Pernikahan Nur Berliana Putri dengan Kenzie Zafran dilakukan cukup sederhana, namun memiliki makna yang dalam bagi kedua belah pihak. Acara pernikahan tersebut berlangsung di sebuah pondok pesantren yang terletak di tengah-tengah desa, di mana kedua mempelai tersebut memutuskan untuk menikah karena hasil perjodohan yang diatur oleh Pak Kyai.
Sebenarnya, Kenzie Zafran sudah cukup bosan dengan kehidupannya yang hanya berfokus pada harta dan kedudukan sosial. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mencari jodoh dengan cara yang berbeda, yaitu dengan meminta bantuan Pak Kyai untuk ta'aruf guna mencarikan jodoh terbaik untuknya. Dia ingin menemukan seseorang yang menerimanya bukan hanya karena kekayaannya, tetapi juga karena kepribadiannya yang sebenarnya.
Sementara itu, Nur Berliana Putri adalah seorang santriwati yang patuh sehingga saat dijodohkan dengan Kenzie Zafran, dia juga menurut.
Meskipun dia tidak tahu banyak tentang calon suaminya, dia percaya bahwa Pak Kyai pasti sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan untuk menjodohkannya dengan Kenzie Zafran. Baginya, perjodohan tersebut adalah takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT melalui proses istikharah yang dilakukan oleh pak kyai. Juga dari jawaban atas doa-doa yang dipanjatkannya setiap kali dia selesai melaksanakan ibadah.
Ketika Nur Berliana Putri dibawa pulang ke rumah keluarga Kenzie, ibunya Kenzie tidak menyukainya, padahal mereka baru bertemu dan belum mengenal secara jauh.
"Assalamu'alaikum Ma," ucap Kenzie begitu masuk ke dalam rumah.
"Waallaikumsalam…" jawab Juwita, mamanya Kenzie.
"Siapa dia Kenzie?" Tanya Juwita cepat, karena melihat seorang gadis bersama anaknya.
"Dia istri Kenzie, Ma."
"Istri? Bagaimana bisa kamu menikah tanpa Mama? Apa pekerjaannya, dan dari keluarga mana?"
"Saya santriwati di ponpes kyai Jalil, Bu… Ma…" Berliana gugup untuk menyebut ibu mertuanya. Karena dia tidak tahu, sebutan apa yang cocok untuk mamanya Kenzie.
"Siapa suruh manggil ibu atau mama?" Potong Juwita dengan pandangan mata yang tajam.
"Ma," panggil Kenzie dengan menggeleng.
Ibunya Kenzie mencoba menilai tentang menantunya ini, tapi kenyataannya memang jauh dari kriteria yang dia inginkan. Dia lebih suka wanita yang pintar berdandan dan pandai bersosialisasi seperti dirinya di kalangan atas, sementara ibunya Kenzie menebak bahwa Nur Berliana Putri lebih suka menghabiskan waktunya dengan belajar agama dan tidak tahu apa-apa.
Ibunya Kenzie merasa malu jika harus mengajaknya pergi arisan atau acara sosial lainnya, karena dia merasa Nur Berliana Putri tidak memenuhi standar sosial yang diharapkan. Hal ini membuat Nur Berliana Putri merasa tidak nyaman dan kehilangan rasa percaya diri, sehingga ia mulai ragu dengan keputusan perjodohan tersebut.
"Hem… jadi kamu ini Santriwati ya? Haha, kok Pak Kyai bisa menjodohkan anak saya dengan kamu? Apa kamu bisa bergaul dengan orang kaya seperti kami?"
Juwita mulai mengolok-ngolok menantunya, yang baru dia kenal.
"Kamu panggil mama saja, sama seperti aku." Kenzie meminta pada Berliana, supaya memanggil juwita dengan sebutan mama, sama seperti dirinya.
Nur Berliana Putri menganggukkan kepalanya paham dengan maksud permintaan suaminya. Dia pasti akan patuh, karena sekarang Kenzie adalah imamnya.
"Ya, saya memang santriwati, Ma. Saya berharap bisa menjadi istri yang baik, saling mengenal dan membangun hubungan yang tulus satu sama lain."
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Berliana, Juwita justru tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagaimana kamu bisa mengerti hidup kami? Kamu pasti tidak pernah hidup dalam kemewahan dan kesenangan seperti kami, bukan?" Ejek Juwita merendahkan.
Nur Berliana Putri kembali menggeleng. Dia tersenyum dan menunduk kemudian memberikan jawaban dengan suara pelan. "Saya tidak terlalu memikirkan hal-hal materi seperti itu. Yang penting, saya berusaha untuk mempelajari agama dengan sungguh-sungguh dan membantu orang-orang yang membutuhkan, Ma."
"Tapi, bagaimana kamu bisa menghabiskan waktu dengan membaca Al-Qur'an dan beribadah sepanjang hari? Kamu pasti tidak tahu apa itu bergaul dan berdandan dengan baik, iya kan?"
Helaan nafas panjang terdengar dari mulut Kenzie, tapi mamanya tetap tidak mau diam, membiarkannya dan istrinya pergi beristirahat terlebih dahulu karena baru saja datang.
Karena tidak mendapatkan jawaban dari menantu barunya, Juwita kembali tertawa kemudian sambil tersenyum sinis.
"Hahaha… kamu memang tidak tahu apa-apa. Tidak heran kalau anak saya tidak senang denganmu nanti. Kamu tidak bisa memenuhi standar yang keluarga kami inginkan. Hhh!"
Nur Berliana Putri menggenggam tangannya sendiri, meremasnya karena merasa gugup. Tapi Kenzie segera menghentikan kegugupannya, dengan mengambil tangan tersebut.
Wajah Berliana mendongak ke arah suaminya, dan dia melihat bagaimana Kenzie tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali. Memberikan tanda, bahwa tidak usah menjawab atau menanggapi perkataan mamanya.
"Aku tidak pernah berharap memiliki menantu yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan seperti kami ini. Awas saja jika kamu membuat malu keluarga!"
"Oh ya, kamu hanya Santriwati biasa. Kamu tidak bisa mengikuti cara hidup kami. Dan aku pasti tidak akan mengizinkan kamu mengambil alih hidup putraku, apalagi sampai menyetirnya!"
Perkataan Juwita yang mirip sebuah ancaman, membuat Berliana menahan nafas. Dia sendiri mulai ragu, apakah dia mampu menjadi istrinya Kenzie atau akan menyerah seandainya mendapatkan perlakuan yang seperti ini dari mamanya.
Sejak tahu jika akan dijodohkan, dia tidak pernah berpikir untuk mengambil alih hidup siapapun, apalagi suaminya yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Nur Berliana Putri hanya ingin membangun kehidupan yang bahagia dan harmonis bersama-sama. Berharap bisa mencapai tujuan membentuk sebuah keluarga bersama-sama. Sama seperti tujuan sebuah pernikahan untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah mawadah warahmah.
Tapi perkataan itu tidak pernah diungkapkan oleh Berliana. Dia tidak mungkin berani mengatakannya secara langsung maupun tidak langsung, karena itu bisa membuat ibu mertuanya murka.
"Sudah, Ma. Maaf, kami mau istirahat dulu." Kenzie pamit.
Kenzie mengajak Berliana untuk masuk ke dalam kamar, karena mereka memang baru saja sampai.
Berliana hanya mengangguk dan menurut, karena dia sendiri tidak mengenal keluarga Kenzie. Dia juga masih takut dengan mama mertuanya, karena baru bertemu saja sudah mendapatkan intimidasi dan ancaman seperti tadi.
***
"Huh, ini tidak bisa dibiarkan! Bagaimana bisa Kenzie menikah dengan wanita yang tidak dikenal dan aku kenal?!"
"Bagaimana jika wanita itu hanya mengincar harta kami? Aku tidak mau itu sampai terjadi."
Juwita berbicara seorang diri sambil berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Dia sedang memikirkan banyak cara untuk membuat menantunya itu tidak betah dan minta cerai dari Kenzie.
Ctek
Juwita menjentikkan jarinya, disaat mendapatkan sebuah ide. "Hahaha… sepertinya aku punya ide yang bagus."
Setelah itu, Juwita menghubungi seseorang untuk membantunya melancarkan ide yang dia dapatkan. Dia tidak bisa bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain, jika ingin memisahkan anaknya dengan menantu barunya yang tidak dikenal dan tidak dia sukai.
"Apa-apaan main masuk jadi menantuku. Aku tidak mau punya menantu kampungan, udik dan hhh… apa itu santriwati?!"
"Nanti kerjaannya cuma pergi pengajian, datang ke badan amal, mengurusi zakat, atau apakah itu yang tidak ada manfaatnya sama sekali!"
Juwita terus berbicara sendiri, menggerutu karena anaknya yang menikah secara tiba-tiba dengan wanita yang tidak dikenali olehnya. Apalagi tanya tidak memiliki keahlian istimewa apapun.
"Ck. Ini gara-gara Alice pergi. Coba dia tidak egois dan mementingkan karir, dia akan jadi menantuku, dan aku bisa pamer pada orang-orang. Mana ada anak atau menantu temanku yang kecantikan melebihi Alice," gumam Juwita lagi.
Dia ingat mantan kekasih Kenzie yang seorang model dan selebgram yang sudah dia harapkan untuk bisa menjadi menantunya di kemudian hari.
Ketika Nur Berliana Putri menikah dengan anak laki-laki dari Juwita, dia tidak pernah memikirkan apapun. Dia hanya berharap supaya bisa menjadi anggota baru dari keluarga suaminya dan menemukan teman-teman baru di lingkungan keluarga barunya. Namun, setelah beberapa hari menjadi menantu Juwita, dia merasa semua itu teh hanyalah mimpi. Ibu mertuanya tidak pernah mengajaknya keluar rumah untuk bertemu dengan teman-temannya, ataupun keluarganya.
Tapi begitu keluar, Juwita justru memperkenalkan dirinya sebagai seorang pembantu rumah, bukan menantunya.
Sama seperti sekarang, disaat juwyita mengajaknya pergi berbelanja keperluan rumah di Mall.
"Hai, apa kabar, jeng Juwita? Lama tidak bertemu!" Sapa seseorang, saat berpapasan dengan Juwita
"Hai jeng Ningrum, aku baik-baik saja. Kamu sendiri bagaimana?"
Juwita dengan ramah membalas sapaan dari temannya, yang ternyata bernama Ningrum. Mereka juga berpelukan dan cipika cipiki sebagaimana biasanya.
"Aku juga baik-baik saja, terima kasih. Jeng Juwita sedang mencari apa, sama siapa?" Tanya Ningrum ingin tahu.
"Oh iya, ini nih, saya bersama dengan membantu mau belanja keperluan rumah. Perkenalkan pembantu baru saya ini, jeng Ningrum."
Juwita justru memperkenalkan Berliana sebagai pembantu barunya, bukan sebagai seorang menantu yang telah menikah dengan putranya.
"Oh, begitu."
Dengan seksama, jeng Ningrum memperhatikan bagaimana Berliana yang tampak sederhana.
"Namanya Nur. Dia sangat rajin dan tanggap dalam pekerjaannya. Saya sangat senang dengan cara kerjanya di dapur dan urusan rumah."
Juwita memuji Berliana, tapi dengan nada yang sinis. Dan itu bukanlah sebuah pujian yang tulus dan benar, karena sebenarnya Juwita sedang merendahkan dan mengolok-ngolok menantunya sendiri sebagai seorang pembantu di rumahnya.
"Baguslah kalau begitu. Apa dia orang baru di sini?" Ningrum bertanya lagi.
"Iya, dia baru saja datang dari kampung, dan menjadi membantu kami dalam urusan rumah tangga."
Ningrum mengangguk-anggukkan kepalanya, mendengar penjelasan yang diberikan oleh Juwita. "Oh, begitu. Dia dari mana?" Tanyanya heran.
Dari raut wajah dan penampilan Berliana yang sederhana, Ningrum melihat cincin kawin dengan batu permata yang tentunya tidak murah untuk ukuran orang biasa seperti Nur, yang katanya pembantu.
"Dia dari desa di luar kota. Dia sangat terampil dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. Dia sudah membantu pekerjaan rumah dengan baik."
Juwita kembali memberikan penjelasan, tanpa merasa curiga jika Ningrum sedang memperhatikan cincin yang melingkar di jari manis Berliana. Cincin pernikahan dari anaknya, Kenzie.
Berliana sendiri hanya diam saja, sama seperti yang diminta mama mertunya sejak keluar dari rumah.
"Oh, begitu ya. Baiklah kalau begitu, tadinya saya berpikir bahwa wanita ini adalah menantumu. Hehehe… senang bertemu denganmu, jeng Juwita, dan juga Nur. Saya permisi dulu."
Ketika jeng Ningrum pamit untuk pergi, Juwita tersenyum tipis, mendengar perkataan Ningrum yang memang benar mengenai status Berliana sebagai menantunya.
“Senang juga bertemu denganmu. Sampai jumpa!” sahut Juwita, kemudian menarik Berliana supaya pergi dari tempat itu.
Juwita tidak mau mengakui bahwa Berliana adalah menantunya, karena dia merasa malu dengan kenyataan wanita dengan penampilan sederhana inilah yang ternyata menjadi menantunya, bukan model cantik seperti Alice yang dia bangga-banggakan sebelumnya.
Dia memperkenalkan Berliana sebagai pembantu baru untuk menyembunyikan hubungan yang sebenarnya, padahal tindakannya itu membuat berliana ingin menangis karena perlakuan dan perkataan mertuanya sudah menyakiti hatinya. Tapi Berliana hanya diam saja sedari tadi.
***
Sebagai istri yang baru menikah, Berliana merasa keinginan untuk terhubung dan bergaul dengan orang lain sangat penting. Namun, dia terus mengalami kesulitan dalam menemukan cara untuk membangun hubungan sosial yang sehat dengan keluarga suaminya. Bahkan ketika dia mencoba menunjukkan minatnya untuk bergabung dengan kegiatan keluarga, ibu mertuanya selalu memberinya pekerjaan dengan urusan rumah tangga dan tidak memberinya waktu dan kesempatan untuk mengajaknya turut serta dalam kegiatan tersebut.
Sebaliknya, ibu Juwita hanya memperlakukan Nur Berliana Putri seperti seorang pembantu. Baik di rumah maupun di luar rumah jika tidak ada Kenzie.
Setiap kali ada keperluan belanja bulanan rumah tangga, ibu Juwita selalu mengajaknya untuk membeli barang-barang di pasar atau toko-toko terdekat. Namun, dia tidak pernah menunjukkan rasa terima kasih atas bantuan Berliana dalam pekerjaan rumah tangga. Dia justru lebih sering memperlihatkan ketidakpuasan atas pekerjaan yang dilakukan oleh menantunya, dengan memberinya penilaian yang buruk.
Hal yang lebih menyakitkan Berliana adalah, ketika Juwita memperkenalkan dirinya kepada teman-temannya
sebagai pembantu barunya.
Apa yang dilakukan oleh Juwita membuat Berliana merasa kecil hati dan tidak dihargai, juga merusak citra dirinya di mata orang lain dan membuatnya semakin merasa terisolasi.
Berliana berusaha untuk tidak mengadu dan memendam kesedihannya supaya tidak terlihat oleh suaminya, namun dia merasa kesulitan untuk melakukannya karena dia takut membuat suaminya merasa kesal atau justru ikut membenci dirinya. Itulah sebabnya dia hanya bisa diam saja.
"Aku takut jika harus bicara dengan mas Kenzie atas perlakuan mama. Apa yang harus aku lakukan?"
Berliana merasa sangat tidak nyaman dengan perlakuan ibu mertuanya yang tidak mengakuinya sebagai menantu dan bahkan memperlakukannya seperti pembantu. Berliana merasa sangat terpukul dan tidak dihargai oleh ibu mertuanya sendiri, padahal dia sudah mencoba menjalin hubungan baik dan mencari persahabatan dengan ibu mertuanya sejak awal. Tapi selalu saja tidak berhasil.
Saat malam, sebelum pergi tidur, Berliana mencoba untuk berbicara dengan Kenzie.
"Mas. Sepertinya… mama, mama benar-benar tidak bisa menerima aku."
Kenzie diam dan tidak langsung memberikan reaksi apapun. Dia memperhatikan bagaimana istrinya yang ingin berbicara.
Tapi setelah beberapa saat lamanya, ternyata Berliana tidak melanjutkan pembicaraan tersebut. Hanya menunduk saja, dengan memainkan jari-jarinya yang bertaut satu sama lainnya.
Kenzie tersenyum senang, melihat bagaimana Berliana yang tidak menjelekkan mamanya. Meskipun sebenarnya Kenzie sedikit lebih paham bagaimana sifat dan kelakuan mamanya selama ini.
"Kamu yang sabar, ya. Mama hanya perlu waktu untuk mengenalmu lebih jauh. Semoga saja, suatu hari nanti mama bisa mengerti dan memahami bahwa kamu adalah wanita terbaik untukku dan untuk keluarga ini."
Kenzie berusaha untuk menenangkan perasaan istrinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dia mengambil tangan Berliana, kemudian menggenggam tangan tersebut.
Cup
"Maaf. Maafkan, mamaku."
Kenzie meminta maaf atas nama mamanya, setelah mengecup punggung tangan istrinya. Dia tahu, jika mamanya selalu memperlakukan istrinya dengan tidak baik. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena jika dia membela istrinya, maka mamanya itu akan mengamuk dan pergi dari rumah.
Hal itu tentu saja sangat memalukan. Apalagi jika sampai ketahuan keluarga besar mereka.
"Oh ya, dua hari lagi aku berencana untuk mengundang saudara-saudara makan malam di rumah. Aku akan memperkenalkan mu pada mereka, sebelum melaksanakan resepsi pernikahan kita yang belum sempat kita lakukan."
Mendengar perkataan suaminya, Berliana merasa lega. Dengan pertemuan keluarga nanti, maka statusnya sebagai istri dari Kenzie akan diakui secara langsung. Dan itu adalah langkah awal yang baik, agar Juwita tidak lagi memperkenalkan dirinya sebagai seorang pembantu.
"Benar mas, kapan? Maksudku… aku harus bagaimana?" Tanya Berliana gugup.
Dia tidak pernah menghadiri acara pertemuan keluarga secara resmi, seperti yang ada di acara-acara tertentu. Dia hanya tahu bagaimana keadaan pondok pesantren, jika ada acara-acara seperti pengajian dan lain-lainya.
Berliana gugup, karena pasti acaranya jauh berbeda dengan tata cara yang berbeda juga. Apalagi keluarga suaminya itu adalah keluarga yang berkelas sosial tinggi.
"Kamu tenang saja. Aku akan ada di acara tersebut, jadi semuanya akan baik-baik saja." Kenzie menenangkan istrinya yang sedang gugup.
"Maaf, Mas."
"Sudah, ya. Kamu tidak perlu khawatir, jadi lebih baik kita melakukan ibadah saja, yuk!"
Berliana tersipu malu dengan ajakan suaminya kali ini. Beribadah untuk kegiatan malam mereka berdua tentunya.
"Wah, kok kamu pakai baju seperti itu sih, Berliana? Gak ada modis-modisnya sama sekali. Kamu perlu belajar lagi tentang fashion."
Tiba-tiba Juwita mengomentari penampilan Berliana, yang memakai pakaian muslim panjang dengan model sederhana tapi tampak serasi untuk warna kulit dan tubuhnya Berliana. Begitu juga dengan kerudung yang dia kenakan.
Tapi tentunya itu tidak akan pernah ada di mata Juwita, yang memang tidak menyukai Berliana sejak awal.
"Ma_maaf, Mama. Saya… saya memang tidak tahu tentang fashion. Saya lebih memilih untuk nyaman saja dalam berpakaian yang saya kenakan."
Berliana gugup. Dia tidak nyaman dan merasa tidak enak hati karena pakaian yang dia kenakan dikomentari tidak baik oleh mama mertuanya.
"Huhfff… coba ada Alice, kamu bisa belajar padanya bagaimana cara berpakaian yang menarik."
"Kamu tahu siapa Alice? lihat Alice sana ke sosmed! dulu dia adalah kekasih anakku, Kenzie. Dia selalu tampil modis dan elegan. Kamu bisa belajar dari dia."
"Entah guna-guna apa yang kamu pakai, sehingga Kenzie mau menikah denganmu!"
Juwita benar-benar merasa sangat kesal dan jengkel, karena keberadaan Berliana yang seakan-akan merusak moodnya. Padahal dia sudah berdandan sangat cantik dengan model pakaian dengan model terbaik dan stylish untuk acara makan malam keluarga. Tapi entah kenapa, setelah Berliana datang semua terasa hancur.
"Hhhfff… kamu benar-benar membuat aku muak!" Geram Juwita dengan melengos pergi.
Tapi sebelum Juwita benar-benar pergi dari hadapan Berliana, Juwita kembali menoleh kemudian berkata, "tapi kamu harus memikirkan bagaimana kamu terlihat di depan orang lain. Kalau kamu terlihat norak seperti ini, orang akan menganggap kamu tidak berkelas."
Juwita kembali menyindir, dengan memberikan penilaian kepada menantunya. Ucapan Juwita yang mempermalukan Berliana ini memang disengaja. Dia ingin membuat menantunya itu tidak betah, dan menyerah untuk menjadi istrinya Kenzie.
Berliana merasa sangat terpukul dan merasa tidak dihargai oleh mama mertuanya, tapi dia juga tidak mau terlihat cengeng. Dia menahan tangisnya dalam hati, mencoba untuk tetap bertahan. Dia tidak mau membuat pak kyai, yang sudah menjodohkannya merasa kecewa.
'Aku harus bisa membuktikan bahwa pilihan pak kyai Jalil adalah yang terbaik.' Batin Berliana menguatkan hatinya.
"Sayang, tidak usah dihiraukan apa yang dikatakan oleh mama, ya!"
Kenzie yang baru saja datang berbisik di dekat telinga istrinya, meminta untuk tidak memasukkan perkataan mamanya dalam hati.
Berliana hanya mengangguk saja, dengan menundukkan wajahnya. Dia tidak mau jika suaminya itu melihatnya bersedih.
"Ck, gak usah sok romantis juga kali!" Juwita kembali menyindir dengan suara keras.
"Hhh… Ma, udahlah. Kita sedang menunggu saudara-saudara yang lain, jangan sampai merusak suasana." Kenzie berusaha memperingatkan mamanya.
"Kenzie, apa sih istimewanya dia? Wajahnya tidak cantik, tidak bisa dandan sama seperti rata-rata wanita seperti kita-kita ini, dari kalangan atas. Pakaiannya itu, coba kamu pilihkan yang bagus dan seksi sana!"
Sepertinya Juwita mulai jengah dan frustasi, karena anaknya tidak terpengaruh dengan apa yang dia katakan dan lakukan.
"Apa kamu diguna-guna?"
Sekarang Juwita justru memiliki pikiran yang jelek, karena anaknya mau menerima Berliana sebagai seorang istri begitu saja. Padahal jika dibandingkan dengan mantan-mantan kekasih Kenzie, Berliana tidak bisa disandingkan dalam hal cantikkan dan penampilan.
Kenzie hanya menggelengkan kepalanya, berusaha untuk tetap bisa bersabar dengan mengingatkan mamanya. Dia tidak mau memarahi mamanya, karena dia juga tidak ingin menyakiti perasaan orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkannya. Dia tidak mau menjadi anak yang durhaka.
"Ck, awas saja jika keluarga besar sudah kumpul dan bikin malu!"
Berliana hanya menunduk dengan menggigit bibirnya sendiri, karena tidak mau membantah mertuanya.
'Ya Allah. Pada_Mu aku terserah diri. Berikan aku kesabaran yang lebih agar ini menjadi ladang pahala untukku.'
Berliana hanya bisa berdoa di dalam hati, supaya diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi sikap mertuanya yang selalu berkata kasar dan tidak pernah bisa baik dengannya.
Tak lama kemudian, saudara-saudara Kenzie tiba di rumah. Mereka saling menyapa, bersalaman, dan berpelukan, layaknya sebuah hubungan yang bak.
"Berliana. Bantu mbok menata makanan dan menyuguhkan minuman!"
Juwita memerintahkan Berliana supaya bekerja di dapur saja, tidak usah ikut bergabung dalam pembicaraan mereka.
"Dia menantumu, Mbak. Kenapa kamu suruh ke dapur?" Tanya salah satu anggota keluarga yang menjadi tamu.
"Biar saja. Dia sudah terbiasa dengan pekerjaan dapur, kok!" Sindir Juwita dengan senyum di sudut bibirnya.
"Emhhh, dia juga…"
"Mama…"
Dari arah pintu, seseorang masuk dan berteriak memanggil Juwita. Hal ini memotong pembicaraannya dengan saudaranya yang tadi bertanya.
"Calista?"
"Hai, cantiknya Mama!"
Juwita menyambut kedatangan anak gadisnya, yang saat ini memang sedang menempuh pendidikan di Bandung. Jadi Calista sendiri memang tidak tahu jika kakaknya sudah menikah. Baru diberi tahu dan diminta untuk pulang, agar bisa berkenalan dengan Berliana sendiri secara langsung.
Akhirnya Berliana kembali dipanggil dari dapur agar berkenalan dengan adik iparnya. "Ini kakak iparmu!"
Calista menyipitkan matanya, melihat bagaimana penampilan kakak iparnya yang jauh dari ekspektasinya.
"Ma, yang benar saja? Masa ini istrinya kakak?"
Calista bertanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan mamanya, saat mamanya memperkenalkan wanita yang ada di depannya kali ini.
"Kenapa? Jauh dari kata sempurna? Bilang sana sama kakakmu!"
Bukannya memberikan penilaian yang baik dan memberi nasihat pada anaknya, Juwita justru mengompori anak gadisnya untuk ikut-ikutan memprovokasi Kenzie. Dia merasa telah memiliki sekutu untuk menjatuhkan Berliana.
"Maaf," ucap Berliana dengan wajah menunduk.
"Apa kakak sakit mata? Kenapa di memilih wanita seperti ini?" Calista bertanya dengan menggelengkan kepala.
"Ah, sudahlah. Mama sudah capek menasehati kakakmu. Coba kamu minta Alice pulang, siapa tahu kakakmu berubah pikiran sehingga mau menceraikannya."
Hati Berliana sakit. Sakit sekali!
Tapi dia hanya bisa diam dan menahan diri supaya tidak menangis di depan kedua wanita tersebut. Dua wanita yang seharusnya memiliki perasaan yang sama seperti dirinya, yaitu sendiri.
'Apa aku seburuk itu di mata mereka?' tanya Berliana dalam hati.
"Sudah sana kembali ke dapur!"
Juwita mendorong bahu Berliana, supaya kembali bekerja ke dapur. Dia bersama dengan Calista, akan segera menyambut saudara-saudaranya yang masih berdatangan. Sedangkan Kenzie sendiri, sedari tadi juga berbincang dengan beberapa saudara laki-laki di ruang tamu.
***
"Agrhhh…"
Juwita merasa kesal pada saat Berliana membawa sup panas, tapi kakinya tersandung dan air sup tersebut hingga mengenai tangannya.
"Dasar tidak becus! Apa sih yang bisa kamu kerjakan?!" Bentak Juwita berdiri.
Byurrr
Gelas berisi jus jeruk yang ada di depan Juwita, kini sudah beralih ke atas kepala Berliana yang memakai kerudung.
"Maaf Ma, maaf."
Kejadian yang menimpa Berliana, saat kesandung, sebenarnya bukan kesalahan Berliana atau kesengajaan. Semua itu adalah ulah Calista, yang memang sengaja menempatkan kakinya untuk menghalangi jalannya Berliana.
"Maaf, maaf! Kamu sengaja ya, mau mencelakai mama?!" Bentak Calista dengan mata melotot.
Suasana makan malam jadi kacau, karena kejadian yang tak terduga ini. Semua orang berdiri dari tempat duduknya, ada yang membantu Juwita, ada juga yang membantu Berliana. Karena sebagian besar air sup tersebut tumpah ke pakaian Berliana.
Tentu saja Berliana juga merasakan panas yang mengenai kulit tangan dan kakinya, tapi dia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Karena semua itu tidak lebih sakit dibandingkan dengan perasaan hatinya saat ini. Sungguh hal yang tidak pernah disangka-sangka Berliana.
Kenzie sendiri bingung, mau membantu mamanya atau istrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!