Namaku Khay Milagros berusia tujuh belas tahun dan aku masih duduk di kelas 3 sekolah menengah atas di salah satu sekolah swasta terfavorit yang ada di kota bandung. Papaku bernama Axel Prayogi pebisnis sukses yang ada di kota ini dan juga beberapa kota besar lain. Pada awalnya kehidupanku terlihat begitu sempurna sekali bahkan aku pun memiliki begitu banyak teman dan juga kekasih di sekolah, tapi semua itu hancur berantakan ketika aku mengetahui jika Papaku-lelaki tangguh yang begitu aku sayangi ternyata meninggal dalam kecelakaan beruntun di ruas jalan tol.
Satu hari setelah Papaku di kebumikan, aku baru mengetahui jika Papa tidak hanya meninggalkan diriku namun, ia juga meninggalkan begitu banyak tumpukan hutang hingga membuat perusahaan dan juga rumah yang aku tinggali selama ini harus berpindah alih ke pihak Bank. Aku di usir keluar dari rumah yang selama ini diriku tempati bersama dengan Papa. Jangankan memikirkan tentang melanjutkan sekolah, bahkan saat ini aku hanya memegang uang tidak kurang dari 20.000 rupiah saja.
Aku mencoba untuk meminta bantuan ke teman-teman yang selama ini diriku anggap sebagai saudara, tapi semua itu percuma sebab mereka semua tak ada yang mau membantu. Aku hanya sendirian di dunia ini, Papa telah menyerah pada kehidupannya dan memilih menemani Mama yang lebih dahulu meninggalkan aku.
BAB 1
Hari sudah larut bahkan sang rembulan juga sudah menduduki tahtanya sekitar 4 jam yang lalu, tapi seorang perempuan tak kunjung beranjak berdiri dan meninggalkan halte bus ini padahal sudah silih berganti angkutan umum yang lewat, tapi tak membuat perempuan malang itu meninggalkan tempat duduknya. Tatapannya begitu kosong sekali seakan tak ada kehidupan lagi yang terpancar dari kedua netranya sekarang. Hingga satu mobil mewah mulai berhenti tepat di depan halte bus itu, kemudian turunlah sepasang suami-istri yang langsung menatap lurus ke arah Khay yang kini masih melihat ke depan dengan tatapan yang kosong.
Sepasang suami istri itu melihat ke arah Khay dengan tatapan yang begitu iba sekali hingga sang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya itu langsung memeluk Khay dengan suara isak-tangisnya, derai air mata itu sampai berjatuhan di pundak Khay dan kini membuat sang empunya seakan tersadar jika ada seseorang yang menangis sembari mendekapnya. Khay tak bisa melihat wajah perempuan yang sedang memeluknya namun, ia begitu percaya jika ini pasti bukan keluarganya sebab Khay tak memiliki siapapun selain kedua orangtuanya dan kini mereka telah tiada meninggalkannya sendiri di bumi ini.
“Si-siapa Anda?” tanya Khay dengan suara yang bergetar. Khay mendorong pelan perempuan itu dan melihatnya, perempuan ini benar-benar menangis tapi kenapa? Kenapa dia menangis dengan memeluknya. Begitu lah yang sekarang sedang ada di dalam pikiran Khay Milagros.
Seorang lelaki paruh baya memegangi pundak perempuan cantik yang tadi sempat memeluk Khay. Khay hanya melihat ke arah keduanya dengan sesenggukan, air matanya seakan sudah mengering hingga Khay tak bisa meneteskan air mata lagi.
“Kami adalah sahabat Alex dan juga Andrea. Maaf jika kami terlambat datang sebab kami juga baru menerima kabar tentang kepergian Papa kamu,” ujar seorang perempuan paruh baya yang tak Khay ketahui namanya.
Khay mulai merasakan jika kepalanya pusing sekali, Khay mencoba untuk tetap tenang hingga kepalanya mulai terasa berat dan Khay jatuh tak sadarkan diri.
***
Khay mulai mengerjapkan kedua matanya hingga terbukalah kedua pelupuk mata itu. Khay mulai mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan ini, ia baru menyadari jika ini di rumah sakit dan dia sendirian di dalam ruangan ini. Khay mengangkat tangannya yang sekarang sedang di tancap oleh jarum infus.
“Aku kemarin melihat sepasang suami istri, apakah itu hanya mimpi?” tanya Khay pada dirinya sendiri. Khay melihat ke arah pintu ruangan ini yang mulai terbuka dan nampaklah sepasang suami-istri yang kemarin malam sempat ia lihat. “Ternyata ini bukan mimpi,” batin Khay merasa tenang sekarang. Khay memang tak mengenal kedua orang itu namun, entah mengapa ia merasa tenang.
“Sayang, kamu sudah bangun?” tanya seorang perempuan paruh baya sembari mengusap puncak kepala Khay dengan gerakan yang lembut.
“Ya,” jawab Khay singkat.
“Maaf, kami meninggalkan kamu sejenak sebab tadi harus berbicara dengan dokter dan beliau mengatakan jika kondisi kamu baik-baik saja sekarang,” timpal seorang lelaki yang Khay percaya adalah suami dari perempuan cantik di sampingnya sekarang.
“Ke-kenapa kalian perduli dengan Khay ketika semua teman-teman dekat Khay dan juga orang-orang terdekat Papa meninggalkan Khay setelah tahu jika perusahaan Papa bangkrut,” ujar Khay jujur. Lebih baik mengetahui semuanya sejak dari awal dari pada Khay harus merasakan kebahagian yang fana. Itulah yang sekarang sedang Khay pikirkan.
“Sayang, kenapa kamu berpikir seperti itu. Kami akan merawat kamu mulai dari sekarang. Nama Tante adalah Aulia dan ini adalah suami Tante, namanya Jiro,” cerita perempuan paruh baya itu dan Khay menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Apakah kalian datang kemari untuk melihat makam Papa?” tanya Khay sembari mencoba mendudukkan tubuhnya dan Aulia langsung membantunya sembari mengulas senyuman manis.
“Orang kepercayaan Om Jiro memberitahukan pada kami jika Axel meninggal dalam kecelakaan beruntun dan detik itu juga kamu langsung menuju ke bandung. Setelah kami dari pemakaman, kami mencari keberadaan kamu di rumah ….” Aulia tak melanjutkan ceritanya dan ia menundukkan kepala hingga Khay berinisiatif meneruskan kalimat yang terpotong itu.
“Ya, rumah mendiang Papa telah di sita oleh pihak bank.” Khay mencoba untuk tersenyum namun sialnya kedua pelupuk matanya justru di selimuti oleh bulir bening sekarang.
“Khay. Om rasa kamu sudah cukup dewasa untuk mengetahui semua ini dan sekarang kami tak akan menunda waktunya lebih lama lagi." Jiro terdiam sejenak dan ia melihat ke arah Aulia yang kini menganggukkan kepalanya seakan meminta pada sang suami untuk lanjut berbicara. "Sejujurnya saat kamu masih ada dalam kandungan kedua orangtua kamu dan juga kami telah berjanji akan menjodohkan anak-anak kami jika berjenis kelamin berbeda dan ternyata semua itu terwujud. Dan kami melahirkan seorang putra kemudian selang dua bulan kemudian kamu terlahir ke dunia ini. Sejak saat itu kami berjanji akan menikahkan anak-anak kami setelah cukup usia,” jelas Jiro panjang lebar dan juga jujur tanpa ada yang ia tutupi.
"Sayang, sekarang kamu sudah mengetahui semuanya dan apakah kamu mau menerima perjodohan ini?" tanya Aulia pada Khay dengan tatapan teduh.
"Khay menerimanya." Tak ada pilihan lain, hanya inilah jalan satu-satunya agar Khay bisa melanjutkan pendidikan dan bisa memiliki tempat tinggal. Khay tak bisa memikirkan hal lain kecuali menyelamatkan masa depannya sebab inilah juga yang menjadi impian mendiang Papanya.
Jakarta.
Khay baru saja turun dari dalam mobil. Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke halaman rumah ini, rumah ini jauh lebih besar dari kediamannya. Khay mulai menatap ke arah taman yang terdapat kolam ikan juga di sana, kemudian Khay mulai melihat ke arah sofa yang ada di bagian lain halaman rumah ini. Rumah yang begitu asri karena terdapat pohon-pohon yang menjulang tinggi di beberapa bagian rumah ini.
Seseorang mengandeng tangannya membuat atensi Khay teralihkan dan kini melihat ke arah perempuan paruh baya yang sedang tersenyum manis padanya.
“Ma, ajak calon menantu kita masuk ke dalam rumah dong, jangan di ajak berdiri di luar saja,” ujar Jiro pada sang istri sebelum dia melangkah masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
“Sayang, ayo kita masuk kedalam sekarang, Mama sudah nggak sabar untuk memperlihatkan ruangan kamar kamu, Mama sendiri loh yang desain,” ujar Aulia sembari mengandeng tangan Khay masuk ke dalam rumah.
Ya, Aulia meminta Khay untuk memanggilnya dan sang suami dengan sebutan Mama, Papa sebab sebentar lagi Khay juga akan menikah dengan putranya. Khay hanya bisa patuh tanpa ingin menolak sama sekali, dia dalam keadaan yang tak bisa menolak apapun sekarang.
Aulia mengajak Khay untuk menaiki anak tangga rumah ini kemudian Aulia mengajak Khay untuk memasuki salah satu kamar yang telah ia siapkan sebelumnya. Khay tersenyum tipis ketika ia mengetahui jika ruangan kamar ini begitu mirip sekali dengan ruangan kamarnya yang ada di bandung.
“Ma, terima kasih karena sudah mau menerima Khay ketika semua orang menjauhi Khay,” ujar Khay dengan berlinang air mata. Khay tidak bercermin sama sekali setelah meninggalnya sang Papa, ia bahkan tak perduli dengan kondisi rambutnya yang tak di sisir sama sekali, itu semua tak penting bagi Khay setidaknya untuk saat ini.
“Tak perlu mengucap terima kasih karena sebentar lagi kita juga akan menjadi keluarga. Kamu tak perlu membereskan apapun sebab Mama sudah meminta asisten rumah tangga di rumah ini untuk membereskan semua barang-barang kamu, sekarang beristirahatlah kamu pasti capek sekarang,” ujar Aulia dengan ramah kemudian mengecup kening Khay lalu keluar dari ruangan ini.
Khay menutup pintu kamarnya kemudian ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang dan menangisi takdirnya. Khay berharap jika ini semua hanyalah mimpi dan semoga ketika ia bangun semua mimpi buruk ini akan ikut menghilang juga bersama dengan waktu. Amin.
Di lantai bawah.
Seorang lelaki tampan yang mengenakan baju basket baru saja turun dari ducati merahnya, lelaki berkulit putih dengan kornea mata warna hitam pekat itu tak lain ialah Dilan-putra semata wayang dari Jiro dan juga Aulia. Pemuda tampan itu melenggang masuk ke dalam rumah begitu saja dengan salah satu pundak yang membawa tas sekolahnya.
“Ma, Pa,” sapa Dilan sekilas kemudian pemuda itu hendak menaiki anak tangga rumah ini namun, ucapan Aulia menghentikan niat awalnya tersebut.
“Dilan kemari lah sebentar, Sayang,” panggil Aulia pada sang putra sembari menepuk ruang kosong yang ada di sampingnya.
“Ma, Dilan mau mandi dulu, gerah baru panas-panasan di jalan,” bujuk Dilan pada orangtuanya tapi Aulia menggelengkan kepalanya tanda menolak permintaan sang putra. Dilan hanya bisa menghembuskan nafasnya kemudian melangkah mendekati sang Mama.
“Duduk di samping Mama sekarang,” pinta Aulia masih menepuk ruang kosong di sampingnya.
“Turuti saja, kalau nggak kamu turuti Mama juga nggak bakal nyerah dan akan menyuruh hal yang sama,” timpal Jiro yang hafal sekali dengan pemikiran sang istri.
Mau tidak mau Dilan langsung menghempaskan tubuhnya di tempat yang Mamanya tunjukan tadi. “Pasti karena gadis itu lagi,” tebak Dilan. Dilan sudah tahu jika dua hari yang lalu kedua orangtuanya pergi ke bandung karena sebelum pergi Jiro dan juga Aulia mengatakan jika mereka akan mengajak seorang gadis untuk tinggal di rumah ini. Bahkan kedua orangtuanya juga sudah mengatakan jika Dilan akan menikahi gadis yang akan mereka bawah ke rumah ini.
“Dilan sekarang gadis itu sudah berada di lantai atas dan sementara dia akan tinggal di samping kamar kamu,” jelas Aulia pada sang putra.
“Bagus kalau begitu,” jawab Dilan dengan nada suara dingin.
“Dilan jaga ucapan kamu! Papa harap kamu tidak berbicara sekasar ini ketika bersama dengan Khay, gadis itu baru saja kehilangan orangtua tunggalnya, dia masih terpuruk dan juga sedih Papa harap kamu bisa menghiburnya dan bukan malah sebaliknya,” jelas Jiro pada sang putra.
“Ma, Pa. Dilan sudah mendengarkan kalimat ini berulang kali, bahkan Dilan saja sampai hafal di luar kepala,” ujar Dilan pada kedua orangtuanya.
“Dilan, dia itu sebentar lagi akan menjadi istri kamu jadi Mama mohon, perlakukan Khay dengan baik. Khay sudah mengalami hari-hari yang sulit, apakah kamu tahu, semua orang menjauhinya sampai membuat Khay menjadi gelandangan dan menahan lapar hingga pingsan,” jelas Aulia menceritakan garis besarnya pada sang putra.
Tidak disangka ternyata Dilan langsung merespon apa yang barusan dia dengar. “Bukankah dia berasal dari keluarga kaya? Lalu kenapa bisa pingsan dan di jauhi oleh semua orang?” tanya Dilan seakan menginginkan penjelasan lebih detail dari sang Mama.
Aulia pun menceritakan semuanya mulai dari awal sampai ia datang pada putranya. Dan setelah itu Dilan pamit ke kamarnya sebab ia mau membersihkan tubuhnya yang terasa lengket setelah bermain basket di sekolah sebelum pulang tadi.
“Pa, kenapa Mama merasa jika Dilan perduli dengan Khay?” tanya Aulia pada sang suami.
“Papa juga merasa demikian, semoga saja ini adalah awal yang baik untuk keduanya.” Jiro melihat ke arah Dilan yang sempat menghentikan langkahnya sejenak kemudian menoleh ke kamar dimana Khay berada hingga akhirnya sang putra melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar.
Selang beberapa waktu.
Khay mengucek kedua matanya kemudian ia melihat ke arah plafon ruangan kamar ini yang berwarna putih, Khay tersenyum miris ketika menyadari jika ia berada di dalam ruangan yang sama sebelum memejamkan matanya tadi. Khay menarik guling kemudian mendekapnya, ia meneteskan air matanya hingga membasahi bantal yang sedang ia kenakan sekarang. Isak tangisannya terdengar memenuhi ruangan kamar ini.
“Papa, Khay begitu merindukan Papa,” gumam Khay lirih disela-sela isak tangisannya itu.
“Berhentilah menangis! Aku tidak suka melihat perempuan cengeng,” ujar Dilan yang sejak dari tadi menyandarkan punggungnya di pintu ruangan ini sembari melihat ke arah Khay dengan wajah datar.
Khay yang tahu jika ada orang lain di dalam ruangan kamar ini pun segera membalikkan tubuhnya melihat ke arah pintu. Dan benar saja ia melihat ke arah seorang pemuda yang kini sedang melihatnya dengan wajah datar.
“Si-siapa kamu?” tanya Khay seraya mendudukkan tubuhnya.
“Calon suami kamu,” jawab Dilan santai.
Setelah selesai membersihkan tubuhnya Khay sekarang sedang berdiri di depan cermin dan ia melihat pantulan wajahnya sendiri di depan cermin yang nampak begitu berantakan, kedua pelupuk matanya nampak sembab dengan wajah yang nampak kusam sekali mirip seperti orang yang tak terawat. Tanpa mengoleskan make up apapun di wajahnya Khay keluar dari ruangan kamar ini sembari menyisir rambutnya hanya dengan menggunakan jemari tangan saja, Khay melihat sisir di atas meja rias dan juga semua perlengkapan make up yang biasanya selalu ia kenakan namun, tak ada sedikitpun minatnya untuk menyentuh semua itu.
Khay masih terlalu sedih dan juga begitu hancur ketika ia mengingat jika lelaki yang begitu ia sayangi ternyata telah tiada dan meninggalkan dirinya sebatang kara. Tuhan tak bisakah engkau mengembalikan lelaki tangguhnya itu? Tentu saja itu semua tak akan mungkin lagi dan Khay harus bisa menerima semua kenyataan ini.
Khay terdiam sejenak ketika ia menyadari jika Dilan kini sudah berdiri di kaki anak tangga terakhir dan dengan gaya angkuh dan juga arogan lelaki itu memutar tubuh menghadapnya. Tak ada senyuman ramah ataupun tatapan hangat yang kini sedang Khay lihat dari wajah calon suaminya, tapi Khay tidak merasa kaget sebab mereka memang tak saling mengenal. Ya, itu benar.
“Lama sekali gue menunggu lo, ayo kita makan sekarang,” ujar Dilan ketika melihat jika Khay kini sudah berdiri di belakangnya.
“Saya tidak menyuruh kamu untuk menunggu,” jawab Khay singkat. Khay masih terlalu sedih dan lelaki yang ada di hadapannya sekarang sungguh tak memiliki hati. Tapi Khay harus sabar sebab dirinya menumpang di rumah ini sekarang.
“Lo memang tidak menyuruh gue untuk menungggu, tetapi kedua orangtua gue yang memintanya,” ketus Dilan kemudian melenggang pergi begitu saja setelah menancapkan luka di hati Khay.
Saat ini Khay sudah duduk di meja makan, ia tak begitu berselera untuk menyentuh makanan apapun di atas meja ini. Semua itu terjadi bukan karena rasa makanannya yang tidak enak melainkan Khay tak memiiki selera makan untuk sekarang ini. Aulia yang melihat akan hal itu tidak tinggal diam saja, ia menaruh beberapa lauk-pauk di atas piring Khay kemudian Jiro juga ambil bagian dengan menaruh dua sendok nasi di atas piring calon menantunya itu.
Khay tersenyum pada keduanya sebagai tanda terima kasih kemudian Khay mulai memaksakan dirinya untuk menyantap makanan yang ada di dalam piringnya, rasa makanan ini begitu pahit sekali ketika menyentuh lidahnya dan Khay tahu itu hanya perasaannya saja sebab ketiga orang yang sedang ada di hadapannya sekarang makan dengan sangat lahap sekali.
“Ma, Pa. Terima kasih karena sudah berbuat baik pada Khay, jika tak ada kalian berdua pasti Khay akan menjadi gelandangan,” tutur Khay sembari menundukkan kepalanya. Ketika Khay sedang merasa bersedih terdengarlah suara seseorang lelaki yang langsung mampu membuyarkan kesedihannya menjadi kemarahan.
“Kenapa dia memanggil kalian dengan sebutan yang sama dengan Dilan?” tanya lelaki itu sembari menatap kedua orangtuanya yang kini sudah membulatkan mata pertanda protes akan apa yang barusan Dilan katakan itu. Tapi Dilan hanya mengangkat kedua pundaknya acuh melihat tatapan kedua orangtuanya sekarang.
“Nanti sore kalian akan menikah jadi sudah sewajarnya jika Nak Khay memanggil kami dengan sebutan yang sama dengan kamu,” jelas Aulia. Perempuan itu berbicara dengan nada suara terdengar begitu geram sekali, tapi Aulia mencoba untuk tetap terlihat tenang di hadapan calon menantunya.
“Apakah kami akan menikah secepat ini?” tanya Khay sembari melihat ke arah sepasang suami istri itu yang langsung menganggukkan kepalanya.
***
Semua ini seperti suatu mimpi buruk yang tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya. Dalam sekejap mata lelaki tangguh yang selama ini selalu menyayangi dan juga menjaganya pergi dari dunia ini dan dengan sekejap mata juga semua orang menjauhinya setelah tahu jika Khay jatuh miskin dan tak memiliki apapun lagi. Dan dengan sekejap mata juga kini ia duduk di samping lelaki yang sedang mengucapkan ijab kobul dengan begitu lancar sekali seakan lelaki ini sudah hafal nama lengkapnya di luar kepala ‘khay milagros’ nama itu lelaki tersebut sebutkan dengan begitu lantang dan juga tegas seakan ia begitu siap untuk menikahinya.
Tak ada orang terdekat yang Khay kenal sekarang, semua orang yang hadir di acara pernikahan ini adalah keluarga dari suaminya. Argh! Semua seperti mimpi, tak ada perfek honeymoon yang selama ini selalu Khay impikan dan juga bayangan, yang ada hanya pernikahan penuh akan derai air mata. Ini pernikahan kilat yang selama ini tak pernah Khay inginkan dan juga dambakan. Tapi ini nyata dan bukan mimpi.
“Sah!”
“Sah!”
“Sah!”
Mendengarkan kata yang keluar dari bibir para saksi membuat air mata Khay jatuh begitu saja di kedua pipinya. Khay yang masih begitu shock harus bertukar cincin dengan lelaki yang tidak ia cintai dan juga tidak ia kenal. Lelaki yang menatapnya angkuh dan juga dingin itu sekarang resmi menjadi suaminya.
“Cepat lakukan, jangan bikin aku malu di depan keluarga!” perintah Dilan pada Khay dengan tatapan tajam.
Khay mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya dan dengan tangan yang gemetar perempuan itu mengambil cincin yang sedang di pegang oleh mertuanya kemudian memasangkan cincin pernikahan ini jari manis lelaki asing yang baru saja resmi menjadi suaminya beberapa detik yang lalu.
“Alhamdulillah,” kata semua orang setelah mengetahui jika cincin pernikahan itu telah terpasang dengan begitu sempurna di jari tangan kedua pengantin ini.
“Sayang, kini kamu telah menjadi putri kami. Tak perlu merasa sungkan akan apapun sebab kita adalah suatu keluarga dan inilah alasan Mama mempercepat hari pernikahan kalian,” ujar Aulia kemudian mengecup kedua pipi Khay dengan penuh kasih sayang. Selama ini Aulia begitu menginginkan anak perempuan dan kini ia telah mendapatkannya sekarang.
Selang beberapa waktu.
“Dilan, ajak istri kamu masuk ke dalam kamar nampaknya ia begitu lelah sekali,” ujar Jiro pada putranya itu.
“Pa, Khay bisa masuk ke dalam kamar sendiri,” jawab Khay dengan polosnya. Sepetinya ia lupa jika baru saja menikah.
Aulia tersenyum manis melihat sikap lugu menantunya ini lalu diapun melangkah menghampiri sang menantu kemudian berkata, “Sayangku, kamu sekarang nggak bisa tinggal di dalam ruangan kamar kamu lagi,” kata Aulia sembari menangkup wajah cantik menantunya menggunakan kedua tangan.
“Kenapa tidak bisa?” tanya Khay dengan penuh selidik.
Dilan yang melihat tingkah Khay langsung mengusap kasar wajahnya sendiri seraya bergumam, “Astaga dia bodoh sekali sih,” gerutu Dilan dengan suara yang lirih. Dilan ganteng sabar dong.
“Kamu sudah menikah dengan Dilan, jadi mulai detik ini maka kamu sudah sah menjadi istrinya secara agama dan juga hukum negara, jadi sudah sepatutnya jika kamu tinggal satu kamar dengan suami kamu,” jelas Aulia. Khay langsung melihat ke arah Dilan sembari menggelengkan kepalanya tanda menolak namun, pemuda itu malah menggenggam tangannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!