NovelToon NovelToon

DINIKAHI DUDA GALAK

Prolog

TEROREERREEEEETTT!!! RORET!!! RORET!! TOREEEETTTT!!!

Suara lengkingan benda keramat yang sering di gunakan seorang pria untuk membangunkan istrinya yang tengah terlelap terdengar menggema.

Sangat tidak manusiawi sekali bukan??? Membangunkan istrinya sendiri menggunakan terompet.

“Elianaaaa Pramesti! Banguuunnn!! Banguuunnn!! Banguuunnn!!!” suaranya kian melengking kala pria itu kembali meniup terompetnya.

Dengan kesal, kaki jenjangnya sesekali menendang kaki perempuan yang kini masih bergelung selimut sembari menutupkan guling yang awalnya di peluknya menjadi menutupi telinganya, berharap jika suara menggelegar itu bisa ditangkal oleh sebuah guling yang di rasa bisa melindungi telinganya dari suara menggelegar yang di ciptakan pria menyebalkan yang kini sudah berdiri menjulang dihadapannya.

“AAAAARRRGGGHHH!!! Kenapa membangunkan orang sudah seperti mau kiamat saja?? Kenapa harus menggunakan terompet?? Aku gak budeg ya!!” perempuan itu menggeliat, mencoba membuka matanya secara sempurna, menyesuaikan cahaya yang masuk pada matanya, yang masih sangat enggan untuk di buka.

“Jika tidak menggunakan alat ini, mana mau kau bangun dengan sendirinya??” pria itu melipat kedua tangannya di dada. Menatap perempuan yang tengah mencoba mengusap ilernya dengan tatapan jengah.

Tapi perempuan di hadapannya, malah kembali membungkukan tubuhnya di kasur di hadapannya, kembali menggulingkan tubuhnya ke sebelah kanan.

TEROREEEEETTTT!!! RORET!!! ROREEEETTT!!!

Lengkingan suara terompet kembali terdengar, kala pria itu kembali meniupnya.

“AAAAARRRGGHHH!! Baiklah! Aku akan bangun! Rasanya sudah seperti tahun baru! setiap hari mendengar suara terompet!” perempuan itu melompat dengan mulut komat-kamit menggerutu tidak jelas, langsung terjun bebas ke atas lantai, tanpa dia sadari jika kakinya tersandung selimut, yang sebelumnya menggulung kaki jenjangnya, hinggaaa ...

BRRUUUKKK!!!

“AAAwwww ...” perempuan itu tersungkur, dahinya membentur ujung nakas kecil yang berada di pinggir ranjangnya, kemudian suara erangannya melemah, saat dia melihat tatapan horor dari pria tinggi menjulang yang kini sedang memperhatikan tingkahnya.

“Cih! Astaga ... sesungguhnya apa yang telah ku lakukan?? Kenapa aku mau menikahi perempuan seceroboh dirimu??” pria itu berdecak kesal, lalu berlalu menuju pintu kamar, meraih handle pintu, lalu kembali berbalik menatap perempuan yang masih berjongkok di lantai sambil mengusap-usap dahinya.

“Jangan lupa, bangunkan anak-anak, suruh mereka menghadapku, karena PR yang mereka kerjakan ada yang salah, dan harus segera diperbaiki, sebelum Dunia tahu, jika aku memiliki anak-anak yang bodoh” titahnya kemudian. Lalu langkah kakinya kembali melaju menuju keluar pintu, tubuhnya menghilang setelah daun pintu di tutup rapat.

Perempuan itu semakin mendengus kesal di buatnya, dengan tertatih perempuan itu langsung berdiri, lalu berusaha membereskan ranjangnya yang sudah seperti kapal pecah akibat ulahnya sendiri. Sementara itu, dia menoleh jam dinding yang terletak di antara tembok di kamarnya, waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari.

"Cih! Anak bodoh dia bilang? Bukankah mereka anak-anaknya?" mendecih dengan kesal.

‘Ibu ... kenapa kau memintaku untuk menikahi pria sepertinya, aku sangat menderita Ibu’ gumamnya dalam hati, di antara kegiatannya membereskan tempat tidur. Berulangkali dia mencoba untuk tetap menjadi waras, agar tidak kehilangan kendali.

Ting!

Ponselnya berbunyi, menandakan ada notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya, segera perempuan itu meraihnya, lalu membacanya, dan lagi-lagi pesan itu hanya peringatan pekerjaan selanjutnya yang harus dia lakukan.

‘Kenapa toilet di lantai bawah belum di bereskan?? Aku hari ini mau mandi di sana, bereskan dalam waktu lima menit, waktunya di mulai dari sekarang! Go!!!’

Begitulah bunyi pesan chat yang di terimanya.

‘Astaga! Apa aku bunuh diri saja?? Aku sungguh lelah, kenapa hidupku jadi seperti ini??’ kembali bergumam, merutuki hidupnya sendiri.

'Baygon, mana Baygon?' kepalanya celingukan kanan kiri, mencari sesuatu yang tadi di sebutkan, lalu bergidik ngeri sendiri.

Berkali-kali menghentakan kakinya di lantai sebagai tanda betapa kesalnya Ia, hingga dia merasa kebas sendiri, gadis itu segera berlari ke lantai bawah untuk melaksanakan titah suami rasa Tuan.

Breaking News!

Pagi ini, di beritakan Bapak Edgar Adishwara kembali terpilih menjadi pengusaha paling sukses yang berada di negri Dongeng ini, kami sebagai salah satu warga negri Dongeng ini sangat bangga, akan segala prestasi yang telah di torehkan oleh Bapak Edgar, oleh karenanya sebagai bentuk apresiasi dari kami ...

Klik!

Tipi di matikan, terlihat pria itu tengah berjalan menuju kamar kedua anaknya, perempuan yang sudah diperintahkan untuk membangunkan anaknya, nyatanya bergerak begitu lamban, bagaikan siput, hingga dia memutuskan membangunkan mereka untuk aktifitas dini hari yang sudah biasa mereka lakukan, aktifitas yang menurut perempuan itu tidak manusiawi.

Memutar kedua bola matanya malas, perempuan itu berlalu dengan kemoceng di tangannya, sementara itu, perempuan itu sudah berganti pakaian dengan pakaian khas pelayan, dengan celemek di depan dadanya,dan tudung penutup kepala agar tidak ada debu yang menempel di rambut ikalnya.

“Eliana! Hari ini, kau juga harus ikut latihan karate bersama anak-anak!” ucapnya tegas tak ingin di bantah.

Perempuan itu langsung mendelik tidak suka, bagaimanapun berolahraga berat bukan gayanya sama sekali. Eliana lebih suka duduk rebahan, memakan camilan lalu menonton drama kesayangan sepanjang hari.

“Tidak!” sangkalnya, dengan nada kesal.

“O ya??? Kau tidak mau melakukannya??” pria itu berjalan mendekat, mendekati Eliana yang kini tubuhnya tengah bergetar, dengan posisi awas, mencoba memasang kuda-kuda, meski dia tahu melawan pria di hadapannya adalah hal yang mustahil.

“Ba baiklah, aku ikut! Puas!” setengah berteriak, perempuan itu meletakkan kemoceng yang tengah di genggamnya di atas rak yang sebelumnya tengah di bersihkannya.

“Haha ... kau memang tidak di perkenankan untuk melawanku!” pria itu tertawa mengejek, melangkah kemudian berlalu memasuki kamar anaknya dengan terompet di tangannya, bersiap mengguncang kamar anak-anaknya dengan suara menggelegar yang di ciptakannya.

“Ibu ... jika aku tidak menikahi pria itu di beberapa bulan yang lalu, mungkin semuanya tidak akan seperti ini, Ibu ... apa yang harus ku lakukan??” perempuan itu kembali mendesah berat.

PRRRIIIITTTTTT!!!!

Kini suara terompet sudah berganti dengan suara pluit, itu artinya perempuan itu harus segera datang ke lapangan mini yang terletak di belakang rumah mereka.

“Aku dataaaaannnngggg!!!”

Berlari dengan langkah prustasi, perempuan itu mulai terengah, bahkan sebelum olahraganya di mulai.

“Edgar Adishwara!!! Akan kupastikan, kau akan menyesali semua tindakanmu terhadapku!! Akan ku pastikan kau menyesal! Karena telah menikahiku di beberapa bulan yang lalu!!!”

Kisah ini berawal dari beberapa bulan yang lalu ...

.

Hay ... readers ...

Terimakasih sudah mampir disini, Karya Dinikahi Duda Galak ini sudah pernah di publish disini yaaa, sejak lama dan sudah tamat sejak lama juga, mungkin sejak beberapa tahun yang lalu, jadi kalau ada yang merasa seperti sudah membacanya, kalian bisa baca ulang, karya ini sudah di revisi dan akan ada tambahan bab.

Beri aku dukungan ya readers,

follow akun instagramku, Teteh_neng2020

Terimakasih.

Eliana Pramesti

Namaku Eliana Pramesti. Saat ini usiaku menginjak angka dua puluh lima, aku terlahir dari seorang Ibu yang cantik, kuat, tegar, dan tangguh. Ibu membesarkan aku seorang diri, karena dari usiaku sepuluh tahun, Ayah sudah meninggal dunia.

Terlahir dari pasangan yang bisa di bilang sudah tua, kini usia Ibuku sudah enam puluh lima tahun. Saat ini, Ibu mengidap penyakit jantung yang sudah akut. Oleh karenanya, Ibu harus tinggal di sebuah rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang intensive.

Untuk memenuhi seluruh biaya pengobatan Ibu, aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang finance. Gajinya tidak cukup besar, hanya cukup untuk biaya rawat inap Ibu dalam waktu kurang dari satu bulan saja, sementara untuk memenuhi kebutuhanku, dan kebutuhan Ibu yang lainnya, aku harus bekerja keras dengan bekerja part time dari jam tujuh malam hingga jam sepuluh malam sebagai SPG di sebuah perusahaan mobil. Berdiri dengan tegak di sebuah mall, atau di setiap acara pameran lainnya. Tanpa malu menawarkan produk yang aku jual pada orang yang lalu lalang. Hasilnya lumayan, jika aku mampu mencapai target penjualan. Bahkan kadang, penghasilan sampinganku ini lebih banyak menghasilkan uang daripada gaji pokokku.

Sulit memang, tapi aku harus bisa melakukan semuanya, biaya pengobatan Ibu semakin hari semakin terus bertambah. Hingga kadang aku harus mencari lemburan, agar bisa mendapatkan pendapatan lebih.

Bekerja keras siang dan malam, sibuk mengurus Ibu, membuatku lupa diri, aku lupa jika usiaku terus bertambah.

Teman-teman sebayaku rata-rata sudah menikah, bahkan beberapa di antaranya sudah memiliki anak, di tempatku, hanya tinggal aku yang belum menikah, cemoohan mulai terlontar dari bibir orang di sekelilingku, pertanyaan yang membuat kupingku panas, rasanya tidak pernah terlewatkan “Kapan menikah?” itu pertanyaannya. Ingin rasanya aku menjawab “Kapan kamu mati??” tapi tidak aku katakan, karena mengingat rasa hormatku pada orang yang bertanya padaku, aku lebih memilih untuk diam, lalu nyengir saja. Bahkan tak jarang dari mereka berbisik-bisik, dan mengataiku sebagai perawan tua.

Perawan tua? Seriusly? Aku ini baru dua puluh lima tahun, sungguh pantaskah di panggil perawan tua?

Hari ini, hari senin dan biasanya pada hari senin, nasabah di tempatku bekerja sangat membludak, antrian cukup panjang, baru pukul sepuluh pagi, tapi sudah ada seratus lima puluh antrian, dengan sabar aku melayani mereka satu persatu. Karena itulah tuntutan bekerja di tempat ini, harus sabar, lembut, mampu menjelaskan kepada nasabah jika ada keluhan, harus selalu tersenyum meskipun enggan, menyapa mereka dengan suka cita, dan harus selalu menjaga penampilan pastinya.

“Mbak! Kenapa antriannya lama sekali?!” tiba-tiba seorang bapak-bapak menggebrak mejaku. Aku mengerjap lalu mendongakkan kepala. Sambil tersenyum seramah mungkin, aku menjawab

“Maaf pak, silahkan antri ...” ucapku dengan tangan menunjuk tempat duduk.

“Tapi saya buru-buru Mbak! Saya gak bisa ngantri! Saya nasabah lama di sini! Kenapa saya harus ngantri???” tanyanya tanpa rasa malu, meskipun nasabah lain tengah memperhatikannya. Dan otomatis sikapku pun menjadi pusat perhatian mereka.

“Mohon maaf pak, tidak bisa, bapak harus mengikuti peraturan untuk mengantri” ucapku lagi, mencoba selembut mungkin.

“Ah! Tidak profesional!” si Bapak mendengus kesal, lalu pergi begitu saja keluar kantor. Aku mengurut dadaku, membuang nafas, lalu kembali tersenyum. Sambil mengedarkan pandangan, biasanya akan ada satpam yang mengamankan orang-orang aneh ini, setelah kuperhatikan ternyata satpam pun tengah mengamankan Ibu-ibu rese’ di luaran sana.

‘Apa susahnya sih antri??’ hatiku bergumam.

“Mbak!” seorang Ibu-ibu bertubuh kurus menggebrak mejaku. Lagi-lagi aku mengerjap, kenapa hari ini banyak sekali orang yang menggebrak mejaku?

“Iya Bu, ada yang bisa di bantu??” aku menelungkupkan tanganku sambil tersenyum lagi.

“Mbak! Coba jelaskan pada saya! Kenapa tagihan untuk cicilan mobil saya begitu besar?? Saya hanya nunggak tiga bulan lho! Kenapa tagihannya bisa lebih dari angsuran??” teriaknya tak terima, sambil menyodorkan surat peringatan yang di kirim pihak kantor kepadanya.

“Oh, ini karena ibu telat selama tiga bulan, jadi Ibu kena denda” jelasku lagi-lagi sambil tersenyum, meski hati sudah gondok, karena terus di bentak-bentak.

“Gak bisa gitu dong Mbak! Ini bunganya saja sudah terlalu besar! Kenapa saya juga harus kena denda??” tanyanya semakin nyolot.

“Karena Ibu telat dalam melakukan pembayaran” jelasku lagi dengan malas, banyaknya orang dalam ruangan ini, membuat kepalaku semakin panas.

“Gak bisa! Saya gak mau bayar! Lagian sudah bunga besar, kenapa harus ada dendanya juga?? Jangan-jangan denda itu hanya akal-akalan kamu saja ya?? Kamu mau memakan uang denda itu ya??” si Ibu makin nyolot.

‘Astaga!’

“Kalau Ibu tahu mencicil mobil di bank kami bunganya besar, kenapa Ibu ajukan?? Kenapa Ibu menyicil mobil jika Ibu tidak mampu membayar, hingga harus nunggak selama tiga bulan?? Kenapa waktu ngambil mobil keluaran terbaru itu, Ibu gak protes? Kenapa Ibu malah maksa pihak kami untuk meng acc mobil itu?? Kenapa???? Kenapaaaaaaa?????!!!!!”

Suasana hening ...

Semua mata tertuju padaku, termasuk Ibu kurus yang dari tadi membentakku hanya melongo di hadapanku, mungkin tidak menyangka jika aku akan berkacak pinggang sambil membentaknya juga.

“Huuuuhhhh ... “ kutiup ujung poni rambutku, seolah menantangnya.

“A apa?? Kamu tidak sopan!!” tunjuknya tepat pada wajahku.

“Ibu yang tidak sopan! Kenapa Ibu datang membentak saya, tanpa mau mengantri dulu???” jawabku lagi tak kalah ganas.

“Katanya kenyamanan nasabah adalah segalanya, tapi kenapa begini??” si Ibu memundurkan langkahnya, aku tahu itu jurus pamungkasnya. Karena kebanyakan nasabah jika sudah merasa kalah pasti akan melontarkan kata itu.

“Tapi Ibu juga harusnya bisa menghargai saya dong” bentakku lagi semakin ganas, membuat si Ibu kian takut,

“Eliana! Ada apa ini?? Kenapa ribut-ribut??” tiba-tiba suara tegas dari seorang laki-laki membuatku menoleh ke belakang.

‘Matilah aku!’

“Ikut saya!” tegasnya sambil berjalan mendahuluiku. Aku mengikutinya dari belakang, memasuki ruangannya.

“Ini sudah yang keberapa kali kamu melakukan hal semacam ini El??” Pak Yanto sebagai kepala devisiku mendongakkan kepalanya, menatap mataku dari kursi goyangnya. Aku menunduk, sadar hari ini aku tidak bisa mengendalikan amarahku.

“Kamu sudah tidak betah bekerja di sini El??” pak Yanto berdiri, kemudian mengitari tubuhku, dengan hati yang masih emosi aku menarik napasku kasar hingga hidungku menjadi kembang kempis.

“Iya! Aku sudah tidak sanggup lagi bekerja disini! Aku sudah bekerja sebaik mungkin! Tapi kenapa aku di fitnah! Kenapaaaa???!!!” teriakku kalap.

“Ooooohhh kau mau keluar dari kantor ini El??”

Jleb ....

Aku mengerjap berkali-kali ...

“Ehhheee ... Pak, jangan begitulah, mari kita berdamai, aku akan bekerja lebih keras lagi, aku berjanji” aku tersenyum kaku, sambil menjentikkan jari kelingkingku.

“Kau tahu El, jika bagian pelayanan adalah wajah dan harga diri dari kantor ini??” Pak Yanto mengabaikanku, lalu kembali duduk di kursinya.

“Tahu pak” aku mengangguk, lalu menunduk.

“Ok, siap-siap saja, mungkin minggu depan kau akan di pindahkan ke kantor cabang lain”

“Whhhaaaatttt??? Hhuuuaaaa ... sial!”

Bersambung ............

Kapan Nikah?

Senja menyapa, mentari hampir tenggelam, kicauan burung terdengar saling bersahutan, sore ini setelah pekerjaanku selesai, aku segera bersiap-siap untuk pulang. Bukan pulang kerumah, tapi pulang kerumah sakit untuk menemui Ibu. Bagiku, rumah sakit sudah seperti rumah keduaku. Di rumah aku hanya tinggal sendirian, jadi aku lebih suka jika berada dirumah sakit menemani Ibu. Jika kebetulan aku sedang tidak bekerja part time.

“Kamu baru datang El??” Ibu mendongakkan kepalanya, menatapku sambil tersenyum, aku menghampiri Ibu, lalu menciumi kedua pipinya dengan sayang.

“Emmhh ... aku baru datang Bu” aku mengangguk sambil meletakkan sebuah papper bag, berisi satu boks makanan kesukaan Ibu.

“Kau membawa makanan kesukaan Ibu??” tanyanya dengan mata berbinar.

“Tentu saja, ayo kita makan” aku menggiring tubuh ringkih Ibu untuk duduk di sebuah kursi, yang di sediakan oleh pihak rumah sakit.

Aku mulai membuka boks makanan itu, Ibu langsung berjingkrak karena saking senangnya,

“Aaaaaa ... ini makanan pavorite Ibu” ucapnya sambil melahap ayam bagian pahanya.

“Makan ya Bu, awas hati-hati” aku tersenyum, sambil sesekali mengusap bibir Ibu yang tengah sibuk mengunyah.

“El, kapan kamu akan menikah??” tanya Ibu tiba-tiba, dengan mulut masih mengunyah.

“Nanti, kalau Ibu sudah sembuh” jawabku pelan.

“Ibu sudah sembuh, Ibu sudah tidak sakit lagi” Ibu berusaha tersenyum, meski aku tahu kondisi Ibu tidaklah baik.

“Di sini, ada Dokter dan perawat yang mau menjaga Ibu dengan baik” ucapnya sambil celingukan.

“O ya???” aku menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca.

“Hmmhhttt ...” Ibu mengangguk.

“El, bisa bicara sebentar??” tiba-tiba Dokter Andi datang.

“Iya bisa” aku mengangguk, lalu keluar dari dalam ruangan Ibu, berjalan perlahan melewati koridor rumah sakit bersama Dokter Andi.

“El, kondisi jantung Ibumu tidak baik, kondisinya semakin memburuk”

Deg ...

Aku menghentikan langkahku, seketika ada rasa sesak di dalam dada, kenapa rasanya begitu sakit??.

“Maksud Dokter??” aku menatap Dokter Andi, meminta sebuah jawaban yang sebaliknya. Berharap pernyataannya tadi adalah sebuah kesalahan.

“Jantung Ibumu semakin parah, tadi siang dia mengalami anpal, tapi untungnya aku bisa mengatasinya dengan segera, jika tidak ... kau tahu apa yang akan terjadi” Dokter Andi menghentikan langkahnya, lalu dia menatap langit malam yang kian pekat.

“Ba bagaimana mungkin??” aku terbata, ujian macam apalagi ini??.

“El, penyakit Ibumu semakin parah saja, dari waktu ke waktu kondisi jantungnya kian melemah, meski aku dan Dokter yang lainnya sudah berusaha keras, mungkin hanya kehendak Tuhan saja yang akan menakdirkan seberapa lama lagi jantung Ibumu akan berdetak” Dokter Andi menundukan wajahnya dalam.

“Hahaha ... Dokter bukan Tuhan yang bisa menentukan usia seseorang, aku hanya minta Dokter untuk menyembuhkan penyakit Ibuku, bukan malah memprediksi usianya” mulutku tertawa, tapi mataku tidak bisa berbohong, lelehannya sudah menetes sedari tadi.

“Aku harap, jika Ibumu memiliki permintaan, tolong ikuti saja keinginannya, bisa jadi ini adalah permintaan terakhir Ibumu. Ini hanya saran dariku El, agar kau tidak menyesal nantinya” Dokter Andi pergi meninggalkan aku yang tengah bingung sendirian. Lambat, akhirnya aku menangis sejadi-jadinya, dengan di temani kerlipan bintang dan cahaya remang-remang dari bulan.

‘aku tidak sanggup’

Kenapa ujian ini seolah tidak pernah surut dari hidupku???

Lambat, aku berjalan mengitari rumah sakit ini, rasanya begitu penat, begitu sesak. Aku butuh oksigen tambahan.

Satu jam aku berjalan, hingga akhirnya aku tiba di tempat yang begitu sunyi. Entah di mana, kenapa juga kakiku membawaku ke tempat ini??.

Ah ... iya, ini tempat menuju makam Ayah, haruskah ku keluhkan segala kesahku pada Ayah?? Ayah sudah damai di alamnya, kenapa aku harus bercerita pada gundukan tanah?? Kaki-ku masih saja berjalan. Melewati pepohonan yang berjajar rapi di pinggir jalan.

“Ayah ... Ibu sakit, aku harus apa?? Jika Ibu tidak ada, apa yang harus ku lakukan?? Kemana aku harus pulang?? Sungguhkah? Aku akan di tinggalkan sendirian??” air mataku menetes begitu saja.

Aku duduk menekuk lutut di hadapan makam Ayah, tidak terlalu banyak kenangan yang Ayah berikan untukku, yang ku tahu, hari itu usiaku baru sepuluh tahun, dan Ayah meninggal karena sebuah insiden yang terjadi di sebuah tempat Ayah bekerja.

Aku hanya tahu setiap cerita tentang Ayah dari Ibu, Ibu bilang Ayah adalah pria yang sangat baik, Ibu juga sering bilang, jika suatu hari nanti aku akan menikah, maka carilah pendamping yang seperti Ayah, hangat, lembut, setia, penyayang, dan sangat mencintai Ibu dan aku pastinya. Hingga sampai saat ini, bayangan Ayah tidak pernah hilang dari benak Ibu, hingga Ibu memutuskan untuk tidak menikah lagi, dan lebih memilih untuk hidup berdua denganku. Kisah cinta Ayah dan Ibu sungguh mengharukan.

Lama aku terpekur seorang diri, ku raba batu nisan Ayah, ku tatap lama batu itu. Hingga setelah hampir satu jam melepas rasa rindu pada Ayah, akhirnya aku memutuskan untuk segera bergegas meninggalkan makam ini, suasana semakin gelap. Aku berjalan sendirian menuju rumah sakit.

***

“Paman! Kenapa kau tidak membelikanku coklat yang lebih banyak?? Ini hanya sedikit! Aku ingin coklat!” terdengar rengekan dari seorang anak kecil dari arah supermarket, yang terletak tidak terlalu jauh dariku. Aku menatap anak kecil itu dari jauh.

“Heh Nak, kenapa kamu rakus sekali??” lelaki dengan rambut klimis itu terus merayu anak laki-laki dengan pipi gembul di hadapannya. Aku terus berdiri mematung memperhatikan gerak geriknya.

“Aku mau coklat! Mau coklat! Mau coklaaaattttt!!!!” teriaknya lagi semakin keras.

“Heh!!! Kenapa kau cerewet sekali??!!!” terlihat pria itu agak sedikit jengkel, terlihat dari caranya mengatur napas.

“Aku mau coklaaaatttt ...” anak itu menunduk ketakutan, setelah agak di bentak.

“Baiklah, nanti paman akan memberikanmu coklat, tapi kamu harus mau menjawab beberapa pertanyaan mengenai Ayahmu, bagaimana??” pria itu mengusap kepala anak kecil tadi dengan pelan, sambil tersenyum menyeringai, sementara itu sebuah camera sudah menyala di hadapannya.

“Tentang apa??? Eemmmhhh ... apa tentang seberapa banyak uang Ayahku?” tanya-nya polos.

“Tentu saja, apa Ayahmu memiliki banyak uang? Di mana saja dia menyimpan uangnya?” pria itu kembali menelisik anak kecil itu, sambil membukakan sebatang coklat, dan menyodorkannya.

Huh ... setelah kuperhatikan aku yakin, jika pria itu bukanlah orang baik. Dari penampilannya saja sudah terlihat, jika pria itu sedang memanfaatkan anak itu. Mungkinkah pria itu sedang berusaha menculik anak itu? Segera aku menghampiri mereka.

“Hey ... berani sekali kau mengorek informasi pada anak kecil!” teriakku mencoba menggertaknya.

Pria itu menoleh ke arahku, sementara anak kecil itu masih fokus pada coklatnya, memakannya terus menerus hingga pipinya mengembung.

“Heh! Siapa dirimu??” pria itu terlihat sangat marah, karena merasa kegiatannya di ganggu.

“Aku????”

Bersambung ....

Jangan lupa follow akun Ig-ku yaaaa ...

Teteh_neng2020

Makasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!