Siang itu Jevando sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ada satu masalah terjadi membuat satu kantor porak poranda mencari cara bagaimana menyelesaikan masalah yang terjadi. Sebenarnya sepele sih, hanya karena komputer Jevando kena virus dan terhapuslah beberapa file design yang seharusnya sudah masuk percetakan hari ini. Jevan baru kembali meminta permohonan maaf kepada client dan sekarang mulai merencanakan ulang semuanya dari awal lagi.
"Client cuma kasih perpanjangan 2 hari dari sekarang. Itu artinya selesai nggak selesai lusa harus selesai. Gimana? Yakin kalian sanggup?" tanya Jevan.
"Sanggup. Harus sanggup. Kalau kita mundur, brand yang udah kita bangun dari awal bisa hancur. Lebih baik perih dikit tapi ada hasil daripada kita takut dan lari malah dapat kerugian lebih besar lagi," kata Cedar.
"Tapi Dar, ini harus aku bilang dari awal. Kalau kita lanjutkan garap projet ini keuntungan yang kita dapet nggak besar, dan mungkin aja bonus buat kalian akan mengecil atau malah hilang," kata Jevan menegaskan sekali lagi.
"Yakin Bos, lagian kalau bukan karena flashdisk kita-kita yang kotor komputer Bos mana mungkin kena virus. Apalagi ini dari flashdiskku. Aku merasa ikut tanggung jawab. Aku nggak papa kalau aku nggak dapat bonus," kata Haidar yang merupakan tersangkanya.
"Ya memang kamu harus tanggung jawab," kata Jevan membuat Haidar terdiam. Jevan kalau sudah marah menakutkan.
"Ok gini. Silvi coba kamu buat ulang anggaran dananya sama Anita. Sekalian kemungkinan kerugian yang akan kita dapat kalau ada. Cedar, kamu bantu aku buat design ulang. Buat Haidar, kamu cek lagi flashdisk kamu pernah nancep ke komputer yang mana aja dan kamu scan semua. Pastikan semuanya bersih. Nanti malam jam 7 semua report. Ok?"
"Siap Bos." Jawab semuanya dengan kompak.
"Papa~"
Baru Jevan dan Cedar akan melangkah untuk kembali masuk ke dalam ruangan Jevan, ada seorang malaikat kecil berlari menuju ke arah mereka. Permata kecil itu berlari mendekati Jevan membuat suara gemerincing dari gantungan kunci di ransel berbentuk kelinci berwarna biru yang senantiasa dia tenteng kemana-mana. Dialah Kei Nafiza Rhea, permatanya. Nafiza langsung masuk ke dalam pelukan Papanya yang menyambut dia dengan tangan terbuka dan berjongkok untuk menyamakan tinggi tidak lupa dengan senyum lebar penuh kasih sayang.
"Hai cantiknya Papa," sapa Jevan sambil mengangkat putrinya ini ke dalam gendongannya.
"Hi, Mama...," kata Jevan kali ini pada istrinya.
"Papa, ayo makan. Nafiza sudah laper," kata Nafiza merengek pada Papanya.
"Hmm..., aduh gimana ya..., maaf ya cantik kayanya Papa terpaksa nggak bisa makan sama Nafiza sama Mama," kata Jevan dengan penuh penyesalan membuat wajah Nafiza yang tadinya masih ceria langsung berubah masam.
"Kenapa Pa? Apa ada masalah? Kok kayanya lagi pada sibuk," tanya Rere.
"Iya Ma, komputer Papa kena virus dan file yang harusnya hari ini masuk percetakan malah hilang. Jadi mulai lagi semuanya dari awal," kata Jevan.
"Tapi Papa jangan lupa makan lho," kata Rere langsung diangguki oleh Jevan.
"Maaf ya sayang, hari ini makan sama Mama dulu. Nanti Papa ajak Nafiza makan malam bareng deh, apapun yang Nafiza mau Papa beliin ya," kata Jevan.
"Yaudah deh, Papa semangat kerjanya ya. Jangan lupa buat berdoa juga biar Allah bantuin Papa," kata Nafiza.
"Siap pinter. Papa akan berdoa, semoga kerjaan Papa cepet selesai dan bisa beliin apa yang Nafiza mau."
"Nah sekarang Nafiza jangan ganggu Papa, biar kerjaan Papa cepet selesai. Yuk sayang," ajak Rere.
"Iyahh. Papa, Nafiza makan dulu sama Mama ya," kata Nafiza sebelum turun dari gendongan Jevan kemudian meraih tangan Mamanya.
"Semangat Papa," kata Nafiza.
Setelah Nafiza dan Rere melangkah pergi, Jevan menyusul Cedar yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangannya dan mulai membuka laptop. Untuk amannya mereka tidak memakai komputer biang kerok itu dulu. Biar dia meratapi nasibnya yang tidak bisa memfilter apa saja yang masuk ke dalam otaknya.
"Bos masih ada salinannya kan?"
"Mentahannya ada tapi di komputer, oh bentar aku ada contoh hardfilenya" kata Jevan yang saat ini tengah mencari keberadaan brosur itu di dalam tumpukan stopmap di rak samping.
"Mau dibuat sama persis atau di upgrade?" tanya Cedar lagi.
"Kalau bisa upgrade aja. Biar nggak kehilangan kepercayaan, soalnya kita nggak bisa kasih diskon banyak-banyak. Kita pakai yang satu level diatasnya," kata Jevan.
"Ok, aku coba dulu," kata Cedar.
Jevando terpaksa mengingkari lagi janjinya pada Nafiza. Sudah sampai larut malam Jevan masih belum berhenti bekerja membuat Rere terpaksa membawa Nafiza yang ketiduran untuk pulang lebih dulu. Jevan baru bisa melangkah pulang ketika jarum jam hampir menyentuh angka 11. Dia memaksa semua karyawannya berhenti bekerja dan istirahat. Dia tidak sanggup membayar mereka untuk lembur lebih lama lagi. Begitu sampai di rumah, Jevan melihat lampu rumahnya masih menyala tapi suasananya sudah sepi. Dapur sudah bersih dan ruang tengah sudah dirapikan.
Jevan pelan-pelan membuka pintu dan menemukan dua cantiknya sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. Jevan mendudukkan dirinya di pinggiran kasur kemudian mengelus kepala Nafiza yang tertidur lelap di pelukan Mamanya tanpa melepaskan boneka kelinci pemberian Papanya. Nafiza juga memakai selimut kelinci berwarna pink yang sebenarnya Jevan belikan untuk Rere ketika dia hamil dulu. Sekarang selimut dan segala hal bertemakan kelinci melekat erat dalam pribadi Nafiza putrinya.
"Pa..., sudah pulang? Maaf aku ketiduran," kata Rere yang terbangun.
"Shtt..., pelan-pelan nanti Nafiza bangun," kata Jevan setengah berbisik.
Rere secara perlahan melepaskan pelukannya kemudian bangkit. Sebelum dia pergi, lebih dulu dia pastikan selimut itu menyelimuti seluruh tubuh Nafiza. Malam ini cukup dingin terasa, maklum kalau sudah mulai masuk musim kemarau suhunya bisa tiba-tiba turun di malam hari dan Rere tidak mau putrinya ini sakit karena kedinginan. AC saja sudah dia matikan sejak tadi.
"Mas sudah makan belum?" tanya Rere yang menyusul Jevan ke dapur.
"Udah nggak mood makan. Mau mandi aja terus tidur, Ma aku udah capek banget," kata Jevan.
"Mau dipijitin?"
"Nggak deh, aku mau meluk Nafiza aja. Dia pasti nyariin kan tadi?" tanya Jevan.
"Hmm, dia beliin ini buat Mas," kata Rere.
"Kalian berdua makan malam di mana?"
"Nafiza nggak mau makan malam karena nunggu Mas, jadi buat ganjel perut aku ajak beli donat aja di Jco. Aku belinya nggak banyak sih cuma 6 potong. Dia makan 2 terus udah katanya buat makan Papa yang lagi kerja," kata Rere bercerita.
"Cantik, kamu sadar nggak Nafiza terlalu dewasa untuk anak seusianya?" tanya Jevan yang kini mulai duduk di meja makan menghadap ke kotak donat yang Rere maksud tadi.
"Hmm, kadang sedih sih...," kata Rere yang tidak lagi melanjutkan kalimatnya.
"Ma..., kamu sudah melakukan yang terbaik. Jangan menyesali apapun. Aku yakin permata kecil kita kuat, jadi kita harus bisa kuat juga," kata Jevan membuat Rere tersenyum.
Rere sedari tadi memanaskan air di dalam sebuah panci berukuran sedang dan Jevan mulai tenang memakan donat yang katanya pemberian putrinya. Bahkan Nafiza tahu, kalau Jevan tidak suka rasa strawberry jadi yang strawberry sudah dia makan dan hanya menyisakan yang coklat, kacang, dan keju saja. Kenapa Jevan tahu, karena ada bekas selai strawberry di pinggiran kotak donat itu dan Rere juga mengonfirmasi. Lagi-lagi Jevando dibuat merasa bersalah karena tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk putrinya.
Pagi berikutnya, Jevan membawa Rere dan Nafiza ke rumah kakek dan neneknya. Biasanya kalau Rere libur memang mereka akan berkunjung karena Jevan sudah janji akan sering mengajak anak istrinya pulang ke rumah Papa Mama biar Papa dan Mama tidak bosan-bosan amat sudah tidak bekerja masa hanya hidup berdua tanpa hiburan cucu pula.
Nafiza sudah ribut minta dimandikan, dia juga sudah mulai mengemasi semua yang ingin dia bawa. Minta Mama untuk melipat selimut kelincinya juga memasukkan pensil warnanya ke dalam kotak sebelum dia bawa ke dalam tas. Padahal kan mereka baru selesai sholat subuh beberapa menit lalu. Ini pun Jevan yang kelelahan memilih untuk kembali tidur barang sebentar. Pikirannya masih campur aduk sejak kesalahan yang dibuat pegawainya kemarin membuat Jevando terpaksa lembur dan mengorbankan waktunya bersama anak dan istri.
Rere segera membantu Nafiza karena gadis kecilnya terus merengek. Rere meraih handuk kering, menggantungnya di gantungan lalu membantu Nafiza untuk mencuci mukanya. Nafiza walaupun sudah berusia 5 tahun tapi kalau mandi tidak dibantu Mama tetap saja tidak akan bersih. Rere juga merasa belum beres mengajari Nafiza cara menyikat gigi dengan benar. Karena gadis itu hanya akan menggosok depannya saja tidak sampai ke dalam-dalam. Untuk sabun juga Nafiza hanya akan menyabun badan bagian depannya saja tidak dengan lengan, kaki, dan punggungnya. Itulah kenapa Rere selalu berusaha membantu Nafiza sembari mengajari dan memastikan jika putrinya mandi dengan benar.
Selesai mandi, Nafiza kembali ke kamarnya berbalut handuk. Dia membuka lemari dan mencari pakaian yang sudah dia siapkan bersama Mama semalam. Dia berencana untuk memakai pakaian kesayangannya untuk pergi ke rumah kakek dan nenek. Pakaian itu adalah pakaian yang Rere buatkan untuk Gentala, Nafiza, dan Abimanyu sebulan yang lalu. Sejak saat itu Nafiza suka memakai pakaian yang senada dengan Gentala dan Abimanyu. Rere yang suka membantu ketiga anak kembar itu agar bisa memakai baju yang sama. Karena Monika dan Lia juga suka melihat ketika ketiga anak enerjik itu berlarian mengenakan pakaian yang sama.
Selesai bersiap, Nafiza tidak lupa memakai parfumnya. Parfum beraroma strawberry, buah yang sangat Papanya hindari. Nafiza yang sudah merasa cantik langsung berjalan menuju ke kamar orang tuanya dan berharap jika dia sampai di sana dia akan melihat Papanya bersiap seperti yang biasa dia lihat setiap pagi.
"Mama..., kok Papa tidur lagi sih?" tanya Nafiza yang menemukan Papanya sudah terlelap.
"Cantik sini jangan ganggu Papa. Papa biar tidur sebentar nanti kita bangunin kalau sudah jam 7 ya," kata Rere.
"Yaudah deh," jawab Nafiza yang sedikit kecewa.
Gadis kecil itu kemudian memilih duduk di sofa seorang diri karena Mama harus memasak sarapan untuk mereka. Nafiza tidak menyalakan televisi katanya takut Papa kebangun padahal sebenarnya Rere tahu anak ini sedang sedih karena beberapa hari ini Papanya tidak memiliki waktu untuk bermain bersamanya. Walaupun ada Mama yang selalu menemaninya tapi kan Nafiza kangen Papa juga. Mau bagaimana lagi, sejak bayi Jevanlah yang selalu ada untuk Nafiza. Jevan yang selalu memberikan segalanya pada Nafiza dan dia sering kali memilih absen dari pekerjaannya untuk menggantikan Rere yang sibuk mengurus Nafiza di rumah.
Jevan dan Rere selalu berusaha mengurus sendiri permata kecilnya ini. Hanya bulan-bulan awal saja ketika kedua orang tuanya sibuk Nafiza dititipkan pada Mama Tiwi dan Papa Jeff tapi setelah usia Nafiza menginjak tahun pertama dia sudah sepenuhnya diasuh kembali oleh kedua orang tuanya. Memiliki seorang tuan putri seperti Nafiza adalah suatu kebanggaan sekaligus amanah besar. Jevan tidak mau sesuatu yang buruk terjadi itulah kenapa akhirnya Nafiza juga jadi begitu dekat dengan Papanya.
"Nafiza...," panggil Rere yang mulai bingung karena tidak ada suara apapun dari ruang tengah tempat Nafiza bermain tadi.
Dia ternyata ketiduran, dengan bekas air mata yang mulai mengering di pelupuk matanya. Dia menangis tadi, sesuai dugaan Rere. Mau bagaimanapun Nafiza adalah putri ibunya, dan cara Nafiza meluapkan emosinya sama persis dengan Rere. Mau dia marah, mau dia sedih, jengkel atau cemas dia pasti akan menangis. Rere kemudian berjalan masuk ke dalam kamar kemudian memilih untuk membangunkan Jevan. Dia bangunkan suaminya dengan perlahan dan mengatakan apa yang terjadi.
"Mas, sebentar aja main sama Nafiza. Dia nangis lho tadi," kata Rere dengan pelan.
Jevan yang masih setengah sadar langsung bergerak turun dari tempatnya tidur untuk mendekati putrinya yang tengah tidur entah betulan atau tidak. Jevan langsung menggendong Nafiza kemudian membawa anak itu ke halaman, setidaknya kalaupun Nafiza tidak bangun dia masih bisa merasakan tidur di pelukan Papanya lagi. Jevan sebenarnya ingin menghabiskan waktunya 24 jam per 7 hari hanya untuk kedua cantiknya ini tapi mau bagaimana lagi, Jevan harus tetap bekerja demi memenuhi semua kebutuhan dan memberikan kehidupan yang layak untuk keluaga kecilnya dia harus tetap bekerja keras.
Nafiza setelah terbangun benar-benar menempel pada Papanya. Dia bahkan memaksa Mama saja yang nyetir jadi dia bisa bermain bersama Papa di kursi belakang. Namanya anak-anak, walaupun hanya sekedar duduk dan melihat pemandangan jalanan kota yang sebenarnya tidak ada indahnya tapi ketika dia sedang bersama kesayangannya semuanya bisa seindah taman surga. Bahkan Nafiza bisa tertawa keras hanya karena Papanya mengikuti gaya boneka yang terpampang di depan sebuah toko cat.
Nafiza sedang tertawa keras karena candaan ayahnya ketika handphone Jevan berdering menampakkan nama saudara kembarnya. Jovan mengajaknya video call sehingga Jevan langsung mengangkatnya, "Yes?"
"Sok Inggris banget sih," kata Jovan di seberang sana.
"Salah siapa gangguin."
Nafiza mendengar suara pamannya kemudian langsung menggeser duduknya karena ingin ikut melihat wajah pamannya yang tinggal jauh dari rumah kakek dan nenek, "Om Jojo haii...," Nafiza begitu saja berteriak menyapa pamannya sembari melambaikan tangan.
"Oh hai Nafiza," kata Jovan balik.
"Ada apa telpon, pagi-pagi juga," tanya Jevan,
"Cuma mau ngabarin. Tirta kangen sama adek-adeknya jadi minggu depan mau aku ajak pulang ke Indonesia. Seminggu aku di sana, kalau kamu sama Iyus ada waktu ngumpul tempat Mama ya," kata Jovan.
"Kak Tirta mau ke rumah nenek om? Asikkk~" jingkrak Nafiza.
"Telpon Iyus sendiri ya, aku males telpon. Junius sekarang nyebelin, mentang-mentang mau punya anak kembar terus manas-manasin," kata Jevan.
"Udah kukabarin duluan," kata Jovan. Mendengar pernyataan Jovan membuat Jevan langsung mematikan sambungan telepon kemudian kembali fokus untuk mengobrol bersama Nafiza.
"Ahh..., Papa kok dimatikan?"
"Biarin, kan om ganggu Papa lagi main sama Nafiza," kata Jevando kembali menggoda putrinya.
Seminggu kemudian, seperti yang sudah dia janjikan kepada saudara-saudaranya Jovando dan keluarga kecilnya datang ke Indonesia. Papa dan Mama sendiri yang menjemput mereka ke bandara dan mengajak kedua cucunya ini untuk jalan-jalan sejenak di area malioboro sekalian untuk cari makan malam.
"Mas, sudah ngabari kembaranmu?" tanya Papa Jeff.
"Sudah. Tapi dia masih sibuk terus si Rere sakit makanya belum bisa ke sini sekarang. Kalau Junius baru pulang dari Surabaya dan langsung tepar habis dikerokin sama istrinya. Yaudah lah nggak papa besok kan sudah janjian mau ngajak anak-anak jalan juga. Besok pasti ketemu kok," kata Jovan.
"Mama sama Papa beneran nggak mau ikut?" tanya Monik.
"Kayanya nggak bisa deh, soalnya Papa sama Mama ada undangan. Nggak enak kalau nggak datang wong pas nikahan kalian bertiga beliaunya dateng terus kok," kata Mama.
"Undangan dari siapa sih Ma?"
"Dari Pak Bejo."
"Oh pantes," kata Jovan yang tahu siapa orang yang telah memberikan undangan pada kedua orang tuanya hingga menolak ajakan anak-anaknya.
"Lagian kamu lama di sini Mas, Jevan sama Junius juga bilang mau nginep di rumah selama ada kamu. Buat Papa lihat kalian semua bisa kumpul lagi aja udah seneng," kata Papa.
...***...
Pagi ini Rere bangun dalam kondisi seluruh tubuhnya sakit semua. Bagaimana tidak sakit, dia tertidur masih dalam posisi memangku buku design dengan pensil tetap berada ditangannya. Dia tidur setengah duduk menyender pada Jevan yang tidak jauh berbeda posisinya, tidur dengan memangku iPadnya. Gambarnya jadi rusak karena pergerakan e-pen yang ada di genggamannya ketika dia tidak sengaja tertidur.
“Ah tau gini nggak aku lembur semalem,” kata Jevan berusaha memperbaikinya tanpa ada niat turun dari tempat tidurnya terlebih dulu.
“Mas mau sarapan pake apa?” tanya Rere.
“Apa aja. Terserah Mama deh, kalau capek nggak usah masak.”
Rere kemudian melangkah masuk ke kamar mandi untuk mandi. Tidak butuh waktu lama dia langsung menuju ke dapur menyiapkan sarapan untuk Jevan dan Nafiza. Sepertinya Nafiza masih tidur dengan tenang di kamarnya. Selesai menyiapkan sarapan, dia masuk ke kamar putrinya itu, membuka jendela membuat si pemilik protes karena sinar matahari pagi langsung mengenai matanya.
“Hei cantiknya Papa Jevan bangun yuk, katanya mau main sama kak Tirta sama Abi.”
“Besok aja Ma, capek.”
“Ayo dong sayang, katanya mau nginep tempat nenek juga.”
Setelah mendengar neneknya disebut dia langsung bangun. Walau masih dengan separuh nyawanya tertinggal di tempat tidur, tapi dia mampu berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Usianya belum genap 5 tahun, tapi dia sudah terbiasa melakukan kegiatan paginya sendiri. Terkadang masih butuh bantuan Mama Papa tapi setidaknya dia sudah memiliki niat untuk melakukannya sendiri jadi Rere tidak perlu tarik urat setiap pagi seperti Lia.
Jadi satu-satunya cucu perempuan di keluarga Kusuma jelas membuatnya jadi kesayangan semua orang. Kei Nafiza Rhea, yang lahir prematur dan harus menginap di inkubator selama beberapa hari itu bisa bertahan dan tumbuh jadi seorang anak yang sehat dan cerdas. Jelas Papa Mama juga semua saudaranya selalu menjaganya bak tuan putri yang tidak boleh tergores sedikitpun. Apalagi Tirta. Dia ingin sekali punya adik perempuan, tapi yang lahir malah adik laki-laki. Tidak apa-apa sih setidaknya dia jadi punya teman main robot-robotan. Dia jadi monsternya dan si adik jadi pahlawannya.
“Sini Papa bantu ikat talinya,” kata Jevan yang kini berlutut di hadapan Nafiza yang terlihat kesulitan mengikat tali sepatunya.
“Nafiza yakin mau pakai sepatu itu? Katanya sudah kekecilan?” tanya Rere pada putrinya.
“Tapi nggak mau pakai yang putih Ma, takut kotor.”
“Kalau kotor kan bisa dicuci. Papa kan beliin sepatu itu buat dipakai. Pakai aja ya, daripada kaki Nafiza sakit karena pakai sepatu kekecilan,” kata Jevan.
“Yaudah deh, aku pake ya Pa,” kata Nafiza diangguki Jevan.
Rere melihat gadis kecilnya berjalan mengambil sepatu yang dimaksud tadi di rak. Tapi Rere tidak kunjung melihat dia memakainya. Kalau kebanyakan anak dibelikan barang baru pasti tidak sabar akan memakainya maka Nafiza tidak, dia lebih suka menyimpannya karena takut rusak atau kotor. Apalagi kalau barang itu pemberian dari orang-orang kesayangannya.
“Sayang, kalau rusak atau kotor kan bisa minta belikan yang baru sama Papa. Bahkan belum sampai sepatu Nafiza rusak Papa juga sudah belikan yang baru kan? Cantik, kalau punya barang bagus dijaga boleh, tapi jangan terus hanya disimpan begitu. Kasihan sepatunya nangis, kan dia dibeli buat dipakai bukan buat disimpan,” kata Rere pengertian.
“Benar ya, kalau sepatu yang ini rusak Papa belikan yang baru?” tanya Nafiza pada Papanya.
“Iya cantik, udah sini sarapan dulu. Keburu ditinggal sama yang lain lo nanti,” ajak Jevan membuat gadis kecil itu segera berlari menuju meja makan untuk duduk di sebelah Papanya.
Keduanya makan dengan lahap, walau sedikit belepotan tapi Nafiza mampu menghabiskan sarapannya sendiri tanpa bantuan dari orang tuanya lagi. Setelah selesai membantu Nafiza membersihkan sisa makannya, Jevan kembali melangkah ke dalam kamar. Di dalam kamar dia melihat Rere baru selesai berganti baju dan sedang duduk merias wajahnya.
“Ma, lensa kameraku dimana ya?” tanya Jevan yang tidak menemukan barang yang dicarinya di dalam laci meja kerjanya.
“Dalem laci sini. Kamu kalau udah capek kan suka ditaruh sembarang tempat,” Rere menjawab tanpa menoleh sebab dia sedang memakai eyeliner dan tidak mau diinterupsi.
“Nggak ada Ma,” kata Jevan yang tidak menemukannya walau sudah mencarinya ke segala laci.
Rere kemudian menghentikan kegiatannya karena tidak sengaja disenggol oleh Jevan membuat make upnya berantakan. Dengan wajah yang sangat-sangat datar Rere membuka satu laci paling atas yang ada di samping kanannya dan langsung memperlihatkan lensa yang dimaksud Jevan tadi. Dengan wajah tanpa dosa Jevan tersenyum, mencuri satu kecupan di bibir Rere sebelum cantiknya ini mengamuk.
“Udah? Males ih sama Papa. Udah sana keluar ahh, ganggu aja,” Rere berusaha mendorong Jevan menjauh pasalnya dia bukannya minta maaf malah menggodanya.
“Pundung nih ceritanya?” tanya Jevan yang sedang sibuk menata kameranya ke dalam tas.
“Hmm, jadi jangan sentuh atau kamu pulang tinggal nama.”
“Aww serem. Yaudah maaf, Papa sama Nafiza tunggu di luar ya,” kata Jevan kemudian keluar meninggalkan Rere seorang diri di kamarnya.
Setelah Jevan keluar, Rere membuka sebuah kotak kecil yang terletak di pojok kiri mejanya. Dia mengambil sebutir obat lalu meminumnya sebelum melangkah keluar dari kamar untuk menyusul Jevan dan Nafiza yang sudah siap. Beberapa menit lalu Lia menelponnya mengatakan jika mereka sudah berangkat. Selesai menata bawaan mereka di bagasi belakang, Jevan kembali memastikan jika Nafiza dan Rere memakai sabuk pengaman mereka. Rere terlihat sedang menelpon seseorang ketika Jevan mulai melajukan mobilnya keluar dari gang perumahan mereka menuju ke tempat tujuan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!