cyra tiba menjelang asar dengan membawa banyak barang belanjaan. Dia menaruh semua bawaannya di atas meja pantry, sebagian di lantai.

Maghala menjatuhkan diri duduk di depan kulkas, membuka salah satu pintunya dan meraih air dingin guna melepas dahaga.

"Alhamdulillah. Penat ya Robb, tapi mau gimana lagi, aku masih meraba peluang," gumam Maghala bergegas membereskan semua dan akan menuju kamar untuk membersihkan diri.

Setelah dia rapi, ingin bersantai sejenak menemani Asha sembari memijat kakinya, teriakan Alka yang baru pulang kerja, terdengar lagi.

"Ghalaaa!!!!!"

"Ya, Kak. Aku di sini," kata Maghala seraya mendorong kursi roda Asha keluar dari kamar.

"Nih, cuci mobil. Nanti malam aku pergi ke party. Jangan lupa mandikan Moly, dia mau ku bawa serta untuk di kawinkan dengan jenis yang sama. Cepat!" titah Alka melemparkan kunci dan menunjuk Moly di dalam kandang.

"Oh iya, satu lagi. Mulai malam ini, jika aku masih melihatmu ada di pinggir jalan dengan gerobak bodoh itu. Kakimu akan ku patahkan. Paham!" ancam Alka menunjuk tajam ke arah wajah adik iparnya.

Maghala menghela nafas panjang. Urusan sepele yang bisa dilakukan jasa cuci mobil di jalanan dan pet shop pun, harus tangan dia yang mengerjakan. Jalan usaha untuk memberi Asha nafkah, kini kandas juga.

"Sabar ya, Asha, pijatanmu tertunda," kekeh Maghala, meninggalkan Asha di ruang keluarga. Setelah memastikan istrinya nyaman, dia menuju garasi dengan membawa kandang kucing kesayangan Alka.

Tepat azan Maghrib, tugas dadakan bagai tahu bulat, selesai. Pekerjaan akhir akan dia jelang setelah salat nanti, membuat menu makan malam.

Deru mobil Alka menjauh, berganti dengan milik Adhisty yang baru tiba di hunian. Dia langsung mengecek semua pekerjaan menantunya itu.

"Ghalaaa, siapkan makan malam," seru sang mertua, mengetuk pintu kamar sambil lalu dan terus berjalan menaiki tangga.

"Sudah, Ma. Silakan," balas Ghala di ambang pintu kamar, menunjuk ke arah ruang makan.

Lelaki taat itu hendak menghampar sajadah, saat suara melengking Adhisty kembali terdengar.

Brak! pintu kamar di buka paksa Adhisty.

"Ghala! yang benar saja, menu begitu kamu sajikan untukku?" sentaknya marah, hingga mata sipit Adhisty membola. "Buatkan steak, mashed potatoes dan salad. Semua harus siap setelah aku selesai mandi," imbuhnya lagi, setelah menunjuk tajam ke arah meja makan lalu dia melenggang pergi.

Maghala menengadah, melepas hembusan nafas ke udara saat hendak melanjutkan ibadahnya. Dia menoleh ke arah Asha yang hanya diam.

"Salat dulu yuk. Setelah ini, kita makan. Asha, aku akan mencari alternatif usaha lain untuk memenuhi kebutuhanmu," tutur Ghala lembut mengusap kepala Asha yang memakai mukena.

Waktu bergulir cepat, semua pekerjaan Maghala telah selesai. Mendekati tengah malam, suasana kediaman Cyra terasa sangat sunyi. Namun, seorang pria masih terlihat sibuk memainkan ponselnya duduk di sofa kamar seakan mencari sesuatu di sana.

"Nah, dapat." Sorot mata Maghala berbinar.

.

.

..._________________...

BAB 3. DITEMUKAN

"Aku akan siapkan peralatan diam-diam agar lebih leluasa bereksplorasi. Asha, doakan aku ya," lirih Maghala melempar pandang ke arah ranjang dimana istrinya tidur.

Tepat pukul satu dini hari, lelaki tampan tapi terlihat lusuh itu menata bantal di atas sofa panjang, menarik selimutnya, lalu memejamkan mata, bersiap melepas lelah yang menyelimuti raga.

Sebelum subuh, Maghala sudah terbangun. Dia telah menyusun jadwal kegiatan hari ini, semoga tidak ada tugas dadakan lagi sehingga mempunyai waktu lebih untuk memulai usaha rahasianya.

Rutinitas pagi Maghala masih setia berteman teriakan, ocehan, makian bahkan julukan baru di dapat pagi ini.

"Benalu," teriak Adhisty memanggil menantunya, berdiri berkacak pinggang seraya mengetukkan heel ke lantai.

Maghala muncul dari dalam kamar dengan Asha yang telah wangi dan rapi.

"Eh, Asha tumben sarapan bareng kita," ujar sang mama, sedikit menahan diri kala melihat putrinya sangat rapi sepagi ini.

Tidak ada sahutan dari Asha, dia hanya diam. Maghala yang telah paham kebiasaan istrinya, cekatan mengambil sajian segar berupa potongan buah sebagai menu Asha hari ini.

"Heh, kamu kasih makan apa anakku? masa sepagi ini di kasih makan buah, jus apa itu? terlihat menjijikkan," cibir Adhisty, menunjuk dengan dagu saat melihat hidangan untuk putrinya.

"Aku yang minta," ucap Asha singkat, padat, membungkam cibiran ibunya.

Glek! Adhist tertohok.

"Silakan duduk, Ma. Scramble egg with mushroom and coleslaw," ujar Maghala menyodorkan pinggan milik Adhisty.

"Asha, tumben kamu makan bareng kita," sapa Alka melihat adiknya duduk bersama di sana.

"Kamu juga makan, jangan sampai pingsan sebab tugas hari ini banyak. Rumput mulai panjang, juga banyak sarang laba-laba di ceiling. Panaskan mobil sport Alka lalu dry clean gaun malam milikku untuk jamuan lusa nanti," tutur Adhisty, bibirnya tak henti membeberkan tugas Maghala hari itu.

"Tumben," batin Maghala.

"Baik, Ma. Sudah aku catat semua," jawab Ghala sembari menarik kursi di sebelah Asha, agar mudah menyuapi istrinya.

Mungkin karena kehadiran Asha di meja makan, mereka sedikit merendahkan volume suaranya.

"Aku mau buah import, Ma," ucap Asha meminta pada ibunya, gadis itu mengharap dengan tatapan memohon.

"Kamu punya suami, minta ke Ghala," balas sang mama, mulai mencoba aksi. Dia bahkan tak melihat ke arah Asha.

"Oke, akan aku belikan. Kamu mau buah apa?" tanya Ghala menoleh ke arah Asha.

Tiada jawaban lagi, ibu hamil itu hanya diam.

"Kalau Asha diam, artinya kamu gak bakalan mampu beli. Buah kesukaan Asha itu melon Jepang yang harganya satu juta lebih. Kamu pengangguran, mana punya uang segitu banyak," sindir Adhisty lagi, bibirnya tertarik ke atas, menyeringai sinis.

"Jangan sampai ponakan aku ngacay gara-gara bapaknya gagal memenuhi keinginan ngidam bininya," tawa Alka bergema.

Maghala diam, dia bukan ayah biologis bayi yang tengah dikandung Asha, akan tetapi bersedia memenuhi keinginan wanita ayu di sampingnya ini.

"Bilang saja. Akan aku usahakan, oke?" bisik Ghala saat menyuapkan suapan terakhir potongan buah.

Entah hanya pandangan Maghala saja atau memang Asha bersikap manis pagi ini. Sekilas dia melihat wanita disampingnya mengangguk samar.

"Peach dan anggur shine muscat," jawab Asha pelan.

Maghala mengangguk. "Oke, In sya Allah kebeli," ujarnya lagi.

Alka terbahak, dia mencibir Maghala. "Kamu tahu gak berapa harga anggur yang di minta Asha?" kekehnya geli melihat ekspresi pede Maghala.

"Biarkan saja dia malu saat di depan kassa, gak bisa bayar," sambung Adhisty ikut tertawa renyah hingga mulutnya terbuka lebar.

"Kalau gak mampu ya bilang aja sih, badut kawe, lo," ejek Alka seraya bangkit dari duduknya dan melenggang pergi.

Tak lama, Adhisty ikut bangun dari sana. Dia meraih dompet dari dalam tas lalu melempar satu ikat uang senilai dua juta ke arah Maghala.

"Tuh, buat keperluan yang aku suruh tadi. Sisanya untuk beli buah Asha. Pengangguran kok belagu setinggi langit!" ejek Adhisty melangkah pergi, decihan dari mulut pun lolos.

Hanya tarikan nafas yang dapat Maghala tunjukkan di hadapan Asha. Dia lalu membenahi semua kekacauan di meja makan dan bergegas mengerjakan tugas lainnya.

Tepat pukul sebelas siang, Ghala meminta izin pada Asha pergi keluar rumah untuk melaundry pakaian milik ibunya serta membeli buah pesanan Asha.

Motor matic putih miliknya meluncur meninggalkan kediaman. Saat memotong rute agar lekas sampai di tujuan, tiba-tiba jalannya di jegal sebuah mobil mewah.

Ciiiittttt. Suara decit ban, bergesekan dengan aspal jalan.

"Innalilahi," pekik Maghala, menarik tuas rem kencang, membelokkan stang motornya hampir membentur pohon di sisi jalan.

"Siapa sih! tapi kayak kenal," gumam Ghala saat melihat plat mobil di depannya.

"Selamat siang, tuan muda," sapa seorang pria perlente, membungkukkan badan saat baru keluar dari mobilnya.

"Siang ... loh, Hilmi, ada apa? kakek baik saja kan? kamu ngagetin sih, sudah berapa hari di sini?" cecar Ghala terkejut melihat asisten pribadi kakeknya berada jauh dengan beliau.

"Tuan besar Janu, sedikit stres. Anda diminta beliau untuk pulang. Menyudahi masa pelarian," pinta sang asisten. Mendekat ke arah Ghala, dia menahan stir motor sang tuan muda. Sorot mata Hilmi terlihat sendu, alisnya ikut bertaut hingga wajah cemas itu kentara.

"Tiga hari dalam pengintaian, tuan muda. Anda bahkan tak memberi kabar jika telah menikah. Saya terpaksa melakukan penjegalan sebab situasi Magenta grup tengah krisis," tutur Hilmi lagi, pandangannya kini menunduk, dia menghela nafas berat nan panjang.

"Kan ada Kak Madha, Bibi juga di sana. Banyak orang pintar membantu kakek," elak Maghala. Dia masih ingat ucapan menyakitkan dari penghuni Magenta grup.

Hilmi menghela nafas. Dia tahu ini tak akan mudah, tuan mudanya memang sengaja menyingkir.

"Mohon Anda pertimbangkan tentang ini. Keberlangsungan hajat hidup karyawan ada di tangan Anda," pinta Hilmi lagi, kali ini dia menepuk jemari Ghala di atas stir masih dengan binar mata sayu.

Maghala memejam, menghembus nafas kasar seraya menekan pangkal alisnya. Dilema, dia tak akan meninggalkan Asha. Justru ingin menunjukkan pada keluarga Cyra bahwa dirinya lelaki berguna.

"Pulanglah dulu, akan aku pikirkan nanti. Jika ada kesempatan menyelinap pergi, aku akan pulang sejenak menemui kakek," sahut Maghala.

"Baik. Anda hanya perlu menekan tombol panggilan cepat pada ponsel. Semua akan siap dalam sekejap," pungkas Hilmi, sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman samar. Sorot pandangan pun kini berbinar cerah.

Maghala mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan.

Tiada keributan di kediaman Cyra, mungkin para penghuni telah lelah hingga energinya habis meski sekedar melayangkan makian untuk menantu sampah mereka. Maghala tenang mengerjakan sesuatu di kamar dengan Asha.

Dia melihat istrinya lahap memakan anggur yang dia beli memakai kartu andalan miliknya. Sisa uang dari Adhisty hanya cukup untuk membeli setengah kilo peach. Senyum pun tersungging di bibir manis Maghala.

...***...

Keesokan pagi.

Maid mengatakan bahwa Maghala tak perlu membuat sarapan. Semua penghuni Cyra telah pergi sejak pagi buta keluar kota untuk urusan bisnis.

Merasa mendapat peluang menyelinap pergi, dia bergegas menyelesaikan semua pekerjaan rumah seperti biasanya. Maghala lalu menekan tombol panggilan cepat, sesuai instruksi Hilmi.

Dua jam kemudian.

"Asha, aku pergi sebentar ya. Dini hari in sya Allah telah kembali ke sini lagi. Kamu gak apa kan, ku tinggal sebentar?" kata Maghala pada Asha yang baru saja rapi.

"Semua kebutuhan kamu ada di sana, sudah aku siapkan," imbuhnya lagi, menunjuk ke arah meja sofa.

Asha melihat penampilan Maghala tak seperti biasanya. Dia sangat tampan, rapi dan wangi. Tanpa sadar, Asha mengangguk.

"Syukron, take care ya." Maghala keluar kamar, menitipkan Asha pada salah satu maid lalu meninggalkan kediaman Cyra.

Beberapa menit berikutnya. Tuan muda Magenta, tengah menuju titik temu guna terbang ke satu kota.

"Apa aku akan disambut baik di sana?" batin Maghala, risau.

.

.

..._________________...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!